BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Pengaruh Pengaruh didefinisikan menurut Badudu (2002: 849) adalah sebagai berikut : “Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari suatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang”. Dari definisi pengaruh diatas diambil kesimpulan bahwa pengaruh adalah daya yang kemudian akan membentuk sesuatu.
2.2
Auditing
2.2.1
Definisi Auditing Dalam dunia akuntan, tugas utama bagi akuntan publik adalah untuk
mengaudit laporan keuangan perusahaan. Karena hal inilah auditor atau akuntan publik memiliki kedudukan yang bersifat khusus yaitu menghasilkan opini atas pemeriksaan laporan keuangan perusahaan yang diperiksanya, apakah hasil pemeriksaan menyatakan bahwa laporan keuangan perusahaan itu sudah sesuai standar atau tidak. Agar dapat memahami secara lebih baik berikut pengertian audit menurut beberapa ahli: Menurut Arens (2010: 4) menyatakan bahwa auditing adalah “Auditing is the accumulation nad evaluation of evidance about information to determine and report on the degree of correspondence 10
11
between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independence person”. Dari penjelasan diatas dijelaskan bahwa auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.Dari teori tersebut diatas disebutkan bahwa auditing adalah suatu pengumpulan bukti dan menentukan derajat yang sesuai dan dilakukan oleh orang yang kompeten. Menurut Accounting review, vol 47 dalam Boyton (1996: 4) menyatakan bahwa auditing adalah “A systematic process of objectively obtaining and evaluating evidance regarding assertions about economic actions and events to ascertain the degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the results to interested user.” Dari pengertian diatas dijelaskan bahwa auditing adalah sebuah proses yang sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan pristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesusaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam berbagai konteks pengertian auditing menurut Tuanakotta (2011: 52) bahwa: “Auditing is analytical, not contructive, it is critical, investigative, concerned with the basis for accounting measurements and assertions”.
12
Dalam pengertian auditing bersifat analitikal, tidak bersifat menyusun atau membangun. Auditing lebih bersifat kritikal (mempertanyakan), investigatif (menyelidik), berurusan dengan dasar-dasar pengukuran dan asersi accounting. Defini auditing secara umum memiliki unsur – unsur penting yang diuraikan sebagai berikut : a. Suatu proses sistematik Auditing merupakan suatu proses sistematik, yaitu berupa suatu rangkaian langkah atau prosedur yang logis, bererangka, dan terorganisir. b. Untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif. Proses sistematik tersebut ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha, serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti – bukti tersebut. c. Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi Yang dimaksud dengan pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi di sini adalah hasil proses akuntansi. akuntansi merupakan proses pengidentifikasian, pengukuran dan penyampaian informasi ekonomi yang dinyatakan dalam satuan uang. Proses akuntansi inilah yang menghasilkan suatu pernyataan yang disajikan dalam laporan keuangan.
13
d. Menetapkan tingkat kesesuaian Pengumpulan bukti mengenai persyaratan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan
bukti
tersebut
dimaksudkan
untuk
menetapkan
kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Tingkat kesesuaian antara pernyataan dengan kriteria tersebut kemungkinan dapat dikuantifikasikan, kemungkinan pula bersifat kualitatif. e. Kriteria yang telah ditetapkan Kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan (yang berupa hasil proses akuntansi) dapat berupa: 1) Peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legislatif. 2) Anggaran atau ukuran prestasi lain yang ditetapkan oleh manajemen. 3) Prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia (generally accepted accounting principles). f. Penyampaian hasil Penyampaian
hasil
auditing
sering
disebut
dengan
atestasi
(attestation). Penyampaian hasil dilakukan secara tertulis dalam bentuk laporan audit (audit report). Atestasi dalam bentuk laporan tertulis ini dapat menaikan atau menurunkan tingkat kepercayaan pemakai informasi keuangan atas asersi yang dibuat oleh pihak yang diaudit.
