BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penelitian Terdahulu Sebuah penelitian yang baik adalah penelitian yang merujuk kepada
beberapa penelitian terdahulu yang membahas mengenai masalah yang sama dengan apa yang hendak diteliti saat ini. Penelitian terdahulu diharapkan dapat memudahkan seorang peneliti untuk menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan berkaitan dengan penelitiannya. Berdasarkan beberapa temuan, peneliti mencoba merangkum penelitian dengan kata kunci kompetensi komunikasi antarbudaya. Penelitian pertama disampaikan Freddy Kurniawan (2011) yang melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang dimiliki oleh anggota Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) baik etnis Tionghoa maupun Jawa yang mendukung keberhasilan komunikasi antarbudaya pada organisasi tersebut. Metodologi penelitian yang digunakannya deskriptif kualitatif dengan pendekatan interpretif yang mendeskripsikan dan memahami perilaku dan praktik komunikasi informan kedua etnis di PMS. Kemudian dalam menganalisis data temuan mengacu pada teori kompetensi komunikasi antarbudaya Brian H. Spitzberg dan William B. Gudykunst. Penelitian difokuskan pada hasil kompetensi, faktor penghambat dan kompetensi komunikasi antarbudaya informan dari kedua etnis. Kesimpulan penelitian menyebutkan setiap anggota PMS dari kedua etnis sudah menjalin komunikasi antarbudaya satu sama lain secara kompeten.
Universitas Sumatera Utara
11 Universitas Sumatera Utara
Etnosentrisme, stereotip dan prasangka yang dimiliki anggota PMS bukan merupakan hal yang mutlak yang dapat menjadi faktor penghambat dalam interaksi. Dengan demikian, para anggota mampu menyikapi faktor penghambat tersebut secara arif. Amia Luthfia R. Koestoer (1999) melakukan penelitian dengan metode kualitatif observasional tentang Proses Adaptasi Peserta Training dari Indonesia di Adelaide - Australia. Peneliti berpartisipasi secara aktif di dalam kehidupan sehari-hari subyek penelitian dan situasi studi untuk melihat kompetensi komunikasi subyek penelitian. Konsep kompetensi komunikasi dalam penelitian ini digunakan sebagai alat untuk mengukur kualitas komunikasi seseorang atau sekelompok orang. Dimensi effectiveness dan appropriateness digunakan untuk menilai kompetensi komunikasi subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan anggota kelompok yang belum memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik masih memerlukan bantuan anggota kelompok lain saat berinteraksi dengan orang Australia. Situasi mindful dalam berinteraksi dapat diwujudkan jika setiap orang yang terlibat di dalamnya menyadari perbedaan dan kesamaan yang mereka miliki sebagai anggota kelompok tertentu. Turnomo Rahardjo (2004) mencoba melihat bagaimana pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian membantu terciptanya proses mindful. Penelitian ini merujuk pada teori Anxiety/Uncertainty Management dari Gudykunst untuk melihat proses mengurangi kesalahpahaman dalam berinteraksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa situasi komunikasi yang mindful tercipta antara kedua kelompok etnis yang menjadi subyek penelitian karena warga kedua kelompok di wilayah penelitian memiliki kompetensi komunikasi Universitas Sumatera Utara
12 Universitas Sumatera Utara
antarbudaya yang memadai, yaitu kemampuan menyelaraskan motivasi, pengetahuan dan kecakapan sehingga mereka dapat berkomunikasi secara layak, efektif dan memuaskan. Peneliti juga menemukan stereotip dan prasangka memberikan kontribusi dalam terciptanya komunikasi yang mindful. Chang (2013) juga melihat mindfulness sebagai bagian penting dalam komunikasi antarbudaya. Penelitian yang dilakukannya menunjukkan interaksi yang paling sukses tidak semata disebabkan karena peserta kuliah mampu menulis dan berbahasa Inggris dengan baik tapi lebih disebabkan karena dalam berinteraksi mereka mempunyai kesadaran yang cukup baik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner melalui email. Ketika berinteraksi dalam konteks antarbudaya, seseorang yang terlibat di dalamnya membawa identitas etnis yang melekat dalam dirinya. Identitas etnis menjadi salah satu sumber untuk seseorang menentukan cara yang sesuai dalam berinteraksi dengan orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Arifah Armi Lubis (2010) pada mahasiswa asing di FK USU menunjukkan identitas etnis dapat berperan sebagai faktor pendorong ataupun penghambat dalam komunikasi antarbudaya. Identitas etnis ini dipengaruhi oleh jenis kelamin dan tempat tinggal subjek penelitian. Pada kasus ini, identitas etnis dipertahankan oleh subjek penelitian dengan tetap menampilkan ciri khas mereka saat berada di tengah lingkungannya. Misalnya, perempuan menggunakan baju kurung dan laki-laki tetap mempertahankan aksen melayu saat berbicara. Durovic (2008) juga melihat identitas etnis mempunyai peran penting
Universitas Sumatera Utara
13 Universitas Sumatera Utara
dalam interaksi antarbudaya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan semi-kualitatif. Kesalahpahaman dalam memberi reaksi terhadap identitas etnis menimbulkan ketidakpedulian, kejutan dan rasa marah. Keadaan ini ditanggapi secara beragam tergantung kepada pengalaman seseorang sebelumnya. Sterotip dan prasangka memengaruhi reaksi seseorang dalam mengatasi masalah tersebut. Selain memahami identitas etnis dari masing-masing individu yang terlibat dalam interaksi antarbudaya, kesadaran dalam mengerti kebiasaan unik dari setiap individu juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dalam interaksi antarbudaya. Ikeguchi (2002) melakukan penelitian kepada sejumlah orang asing yang menetap di Jepang untuk melihat reaksi mereka terhadap kebiasaan membungkuk saat berinteraksi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebiasaan tersebut menjadi salah satu penyebab kejutan budaya. Disebutkan dalam tulisannya: A common pattern observed for all the respondents in the study: bowing has been a source of culture shock to people from different cultures. Observing Japanese bowing to each other found to be a beautiful scene from an out-group member. Some subjects reported a positive reaction to watching Japanese bow during the first few months of their stay but something starts to puzzle them gradually (Ikeguchi, 2002).
Kebiasaan lain dari satu budaya yang perlu menjadi perhatian dalam interaksi antarbudaya adalah konsep kesantunan. Tao Lin (2013) mencoba mengumpulkan data untuk analisis komparatif dari konsep kesantunan dalam komunikasi verbal Cina dan Jepang. Peneliti mencoba menjelaskan fitur dari konsep kesantunan dalam komunikasi verbal Cina dan Jepang dari sudut pandang
Universitas Sumatera Utara
14 Universitas Sumatera Utara
komunikasi antarbudaya dalam masyarakat China modern dan masyarakat Jepang, karena mereka menunjukkan perbedaan yang menakjubkan dalam hubungan manusia dalam budaya yang bertetangga. Hasil penelitian menunjukkan keragaman budaya dan bahasa memberi pengaruh bagi masing-masing siswa yang menjadi responden penelitian. Kesopanan dalam interaksi antarbudaya termasuk dalam pemilihan bahasa yang digunakan dan ekspresi yang pilih untuk mengurangi konflik.
2.2.
