BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Secara umum usaha perikanan tangkap dapat dibedakan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan, antara lain gill net, payang, dogol, pancing tonda, dll, dimana masing-masing alat tersebut mempunyai perbedaan dalam cara pengoperasiannya dalam menangkap ikan. Salah satu jenis usaha perikanan tangkap yang lumayan banyak dilakukan di Palabuhanratu Sukabumi adalah usaha perikanan tangkap pancing tonda. Pancing tonda merupakan alat tangkap ikan tradisional yang bertujuan untuk menangkap ikan-ikan jenis pelagis. Pancing tonda dikelompokan ke dalam alat tangkap pancing (Hook and Line) (Subani dan Barus 1989). Jumlah nelayan yang diperlukan untuk pengoperasian alat tangkap ini tergantung dari besar kecilnya kapal atau perahu yang digunakan. Untuk perahu berukuran kecil biasanya digunakan tenaga nelayan sebanyak 4-6 orang dengan satu orang sebagai nahkoda yang merangkap menjadi fishing master, satu orang menjadi juru mesin, 2-4 orang ABK (Anak Buah Kapal) yang masingmasing mengoperasikan satu atau lebih pancing tonda sekaligus (Gunarso 1989). Alat bantu pada alat tangkap ini adalah rumpon dan lampu yang berfungsi untuk mengumpulkan (memikat) ikan agar mendatangi rumpon pada saat malam hari (Gunarso 1989). Menurut Hermanto (1986) usaha penangkapan ikan sangat tergantung dari hasil penangkapan ikan di laut. Adapun hasil penangkapan ikan di laut oleh suatu unit usaha penangkapan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Hasil tangkapan sangat dipengaruhi antara lain oleh (1) tersedianya populasi ikan di suatu daerah penangkapan (fishing area), (2) keadaan cuaca, (3) posisi bulan terhadap bumi, dan (4) efektifitas alat tangkap yang digunakan. Menurut Taryoto dkk (1993) usaha penangkapan di Indonesia memiliki ciri armada penangkapan yang sederhana, kesederhanaan ini dapat dilihat dari ukuran perahu atau kapal, ukuran motor maupun alat tangkap yang digunakan. Kondisi demikian mengakibatkan sangat sulit untuk memperoleh hasil tangkapan
6
7
yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-hari bagi nelayan. Nelayan sendiri merupakan kelompok yang memiliki pendapatan paling rendah dibandingkan dengan kelompok lain belum dapat dihapuskan dari pikiran sebagian masyarakat. 2.1.1 Pola Usaha Perikanan Tangkap Berbeda dengan pola usaha yang lain, pendapatan dari usaha yang dilakukan oleh nelayan cenderung tidak teratur. Nelayan dalam menjalankan usahanya tidak pernah mempunyai gambaran tentang besarnya pendapatan yang akan diperoleh (Nadjib 2000). Usaha penangkapan ikan bagi nelayan merupakan seni berburu yang sulit diperkirakan hasilnya. Pada suatu saat, nelayan mempunyai pendapatan besar tetapi pada saat yang lain nelayan tidak berpenghasilan sama sekali. Usaha penangkapan ikan mempunyai tingkat ketidakpastian yang tinggi. Nelayan dapat mengalami kerugian dari penggunaan biaya operasi, resiko kehilangan perahu atau jaring pada waktu penangkapan ikan adalah sangat mungkin. Nelayan perlu melakukan berbagai macam inovasi dan diversifikasi usaha perikanan tangkap (Kusnadi 2000). Usaha penangkapan ikan yang dilakukan nelayan sangat terkait dengan penggunaan biaya operasi penangkapan yang meliputi bahan bakar, perbekalan nelayan serta es apabila dibutuhkan. Biaya operasi merupakan biaya tetap yang dikeluarkan oleh nelayan, walaupun nelayan tidak dapat memastikan perolehan hasil tangkapan yang akan diterima pada saat itu sebagai pengembalian modal usaha penangkapan ikan untuk hari esok. Penggunaan
biaya
operasi
sebagai
biaya
tetap
dalam
kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan Palabuhanratu serta hasil tangkapan yang tidak menentu menyebabkan nelayan berorientasi untuk melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan agar hasil tangkapan optimal. Biaya atau ongkos produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi. Ongkos produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua kategori, yaitu ongkos berupa pengeluaran nyata (actual cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran
8
