BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Umum Gajah Sumatera
2.1.1.
Taksonomi dan Status Konservasi Gajah Sumatera Gajah sumatera merupakan sub spesies dari Gajah asia (Elephas
maximus) yang diperkenalkan oleh Temminck dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847. Taksonomi Gajah sumatera, yaitu : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Proboscidea
Family
: Elephantidae
Genus
: Elephas
Species
: Elephas maximus Linnaeus, 1758
Sub species
: Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847.
Gajah asia (Elephas maximus) terbagi kedalam tiga sub spesies, yaitu Elephas maximus maximus di Srilangka, Elephas maximus indicus di anak Benua India dan Asia Tenggara termasuk Kalimantan dan Elephas maximus sumatranus di Sumatera. Gajah asia (Elephas maximus) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan bagian timur. Gajah asia terdaftar dalam Red List Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dengan status terancam punah (endangered species). Gajah asia (Elephas maximus) dinyatakan sebagai satwa dilindungi Undang-undang dan hampir punah di Indonesia sejak Tahun 1931 melalui Ordonansi Perlindungan Binatang Liar. Selanjutnya CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Fauna and Flora/Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan) mengategorikan Gajah asia kedalam kelompok Appendix I. sehingga keberadaannya perlu diperhatikan dan dilestarikan.
6
2.1.2.
Distribusi dan Populasi Gajah di Pulau Sumatera Gajah sumatera tersebar di tujuh provinsi, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. Tahun 1980 dilakukan survei gajah di seluruh Sumatera dengan menggunakan metode penaksiran secara cepat (rapid assessment survey). Hasil survei memperkirakan populasi Gajah sumatera 2.800 - 4.800 ekor dan tersebar di 44 lokasi (Blouch dan Simbolon 1985). Estimasi sementara populasi Gajah sumatera yaitu 2.400 - 2.800 ekor (Dephut 2007). Tabel 1 Proporsi sebaran populasi Gajah sumatera di beberapa status kawasan hutan *) Status Kawasan Luas Kawasan (hektar) Hutan konversi 386.829 Hutan produksi terbatas 1.648.654 Hutan konservasi 619.988 Hutan produksi 709.145 Hutan lindung 494.088 Hutan negara tidak terbatas 15.916 Perairan 2.108 Daerah lain 234.460 Tidak ada data 7.678 Sumber : Dephut (2007) Keterangan : *) Jumlah gajah diperkirakan 2.400 - 2.800 ekor.
2.1.3.
Persentase (%) 9,39 40,03 15,05 17,22 12,00 0,39 0,05 5,69 0,19
Distribusi dan Populasi Gajah di Provinsi Riau Gajah di Provinsi Riau dapat ditemukan di beberapa lokasi yang disebut
kantong-kantong distribusi populasi gajah. Kantong-kantong distribusi populasi gajah di Provinsi Riau, yaitu sekitar daerah Bina Fitri/Tapung/Petahapan/Batu Gajah, Rambah Hilir/Danau Lancang, utara dari Dam Koto Panjang, Koto Tangah, Mahato/daerah perbatasan Provinsi Sumatera Utara, Balai Raja/Rangau, Giam Siak Kecil, Bagan Siapi-api, Siabu/sebelah timur SM. Bukit Rimbang Bukit Baling/sebelah tenggara Bukit Bungkuk, Kuntu/sebelah timur dan tenggara SM. Bukit Rimbang Bukit Baling, bagian barat daya Tesso Nilo, bagian utara Tesso Nilo, bagian tenggara Tesso Nilo, Serangge/sebelah barat Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan daerah Pemayungan/sebelah selatan TNBT Provinsi Jambi.