Pendekatan Positivisme Sebuah penelitian memerlukan satu sudut pandang yang menjadi acuan,
agar penelitian tidak melahirkan sebuah kesalahan dari setiap aspek yang diteliti. Penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana proses penyampaian pesan dalam proses interaksi antara orang berbeda budaya, khususnya orang Jepang di Indonesia. Interaksi di sini tentu akan dipengaruhi oleh kebiasaan dan bahasa yang dikuasai kedua pihak yang berkomunikasi karena latar belakang budaya yang berbeda. Penelitian ini menggunakan pendekatan positivisme yang lahir dari pemikiran seorang kebangsaan Perancis di abad Sembilanbelas yang juga menemukan pemahaman tentang Sosiologi, Aguste Comte (Ritzer and Goodman, 2010: 17). Peneliti yang menggunakan pendekatan ini lebih suka menggunakan data kuantitatif dan sering menggunakan eksperimen, survey dan statistik. Pendekatan positivisme mencari kebenaran melalui langkah-langkah yang ketat, alat ukur yang tepat dan objektif serta melakukan serangkaian analisis terhadap hipotesis dalam penelitian. Pendekatan positivisme membuat jarak bagi subyek
Universitas Sumatera Utara
15 Universitas Sumatera Utara
dan obyek dalam penelitian. Secara akademik, kaidah positivism banyak memengaruhi penelitian sosial (Danandjaja, 2012: 13) Gagasan utama pendekatan positivisme di sini adalah melihat ilmu sosial sebagai sebuah metode yang terorganisir untuk menggabungkan logika deduktif dengan observasi empiris yang tepat dari perilaku individu dalam rangka menemukan dan mengkonfirmasi satu set kausal hukum probabilitas yang kemudian dapat digunakan untuk membuat prediksi pola umum dari aktivitas manusia (Neuman, 1997: 63). Pendekatan positivisme memiliki karakteristik khusus, yaitu: 1. Alasan penelitian; untuk menemukan hukum alam sehingga orang dapat memperkirakan dan mengendalikan peristiwa tertentu. 2. Sifat realitas sosial; pola yang sudah ada sebelumnya stabil atau perintah yang dapat ditemukan. 3. Sifat manusia; mementingkan diri sendiri dan rasional individu yang dibentuk oleh faktor ekstenal. 4. Peran akal sehat; jelas berbeda dan kurang berlaku daripada ilmu pengetahuan. 5. Gambaran teori; sebuah logika, sistem deduktif dari definisi yang saling berhubungan, aksioma dan hukum. 6. Penjelasan yang benar; secara logika terhubung dengan hukum dan berdasarkan pada fakta. 7. Bukti yang baik; berdasarkan pada pengamatan yang tepat dan dapat diulangi oleh yang lain.
Universitas Sumatera Utara
16 Universitas Sumatera Utara
8. Tempat untuk nilai; ilmu pengetahuan itu bebas nilai, dan nilai tidak memiliki tempat yang diharapkan saat memilih topik.
Paradigma positivisme adalah salah satu yang berakar pada ilmu fisika, menggunakan pendekatan scientific yang sistematis untuk penelitian. Hughes menyebutkan paradigma positivis melihat dunia sebagai yang berbasis pada tidak berubah, hukum-hukum universal dan pandangan bahwa segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita dapat dijelaskan oleh pengetahuan tentang hukum universal. Untuk memahami hukum universal ini kita perlu mengamati dan merekam peristiwa dan fenomena di sekitar kita dengan cara yang sistematis dan kemudian bekerja di luar prinsip dasar yang 'disebabkan' peristiwa terjadinya (Mukherji, 2010: 11). Keesing menyebutkan contoh dari proses ini dalam tindakan adalah kisah Sir Isaac Newton dan Apel. Dikatakan bahwa Isaac Newton sedang berjalan di kebun apel dan melihat buah apel jatuh lurus ke bawah ke tanah. Dia mulai bertanya-tanya tentang seberapa jauh di atas bumi gaya gravitasi memiliki efek dan mulai mengembangkan teori gravitasi (Mukherji, 2010: 11).
2.3.
Komunikasi Antarbudaya Komunikasi merupakan sebuah proses dinamis, yang di dalamnya terus
terjadi interaksi antar manusia yang saling membagi pesan dengan perannya masing-masing. Komunikasi terbagi ke dalam beberapa konsep dasar yang salah satunya merupakan komunikasi antarbudaya. Aktivitas komunikasi manusia pada
Universitas Sumatera Utara
17 Universitas Sumatera Utara
umumnya sangat terikat dengan konteks komunikasi antarbudaya karena manusia yang melakukan interaksi tersebut merupakan produk dari sebuah budaya. Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup, belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang sesuai dan tidak sesuai dengan dirinya karena di dalamnya terdapat tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai dan faktor lainnya yang diperoleh sekelompok besar orang secara turun-temurun (Lubis, 2012: 10). Budaya menuntun seseorang berperilaku dan berkomunikasi karena budaya menunjukkan siapa diri kita, bagaimana seharusnya bertindak, berpikir, berbicara dan mendengarkan (Gamble and Gamble, 2005: 39). Komunikasi
antarbudaya
terdapat
di
berbagai
aspek
kehidupan
masyarakat. Lingkungan formal dan informal juga menjadi satu tempat pertukaran kebudayaan. Setiap individu mempunyai nilai budaya yang sudah mereka miliki sejak usia dini, karena budaya itu sendiri dapat dipelajari, dibagikan ataupun diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Samovar dan Potter menyebutkan hubungan antara budaya dan komunikasi saling timbal balik masing-masing mempengaruhi dalam banyak hal. Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, menghadiri, atau mengabaikan, bagaimana kita berpikir dan apa yang kita pikirkan dipengaruhi oleh budaya kita. Budaya tidak bisa eksis tanpa komunikasi, seseorang tidak dapat berubah tanpa menyebabkan perubahan lain (Jandt dalam Eadie, 2009: 404). Salah satu kajian terdahulu yang dapat menggambarkannya adalah tulisan berikut: Penelitian mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya anggota perkumpulan masyarakat Surakarta (PMS) Etnis Tionghoa dan Jawa ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dimiliki oleh anggota PMS baik yang beretnis Tionghoa Universitas Sumatera Utara
18 Universitas Sumatera Utara
maupun Jawa yang mendukung keberhasilan komunikasi antarbudaya di tubuh organisasi tersebut. Metodologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan interpretif yang mendeskripsikan dan memahami perilaku dan praktik komunikasi informan kedua etnis di PMS. Teknik analisis data mengacu pada teori kompetensi komunikasi antarbudaya Brian H. Spitzberg dan William B. Gudykunst. Penelitian difokuskan pada hasil kompetensi, faktor-faktor penghambat, dan kompetensi komunikasi antarbudaya masing-masing informan dari kedua etnis. penulis sampai pada kesimpulan bahwa masingmasing anggota PMS baik etnis Tionghoa dan Jawa telah mampu menjalin komunikasi antarbudaya satu sama lain secara kompeten. Meskipun demikian, masih ditemukan faktor-faktor penghambat berupa etnosentrisme, stereotip, dan prasangka pada masing-masing anggota PMS. Namun, mereka berkeyakinan bahwa faktor-faktor penghambat ini bukan merupakan hal yang mutlak. Dengan demikian, mereka mampu menyikapi faktor penghambat tersebut secara arif (Kurniawan, 2011).
Perbedaan budaya antara individu yang berinteraksi adalah sebuah keharusan, karena setiap pelaku interaksi membawa nilai-nilai budaya yang dimiliki dalam kehidupan sosialnya. Perbedaan budaya ini dapat menjadi penyebab terjadinya kesalahpahaman dalam komunikasi karena individu yang terlibat dalam interaksi menganggap kepercayaan, perilaku dan sikap mereka yang bersumber dari nilai budayanya tersebut adalah normal. Komunikasi antarbudaya mempunyai ragam pengertian yang sering juga disebut
komunikasi
antarbudaya,
yang mempunyai
pengertian
berbeda.
Komunikasi antarbudaya lebih menekankan pada proses interaksi yang dilakukan oleh orang yang mempunyai latar belakang budaya berbeda, sedangkan komunikasi lintas budaya lebih menekankan pada perbandingan budaya dari kedua orang yang berinteraksi.