nyata (inputed cost). Pengeluaran-pengeluaran nyata yang dikeluarkan ada yang kontan dan ada yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah bahan bakar, oli, es, pengeluaran untuk makan, untuk reparasi kapal, dan untuk biaya lain. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak kontan adalah upah/gaji awak nelayan pekerjaan yang umumnya bersifat bagi hasil dan dibayar sesudah hasil dijual. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak nyata ialah penyusutan dari perahu, mesin dan alat penangkap. Salah satu strategi dalam menganalisis ketidakpastian usaha dengan pola bagi hasil antara nelayan buruh dan pemilik berikut ini adalah analisis bagi hasil tersebut. 2.1.2 Sistem Bagi Hasil Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 tentang sistem Bagi Hasil Perikanan, yang dimaksud dengan hasil bersih bagi perikanan laut adalah hasil ikan yang diperoleh dari penangkapan yang setelah diambil dari sebagian untuk para nelayan penggarap, menurut kebiasan nelayan setempat, dikurangi dengan beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan nelayan penggarap. Usaha penangkapan ikan, sebagian besar nelayan tidak memiliki alat penangkapan ikan sendiri karena keterbatasan modal. Usaha untuk mengatasi keterbatasan modal adalah dengan mengadakan kerjasama dengan pemilik peralatan melalui cara ikatan tertentu yang tercermin dalam sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil akan terjadi saling ketergantungan antara golongan nelayan pandega dengan juragan sebagai pemilik alat tangkap (Manadiyanto dkk 1988). Menurut Manadiyanto dkk (1988) adanya Undang-Undang Sistem Bagi Hasil merupakan bukti bahwa perhatian pemerintah terhadap masalah pemerataan pendapatan adalah cukup besar. Namun perjalanan panjang Undang-Undang tersebut mungkin kurang sesuai lagi dengan keadaan di lapangan, yang telah menjalani perubahan yang cukup pesat selama kurun waktu 1964-1999.
9
2.2 Nelayan Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1, Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Menurut Satria (2002), berdasarkan penguasaan kapital nelayan dibedakan menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki sarana penangkapan ikan, seperti kapal atau perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau sekarang lebih dikenal dengan Anak Buah Kapal (ABK). Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1985 tentang perikanan, nelayan dibedakan atas nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas kapal/perahu yang diperlukan dalam usaha penangkapan ikan dilaut. Nelayan pekerja (buruh) yaitu semua orang yang sebagai satu kesatuan menyediakan tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut baik sebagai nahkoda/pandega maupun sebagai pengoprasian alat tangkap (Mubagio 1994 diacu dalam Firman 1996). Secara umum berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan maka nelayan dapat dibagi atas lima kelompok yaitu: 1) Juragan darat, yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkap ikan tetapi tidak ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil penangkapan yang diusahakan orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan. 2) Juragan laut, yaitu orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap tetapi bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut. 3) Juragan darat laut, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tagkap ikan dan dia ikut dalam operasi penangkapan. Juragan darat laut menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai unit penangkapan. 4) Buruh/pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil dari hasil tangkapan dan jarang diberi upah harian.
10
5) Anggota kelompok, yaitu orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara berkelompok. Perahu yang diusahakan adalah perahu yang diberi modal yang dikumpulkan oleh tiap anggota kelompok (Hermanto 1986). Kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran karena limbah industri maupun tumpahan minyak, dapat mempengaruhi usaha baik di bidang perikanan tangkap mau pun budidaya yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir (Dahuri 2000). 2.2.1 Rumah Tangga Nelayan Menurut BPS (1997), rumah tangga adalah orang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Pengertian makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Rumah tangga nelayan yaitu sekelompok orang yang tinggal bersama, pada umumnya disatukan oleh ikatan perkawinan dan hubungan darah yang salah satu dari anggota rumah tangganya bekerja sebagai nelayan. Tingkat sosial-ekonomi dan pendidikan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan nelayan. Tingkat kehidupan nelayan sedikit di atas pekerja migran atau setarap dengan petani kecil. Bahkan jika dibandingkan secara seksama dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan khususnya nelayan buruh kecil atau nelayan tradisional dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin (Kusnadi 2000). 2.2.2 Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Menurut Nugroho (1996), nilai pendapatan yang diterima oleh nelayan bergantung pada hasil tangkapan (produksi) dan harga dari komoditas tersebut. Jumlah hasil nelayan tergantung pada teknologi yang digunakan, dalam hal ini adalah perlengkapan sesuai dengan penangkapannya, baik motor, perahu maupun alat tangkap.