14
g. Pemakai yang berkepentingan Dalam dunia bisnis, pemakai yang berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai informasi keuangan seperti: Pemegang saham, manajemen, kreditur, calon investor dan kreditur, organisasi buruh, dan kantor pelayanan pajak. 2.2.2
Pengertian Kantor Akuntan Publik Kantor akuntan publik adalah sebuah organisasi yang bertujuan untuk
mengaudit atas semua laporan keuangan. Hak legal untuk melakukan audit diberikan kepada kantor akuntan publik oleh peraturan di setiap negara bagian. Kantor akuntan publik juga memberikan banyak jasa lain kepada klien, seperti jasa pajak dan konsultasi (Arens, 2008:32). 2.2.2.1 Hirarki Kantor Akuntan Publik Dalam sebuah kantor akuntan publik terdapat hirarki yang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: (Mulyadi, 2002: 33). 1. Partner (rekan) Partner menduduki jabatan tertinggi dalam perikatan audit, bertanggung jawab atas hubungan dengan klien; bertanggung jawab secara menyeluruh mengenai
auditing.
Partner
menandatangani
laporan
audit
dan
management letter, dan bertanggung jawab terhadap penagihan fee audit dari klien.
15
2.
Manajer Manajer bertidak sebagai
pengawas audit, bertugas untuk membantu
auditor senior dalam merencanakan program audit dan waktu audit, mereview kertas kerja, laporan audit dan management letter. Biasanya manajer melakukan pengawasan terhadap pekerja beberapa auditor senior. Pekerjaan manajer tidak berada di kantor klien, melainkan di kantor auditor, dalam bentuk pengawasan terhadap pekerjan yang dilaksanakan para auditor senior. 3. Auditor Senior Auditor senior bertugas untuk melaksanakan audit, bertanggung jawab untuk mengusahakan biaya audit dan waktu audit sesuai dengan rencana: bertugas untuk mengarahkan dan mereview pekerjaan auditor junior. Auditor senior biasanya akan menetap di kantor klien sepanjang prosedur audit dilaksanakan. Umumnya auditor senior melakukan audit terhadap satu objek pada saat tertentu. 4. Auditor Junior Auditor junior melaksanakan prosedur audit secara rinci, membuat kertas kerja untuk mendokumentasikan pekerjaan audit yang telah dilaksanakan. Pekerjaan
ini
biasanya
dipegang
oleh
auditor
yang
baru
saja
menyelesaikan pendidikan formalnya disekolah. Dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai auditor junior, seorang auditor harus belajar secara rinci mengenai pekerjaan audit. Biasanya ia melaksanakan audit di berbagai jenis perusahaan. Ia harus banyak melakukan audit di lapangan
16
dan di berbagai kota, sehingga ia dapat memperoleh pengalaman banyak dalam menangani berbagai masalah audit. Auditor junior sering juga disebut dengan asisten auditor. 2.2.3
Jenis Audit Dalam auditing terdapat beberapa jenis audit yang dilakukan, jenisnya
antara lain adalah (Arens, 2008:16-18): 1. Audit Laporan Keuangan Audit Laporan Keuangan bertujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan secara keseluruhan-yang merupakan informasi terukur yang akan diversifikasi- telah disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. 2. Audit Operasioanal Audit Operasional merupakan penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan efektifitasnya. 3. Audit Complience Audit yang dilaksanakan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit mengikuti prosedut, aturan, dan ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi.