Universitas Sumatera Utara
19 Universitas Sumatera Utara
Berikut ini merupakan beberapa pendapat ahli yang berhasil dirangkum berkaitan dengan komunikasi lintas budaya: “The term cross-cultural communication is usually reserved for theory and research that compare specific interpersonal variables such as convertional distance, self-disclosure, and styles of conflict resolution across two or more different cultures.” "Istilah komunikasi lintas-budaya biasanya disediakan untuk teori dan penelitian yang membandingkan variabel interpersonal seperti jarak percakapan, keterbukaan diri, dan gaya penyelesaian konflik di dua atau lebih kebudayaan yang berbeda" (Griffin, 2006: 425). “Cross-cultural communication is normally thought of as communication that takes place between members of whole cultures in contact or between their cultural spokespersons or representatives. Cross-cultural communication is distinguished from intracultural communication, which occurs between people sharing a common culture, and intercultural communication, which refers to exchanges in interpersonal settings between individual from different cultures.” "Komunikasi lintas-budaya biasanya dianggap sebagai komunikasi yang terjadi antara kontak seluruh anggota budaya atau antara juru bicara budaya mereka atau perwakilan. Komunikasi lintasbudaya dibedakan dari komunikasi intra-budaya, yang terjadi antara orang-orang berbagi budaya umum, dan komunikasi antarbudaya, yang mengacu pada pertukaran dalam pengaturan interpersonal antara individu dari budaya yang berbeda" (Littlejohn and Foss, 2009: 247). Selain itu, Andrik Purwasito dalam bukunya Komunikasi Multikultural juga menyampaikan hal yang serupa dengan pernyataan di atas, terkait hal yang membedakan komunikasi antarbudaya dan komunikasi lintas budaya. Kedua konteks komunikasi tersebut mempunyai perbedaan pada kajiannya. Komunikasi lintas budaya lebih ditekankan pada analisis perbandingan fenomena satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya (Purwasito, 2003: 125). Komunikasi antarbudaya dapat secara sederhana dilihat sebagai sebuah proses interaksi yang di dalamnya terjadi pertukaran pesan antara orang berbeda budaya. Merujuk pada pengertian yang disampaikan tersebut tergambar bahwa Universitas Sumatera Utara
20 Universitas Sumatera Utara
dalam proses interaksinya terdapat ketidakpastian, karena perbedaan budaya yang dimiliki mengarah pada perbedaan tidak hanya nilai budaya semata. Perbedaan itu juga dapat berupa perbedaan pengetahuan, status sosial yang melekat pada diri, kenyamanan dan yang paling sederhana adalah bahasa yang digunakan. Seseorang yang berinteraksi dengan orang yang berada di luar budayanya dituntut untuk mempunyai kompetensi komunikasi. Seseorang yang berkompeten dalam komunikasi antarbudaya dapat dikategorikan sebagai orang yang mampu berkomunikasi secara efektif dan berhasil. Kajian yang dapat memberi gambaran bagaimana interaksi orang yang berbeda budaya salah satunya adalah penelitian berikut: Kemajuan teknologi komunikasi mempengaruhi akses berbagai budaya Korea ke Indonesia. Negara Korea dan Indonesia saling bekerjasama dalam berbagai aspek. Mahasiswa Korea yang datang ke Yogyakarta meningkat jumlahnya setiap semester. Kedatangan mereka di Yogyakarta mengakibatkan kontak antarbudaya tidak bisa dihindari sehingga perlu adanya penyesuaian atau adaptasi komunikasi antarbudaya. Perbedaan latar belakang budaya menyebabkan terjadinya kecemasan dan ketidakpastian dalam proses penyesuaian dan interaksi dengan orang-orang pribumi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penyesuaian dan adaptasi dalam komunikasi antarbudaya dan hambatan yang dihadapai mahasiswa Korea selama di Yogyakarta. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kegelisahan atau Manajemen Ketidakpastian dari William B. Gudykunst dan pendekatan komunikasi antarbudaya melalui persepsi, komunikasi verbal dan nonverbal oleh Larry A. Samovar. Analisis dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dari pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kecemasan atau ketidakpastian dialami oleh mahasiswa Korea. Selain itu, bahasa menjadi hambatan utama yang dialami dalam menyesuaikan diri dengan mahasiswa pribumi. Namun demikian, rasa saling menghargai, memahami dan rasa empati dapat meminimalkan munculnya konflik (Henny et. al., 2011: 40-48).
Universitas Sumatera Utara
21 Universitas Sumatera Utara
Saat ini penggunaan komunikasi lintas budaya dan komunikasi antarbudaya lebih berfokus pada konteks penggunaannya dalam membedakan interaksi individu yang berbeda budaya berasal dari satu negara atau mereka yang berasal dari negara berbeda. Komunikasi lintas budaya mengambil beberapa sumber variasi dari nilai budaya untuk menjadi acuan penelitian. Misalnya, jarak kekuasaan, nilai individualisme-kolektivisme, cara seseorang menilai dirinya dan bagaimana tinggi-rendahnya konteks suatu budaya. Peneliti lain, Michael H. Prosser menyebutkan bahwa dampak dari teknologi dan khususnya teknologi informasi, stabilitas budaya dan perubahan budaya, imperialism budaya dan ketergantungan budaya menjadi dasar mengkaji komunikasi lintas budaya (Littlejohn and Foss, 2009: 248). Penelitian mengenai komunikasi lintas budaya dapat mencakup beberapa aspek, salah satunya adalah komunikasi bisnis lintas budaya. Kajian ini juga mencoba melihat bagaimana proses interaksi dalam lingkup bisnis bagi orangorang yang berbeda budaya yang terlibat di dalamnya seperti penelitian di bawah ini: Kompetensi komunikasi bisnis lintasbudaya sangat diperlukan di era global ini. Kompetensi komunikasi berkaitan erat dengan sudut pandang seseorang tentang sekelompok orang tertentu (stereotip). Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh stereotip antaretnik terhadap kompetensi komunikasi bisnis di antara para pengusaha perak Jawa dan Padang di Yogyakarta dan di Padang. Penelitian ini menggunakan perspektif objektif dengan metode pengumpulan data kuantitatif, serta teknik analisis Structural Equation Model (SEM). Secara keseluruhan hasil penelitian ini memperkuat keberadaan teori Etnosentrisme, teori Komunikasi Antarbudaya Gudykunst dan Kim serta model kompetensi komunikasi antarbudaya Spitzberg. Para pengusaha perak Jawa dan Padang saling berkomunikasi dengan melibatkan budaya (nilai-nilai budaya), sosiobudaya (pengalaman antaretnik) dan psikobudaya (prasangka sosial) (Lestari et.al., 2011: 250-265). Universitas Sumatera Utara
22 Universitas Sumatera Utara
2.4.