7
Tabel 2 Distribusi dan populasi gajah di Provinsi Riau Tahun
Kantong Distribusi
1985
Torgamba, Tanjung Medan, Riau Tengah bagian utara, Koto Panjang, Lipat Kain, Langgam, Riau Tengah bagian selatan, Riau Selatan, Buatan, Siak Kecil dan dataran rendah Rokan. SM. Siak Kecil; HPT. Minas, Mandau dan Bukit Kapur; SM. Kerumutan; SM. Bukit Rimbang Bukit Baling; SM. Balai Raja; HPT. Tesso Nilo, Air Hitam dan Baserah; TN. Bukit Tigapuluh; HPT. Serangge - Sekilo; Hutan Hapayan Boneng; HL. Mahato; HP. Bagan Siapiapi; HPT. Sungai Gansal, Keritang; HPT. Tanjung Pauh; HPT. Batu Gajah; HL. Bukit Suligi; dan HP. Tanjung Medan. SM. Siak Kecil; HPT. Minas, Mandau dan Bukit Kapur; SM. Bukit Rimbang Bukit Baling; SM. Balai Raja; HPT. Tesso Nilo, Air Hitam dan Baserah; TN. Bukit Tigapuluh; HPT. Serangge Sekilo; Hutan Hapayan Boneng; HL. Mahato; HP. Bagan Siapi-api; HPT. Tanjung Pauh; HPT. Batu Gajah; HL. Bukit Suligi; dan HP. Tanjung Medan. SM. Siak Kecil; HPT. Minas, Mandau dan Bukit Kapur; HPT. Tesso Nilo, Air Hitam dan Baserah; TN. Bukit Tigapuluh; HPT. Serangge - Sekilo; Hutan Hapayan Boneng; HL. Mahato; HP. Bagan Siapi-api; HPT. Sungai Gansal, Keritang; HPT. Batu Gajah; dan HP. Tanjung Medan.
1999
2003
2007
Populasi (ekor) 1.067 - 1.617
Keterangan Gajah tersebar di 11 kantong distribusi populasi gajah.
709
Gajah tersebar di 16 kantong distribusi populasi gajah.
350 - 430
Gajah diperkirakan tidak ada lagi di HPT. Sungai, Gansal, Keritang dan SM. Kerumutan.
174 - 246
Gajah tersebar di 9 kantong distribusi populasi gajah. Gajah diperkirakan tidak ada lagi di Rokan Hilir, SM. Kerumutan, Koto Panjang, SM. Bukit Rimbang Bukit Baling, Tanjung Pauh dan Bukit Suligi.
Sumber : BKSDA Riau (2006b)
2.1.4.
Habitat 1) Pengertian Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari komponen fisik dan biotik
sebagai
satu
kesatuan
dan
dipergunakan
sebagai
tempat
hidup
serta
berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 1990). Persyaratan habitat yaitu variasi pakan, cover dan faktor-faktor lain yang dibutuhkan oleh suatu jenis satwaliar untuk melangsungkan hidupnya dan keberhasilan perkembangbiakannya. Habitat gajah merupakan kesatuan wilayah yang luas meliputi hutan, tempat terbuka, sumber-sumber air dan tempat mencari garam. Wilayah ini tergambarkan dalam
8
daerah pengembaraan gajah yang sangat luas sehingga menggunakan lebih dari satu tipe habitat. 2) Tipe Habitat Habitat Gajah sumatera tersebar pada tipe hutan hujan pegunungan, hutan primer dan hutan sekunder. Widowati (1985) menyatakan habitat yang ideal bagi Gajah sumatera yaitu kombinasi antara tipe hutan Dipterocarpaceae dataran rendah (tipe antropogen yaitu hutan sekunder yang tidak terganggu) dan hutan rawa tidak tergenang air payau. Gajah umumnya lebih menyukai hutan rawa pada musim kemarau dan akan berpindah ke hutan pegunungan atau hutan primer pada musim hujan. Perpindahan ini disebakan oleh kondisi pakan di hutan pegunungan atau hutan primer mencukupi kebutuhan gajah. Tabel 3 Tipe habitat gajah No. 1.
Tipe Habitat Hutan rawa (swamp forest)
Vegetasi Melaleuca cajuputi, Campnosperma auriculata, Campnosperma Macrophylla, Alstonia spp., Eugenia spp. dan Gluta renghas.
2.
Hutan rawa gambut (peat swamp forest)
3.
Hutan hujan dataran rendah (lowland dipterocarp forest)
Gonystyllus bancanus, Licuala spinosa, Shorea spp., Alstonia spp., Eugenia spp. dan Dyera costulata. Famili Dipterocarpaceae, Koompasia malaccensis, Palaquium gutta, Dyera costulata, Intsia bijuga dan Schima wallichii.