11
Menurut Biro Pusat Statistik (1993b), pendapatan dan penerimaan keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota rumah tangga ekonomi. Pendapatan itu sendiri terdiri dari: 1) Pendapatan dari upah/gaji yang mencakup upah/gaji yang diterima oleh seluruh anggota rumah tangga ekonomi yang bekerja sebagai buruh sebagai imbalan bagi pekerjaan yang dilakukan untuk suatu perusahaan, majikan, instansi tersebut baik uang maupun barang dan jasa. 2) Pendapatan dari hasil seluruh anggota rumah tangga yang berupa pendapatan kotor yaitu selisih nilai jual barang dan jasa yang diproduksinya dengan biaya produksinya. 3) Pendapatan lainnya yaitu pendapatan diluar upah/gaji yang menyangkut usaha lain dari; (a) perkiraan sewa rumah milik sendiri, (b) bunga, deviden, royalti, paten, sewa/kontrak, lahan, rumah, gedung, bangunan, peralatan, dsb, (c) buah hasil usaha (hasil usaha sampingan yang dijual), (d) pensiunan dan klaim asuransi jiwa, (e) kiriman famili/pihak lain secara rutin, ikatan dinas, beasiswa, dsb. 2.2.3 Pengeluaran Rumah Tangga Nelayan Pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jumlah aggota keluarga, komposisi umur, jenis kelamin, aktifitas sehari-hari, dan harga barang-barang (Sumardi dan Evers 1995). Masyarakat yang tergolong berpenghasilan rendah pada umumnya proporsi pengeluaran terbesarnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Sebaliknya pada golongan yang berpenghasilan tinggi lebih banyak untuk digunakan makan, berbelanja dan rekreasi. Menurut Hanafiah (1987), pos-pos atau bagian mata anggaran rumah tangga perikanan (RTP) dan rumah tangga buruh perikanan (RTBP) dibagi dalam empat kelompok masing-masing adalah sebagai berikut: 1)
Kebutuhan Pokok; pangan, sandang, pendidikan,kesehatan, penerangan rumah, dan perbaikan rumah.
12
2)
Sumbangan Sosial dan Keagamaan; upacara keagamaan, sumbagan sosial, sumbangan keamanan, pajak/IPEDA/lain-lain.
3)
Pengeluaran yang dipandang mengandung unsur pemborosan; pengeluaran untuk rokok, minuman keras, selamatan/pesta dan hiburan.
4)
Tabungan dan Bayar Hutang; sisa pendapatan yang merupakan potensi untuk “saving” dan bayar hutang. Pengeluaran rata-rata per kapita sebulan adalah rata-rata biaya yang
dikeluarkan rumah tangga sebulan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. Pengeluaran atau konsumsi rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu konsumsi makanan dan bukan makanan tanpa memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha rumah tangga atau yang diberikan kepada pihak lain (Biro Pusat Statistik 2000). Menurut Biro Pusat Statistik (1993), pengeluaran konsumsi dikelompokan menjadi pengeluaran untuk bahan makanan dan pengeluaran untuk bahan nonmakanan, yaitu: 1)
Konsumsi makanan, minuman dan tembakau, terdiri dari kelompok padipadian, ikan, daging, elur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan. Buahbuahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya serta makanan dan minuman jadi.
2)
Konsumsi untuk barang-barang bukan makanan terdiri dari perumahan, bahan bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian, alas kaki, serta brang-barang tahan lama. Nelayan dapat dikategorikan sejahtera apabila proporsi pengeluaran untuk
kebutuhan pokok sebanding atau lebih rendah dari proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok seperti pendidikan, pakaian, kesehatan, rekreasi, dan kebutuhan sosial kemasyarakatan lainnya. Sementara itu, rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok, rumah tangga tersebut dapat
13
dikategorikan sebagai rumah tangga dengan status kesejahteraan yang masih rendah (Bappenas 2000). 2.3 Tingkat Kesejahteraan 2.3.1 Penjelasan dan Ukuran Kesejahteraan Kesejahteraan adalah suatu ukuran tingkat kehidupan masyarakat yang layak di mana tingkat kesejahteraan tersebut menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dapat diukur berdasarkan variabel pendapatan, keadaan tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat, jika dilihat dari aspek tertentu. Menurut Sukirno (1985) kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai yang berbeda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Badan Pusat Statistik (2000) juga menyatakan bahwa suatu rumah tangga dapat dikatakan sejahtera apalbila : 1)
Seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan tingkat kehidupan masing-masing rumah tangga itu sendiri.
2)
Mampu menyediakan sarana untuk mengembangkan hidup sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat dengan jelas
melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga yang bersangkutan. Pengeluaran rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga selama sebulan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga dibagi dengan banyaknya jumlah anggota rumah tangga. Determinan utama dari tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menurun sehingga tingkat kesejahteraan menurun (BPS 2000).
14
Undang-Undang
No.