Kompetensi Komunikasi Kegiatan berkomunikasi merupakan kegiatan yang sudah biasa dilakukan
oleh siapa saja, namun hanya sedikit dari kita yang telah menguasai kompetensi komunikasi. Kompetensi secara sederhana dilihat sebagai kemampuan seseorang yang di dalamnya terdapat keterampilan, pengetahuan dan sikap dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan tertentu sesuai dengan standar yang ada. Kompetensi komunikasi yang baik ditandai dengan adanya mindfulness dari pelaku interaksi yang pada akhirnya akan menciptakan komunikasi yang efektif. Kemampuan seseorang untuk menyampaikan pesan dengan tepat dapat disebut sebagai kompetensi komunikasi. Sedangkan kemampuan yang terdiri atas pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dalam mengelola pertukaran pesan verbal dan nonverbal yang tujuannya untuk menciptakan kesamaan memahami pesan sehingga komunikasi efektif dapat tercapai disebut kompetensi komunikasi (Samovar et. al., 2010: 460). Kompetensi komunikasi sebagai alat ukur dalam melihat kualitas komunikasi hingga dapat dikategorikan komunikasi efektif tergambar dalam penelitian berikut: “Konsep kompetensi komunikasi digunakan sebagai alat untuk mengukur kualitas komunikasi seseorang atau sekelompok orang. "Keberhasilan" (effectiveness) dan kelayakan (appropriateness) adalah dimensi yang digunakan untuk menilai kompetensi komunikasi. Jadi, kompetensi komunikasi antarbudaya melihat keberhasilan dan kelayakan komunikasi dan interaksi antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Perbedaan kompetensi komunikasi antarbudaya apakah subyek penelitian bersama-sama dengan teman sekelompoknya atau seorang diri ketika sedang berkomunikasi dengan orang Australia hanya ditemukan secara terbatas pada anggota kelompok yang kemampuan Bahasa inggrisnya lebih rendah dibandingkan anggota kelompok yang lain. Bagi mereka bantuan anggota-anggota lain dalam kelompok
Universitas Sumatera Utara
23 Universitas Sumatera Utara
sangat diandalkan untuk berkomunikasi dengan orang Australia” (Koestoer, 1999). Kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya lain dipengaruhi oleh komponen utama yang patut menjadi perhatian, seperti motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan yang cukup tentang budaya, kemampuan komunikasi yang sesuai, sensitivitas dan karakter. J. H. Turner menyebutkan kebutuhan dasar dari seseorang memotivasi diri untuk berinteraksi dengan orang lain (Gudykunst and Kim, 2003: 276). Motivasi menjadi bagian hal yang penting untuk diperhatikan karena dalam interaksi dengan orang lain agar tercipta suasana yang positif harus terlihat oleh dua pelaku komunikasi motivasi dari kedua pihak. Motivasi yang logis dan alami akan membentuk persepsi tentang keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya. Pengetahuan yang cukup tentang budaya menjadi penting karena dengan mempunyai komponen ini dengan sendirinya seseorang menyandari dan memahami peraturan, norma dan harapan yang dapat dikelompokkan dengan budaya orang-orang yang berinteraksi dengannya. Dalam usaha mencapai kompetensi dalam komunikasi, seseorang diharapkan memiliki pengetahuan konten yang meliputi pengetahuan mengenai isi pesan dan pengetahuan prosedural berkaitan dengan bagaimana proses isi pesan disampaikan dalam situasi tertentu (Samovar et. al., 2010: 462). Kemampuan komunikasi yang sesuai di sini diartikan sebagai kemampuan yang meliputi kemampuan untuk mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan sampai mengaplikasikan perilaku tertentu untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
24 Universitas Sumatera Utara
tujuan tertentu. Sensitivitas dalam berkomunikasi diperlukan sebagai salah satu syarat kompetensi lainnya karena dalam proses interaksi yang terdiri dari beberapa latar belakang budaya akan menimbulkan gesekan bila sensitivitas tidak diasah sebaik mungkin. Karakter menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai kemampuan komunikasi. Karakter menjadi dasar penilaian bagi sekelompok orang karena karakter dapat diasosiakan sebagai sifat seseorang yang terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungan. William Howel menyebutkan terdapat empat tingkatan dari kompetensi komunikasi, yaitu: 1. Unconscious Incompetence: Tidak sadar dan tidak bisa melakukan apaapa. Dimaksud tidak sadar adalah telah salah menafsirkan pesan atau perilaku komunikasi pihak lain secara tidak sadar. Sedangkan tidak bisa melakukan apa-apa adalah tidak cukup peduli dengan perilaku komunikasinya sendiri. Bentuk kompetensi ini adalah yang paling rendah dari bentuk lainnya. 2. Conscious Incompentence: Sadar dalam berkomunikasi, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Sadar adalah komunikasi yang dilakukannya tidak efektif dan seringkali terjebak pada salah paham, seperti penanganan konflik yang tidak produktif. Meskipun begitu, mampu melakukan apapun untuk memperbaikinya. 3. Conscious Competence: Sadar dalam hal berkomunikasi dan mampu melakukan sesuatu. Orang pada bentuk ini mampu mengontrol perilaku komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga menjadi komunikasi yang lebih efektif.
Universitas Sumatera Utara
25 Universitas Sumatera Utara
4. Unconscious Competence: Tidak sadar karena telah menjadi sebuah kebiasaan dan mampu melakukan sesuatu. Bentuk ini merupakan tingkatan paling tinggi dalam kompetensi komunikasi. Orang pada tingkatan ini memiliki kemampuan untuk menyatukan tindakan komunikasi menjadi bagian dari perilakunya sehari-hari. Dia tidak perlu lagi sibuk untuk mengatur perilakunya terus menerus karena secara otomatis dirinya telah menyesuaikan (Griffin, 2006: 431).
Menurut Gudykunst, mindfulness terdapat pada situasi kompetensi ketiga yaitu pada tahap seseorang sadar saat berkomunikasi dan mampu melakukan sesuatu. Orang tersebut dalam tahapan ini mampu mengontrol perilaku komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga menjadi komunikasi yang lebih efektif (Gudykunst and Foss, 2003: 40). Seorang mahasiswa Universitas Indonesia mencoba melihat bagaimana mindfulness dalam interaksi Mahasiswa Berbeda Agama. Penelitian tersebut menghasilkan gambaran sebagai berikut: Komunikasi antarbudaya yang mindful akan muncul ketika setiap pihak yang berinteraksi dapat meminimalisasikan kesalahpahaman budaya, yaitu usaha mereduksi perilaku etnosentris, prasangka, dan stereotip. Penelitian ini menemukan bahwa situasi mindful sudah mulai tercipta dalam interaksi antaragama yang dilakukan oleh para mahasiswa itu. Para mahasiswa dari pelbagai latar belakang agama telah mampu berkomunikasi antaragama dengan mindfulness pada diri mereka karena mereka telah memiliki kecakapan atau kompetensi komunikasi yang memadai. Kemampuan ini mereka dapatkan berdasarkan pengalaman interaksi antaragama yang sejak kecil. Pengalaman hidup dalam masyarakat yang multikultur ini juga membuat mereka berpandangan terbuka terhadap perbedaan yang merupakan faktor penumbuh mindfulness dalam diri mereka (Skripsi Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2006 dalam Jurnal Thesis Volume V/No.3 September – Desember 2006, hal.153). Universitas Sumatera Utara
26 Universitas Sumatera Utara
Keadaan di atas disebutkan oleh Langer (1989) sebagai suatu cara berkomunikasi
secara
menggunakan
kerangka
automatic
pilot.
Perilaku
rujukan
yang
dimiliki
orang dan
asing
dipahami
berusaha
unutk
mengevaluasinya daripada mencoba memahami perilaku tersebut. Seseorang yang mindful tidak akan melihat hasil akhir dari komunikasi yang dilaluinya, tapi mencoba untuk fokus pada proses komunikasi itu sendiri (Gudykunst and Foss, 2003: 406).
2.5.