4.
Hutan hujan pegunungan dataran rendah (lowland montain dipterocarp forest) Sumber : Santiapillai (2001)
Dipterocarpus spp., Shorea spp., Quercus spp., Castanopsis spp. dan Altingia excelsa.
Keterangan Berupa rawa padang rumput, rawa primer atau rawa sekunder yang didominasi oleh Melaleuca cajuputi.
Terletak di ketinggian 0-750 mdpl. Umumnya kawasan hutan produksi. Terletak di ketinggian 750 1.500 mdpl.
Widowati (1985) menyebutkan komponen penentu pemilihan habitat gajah sebagai berikut : a. Ketersediaan pakan, sumber air dan garam mineral. b. Ketersediaan cover atau pelindung. c. Ketersediaan tempat untuk berperilaku kesukaan dan pergerakan. d. Tingkat gangguan. Kondisi pakan, sumber air, garam mineral, cover dan ruang yang mampu memenuhi kebutuhan gajah di habitatnya akan mengurangi beban daerah pertanian sebagai daerah kantong pakan gajah.
9
3) Komponen Habitat a. Pakan Gajah merupakan satwa herbivor yang membutuhkan pakan hijauan di habitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon sebagai pakan pelengkap untuk memenuhi kebutuhan mineral seperti Kalsium untuk memperkuat tulang, gigi dan gading. Satu ekor Gajah sumatera diperkirakan menghabiskan lebih dari 300 kg tumbuhan segar setiap harinya (Poniran 1974). Gajah memakan semak muda dan daun-daunan dari berbagai jenis pohon yang berserat halus seperti daun waru dan dadap. Gajah juga menyukai jenis-jenis tanaman budidaya seperti tebu, padi, jagung, kacang tanah dan kelapa. Bagian tanaman yang dimakan gajah sangat bervariasi mulai dari buah muda sampai buah masak, umbut, pelepah, kulit batang, pucuk, daun muda dan tua beserta durinya dan bunga (Widowati 1985). Jenis pakan Gajah sumatera antara lain Artocarpus integer, Artocarpus kemando, Sloetia elongata, Musa acuminata, Oncosperma tigilarium, Licuala vallida, Ficus grossularioides, Mangifera macrophylla, Garcinia parviflora, Garcinia maingayi, Nephelium cuspidatum, Baccaurea spp., Calamus spp., Durio sp. dan Artocarpus sp. (LIPI 2003). b. Air Kebutuhan minum Gajah asia tidak kurang dari 200 liter per hari (Lekagul dan Mc Neely 1977). Kebutuhan minum Gajah sumatera menurut perkiraan Poniran (1974) adalah 20 - 50 liter per hari. c. Garam mineral Gajah memiliki kebiasaan memakan gumpalan tanah yang mengandung garam-garam mineral seperti Kalium, Kalsium dan Magnesium. Kebiasaan ini dikenal dengan sebutan salt licking (mengasin). Tempat mengasin gajah dapat berupa tebing sungai besar atau sungai kecil dengan kelerengan bervariasi dari sangat landai sampai sangat curam, dasar dan tepi rawa-rawa kecil atau rawa-rawa lebar dan lantai hutan (Widowati 1985). d. Naungan Gajah termasuk binatang berdarah panas. Gajah akan bergerak mencari naungan (thermal cover) untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan
10
lingkungannya ketika cuaca panas. Tempat yang sering digunakan sebagai naungan pada siang hari yaitu vegetasi hutan yang lebat. e. Ruang atau wilayah jelajah (home range) Wilayah jelajah adalah areal penjelajahan normal sebagai aktivitas rutinnya (Jewell 1966 diacu dalam Widowati 1985). Luasan wilayah jelajah akan bervariasi tergantung dari ketersediaan pakan, cover dan tempat berkembangbiak. Luas wilayah jelajah untuk Gajah sumatera belum diketahui secara pasti namun Santiapillai (2001) menyebutkan luas wilayah jelajah Gajah asia yaitu 32,4 km² 166,9 km². Wilayah jelajah gajah di hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan sekunder. Sub spesies Gajah asia lainnya seperti di India memiliki ukuran wilayah jelajah yang sangat bervariasi. Luas wilayah jelajah gajah di India Selatan untuk kelompok betina yaitu 600 km² dan kelompok jantan 350 km² (Baskaran et al. 1995 diacu dalam Dephut 2007). Luas wilayah jelajah gajah di India Utara untuk kelompok betina 184 km² - 320 km² dan kelompok jantan 188 km² - 408 km² (Williams et al. 2001 diacu dalam Dephut 2007). Gajah jantan hidup secara sendiri (soliter) atau bergabung dengan jantan lainnya membentuk kelompok jantan. Kelompok jantan memiliki daerah jelajah yang tumpang tindih atau bersinggungan dengan daerah jelajah kelompok betina atau jantan lainnya. f. Keamanan dan kenyamanan Gajah membutuhkan suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian sehingga aktivitas pengusahaan yang tinggi dan penggunaan alat-alat berat dalam penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah. 2.1.5.