17
2.2.4
Standar Auditing Standar auditing adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang
merupakan pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit (Mulyadi, 2002:16). Dalam auditing standar yang berlaku umum dibagi dalam beberapa fase yaitu (Arrens, 2008: 43): a. Standar Umum 1) Audit harus dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kecakapan teknis yang memadai sebagai seorang auditor. 2) Auditor harus mempertahankan sikap mental yang independen dalam semua hal yang berhubungan dengan audit. 3) Auditor
harus
menerapkan
kemahiran
profesional
dalam
melaksanakan audit dan menyusun laporan. b. Standar Pekerjaan lapangan 1) Auditor harus merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua asisten sebagai mana mestinya. 2) Auditor harus memperoleh pemahaman yang cukup mengenai entitas serta lingkungannya, termasuk pengendalian internal, untuk menilai risiko salah saji yang material dalam laporan keuangan karena kesalahan atau kecurangan, dan untuk merancang sifat, waktu, serta luas prosedur audit selanjutnya. 3) Auditor harus memperoleh cukup bukti audit yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki dasar yang layak
18
untuk memberikan pendapat menyangkut laporan keuangan yang diaudit. c. Standar Pelaporan 1) Auditor harus merencanakan dalam laporan auditor apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2) Auditor harus meng identifikasian dalam laporan auditor mengenai keadaan dimana prinsip-prinsip tersebut tidak secara konsisten diikuti selama periode berjalan jika dikaitkan dengan periode sebelumnya. 3) Jika auditor menetapkan bahwa pengungkapan yang informatif belum memadai, auditor harus menyatakannya dalam laporan auditor. 4) Auditor harus menyatakan pendapat mengenai laporan keuangan, secara keseluruhan, auditor harus menyatakan alasan-alasan yang mendasarinya dalam laporan auditor. Dalam semua kasus, jika nama seorang auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, auditor ahrus menunjukan sifat pekerjaan auditor, jika ada, serta tingkat tanggung jawab yang dipikul auditor, dalam laporan auditor. 2.2.5
Proses Auditing Tahap-tahap dalam pelaksanaan proses audit menurut Mulyadi (2002: 56)
meliputi:
19
a. Penerimaaan penugasan audit Langkah awal pekerjaan audit atas laporan keuangan berupa pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak penugasan audit dari klien berulang. Terdapat enam langkah yang harus ditempuh auditor dalam mempertimbangkan penerimaan penugasan audit dari calon kliennya, yaitu: 1) Mengevaluasi integritas manajemen. 2) Mengidentivikasi keadaan khusus dan risiko luar biasa. 3) Menilaikompetensi untuk melakukan audit. 4) Mengevaluasi independen. 5) Menentukan kemampuan untuk menggunakan kecermatan dan keseksamaan. 6) Membuat surat penugasan audit (engagement letter) b. Perencanaan audit Dalam perencanaan audit terdapat delapan tahap yaitu: 1) Memahamani bisnis dan industri klien. 2) Melaksanakan prosedur analitik. 3) Mempertimbangkan tingkat materialitas awal. 4) Mempertimbangkan risiko bawaan. 5) Mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi terhadap saldo awal, jika penugasan klien berupa audit tahun pertama. 6) Mengembangkan strategi audit awal terhadap asersi signifikan.
20
7) Mereview informasi yang berhubungan dengan kewajibankewajiban klien. 8) Memahami struktur pengendalian internal klien. c. Pelaksanaan Pengujian Audit Pada tahap ini disebut juga dengan pekerjaan lapangan. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh bukti audit tentang efektivitas struktur pengendalian internal klien dan kewajiban laporan keuangan klien. Secara garis besar, pengujian audit dibagi menjadi tiga, yaitu ; 1) Pengujian analitik (analytical test) 2) Pengujian pengendalian (test of control) 3) Pengujian substansif (substantif test) d. Pelaporan audit Dalam proses audit langkah terakhir dari suatu pemeriksaan auditor adalah penerbitan laporan audit. Untuk itu auditor perlu menyusun laporan keuangan auditan (audit Financial Statement), penjelasan laporan keuangan (notes to financial statement) dan pernyataan pendapat auditor. 2.3
Auditor
2.3.1
Definisi Auditor Dalam suatu kantor akuntan publik terdapat seorang auditor yang akan
melakukan proses audit. Ada berberapa pengertian mengenai auditor dari beberapa ahli akuntansi.