Teori Manajemen Kecemasan dan Ketidakpastian Ahli komunikasi seperti Gudykunst, Ting-Toomey, Samovar dan beberapa
lainnya mencoba untuk memilah beberapa teori yang membahas individu dengan budaya. Mereka mencoba mengelompokkan teori antarbudaya dan lintas budaya, namun ternyata tidak mudah untuk memisahkan teori-teori tersebut. Maka kajian komunikasi antarbudaya dan lintas budaya sering menggunakan teori yang sama untuk membahas sebuah kajian. Kompetensi komunikasi antarbudaya dapat menggunakan beberapa teori yang sudah dikelompokkan ke dalam lingkup kajian lintas budaya. Teori Anxiety-Uncertainty Management dari Gudykunst, yang melihat bagaimana komunikator mengurangi kecemasan dan ketidakpastian dalam situasi lintas budaya. Selain itu, teori yang dapat membantu pemahaman tentang kompetensi komunikasi adalah teori dari Young Yun Kim tentang Adaptasi Lintas Budaya dan teori Identitas Budaya yang ditulis oleh Mary Jane Collier. Selain ketiga teori tersebut, dimensi nilai Hofstede juga dapat menjadi rujukan peneliti dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
27 Universitas Sumatera Utara
Hofstede membuat empat dimensi nilai untuk mengukur secara statistik nilai budaya suatu negara. Empat dimensi nilai ini diidentifikasi atas sifat individualism/kolektivisme, menghindari ketidakpastian, pengaruh kekuasaan dan maskulin/feminin yang merupakan hasil penelitiannya terhadap 100.000 lebih manajer dalam organisasi multinasional yang berasal dari 50 negara dan 3 daerah geografis (Samovar et. al., 2010: 236). Teori Anxiety/Uncertainty Management (AUM) dikembangkan oleh William B. Gudykunst pertama sekali pada tahun 1985 dengan perhatian awal tertuju pada proses komunikasi efektif dalam kelompok. Secara resmi teori ini diperkenalkan dengan label AUM pada tahun 1993. Pada perkembangannya teori ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks komunikasi antarbudaya. Gudykunst menjadi tertarik pada penyesuaian antarbudaya ketika beliau menjabat sebagai Spesialis Hubungan Antarbudaya dengan Angkatan Laut AS di Yokosuka, Jepang. Tugasnya terlibat pada program pelatihan penyesuaian selama tiga-hari untuk personil angkatan laut dan keluarganya serta konsultasi tentang masalah-masalah hubungan antarbudaya antara personel Jepang dan angkatan laut. Program pelatihan ini dirancang untuk membantu para peserta dalam beradaptasi dengan tinggal dan bekerja di Jepang. Melalui pengalaman sebagai Spesialis Hubungan Antarbudaya tersebut Gudykunst memutuskan untuk mengejar gelar Ph.D. dalam komunikasi antarbudaya (Gudykunst, 2002: 1). Menurut Gudykunst, satu cara awal untuk berteori dengan mengadaptasi sebuah teori yang ada sehingga teori Pengurangan Ketidakpastian (URT) dari Berger dan Calabrese dipilih sebagai titik awal karena beberapa alasan yaitu: 1)
Universitas Sumatera Utara
28 Universitas Sumatera Utara
Gudykunst menilai URT masuk akal baginya; 2) URT berfokus pada ketidakpastian (misalnya, ketidakmampuan untuk memprediksi perilaku orang lain) yang dapat dihubungkan langsung ke penyesuaian antarbudaya; dan 3) Gudykunst bisa melihat aplikasi langsung dari URT untuk meningkatkan kemampuan pendatang untuk beradaptasi dengan budaya baru. Gudykunst secara khusus riter perhatian pada riteria orang asing yang menjadi objek penelitiannya. Gudykunst menyebutkan ada perbedaan antara penyesuaian “pendatang” dan asimilasi atau akulturasi imigran atau pengungsi. “Sojourners” adalah pengunjung yang melakukan perjalanan ke budaya lain untuk tinggal selama jangka waktu tertentu (misalnya, beberapa bulan sampai beberapa tahun), tetapi tidak berniat untuk tinggal secara permanen dalam budaya tuan rumah. Imigran atau pengungsi adalah orang-orang yang melakukan perjalanan ke budaya lain dengan tujuan permanen yang berada dalam budaya itu. Tujuan yang berbeda sering menyebabkan perbedaan dalam cara pendatang dan imigran beradaptasi untuk hidup dalam budaya host (misalnya, “pendatang” umumnya tidak mengubah identitas budaya mereka, sementara imigran mungkin). Teori ini terbatas pada “pendatang” melakukan penyesuaian jangka pendek terhadap budaya tuan rumah (Gudykunst, 2002: 2). Teori AUM terbentuk berdasarkan dua buah pemikiran teori lain yang sudah diajukan sebelumnya, yaitu teori tentang pengurangan ketidakpastian dari Charles berger dan teori identitas sosial milik Henri Tajfel. Asumsi dasar teori ini membahas tentang pengalaman kecemasan (anxiety) dan ketidakpastian (uncertainty) seseorang yang muncul saat menghadapi orang asing atau bertemu orang yang berbeda budaya dengannya.
Universitas Sumatera Utara
29 Universitas Sumatera Utara
Gudykunst menyebutkan bahwa ketidakpastian itu ada pada level kognitif seseorang, sedangkan kecemasan berada di level afektif. Gudykunst coba menjelaskan pemahaman mengenai uncertainty dan anxiety melalui beberapa tulisan peneliti sebelumnya dalam bukunya Communicating with Strangers: “Uncertainty refers to our inability to predict or explain others behavior, feelings, attitudes, or values. When we reduce uncertainty about others and ourselves, understanding is possible… Anxiety refers to the feeling of being uneasy, tense, worried, or apprehensive about what might happen. It is an affective (emotional) response, not a cognitive response like uncertainty.” “Ketidakpastian mengacu pada ketidakmampuan kita untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku orang lain, perasaan, sikap, atau nilai-nilai. Ketika kita mengurangi ketidakpastian tentang orang lain dan diri kita sendiri, pengertian mungkin terjadi… Kecemasan mengacu pada perasaan gelisah, tegang, cemas, atau khawatir tentang apa yang mungkin terjadi. Ini adalah respon afektif (emosional), bukan respon kognitif seperti ketidakpastian” (Gudykunst and Kim, 2003: 13).
Teori ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana seseorang yang asing dengan budaya di sekitarnya dapat berkomunikasi secara efektif melalui manajemen mindful. Teori ini menyatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi bila dilakukan manajemen mindful pada tingkatan kecemasan dan ketidakpastian seseorang dalam proses interaksinya. Teori AUM menyatakan mindfulness sebagai kemampuan seseorang baik bagian dari sebuah kelompok maupun orang asing mengurangi kecemasan dan ketidakpastian sampai tahap optimal sehingga pada akhirnya mampu mencapai komunikasi efektif. Kecemasan muncul di tingkat afektif yang mengacu pada perasaan seperti kegelisahan, kecanggungan, kebingungan, stress yang muncul ketika seseorang mulai berhadapan dengan orang asing. Ketidakpastian menjadi Universitas Sumatera Utara
30 Universitas Sumatera Utara
satu fenomena di tingkat kognitif yang melibatkan ketidakpastian yang terduga maupun ketidakpastian yang memberi penjelasan. Langer (1989) menyebutkan bahwa jika ingin menjadi seseorang yang mindful, harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu pandangan yang dapat digunakan untuk memahami atau menjelaskan bentuk interaksi dengan orang asing (Gudykunst and Kim, 2003: 40). Sama halnya dengan teori Charles Berger yang menggunakan axiomaaxioma tertentu dalam menjelaskan bagaimana suatu hubungan, teori ini juga mempunyai 47 axioma yang berkaitan dengan bagaimana konsep diri, motivasi berinteraksi, reaksi terhadap orang asing, dan poin-poin lain yang tertera dalam bagan sebelumnya. Salah satu aksioma menyatakan peningkatan kesadaran seseorang dalam proses komunikasinya dengan orang asing, akan menghasilkan peningkatan kemampuannya untuk mengelola kecemasan dan ketidakpastian (Littlejohn and Foss, 2009: 37). Dengan kata lain, teori ini melihat bahwa kecemasan dan ketidakpastian akan muncul dalam situasi interaksi seseorang yang berbeda budaya dan mereka mencoba menguranginya dengan cara yang berbeda. Chang (2013) menyebutkan mindfulness menjadi perhatian utama untuk mencapai kompetensi komunikasi antarbudaya.