Perilaku 1) Perilaku Sosial a. Hidup berkelompok Gajah hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup berkelompok yang
dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan sosial yang kuat. Perilaku
11
berkelompok ini merupakan perilaku sosial yang sangat penting peranannya dalam melindungi anggota kelompoknya. Besarnya anggota setiap kelompok dipengaruhi oleh musim dan kondisi sumber daya di habitatnya terutama pakan dan luas wilayah jelajah yang tersedia. Kelompok gajah di hutan hujan Malaysia dan Sumatera umumnya 5 - 6 ekor (Olivier 1978 diacu dalam Hariady 1992). Studi di India menunjukkan satu populasi gajah dapat terbentuk dari beberapa klan (kelompok) dan memiliki pergerakan musiman berkelompok dalam jumlah 50 - 200 ekor (Sukumar 1989 diacu dalam Dephut 2007). Gajah melakukan perjalanan untuk memenuhi kebutuhan pakan, air dan sumber mineral (garam). Pergerakan kelompok gajah ini dipimpin oleh gajah betina tua dan diikuti oleh betina lainnya serta anak-anaknya. Gajah jantan mengikuti dari belakang dengan jarak beberapa puluh meter dari kelompoknya (Lekagul dan Mc Neely 1977). Gajah jantan dewasa hanya bergabung pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina dalam kelompok tersebut. Gajah jantan tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya dan gajah jantan muda yang sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok "taman kanak-kanak" atau kindergartens. b. Menjelajah Gajah melakukan penjelajahan secara berkelompok mengikuti jalur yang tetap dalam satu tahun penjelajahan. Jarak jelajah gajah mencapai 7 km per hari dan mampu mencapai 15 km per hari ketika musim kering atau musim buahbuahan. Kecepatan gajah berjalan dan berlari di hutan (untuk jarak pendek) dan di rawa melebihi kecepatan manusia di medan yang sama. Gajah juga mampu berenang menyeberangi sungai yang dalam dengan menggunakan belalainya sebagai "snorkel" atau pipa pernapasan. c. Kawin Masa kopulasi dan konsepsi gajah terjadi sepanjang tahun. Frekuensi perkawinan mencapai puncaknya pada bulan-bulan tertentu umumnya bersamaan dengan musim hujan di daerah tersebut. Usia aktif reproduksi gajah dipengaruhi
12
oleh kondisi lingkungan, ketersediaan sumber daya pakan dan faktor ekologinya (misalnya kepadatan populasi). Gajah jantan dewasa (jarang yang betina) baik liar ataupun jinak mendapat gangguan kegilaan (maniac) secara periodik yang disebut musht. Gajah mempunyai temperamen jelek seperti berkelahi dengan jantan lain pada masa musth (Hariady 1992). Hasil sekresi berupa minyak akan terlihat keluar dari kelenjar yang terletak di tengah-tengah antara mata dan saluran telinga sebelum memasuki masa musht. Minyak ini berwarna hitam dan berbau merangsang. Gejala seperti ini datang setiap tahun atau dapat tertunda beberapa waktu. Musht terjadi 3 - 5 bulan sekali selama 1 - 4 minggu saat musim panas atau musim kering. Perilaku musht sering dihubungkan dengan musim birahi namun tidak ada bukti penunjang (Altevogt dan Kurt 1975). 