21
Auditor menurut Zuhrawaty (2009) dalam ISO 19011:2002 adalah “Orang yang memiliki kompetensi untuk melakukan audit. selain persyaratan kompetensi dan pendidikan, ada sifat yang harus dimiliki oleh auditor yaitu yang berhubungan dengan prinsip”. 2.3.2
Jenis Auditor Orang
atau
kelompok
auditor
yang
melaksanakan
audit
dapat
dikelompokan menjadi tiga golongan yaitu: a. Auditor independen Auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuatnya oleh klien. b. Auditor Pemerintah Auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggung jawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan atau pertanggung jawaban yang ditujukan kepada pemerintahan. c. Auditor intern Auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun
perusahaan
swasta)
yang
tugas
pokonya
adalah
menentukan apakah kebijakan dari prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan
22
keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. 2.4 Skeptisme Profesional (Professional skepticsm) Seorang auditor dengan disipilin yang tinggi akan menerapkan sikap skeptisme profesional, tidak akan terpaku pada data data yang ada secara langsung dan akan memilah dan mencari secara lebih mendalam. 2.4.1
Definisi Skeptisme profesional Menurut SPAP (2011,230.2) mendefinisikan skeptisme profesional adalah
sebagai berikut: “Skeptisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit”. Seorang auditor dituntut oleh profesi akuntan publik untuk melaksanakan dengan cermat dan seksama, dengan maksud baik dan integritas, pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif. Dengan menggunakan sikap skeptisme profesional seorang auditor tidak harus puas dengan bukti yang kurang persuasif karena keyakinan bahwa manajemen adalah jujur. Penggunaan sikap skeptisme profesional auditor dapat digunakan ketika auditor menelaah bukti-bukti yang sudah ada, lalu mendeteksi tanda-tanda kecurangan yang terlihat atau yang dirasakan. Menurut IFAC dalam Tuanakota (2011: 78) mendefinisikan skeptisme profesional atas bukti audit dalam konteks sebagai berikut: “Skepticism means the auditor makes a critical assesment, with a questioning mind, of the validity of audit evidance obtained and is alert to audit evidance that contradicts or brings into question the reliability of
23
documents and responses to inquiries and other information obtained from management and those charged with governance” (ISA 200.16). Dari kutipan diatas skeptisme adalah auditor membuat assesment kritis, dengan pikiran yang mempertanyakan, validitas audit buktinya diperoleh dan waspada untuk mengaduit buktinya yang bertentangan atau membawa mempertanyakan keandalan dokumen dan tanggapan terhadap pertanyaan dan informasi lainya yang diperoleh dari manajemen dan orang yang bertanggung jawab. Skeptisme profesional harus dimiliki oleh semua auditor terlebih Lagi ketika melakukan proses audit. Dalam IAI 2000, SA seksi 230; AICPA 2002, AU 230 yang dikutip pada penelitian Noviyanti (2008) menjelaskan setiap auditor dituntut memiliki sikap skeptisme profesional terutama pada saat memperoleh dan mengevaluasi bukti audit. Auditor tidak boleh mengasumsikan begitu saja manajemen adalah tidak jujur tetapi auditor juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya jujur. Pada ISA No. 200 (IFAC 2004) menjelaskan bahwa auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan sikap skeptisme profesional, dengan mengakui bahwa ada kemungkinan terjadinya salah saji dalam laporan keuangan. Skeptisme profesional (Professional scepticism) dijelaskan oleh Messier (2005:108) adalah “Skeptisme profesional adalah tingkah laku yang melibatkan sikap yang selalu mempertanyakan dan penentuan kritis atas bukti audit”. Dalam
pengertian
skeptisme
profesional
dijelaskan
pula
pada
(IAASB,2009) International Standard on Auditing bahwa skeptisme profesional
24