Bahkan Mindfulness tersirat
sebagai faktor penentu suksesnya komunikasi antarbudaya seseorang dalam beberapa teori lain, meskipun tidak secara khusus disebutkan. Secara sederhana, hal utama dalam teori ini dapat digambarkan dengan bagan yang menunjukkan bagaimana faktor tertentu dari individu menciptakan suasana kecemasan dan ketidakpastian. Manajemen terhadap dua situasi ini dengan maksimal oleh seorang individu akan menciptakan kompetensi
Universitas Sumatera Utara
31 Universitas Sumatera Utara
komunikasi dalam dirinya sehingga dalam interaksi dapat tercipta komunikasi yang efektif. Gambar 2.1. Bagan teori manajemen kecemasan-ketidakpastian Konsep Diri Motivasi Berinteraksi Reaksi terhadap Orang Asing Kategori Sosial Orang Asing
Manajemen Ketidakpastian
Kompetensi Komunikasi Proses Situasional Hubungan dengan Orang Asing Kepantasan Berinteraksi
Manajemen Kecemasan
Sumber (Gudykunst and Kim, 2003: 43)
Faktor yang tergambar dalam bagan menjadi acuan peneliti dalam menyusun serangkaian pertanyaan dan dasar dalam melakukan observasi lapangan. Faktor tersebut secara spesifik digambarkan dalam aksioma milik Gudykunst berikut ini: 1. Konsep diri. Aksioma 3, menjelaskan bagaimana kecemasan dalam interaksi dapat menurun dan mampu menciptakan kemampuan bagi seseorang untuk memprediksi perilaku lawan dengan akurat, apabila ketika berinteraksi dengan orang asing seseorang mampu meningkatkan harga dirinya. 2. Motivasi berinteraksi. Aksioma 9, tentang bagaimana kepercayaan diri seseorang dalam memprediksi tingkah laku orang asing berkembang atas pengaruh dari kurangnya
kecemasan.
Penurunan
kecemasan
disebabkan
oleh
Universitas Sumatera Utara
32 Universitas Sumatera Utara
meningkatnya keyakinan pada kemampuannya untuk memprediksi tingkah laku orang asing. 3. Reaksi terhadap orang asing. Aksioma 10, menyebutkan peningkatan kemampuan untuk memproses informasi kompleks tentang orang asing dapat menghasilkan penurunan kecemasan dan meningkatkan kemampuan dalam memprediksi perilaku lawan interaksi secara akurat. Aksioma 13, tentang bagaimana toleransi dan ambiguitas membawa pengaruh terhadap penurunan kecemasan dalam diri seseorang. 4. Kategori sosial orang asing. Aksioma 17, menjelaskan bagaimana kesamaan pribadi yang dirasakan seseorang terhadap orang asing dapat memengaruhi tingkat kecemasan. Artinya, ketika seseorang merasa semakin memahami kesamaan dirinya dengan orang asing dapat menurunkan kecemasan dalam diri. Keadaan ini akan meningkatkan kemampuan dirinya memprediksi perilaku lawan interaksinya dengan akurat. Aksioma 20 juga menjelaskan tentang peningkatan kemampuan seseorang dalam memahami bahwa dirinya berbagi identitas tertentu dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan akan meningkatkan kemampuannya memprediksi perilaku. 5. Proses situasional. Aksioma 26, menyebutkan bahwa kecemasan dan keakuratan dalam memprediksi perilaku dapat menurun ketika seseorang merasa mempunyai kekuatan yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
33 Universitas Sumatera Utara
6. Hubungan dengan orang asing. Aksioma 27, berfokus pada peningkatan kemampuan untuk menarik perhatian orang asing akan meningkatkan keyakinan dalam memprediksi tingkah laku karena kecemasan sudah berkurang. Aksioma 31, menekankan pada jaringan yang terbangun dengan orang asing memengaruhi tingkat kecemasan dan kemampuan memprediksi perilaku dengan akurat. 7. Etika berinteraksi. Aksioma 34, menyebutkan peningkatan inklusif moral seseorang terhadap orang asing akan menghasilkan penurunan tingkat kecemasan dalam diri.
Di dalam interaksi komunikasi antarbudaya, setiap pelaku komunikasi membawa identitas dirinya sebagai individu maupun identitas dirinya sebagai bagian dari kelompok budanyanya. Identitas seseorang terbentuk atas pengalaman sehingga disebutkan bahwa identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam. Identitas budaya terbentuk karena adanya aktivitas komunikasi antara kelompok orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda (Samovar et. al, 2010: 185).
2.5.1. Kritik untuk teori AUM Teori AUM selama perkembangannya juga mendapat beberapa kritikan dari ilmuwan yang memiliki perhatian khusus terhadap kajian komunikasi antarbudaya. Masaki Yoshitake, seorang pengajar di universitas Fukuoka Jepang
Universitas Sumatera Utara
34 Universitas Sumatera Utara
yang tertarik dengan kajian komunikasi antarbudaya salah satu orang yang menyampaikan beberapa gagasan yang mengkritik teori AUM Gudykunst. Yohitake (2002) memulai tulisannya dengan menyampaikan uraian kritik yang disampaikan oleh Griffin dan Ting-Toomey, keduanya melihat kelemahan teori dari celah yang berbeda. Griffin mengkritik kompleksitas teori AUM, dengan menyebut aksioma teori AUM dapat dipecah menjadi lebih banyak lagi. Ting – Toomey lebih berfokus pada konten salah satunya mengenai konsep kedekatan yang sangat mengacu pada konsep budaya barat. Yoshitake setuju dengan pendapat dari Griffin dan Ting – Toomey, sehingga dalam tulisannya membahas tentang fokus yang terbatas pada komunikasi yang efektif, ketergantungan yang berlebihan pada mindfulness dan bias aksioma terhadap budaya lain. Kritik terhadap teori AUM berkaitan dengan validasi terhadap teori tersebut karena memuat terlalu banyak aksioma sehingga akan sulit untuk melakukan validasi dengan analisis kualitatif. Gudykunst juga dinilai terlalu fokus melihat kesadaran dan kognisi sebagai bagian utama dalam membangun komunikasi, khususnya dalam konteks antarbudaya. Komunikasi sebagai sebuah proses tentu melibatkan banyak aspek yang diharapkan dapat menciptakan komunikasi efektif. Teori ini juga dinilai terlalu etnosentris dalam melihat proses pengiriman pesan. Gudykunst (2003) pada tahun berikutnya melalui jurnal yang sama mencoba menjelaskan apa yang menjadi kritik Yoshitake. Ada tiga masalah utama terkait kritik Yoshitake tentang teori AUM, yaitu: 1) kritik mencerminkan kurangnya pemahaman beberapa konsep sentral dalam teori AUM (misalnya,
Universitas Sumatera Utara
35 Universitas Sumatera Utara
perhatian, manajemen kecemasan/ketidakpastian). Menurut Gudykunst, penting bagi seorang kritikus memahami teori-teori sebelum mengkritiknya. 2) dalam mengkritik teori bagaimanapun harus mengevaluasi teori itu tidak menggunakan asumsi lain. 3) beberapa kritik Yoshitake tentang teori AUM didasarkan pada penalaran keliru dan salah membuat penilaian. Bagi Gudykunst tidak ada yang salah sebuah teori dikritisi, namun menurutnya adalah hal keliru ketika kemudian kritikus mencoba untuk meruntuhkan teori. Sebagian besar kritik Yoshitake menurut Gudykunst tidak beralasan, tetapi menanggapi kritik telah membuatnya sadar bahwa elaborasi dan klarifikasi diperlukan di beberapa variabel teori AUM.