16
tahun
1994
tentang
Ketentuan
Pokok
Kesejahteraan Sosial dinyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (Dasmita 1998). Tinjauan atas tingkat kesejahteraan rakyat dapat pula dilihat melalui kondisi mau pun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan) adalah salahsatu kebutuhan dasar yang sangat penting selain makanan (pangan) dan pakaian (sandang) dalam pencapaian kehidupan yang layak. Rumah pada saat ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan kehidupan rumah tangga/masyarakat. Oleh karena itu, harus ditangani secara serius baik oleh instansi swasta yang berkepentingan maupun oleh pemerintah. Masih banyak masyarakat ekonomi lemah yang belum memiliki rumah yang memadai. Program yang dilaksanakan tertuang dalam program penyehatan lingkungan yang bertujuan menjaga, menciptakan serta melestarikan keadaan lingkungan yang sehat, bersih dan nyaman (Biro Pusat Statistik 1993). Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional diacu dalam Mubagio (1994), yang disebut keluarga sejahtera adalah keluarga yang: 1)
Dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama.
2)
Mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarga.
3)
Dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggotanya, berkehidupan bersama dengan masyarkat sekitar, beribdah khusyuk, disamping terpenuhi kebutuhan pokoknya.
15
Indikator Kesejahteraan Rumah Tangga yang disesuaikan dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang dipergunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dalam SUSENAS 1991. Indikator tersebut adalah: 1)
Pendapatan rumah tangga
2)
Konsumsi rumah tangga
3)
Keadaan tempat tinggal
4)
Fasilitas tempat tinggal
5)
Kesehatan anggota rumah tangga
6)
Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga medis/paramedik (termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan memperoleh obat-obatan)
7)
Kemudahan memasukan anak ke jenjang pendidikan
8)
Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi (pengangkutan)
9)
Kehidupan beragama
10) Rasa aman dari gangguan kesehatan 11) Kemudahan dalam melakukan olah raga Tingkat kesejahteraan keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1996) adalah sebagai berikut: 1)
Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kesehatan.
2)
Keluarga Sejahtera Tahap I (S-1), adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, keluarga berencana (KB), interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tingga serta kebutuhan transportasi.
3)
Keluarga Sejahtera Tahap II (S-2), yaitu keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya juga telah memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembagannya seperti menabung dan memperoleh informasi.
16
4)
Keluarga Sejahtera Tahap III (S-3), adalah keluarga yag telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan pengembangannya, akan tetapi belum dapat member kontribus maksimal terhadap masyarakat seperti secara teratur memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif di masyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan, dan sebagainya.
5)
Keluarga Sejahtera Tahap III plus (S-3+), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat (Permanasari, 1997). Berdasarkan konsep dan definisi kesejahteraan yang dikemukakan diatas,
maka dapat diketahui bahwa kesejahteraan sangat luas dan tidak semuanya dapat diukur secara kuantitatif. Ukuran lainnya yang biasa dipakai dalam menentukan tingkat kesejahteraan khusus untuk nelayan adalah Nilai Tukar Nelayan (NTN), berikut ini uraian mengenai NTN. 2.3.2 Nilai Tukar Nelayan Selama ini, upaya untuk mengukur tingkat kesejahteraan nelayan masih menggunakan indikator perubahan pendapatan nelayan. Indikator demikian menurut Basuki dkk (2001) kurang tepat dan menyesatkan untuk menggambarkan secara tepat perbaikan kesejahteraan nelayan karena belum membandingkan dengan pengeluaran nelayan untuk kebutuhan konsumsi keluarganya. Oleh karenanya, indikator yang lebih tepat adalah nilai tukar nelayan (NTN) yang mempertimbangkan seluruh penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran (expenditure) keluarga nelayan. Nilai tukar menurut Soeharjo dkk (1980) dapat digunakan untuk keperluan dua macam analisis. Penggunaan yang pertama adalah sebagai alat deskripsi (descriptive tool). Sebagai alat deskripsi konsep ini digunakan untuk menerangkan dan menjelaskan secara statistik atau indeks mengenai kecenderungan jangka pendek dan jangka panjang tentang sejarah kelakuan harga barang-barang yang
17
diperdagangkan. Penggunaan yang kedua yang sangat erat hubungannya dengan yang pertama, adalah sebagai alat untuk keperluan penetapan kebijakan (tool for policy). Menurut Basuki dkk (2001), NTN adalah rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga nelayan selama periode waktu tertentu. Pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan kotor atau dapat disebut sebagai penerimaan rumah tangga nelayan. Nilai Tukar Nelayan yang dihitung adalah merupakan gabungan dari usaha kegiatan perikanan tangkap.