adalah sikap yang meliputi pikiran yang selalu bertanya-tanya (questioning mind), waspada (alert), terhadap kondisi dan keadaan yang mengindikasikan adanya kemungkinan salah saji material yang disebabkan oleh kesengajaan atau kesalahan dan penilaian (assesment) bukti-bukti audit secara kritis. Dari penjelasan diatas sikap skeptisme profesional mencerminkan sikap selalu bertanya-tanya, waspada, dan kritis dalam melakukan seluruh prosedur audit. Skeptisme profesional sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas audit yang diberikan oleh auditor. Karena sikap profesional skeptisme seorang auditor akan lebih berinisiatif untuk mencari informasi lebih lanjut dari manajemen mengenai keputusan-keputusan yang akan diambil, dan menilai kinerjanya sendiri dalam menggali bukti-bukti audit yang mendukung keputusankeputusan yang diambil oleh manajemen tersebut. Auditor diharuskan untuk menerapkan skeptisme profesional dalam mengevaluasi bukti audit.dengan begitu auditor tidak menerima bukti-bukti audit tersebut apa adanya, tetapi juga memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, seperti bukti yang diperoleh dapat menyesatkan, tidak lengkap, atau pihak yang menyediakan bukti tidak kompeten bahkan sengaja menyediakan bukti-bukti yang menyesatkan atau tidak lengkap. Semakin tinggi risiko audit atau semakin besar risiko salah saji material, maka auditor perlu menerapkan skeptisme profesional yang tinggi juga (Financial Reporting Council, 2010). 2.4.2
Unsur-unsur Profesionnal Scepticism Unsur unsur dalam Profesional skepticism menurut definisi IFAC ada 6
macam (Tuanakotta, 2011: 78) yaitu:
25
a. A critical assesment Dalam IFAC menjelaskan bahwa unsur profesional skepticism adalah a critical assement yang dimaksudkan Ada penilaian yang kritis, tidak menerima begitu saja. b. With a questioning mind Dalam IFAC dijelaskan dengan cara berfikir yang terus-menerus bertanya dan mempertanyakan. c. Of the validity of audit evidance obtained Dalam IFAC menjelaskan bahwa auditor harus mensahihkan dari bukti audit yang didapat atau diperoleh. d. Alert to audit evidance that contradicts Dalam IFAC dijelaskan bahwa auditor diharuskan untuk waspada terhadap bukti audit yang kontradiktif. e. Brings into question the reliability of document and responses to inquiries and other information Dalam IFAC menjelaskan bahwa auditor harus terus mempertanyakan keandalan dokumen dan jawaban atas pertanyaan serta informasi lain. f. Obtained from management and those charged with governance Dalam IFAC menjelaskan data yang diperoleh dari manajemen dan mereka yang berwenang dalam pengelolaan (perusahaan). 2.4.3 Karakteristik Skeptisme Profesional Menurut hurt et al, 2010 dalam Alwee (2010) karakteristik skeptisme profesional dibentuk oleh beberapa faktor, seperti:
26
1) Memeriksa dan Menguji Bukti (Examination of Evidence) Karakteristik yang berhubungan dengan pemeriksaan dan pengujian bukti (examination of evidence) terdiri dari questioning mind, suspension on judgment, dan search for knowledge. 2) Memahami Penyedia Informasi (Understanding Evidence Providers) Karakteristik yang berhubungan dengan pemahaman akan penyedia informasi (understanding evidence providers) adalah interpersonal understanding. 3) Mengambil Tindakan atas Bukti (Acting in The Evidence) Karakteristik yang berhubungan dengan pengambilan tindakan atas bukti (acting in the evidence) adalah self confidence dan self determination. a. Questioning Mind Adalah karakter skeptis sesorang untuk mempertanyakan alasan, penyesuaian, dan pembuktian akan sesuatu. Karakteristik skeptis ini bentuk dari beberapa indikator : a) Menolak suatu
pernyataan atau statement tanpa pembuktian yang
jelas. b) Mengajukan banyak pertanyaan untuk pembuktian akan suatu hal. b. Suspension on Judgment Adalah karakter skeptis yang mengindikasikan seseorang butuh waktu lebih lama untuk membuat pertimbangan yang matang, dan menambahkan informasi tambahan untuk mendukung pertimbangan tersebut.