2.5.2. Kelemahan Teori AUM Melalui kritik yang diajukan, maka Yip (2010) menyebutkan beberapa kelemahan dari teori AUM ini terdapat di beberapa bagian yaitu: 1. Sifat hubungan dalam komunikasi antarbudaya kurang menjadi perhatian teori ini. Teori ini kurang memperhatikan bahwa dalam hubungan yang sudah dibangun untuk jangka panjang, beberapa kesalahan dalam berkomunikasi dapat ditoleransi. 2. Tujuan dalam komunikasi antarbudaya untuk setiap budaya tidak sama dengan menggunakan efektivitas sebagai tolak ukurnya. Efektivitas komunikasi pada budaya tingkat tinggi tidak sama dengan budaya tingkat rendah. Hal ini yang menyebabkan teori ini perlu diperhatikan penggunaannya dalam menilai satu kelompok budaya.
Universitas Sumatera Utara
36 Universitas Sumatera Utara
3. Kurangnya perhatian terhadap reaksi penerima pesan menjadikan teori ini kurang tepat
untuk digunakan
dalam
menjelaskan proses interaksi
antarbudaya. Efektivitas komunikasi yang menjadi perhatian dalam teori ini sebetulnya kurang menitikberatkan pada konteks antarbudaya.
Selain pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian dalam berinteraksi, identitas budaya juga menjadi perhatian saat orang yang berbeda budaya bertemu. Identitas merupakan produk dari keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok, yang berkembang melalui proses sosialisasi atau interaksi dalam keluarga sebagai kelompok terkecil dan juga dipengaruhi budaya lain dan perkembangan pribadi (Samovar, et. al., 2010: 194). Teori identitas budaya dikembangkan untuk membangun pengetahuan mengenai proses komunikasi yang dilakukan seorang individu untuk membentuk dan menegosiasikan identitas budaya kelompok dan hubungan dalam konteks tertentu. Teori ini dikembangkan oleh Mary Jane Collier dan koleganya yang menyatakan bahwa pesan yang disampaikan seseorang ketika berinteraksi mungkin berisi beberapa jenis identitas budaya seperti sukubangsa, ras, etnik, kelas sosial, dan beberapa hal lainnya (Littlejohn and Foss, 2010: 260). Teori ini melihat pembentukan identitas adalah bagian reaksi terhadap anggapan masa lalu dan pengakuan bagian yang berkelanjutan dan dinamis dari klaim identitas, sehingga identitas budaya baik yang diakui maupun yang dianggap identitas asal itu penting. Identitas seseorang dibentuk dalam interaksi komunikatif dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
37 Universitas Sumatera Utara
Dalam pertemuan antarbudaya, harapan berbeda tentang identitas serta gaya komunikasi yang ditampilkan dapat memunculkan rasa gelisah, salah paham bahkan konflik ketika berinteraksi. Imahori dan Cupach melihat identitas budaya sebagai elemen utama dalam komunikasi antarbudaya. Sedangkan Collier menyebutkan jika ingin menghindari masalah yang berpotensi muncul saat interaksi
antarbudaya,
seseorang
sebaiknya
mengembangkan
kompetensi
antarbudaya (Samovar, et. al., 2010: 200).
2.6.
Bahasa dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Ketika seseorang berinteraksi dalam komunikasi antarbudaya ada beberapa
hal yang perlu menjadi perhatian agar tidak terjadi kesalahpahaman. Dalam melakukan interaksi komunikasi antarbudaya, seseorang yang berbeda budaya tentu tidak menggunakan bahasa yang sama, karena itu perlu adanya kewaspadaan, memperhatikan kecepatan berbicara, kosakata, memonitor umpan balik non-verbal dan melakukan pemeriksaan. Lima hal tersebut dimaksudkan untuk memperkecil terjadinya kesalahpahaman bagi kedua pihak yang berinteraksi dalam komunikasi antarbudaya sehingga sekalipun menggunakan bahasa kedua, individu yang berinteraksi dapat menemukan kesepahaman terhadap bahasa yang digunakan. Orang Jepang dalam berkomunikasi cenderung menggunakan bahasa nonverbal untuk memperkuat makna dari bahasa verbal yang disampaikan. Bagi orang Jepang bahasa tubuh sangat penting, sehingga mereka sering berharap orang yang berinteraksi dengannya dapat memahami maksud dari bahasa nonverbal
Universitas Sumatera Utara
38 Universitas Sumatera Utara
yang disampaikan tanpa bantuan bahasa verbal sekalipun (Ruben and Stewart, 2006: 331). Seorang Hisanori Kato, menuliskan pengalamannya di Indonesia dalam sebuah buku. Pengalamannya berkaitan dengan bahasa dituliskan pada prolog buku sebagai berikut: “Pertama sekali menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, saya merasa berada di sebuah tempat asing yang berbeda sekali dengan bandara Jepang…” “Orang-orang yang menyapa saya dengan bahasa yang sama sekali tidak saya pahami…” “Perlu waktu hingga bertahun-tahun sampai saya bisa berkomunikasi dan bercanda dengan mereka” (Kato, 2012). Bahasa memiliki peranan dalam sebuah interaksi yang dapat menunjukkan hubungan kekuasaan dan identitas. Satu penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana bahasa memengaruhi seseorang dalam berinteraksi. Morita menulis hasil temuannya seperti berikut ini: Fokus penelitian ini pada interaksi antarbudaya dalam sebuah universitas di Jepang berdasarkan data dari tiga survei yang melibatkan 250 responden secara total. Penulis membahas tentang kelas bahasa Inggris-menengah, masalah bahasa dan dukungan kelembagaan. Hasil penelitian menemukan bahwa meskipun kursus bahasa Inggris yang diajarkan dapat menarik lebih banyak siswa internasional, beberapa mahasiswa Jepang yang hadir, dan sebagai hasil siswa internasional mengambil kesempatan berharga untuk interaksi antarbudaya dan membatasi jaringan sosial mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan posisi dominan bahasa Jepang dalam dan di luar universitas dan kecemasan siswa Jepang tentang berbicara dalam bahasa (Morita, 2012).
Bahasa menjadi salah satu unsur budaya yang memegang peranan penting dalam sebuah interaksi. Mereka yang terlibat dalam pernikahan antarbudaya sebelumnya harus menentukan penggunaan bahasa dalam kesehariannya, dan
Universitas Sumatera Utara
39 Universitas Sumatera Utara
tidak jarang mereka memilih untuk menggunakan bahasa ketiga yang biasanya dikuasai oleh kedua pihak. Hal ini untuk memperkecil terjadinya pihak yang lebih dominan dalam membawa budayanya ke dalam lingkungan keluarganya. Keluarga menjadi salah satu pusat pengenalan budaya kepada individuindividu baru yang nantinya menjadi penentu berkembangnya kebudayaan itu sendiri atau akan hilang dimakan zaman bila tidak diterapkan dalam dirinya sendiri. Hal ini menjadi sebuah penegas bahwa antara kebudayaan dan masyarakat tidak ada celah sehingga tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya. Saat ini komunikasi sudah sangat mudah dilakukan oleh orang yang berasal dari berbagai budaya berbeda tanpa rasa takut terjadinya kesalahpahaman dalam penerimaan pesan sekalipun dengan menggunakan bahasa tertentu. Teknologi komunikasi telah membantu orang-orang berinteraksi, misalnya dengan menggunakan media internet. Internet membantu seseorang untuk mempelajari bahasa selain yang dikuasainya sehingga dengan sendirinya kemampuan komunikasi antarbudaya orang tersebut meningkat. Selain itu, penggunaan bahasa dalam dunia global menuntut adanya interpretasi dan penerjemahan satu bahasa ke bahasa lain dikarenakan pertukaran pesan baik itu tulisan ataupun lisan sudah mencakup skala internasional.
