BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Gagal Jantung Kongestif 2.1.1 Definisi Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien (Santoso A, 2007). Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat, mengakibatkan edema paru dan bendungan di sistem vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif (Kabo & Karim, 2002). Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer & Bare, 2002). 2.1.2 Klasifikasi Table 2.1 :ACC/AHA VS NYHA Klasifikasi Gagal Jantung Tahap ACC/AHA
Kelas Fungsional NYHA
Tahap Deskripsi
Kelas
A
Pasien berisiko tinggi mengalami Tiada gagal jantung, kerana adanya kondisi penyebab gagal jantung. Pasien tidak
perbandingan
mengalami abnormalitas struktural kelas
Deskripsi
atau
fungsional
perikardium, fungsional
miokarduim, atau katup jantung yang teridentifikasi
dan
tidak
pernah
menunjukkan tanda atau gejala gagal jantung. B
Pasien
yang
telah
mengalami I ( ringan )
Tidak
ada
batasan
penyakit jantung struktural, yang
aktifitas fisik. Aktivitas
menyebabkan gangguan jantung tapi
fisik
belum pernah menunjukkan tanda
menyebab
atau gejala gagal jantung.
palpitasi, atau dispnea,
biasa
tidak fatigue,
yang tidak semestinya C
Pasien
yang
memiliki
atau II ( ringan )
sebelumnya pernah memiliki gejala-
Sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman
gejala gagal jantung yang disebabkan
saat
penyakit jantung structural
istirahat,
aktivitas
fisik
menghasilkan
tapi biasa fatigue,
palpitasi atau dispnea II (sedang )
Keterbatasan
aktivitas
fisik. D
Pasien
dengan
penyakit
jantung IV ( parah )
struktural Tingkat lanjut dan gejala-gejala gagal jantung pada istirihat, walaupun telah
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik dengan nyaman. Gejala- gejala insufisiensi kardiak pada
diberikan terapi medis maksimal dan
istirihat. Jika aktivitas
membutuhkan intervensi khusus.
fisik dilakukan, dan rasa
ketidaknyamanan bertambah ACC / AHA = American College of Cardiology/ American Heart Association ; HF = Heart Failure ; NYHA = New York Heart Association ( Anonim, 2006). 2.1.3 Etiologi Penyebab gagal jantung kongestif dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Intrinsik: -
Kardiomiopati
-
Infark miokard
-
Miokarditis
-
Penyakit jantung iskemik
-
Defek jantung bawaan
-
Perikarditis
2. Sekunder : -
Emboli paru
-
Anemia
-
Hipertensi sistemik
-
Kelebihan volume darah
-
Asidosis metabolik
-
Keracunan obat
-
Aritmia jantung (Jan Tambayong,2000)
2.1.4 Patofisiologi Gagal jantung terjadi kerana interaksi kompleks antara faktor-faktor yang mempengaruhi kontraktilitas, afterload, preload atau fungsi relaksasi jantung dan respons neurohormonal dan hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan kompensasi sirkulasi. Menurut Mariyano H, gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skeletal, fungsi ginjal,
stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Sekitar 70% kasus disebabkan oleh disfungsi sistolik. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Beberapa mekanisme kompensasi alamiah akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup (Yasmin D.K, 2009). Hal ini menyebabkan aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor yang menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta perbaiki curah jantung. Menurut hukum FrankStarling, penambahan panjang serat menyebabkan kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat. Aktivitas jantung juga dapat terjaga dengan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin– Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide (Yasmin D.K, 2009). Namun jika hal-hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium sehingga meningkatkan volume darah. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Mariyano H, 2007). Terdapat tiga bentuk natriuretik peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat iaitu Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) yang dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan vasodilatasi dan natriuresis. Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal terbatas, responnya pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan serta bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal (Jackson G, 2000). Karena peningkatan natriuretik peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium (Santoso A, 2007). Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding
ventrikel
dan
berkurangnya
compliance
ventrikel
kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40% penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan.
2.1.5 Diagnosa a. Diagnosa gagal jantung kongestif menurut Framingham dibagi menjadi 2 yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor : Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopneu Peningkatan tekanan vena jugularis Ronki basah tidak nyaring Kardiomegali Edema paru akut Irama derap S3 Peningkatan tekanan vena > 16 cm H 2 0 Refluks hepatojugular Kriteria Minor : Edema pergelangan kaki Batuk malam hari Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum Takikardia b. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia. Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat disinggirkan. Tes darah direkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi di mulai. 2.2 Hiperglikemia 2.2.1
Definisi hiperglikemia
Glukosa dalam darah diperoleh dari makanan yang mengandung karbohidrat dari zatzat lain yang bukan karbohidrat. Definisi hiperglikemia menurut American Diabetes Association (ADA) kadar gula darah sewaktu >200 mg/dL atau kadar gula darah puasa >126mg/dL (Pakhetra R, 2010). Menurut World Health Organization (WHO) hiperglikemia adalah kadar gula darah ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L), dimana kadar gula darah antara 100 dan 126 mg/dL (6,1 sampai 7,0 mmol/L) dikatakan suatu keadaan toleransi abnormal glukosa. Hiperglikemia adalah suatu kondisi yang terjadi apabila jumlah glukosa dalam darah meningkat. 2.2.2 Etiologi hiperglikemia Penyebab dari hiperglikemia tidak diketahui dengan pasti tapi umumnya diketahui kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter yang memegang peranan penting yang lain akibat pengangkatan pankreas, pengrusakan secara kimiawi sel beta pulau langerhans. Faktor predisposisi herediter, obesitas, faktor imunologi pada penderita hiperglikemia khususnya DM terdapat bukti adanya suatu respon auto imun.
Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap sebagai jaringan asing. Pada penderita diabetes terjadi hiperglikemia karena pankreas tidak menghasilkan insulin (tipe 1) atau insulin yang dihasilkan tidak mencukupi (tipe2), (Manzella D, 2009). Penyebab hiperglikemia umumnya mencakup : Menggunakan terlalu sedikit insulin Tidak menggunakan insulin sama sekali Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan insulin yang meningkat akibat operasi, trauma, kehamilan, stress, pubertas, atau infeksi Kurang aktivitas fisik Membentuk resisten insulin sebagai akibat adanya antibodi insulin 2.2.3 Hiperglikemia Pada Keadaan Kritis Hiperglikemia yang terjadi pada keadaan kritis adalah suatu stres hiperglikemia. Awalnya stres hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa plasma lebih dari 200 mg/dL, namun setelah adanya Leuven Intensive Insulin Therapy Trial, KGD lebih dari 110 mg/dL sudah dianggap sebagai stres hiperglikemia. Hiperglikemia pada masa kritis dianggap menguntungkan karena menyediakan suplai glukosa untuk energi yang adekuat untuk organ-organ tubuh yang bergantung glukosa seperti otak, jantung dan sel-sel darah, selain itu hiperglikemia juga mengkompensasi kehilangan volume dengan meningkatkan pergerakan cairan intraseluler ke dalam kompartemen intravaskular dan membebaskan ikatan air dengan glikogen (Dewanti Y, 2010). Pada semua krisis hiperglikemia, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak
adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang
normal dan untuk mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga
membentuk lingkaran dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin kurang (Gaglia JL, 2004). 2.2.4 Patofisiologi Hiperglikemia kritis Pemeliharaan kadar glukosa plasma merupakan tanggungjawab sistem kontrol neuroendokrin. Hormon yang berperan dalam mengatur kadar glukosa darah adalah insulin, glukagon, adrenalin, kortisol dan hormone pertumbuhan. Hormon-hormon tersebut mempunyai pengaruh baik menurunkan kadar glukosa darah, yaitu insulin, maupun meningkatkan kadar glukosa darah atau disebut sebagai center regulatory system yaitu glukagon, adrenalin, hormon pertumbuhan dan kortisol. Hormonhormon yang disebutkan terakhir tergolong hormon stres (Dewi R,2003). Efek yang ditimbulkan adrenalin dalam meningkatkan gula darah adalah dengan merangsang produksi glukosa hepatik dan mampu membatasi pemakaian glukosa, melalui rangsangan terhadap mekanisme alfa dan beta adrenergik. Mekanisme alfa menghambat sekresi insulin, sehingga tidak langsung meningkatkan kadar glukosa darah, sedangkan rangsangan adrenergik beta melalui sekresi glukagon. Di samping itu, adrenalin juga mempunyai pengaruh langsung terhadap proses glikogenolisis dan glikoneogenesis hati. Pengaturan kadar glukosa darah juga terjadi melalui efek neurotransmitter simpatetik nor adrenalin yang menimbulkan hiperglikemia. Mekanismenya diduga sama dengan mekanisme adrenalin, kecuali bahawa noradrenalin dihasilkan oleh ujung akson saraf simpatik post ganglionik. Kebanyakan keadaan stres seperti keadaan hipoksia, trauma, tindakan bedah, luka bakar, hipotermi, sepsis dan infark miokard dapat mengganggu pemakaian glukosa. Disamping, kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi
glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hiperglikemia dan perubahan osmolaritas extracellular. Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormone kontrainsulin juga mengakibatkan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ßhydroxybutyrate
[ß-OHB]
dan
acetoacetate)
tidak
terkendali,
sehingga
mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik (Harthini S, 2004). Mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel akibat hiperglikemia adalah akibat penumpukan intraseluler dari spesimen oksigen reaktif (Reactive Oxygen Specimen=ROS). Kadar gula darah yang tinggi meningkatkan perbedaan potensial akibat tingginya proton pada rantai respiratori mitokondria, yang mengakibatkan perpanjangan hidup dari
superoxide generating electron transport intermediates,
sehingga terjadilah penumpukan ROS. Saat terjadi penumpukan ini, terjadi 4 mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel, yaitu: Peningkatan
pembentukan
pembentukan dari AGE
advance
glycation
end
product