27
Karakter skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator : a) Membutuhkan informasi yang lebih lama. b) Membutuhkan waktu yang lama namun matang untuk membuat suatu keputusan. c) Tidak akan membuat keputusan jika semua informasi belum terungkap. c. Search for Knowledge Adalah karakter skeptis seseorang yang didasari oleh rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi. Karakeristik skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator : a) Berusaha untuk mencari dan menemukan informasi baru. b) Adalah sesuatu yang menyenangkan jika menemukan hal – hal yang baru. c) Tidak akan membuat keputusan jika semua informasi belum terungkap. d. Interpersonal Understanding Adalah karakter skeptis seseorang yang dibentuk dari pemahaman tujuan, motivasi, dan integritas dari penyedia informasi. Karakter skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator: a) Berusaha untuk memahami perilaku orang lain. b) Berusaha untuk memahami alasan mengapa seseorang berperilaku.
28
e. Self Confidence Adalah sikap seseorang untuk percaya diri secara profesional untuk bertindak atas bukti yang sudah dikumpulkan. a) Percaya akan kapasitas dan kemampuan diri sendiri. f. Self Determination Adalah sikap seseorang untuk menyimpulkan secara objektif atas bukti yang sudah dikumpulkan. Karakter skeptis ini bentuk dari beberapa indikator : a) Tidak langsung menerima atau membenarkan pernyataan dari orang lain. b) Berusaha untuk mempertimbangkan penjelasan orang lain. c) Menekankan
pada
suatu
hal
yang
bersifat
tidak
konsisten
(inconsistent). d) Tidak mudah untuk dipengaruhi oleh orang lain atau suatu hal. 2.5
Pengalaman Auditor (Experience Auditors) Seorang auditor dalam karirnya bekerja akan menambahkan suatu
pengalaman baru ketika mereka sudah selesai melakukan proses audit. Pengalaman diartikan sebagai pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu yang diperoleh lewat keterlibatan atau berkaitan dengannya selama periode tertentu (Wikipedia, 2014), pengalaman sendiri menurut Badudu (2002:26) yaitu “Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani, dirasai, ditanggung dan sebagainya”.
29
Dari pengertian diatas pengalaman adalah sesuatu atau keterampilan tentang sesuatu yang didapatkan dari kejadian yang dialami dan sudah pernah dijalani dan dirasakan pada suatu periode waktu tertentu. Menurut Agoes (2012:33) menjelaskan mengenai pengalaman auditor adalah : “Pengalaman auditor adalah auditor yang mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari system akuntansi yang mendasar”. Pengalaman audit pun dijelaskan oleh Mulyadi (2002:24) adalah “Pengalaman auditor merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh dari interaksi”. Menurut SPAP (2011: 210.1) pada standar umum pertama PSA no. 4 menjelaskan bahwa “Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor”. Standar umum pertama ini menegaskan bahwa berapapun tingginya kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar auditing ini, jika ia tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing. Dalam melaksanakan audit untuk suatu pernyataan, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditing, pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam
30
praktik audit. Untuk memenuhi persyaratan auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup. Pelatihan ini mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Arens & Loebbeck (2003:21) mengungkap bahwa: “Seorang auditor dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti oleh kliennya”. Pengalaman sendiri dijelaskan dalam SK Menteri Keuangan dalam Mulyadi (2002:25) menjelaskan bahwa “Jika seseorang memiliki karir sebagai akuntan publik, ia harus lebih dahulu mencari pengalaman profesi dibawah pengawasan akuntan senior yang lebih berpengalaman. Disamping itu, pelatihan teknis yang cukup mempunyai arti pula bahwa akuntan harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha dan profesinya, agar akuntan yang baru selesai menempuh pendidikan formalnya dapat segera menjalani pelatihan teknis dalam profesinya, pemerintah menisyaratkan pengalaman kerja sekurang kurangnya tiga tahun sebagai akuntan dengan reputasi baik dibidang audit bagi akuntan yang ingin memperoleh izin praktik dalam profesi akuntan publik (SK Menteri Keuangan No.43/KMK.017/1997 tanggal 27 januari 1997).” Menurut Puri (2011:34) menjelaskan pengalaman yang dibutuhkan oleh auditor ialah: “Pengalaman yang dibutuhkan auditor dalam tugas auditnya antara lain: pengalaman umum (General Experience), pengalaman tentang industri (Industry Experience), dan pengalaman tentang tugas audit tertentu (TaskSpecific Experience) Dari pengertian diatas dijelaskan mengenai pengalaman yang dibutuhkan oleh auditor: 1.