Universitas Sumatera Utara
40 Universitas Sumatera Utara
2.7.
Kerangka Konsep Kerangka konsep digunakan untuk menjelaskan gambaran masalah yang
akan diteliti dalam penelitian ini, hal ini bertujuan untuk memberi fokus pada pertanyaan yang akan diajukan dalam penelitian. Konsep penelitian dibangun dari teori yang digunakan untuk menjelaskan variabel yang diteliti (Bungin, 2005: 57). Berdasarkan uraian tersebut, kerangka konsep dalam penelitian ini kemudian dirumuskan dalam bagan di bawah ini: Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian
2.8.
Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Variabel dalam sebuah penelitian adalah suatu atribut yang mempunyai
variasi atau macam-macam nilai. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas atau disebut juga independent variable adalah variabel yang menjadi sebab perubahan atau munculnya variabel terikat atau disebut juga dependent variable.
Universitas Sumatera Utara
41 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Operasional Variabel No.
Variabel Teoritis a)
Variabel Operasional Proses Situasional: 1.
Kekuatan in-group
2.
Kehadiran in-group
Jenis Skala
b) Hubungan dengan Orang Asing: 1
Variabel (X1) Kecemasan c)
a)
2
Variabel (X2) Ketidakpastian
Variabel (Y) Kompetensi Komunikasi
Daya Tarik terhadap Orang Asing
2.
Saling ketergantungan dengan orang asing
3.
Kualitas dan kuantitas hubungan
Etika Berinteraksi: 1.
Menjaga martabat
2.
Bermoral
3.
Menghormati orang asing
Konsep Diri: 1.
Identitas Pribadi
2.
Identitas Sosial
3.
Harga Diri Kolektif
Ordinal
b) Reaksi Terhadap Orang Asing:
c)
3
1.
a)
1.
Empati
2.
Toleransi Ambiguitas
3.
Perbedaan Dasar Antarkelompok
Kategori Sosial Orang Asing: 1.
Kesamaan Pribadi yang dirasakan
2.
Memahami Perbedaan kelompok
Motivasi
b) Pengetahuan c)
Keterampilan
1. Variabel Kecemasan (X1) a) Proses Situasional Variabel ini menjelaskan orang mempunyai panduan berbeda yang mereka harapkan dapat digunakan pada situasi tertentu dalam berinteraksi Beberapa kesalahpahaman terjadi ketika orang yang mengikuti panduan tersebut beranggapan orang asing yang berinteraksi dengan mereka paham dengan panduan tersebut. Biasanya orang juga akan bereaksi dengan cara yang berbeda dengan orang asing berdasarkan situasi tertentu saat mereka Universitas Sumatera Utara
42 Universitas Sumatera Utara
berinteraksi. Pada situasi tertentu orang cenderung kurang memiliki rasa cemas saat berinteraksi dengan orang asing jika ada anggota in-groupnya. Orang yang merasa kurang memiliki kekuatan dari orang asing dalam interaksi akan merasa lebih cemas saat berinteraksi. b) Hubungan dengan Orang Asing Variabel ini menjelaskan jika orang semakin baik hubungannya dengan orang asing, kecemasan dan ketidakpastian akan lebih sedikit mereka rasakan saat berinteraksi. Hal ini muncul dari daya tarik, saling ketergantungan, tingkat kedekatan dan jumlah orang yang dikenal saat berinteraksi. c) Etika Berinteraksi Variabel ini menjelaskan dalam satu interaksi ada martabat dan rasa hormat yang menjadi bagian penting untuk diperhatikan. Kedua pihak yang terlibat dalam interaksi mengharapkan adanya aturan yang sama berlaku kepada in-group ataupun orang asing. 2. Variabel Ketidakpastian (X2) a) Konsep Diri Variabel ini menjelaskan identitas pribadi, identitas sosial dan harga diri kolektif mempengaruhi proses dalam berinteraksi. Identitas pribadi bekerja dalam konteks perilaku interpersonal, sedangkan identitas sosial bekerja ketika seseorang berusaha memprediksi perilaku antarkelompok. Kedua identitas ini membantu seseorang untuk mengelola kecemasan dan ketidakpastian ketika memprediksi perilaku saat berinteraksi. Gudykunst berasumsi, jika salah satu identitas ini terancam, seseorang akan
Universitas Sumatera Utara
43 Universitas Sumatera Utara
meningkatkan harga diri kolektifnya untuk mendapatkan interaksi yang positif. Semakin tinggi harga diri kolektif, kemampuan seseorang untuk mengelola kecemasan juga semakin baik. b) Reaksi terhadap Orang Asing Variabel ini menjelaskan dalam berinteraksi dengan orang asing seseorang cenderung bertindak lebih baik dengan menunjukkan rasa empati, toleransi terhadap kebingungan dan mengurangi kekakuan dalam sikap sosial. Jika seseorang berinteraksi dengan orang asing menunjukkan sikap kaku dan memiliki pemikiran yang tertutup dapat menyebabkan sulit terjadinya interaksi yang terbuka. c) Kategori Sosial Orang Asing Variabel ini menjelaskan bagaimana seseorang membuat kategori tertentu dengan orang asing untuk memahami dan mengidentifikasi mereka. Kategori sosial seperti agama, ras, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan atau kategori lainnya yang berguna bagi diri kita sendiri. Hal ini menjadi dasar bagi seseorang untuk menentukan cara mereka berinteraksi dengan orang
asing.
Kategori
sosial
dapat
membantu
seseorang
untuk
memprediksi perilaku orang asing akan positif atau negatif dalam interaksi. 3. Variabel Kompetensi Komunikasi (Y) a) Motivasi Motivasi menjadi bagian hal yang penting untuk diperhatikan karena dalam interaksi dengan orang lain agar tercipta suasana yang positif harus terlihat oleh dua pelaku komunikasi motivasi dari kedua pihak. Motivasi
Universitas Sumatera Utara
44 Universitas Sumatera Utara
yang logis dan alami akan membentuk persepsi tentang keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya. b) Pengetahuan Pengetahuan yang cukup tentang budaya menjadi penting karena dengan sendirinya seseorang menyadari dan memahami peraturan, norma dan harapan yang dapat dikelompokkan dengan budaya orang yang berinteraksi dengannya. Seseorang diharapkan memiliki pengetahuan konten yang meliputi pengetahuan mengenai isi pesan dan pengetahuan prosedural berkaitan dengan bagaimana proses isi pesan disampaikan dalam situasi tertentu. c) Keterampilan Keterampilan diartikan sebagai kemampuan yang meliputi kemampuan untuk mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan sampai mengaplikasikan perilaku tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
2.9.
Hipotesis Penelitian Sebuah penelitian kuantitatif mengajukan sebuah hipotesis penelitian
dengan tujuan untuk memberi arah pengujiannya atau membimbing penelitian dalam menjalankan penelitian. Hipotesis penelitian adalah suatu kesimpulan sementara dalam sebuah penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya dengan menguji data di lapangan (Bungin, 2005: 75). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini merupakan hipotesis asosiatif, yaitu hipotesis yang ingin melihat hubungan antara variabel penelitian. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
45 Universitas Sumatera Utara
H0: 1. Tidak
terdapat
hubungan
antara
pengelolaan kecemasan
dengan
kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia. 2. Tidak terdapat hubungan antara pengelolaan ketidakpastian dengan kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia. H1: 1. Terdapat hubungan antara pengelolaan kecemasan dengan kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia. 2. Terdapat hubungan antara pengeloalan ketidakpastian dengan kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
46 Universitas Sumatera Utara