2) Perilaku Individu a. Makan Gajah dewasa menghabiskan waktu 18 - 24 jam dalam satu hari untuk mencari pakan (Altevogt dan Kurt 1975). Aktivitas makan dilakukan dengan gerak berpindah tempat untuk mencapai sumber pakan. Gajah sumatera melakukan aktivitas makan pada pagi hari (pukul 4.10 WIB - 11.55 WIB) dan sore hari (15.00 WIB - 2.00 WIB) (Abdullah 2008). Gajah bukan satwa yang hemat terhadap pakan sehingga cenderung meninggalkan banyak sisa pakan apabila terdapat pakan yang lebih baik. Banyak bagian pakan yang telah direnggut oleh belalainya tidak dimasukkan ke mulut tapi hanya ditebarkan ke tempat lain atau ditaburkan ke punggungnya sendiri. Perilaku pakan seperti ini mengakibatkan kerusakan pada habitat di sekitarnya. b. Minum Aktivitas minum dilakukan siang dan malam hari ketika gajah menjumpai rawa atau sungai dalam pengembaraannya mencari sumber pakan. Gajah menggunakan belalainya untuk menghisap air dan menuangkan ke mulutnya. Gajah mampu menghisap air mencapai 9 liter dalam satu kali hisapan. Gajah akan menggunakan mulutnya untuk minum ketika berendam di sungai atau rawa dan melakukan penggalian air sedalam 50 - 100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya ketika sumbersumber air mengalami kekeringan.
13
c. Berkubang Gajah umumnya berkubang di lumpur pada waktu siang atau sore hari saat mencari minum. Gajah juga melakukan aktivitas berkubang di kolam-kolam sampai air menjadi keruh. Perilaku berkubang merupakan suatu cara untuk mendinginkan suhu tubuh dan melindungi kulit dari gigitan serangga dan ekto parasit. d. Mengasin (salt licking) Gajah mencari garam mineral saat makan ketika hari hujan atau setelah hujan turun. Gajah melakukan penggalian pada lantai hutan yang keras dengan gading dan atau kaki depannya kemudian dihisap dengan belalai. Gajah kadangkadang mengeruhkan sumber air dengan cara berguling-guling atau meruntuhkan tebing agar garam mineral larut dalam air kemudian di minum dengan mulutnya. Gajah juga sering melukai bagian tubuhnya sehingga dapat menjilat darahnya yang mengandung garam. e. Beristirahat Gajah tidak tahan terhadap kondisi panas sehingga pada siang hari gajah umumnya dijumpai di tempat yang teduh (Lekagul dan Mc Neely 1977). Gajah tidur dua kali sehari yaitu malam dan siang hari. Malam hari gajah tidur dengan merebahkan diri kesamping tubuhnya dengan menggunakan "bantal" yang terbuat dari tumpukan rumput, jika sudah sangat lelah terdengar bunyi dengkuran yang keras. Siang hari gajah tidur dengan berdiri di bawah pohon yang rindang. Perbedaan perilaku ini diperkirakan berkaitan dengan kondisi keamanan lingkungan. Gajah akan memilih tidur berdiri dalam kondisi lingkungan yang kurang aman untuk menyiapkan diri jika terjadi gangguan. 2.2.
Konflik Manusia dan Gajah (KMG) Konflik manusia dan satwaliar termasuk di dalamnya gajah menurut
Permenhut No. 48 Tahun 2008 adalah segala interaksi antara manusia dan satwaliar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi,
kebudayaan
dan
pada
konservasi
satwaliar
dan
atau
pada
lingkungannya. Konflik terjadi ketika gajah keluar dari habitatnya dan memasuki lahan pertanian serta pemukiman masyarakat.