(AGE):
bertentangan dengan intergritas target sel dalam
modifikasi fungsi protein atau dengan menginduksi produksi reseptor mediated dari reactive oxygen spesies, yang dapat menyebabkan perubahan pada ekspresi gen. Peningkatan aliran jalur
polyol: hiperglikemia menyebabkan peningkatan
konversi glukosa menjadi sorbitol polialkohol, bersaman dengan penurunan nicotineamid adenosine dinucleotide phosphate (NADPH) dan glutation, meningkatkan sensitivitas sel terhadap stres oksidatif. Aktivasi dari isoform protein kinase C (PKC): hiperglikemia menyebabkan peningkatan konversi glukosa menjadi sorbitol, yang dimetabolisir menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase, meningkatkan rasio NADH/NAD+. Hal
ini menyebabkan triose fosfat yang teroksidasi dan sintesis de novo dari diacylglycerol (DAG). Peningkatan DAG mengaktifkan PKC. Peningkatan aliran jalur hexosamine : pada hiperglikemia, glukosa semakin banyak memasuki hexosamine-pathway. Produk akhir dari jalur ini, UDP-Nacetylglucosamine, adalah substart yang diperlukan untuk faktor transkripsi intraseluler, yang mempengaruhi ekspresi dari banyak gen. Jalur ini berhubungan dengan disfungsi endotelial dan mikrovaskular. 2.3 Hiperglikemia dan Gagal Jantung serta Kematian Pada penderita hiperglikemia yang menetap atau berkepanjangan pada masa kritis dapat meningkatkan risiko kematian akibat gagal jantung, infark miokard, stroke iskemik, hemoragik dan lainnya yang berakhir dengan gagal fungsi organ multiple (Krinsley JS, 2004). Peningkatan kadar gula darah merusak jaringan fungsi sel beta yang bertugas mengeluarkan insulin. Kondisi ini akan menyebabkan pembuluh darah mengalami stres. Lamakelamaan akan terjadi pengerasan di pembuluh darah atau biasa disebut arteroskelerosis. Sementara itu, Singh V mengungkapkan, plak yang semakin menumpuk menyebabkan arteroskelerosis hingga menyumbat aliran. Pembuluh darah akan semakin tertekan dan mengganggu irama jantung. Plak mampu melebarkan pembuluh darah dan penggumpalan darah dan menyumbat arteri sehingga akan merusak jantung. Hiperglikemia juga menyebabkan peningkatan hormon-hormon kontra insulin yang besama-sama dengan berkurangnya produksi insulin yang akan memperburuk pemakaian glukosa oleh otot-otot jantung dan akhirnya mengurangi fungsi jantung. Stres hiperglikemia meningkatkan risiko mortalitas pada pasien baik dengan riwayat diabetes atau tanpa diabetes kerana makin tinggi frekuensi kejadian gagal jantung kongestif (Dewi, 2003).
Selain itu ada penelitian mengatakan stres hiperglikemia mungkin sebagai tanda atas luasnya kerusakan jantung. Kerusakan jantung yang lebih luas mengakibatkan lonjakan yang lebih besar hormon-hormon stres (meningkatkan glikogenolisis dan hiperglikemia) dan juga meningkatkan risiko gagal jantung kongestif dan kematian (Dewi, 2003). Selain efek positifnya, hiperglikemia yang menetap atau berkepanjangan pada masa kritis dapat meningkatkan risiko kematian akibat gagal jantung, infark miokard, stroke iskemik, hemoragik dan lainnya yang berakhir dengan gagal fungsi organ multipel. Penelitian juga ada mengemukakan kadar hiperglikemia yang dianggap berarti adalah yang menetap setelah 24 jam pertama dan akan menimbulkan mortalitas yang tinggi (Branco JS, 2005). 2.4 Kematian 2.4.1 Definisi Kematian Secara biologis, kematian didefinisikan sebagai berhentinya semua fungsi vital tubuh meliputi detak jantung, aktifitas otak, serta pernafasan (Singh et.al,2005). Kematian dinyatakan terjadi ketika nafas dan denyut jantung individu telah berhenti selama beberapa waktu yang signifikan atau ketika seluruh aktifitas syaraf di otak berhenti bekerja (Papalia et.al, 2002). Menurut Despelder dan Strickland (2005) terdapat empat komponen dari kematian yaitu universalitas, irreversibility, non functionality, kausalitas. Komponen universalitas menyatakan bahawa semua makhluk dan merupakan hal yang tidak terhindarkan bagi semua. Komponen kedua, irreversibility, menyatakan bahawa kematian bersifat final. Kematian merupakan akhir dari segalanya. Komponen nonfunctionality menekankan bahawa kematian meliputi berhentinya fungsi fisiologis atau tanda-tanda kehidupan dari setiap organ tubuh. Sedangkan komponen kausalitas menyatakan bahawa terdapat alasan atau penyebab terhadap terjadinya kematian.