14
Konflik manusia dan gajah merupakan konsekuensi langsung dari hilangnya habitat. Foead (2001) menjelaskan terjadinya konflik manusia dan gajah dipengaruhi oleh : 1) Kawasan
budidaya
(pertanian
atau
perkebunan)
yang
diserang
merupakan lahan hutan yang menjadi habitat gajah sehingga terjadi tumpang tindih kawasan budidaya dan daerah jelajah gajah. 2) Tidak terjadi tumpang tindih tetapi gajah yang tinggal di sekitar kawasan budidaya (pertanian atau perkebunan) lebih menyukai pakan yang tumbuh di kawasan budidaya tersebut. 3) Sumberdaya pakan tidak mencukupi kebutuhan gajah karena hutan ditebang dengan intensitas yang sangat tinggi. 4) Aktivitas manusia di dalam hutan intensitasnya tinggi sehingga gajah merasa tidak aman dan ke luar dari hutan (terutama terhadap kelompok yang memiliki anak). Gangguan satwaliar sering terjadi di desa-desa, pemukiman penduduk atau lahan perkebunan yang lokasinya berdekatan atau berbatasan dengan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional atau habitat-habitat lainnya. Lokasi kawasan budidaya seperti ini merupakan lokasi sumber pakan alternatif yang terdekat bagi satwa jika terjadi kekurangan pakan di habitat aslinya (Alikodra 1993). Dampak konflik manusia dan gajah, yaitu : 1) Kerusakan material. 2) Kerusakan moril, yaitu gangguan terhadap mental manusia seperti trauma, takut, was-was dan penurunan semangat kerja. 3) Kerusakan fisik tubuh, yaitu rasa sakit, kecelakaan ringan/berat, korban jiwa baik manusia ataupun gajah. WWF Indonesia-Program Riau bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau telah berupaya mengurangi konflik manusia dan gajah di Tesso Nilo melalui penerapan beberapa teknik salah satunya dikenal dengan nama ”Flying Squad”. Flying Squad merupakan salah satu teknik pengurangan (mitigasi) konflik manusia dan gajah dengan menggunakan gajah terlatih. Gajah terlatih digunakan untuk mengusir dan menggiring gajah-gajah liar yang ke luar dari habitatnya untuk kembali ke habitatnya.
15
Tim Flying Squad terdiri dari empat ekor gajah (dua jantan dan dua betina) beserta delapan orang pelatih (mahout). Bentuk kerja dari Tim Flying Squad yaitu patroli dengan gajah, patroli dengan kendaraan dan pengusiran gajah liar. Tim Flying Squad menggunakan alat bantu penghasil bunyi seperti meriam yang terbuat dari pipa paralon untuk membantu saat melakukan pengusiran atau penggiringan gajah. Tujuan pengoperasian Tim Flying Squad, yaitu : 1) Mengurangi gangguan gajah di masyarakat melalui pengusiran gajah agar kembali ke habitatnya dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat cara-cara pengurangan gangguan gajah. 2) Membantu pengelolaan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo melalui monitoring batas kawasan dari kegiatan pembalakan liar. 3) Mendayagunakan gajah tangkap yang dipelihara oleh pemerintah menjadi gajah Flying Squad. 4) Upaya persuasif kepada masyarakat agar memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk melindungi kawasan pertanian mereka secara swadaya. 2.3.
Penilaian Ekonomi
2.3.1.
Konsep Nilai Nilai merupakan persepsi terhadap suatu objek (barang atau jasa) pada
tempat dan waktu tertentu. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Davis (1989) mengklasifikasi nilai berdasarkan cara penilaiannya, yaitu : 1) Nilai pasar (market value), yaitu nilai yang ditetapkan melalui transaksi pasar. 2) Nilai kegunaan (value in use), yaitu nilai bagi individu tertentu (induce value). 3) Nilai sosial (social value), yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum ataupun perwakilan masyarakat.
16
2.3.2.
Penilaian Ekonomi Kerugian Bencana Penilaian (valuasi) yaitu kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan
konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa. Pendekatan dalam menilai kerugian bencana, yaitu : 1) Pendekatan pasar , yaitu dengan menggunakan pendekatan nilai pasar (based market methode). 2) Pendekatan non-pasar, yaitu menilai kerugian jiwa atau yang tidak memiliki pasar (market is non-existence). Klasifikasi kerugian bencana, yaitu : 1) Kerugian langsung, yaitu kerusakan fisik langsung akibat bencana. 2) Kerugian tidak langsung, yaitu konsekuensi dampak fisik dari suatu bencana. Tabel 4 Penilaian kerugian bencana Pengukuran 1) Pasar (market)
a. b. c. d. e. f.
2) Bukan pasar (non-market)
a. b. c.
d. e.
Kerugian Langsung Kerusakan struktur bangunan dan isinya Kerusakan kendaraan Kerusakan bangunan publik dan isinya Kerusakan infrastruktur Kehilangan tanaman dan pepohonan Biaya penanganan
Kematian dan kecelakaan Kehilangan barang-barang bersejarah Kerusakan situs-situs budaya dan peninggalan sejarah Kerusakan ekologis Kehilangan plasma nutfah
Kerugian Tidak Langsung a. Kehilangan nilai tambah karena tidak berjalannya industri, perdagangan eceran, distribusi dan jasa b. Peningkatan biaya dalam mempertahankan produksi c. Peningkatan biaya dalam penyelenggaraan alternatif layanan publik d. Peningkatan biaya perjalanan dan transportasi e. Tambahan biaya terkait dengan layanan kedaruratan selama terjadi bencana a. Gangguan kehidupan selama evakuasi b. Sakit dan kematian yang diakibatkan stress c. Trauma d. Hilangnya komunitas e. Non-use values dari kehilangan situs bersejarah dan lingkungan
Sumber : Syaukat (2008)
Sumberdaya yang hilang atau rusak akibat bencana dapat dinilai secara ekonomi melalui teknik :
17
1) Analisis Biaya - Manfaat (Benefit - Cost Analysis) Teknik ini menilai sumberdaya dengan membandingkan antara manfaat dan biaya yang terkait dengan suatu proyek/program terkait dengan intervensi sosial dalam upaya menghindari “market failure”. 2) Teknik Berdasarkan Pasar (Market Based Technique) Manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya harus dapat dibeli dan dijual di pasar. 3) Teknik Pilihan Terungkap (Revealed Preference Techniques) a. Teknik pengeluaran preventif (Preventive expenditure technique) Nilai sumberdaya dihitung dari apa yang disiapkan oleh orang atau sekelompok orang untuk pencegahan (preventif) yang menyebabkan kerusakan sumberdaya. b. Avertive behaviour technique (AB) Penghitungan nilai eksternalitas dilakukan dengan menghitung berapa biaya yang disiapkan seseorang untuk menghindari dampak negatif dari kerusakan sumberdaya. Misalnya pindah ke daerah yang kualitas lingkungannya lebih baik sehingga akan ada biaya pindah. Jika kepindahan menyangkut tempat kerja maka biaya transportasi ke tempat kerja yang baru juga merupakan biaya ekternalitas. c. Teknik biaya pengganti (Replacement cost technique) Teknik ini mengestimasi berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti kerugian hilangnya sumberdaya dengan substitusi yang lain. d. Teknik fungsi produksi (Production function technique) Sumber daya yang terkena dampak dari perubahan lingkungan merupakan input pada produksi yang memanfaatkan lingkungan tersebut. Misalnya pencemaran tanah, maka nilai panen komoditas pertanian dapat digunakan sebagai estimasi nilai sumberdaya. e. Teknik harga hedonik (Hedonic pricing technique) Pada teknik ini hubungan antara harga pasar dari barang atau jasa dengan faktor-faktor terkait sumberdaya digunakan untuk mengestimasi nilai perubahan sumberdaya.
18
f. Metode biaya pengobatan (Cost of illness) Metode ini digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakuan penderita lain, seperti perawatan di rumah sakit, perawatan selama penyembuhan, pelayanan kesehatan yang lain dan obat-obatan. Secara tidak langsung yaitu mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang menderita sakit, melalui penggandaan upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya tidak termasuk rasa sakit yang diderita dan biaya penderitaannya sendiri. Syaukat (2008) menjelaskan empat prinsip penghitungan dalam penilaian kerugian bencana. Keempat prinsip tersebut adalah : 1) Kerugian dihitung dari semua komponen masyarakat (all members of the society) bukan kerugian individual perusahaan atau rumah tangga. 2) Nilai sebenarnya (true value) bagi masyarakat digambarkan dengan menggunakan harga pasar (market prices). 3) Wilayah yang dinilai kerugian ekonominya memiliki batas-batas yang jelas. 4) Kerugian dihitung menggunakan pendekatan dengan dan tanpa bencana bukan sebelum dan sesudah bencana.