General experience Pengalaman umum ini didapat oleh auditor yang bekerja di kantor akuntan publik tersebut.
31
2.
Industry experience Pengalaman ini tentang industri ini didapat dari lamanya auditor mengaudit industri klien tertentu.
3.
Task-specific experience Pengalaman tentang tugas audit diperoleh dari lamanya auditor mengikuti jenis penugasan audit tersebut.
Pengalaman auditor dijelaskan juga oleh Bedard dan Chi dalam penelitian Gaballa dan Zhou (2010:169) menjelaskan bahwa: “The professional experience is the power which can be obtained by the practice over time from past experiences and direct feedback and the general knowledge which lead to accomplish the task with high quality” Kutipan diatas menjelaskan bahwa pengalaman profesional adalah suatu kekuatan yang dapat diperoleh dengan cara praktek dari waktu ke waktu dari pengalaman masa lalu dan umpan balik langsung dan pengetahuan umum yang mengarah untuk menyelesaikan tugas dengan kualitas yang tinggi. Dari pengalaman yang didapat, seseorang dapat belajar dari kesalahankesalahannya yang mereka lakukan di masa lalu. Sehingga nanti kedepannya kinerja dalam melakukan tugas akan bertambah. (Gaballa dan Zhou, 2010:169) Penjelasan mengenai pengalaman audit pun dikemukakan oleh Ashton (1991) adalah: “Auditor’s experience of the auditor or accountant examiners to learn from past events relating to the intricacies of an audit or examination.”
32
Dari kutipan diatas dijelaskan bahwa pengalaman auditor merupakan kemampuan yang dimiliki auditor atau akuntan pemeriksa untuk belajar dari kejadian-kejadian masa lalu yang berkaitan dengan seluk-beluk audit atau pemeriksaan. Pada penelitian ini menggunakan indikator yang digunakan oleh Kalbers dan Forgaty (1993) yang mengemukakan bahwa pengalaman terdiri dari berapa lama masa kerja dan frekuensi tugas lalu menambah satu indikator pada penelitian Bawono dan Elisha (2010:4) dan juga sesuai dengan dikemukakan oleh Mulyadi (2002:25) yaitu pelatihan teknis/ Profesi, maka indikator yang digunakan adalah: 1. Lamanya bekerja Dalam penjelasan Mulyadi diatas menyatakan bahwa seorang auditor sekurang kurangnya bekerja sebagai akuntan publik selama sekurang kurangnya 3 tahun. Lamanya bekerja menjadi salah satu indikator dalam pengalaman auditor dijelaskan pada(SK Menkeu No. 17/PMK.01/2008) mengenai jasa yang diberikan oleh akuntan publik yaitu: “Seorang akuntan publik harus memiliki pengalaman praktik di bidang audit umum atas laporan keuangan yang paling sedikit 1000 (seribu) jam dalam 5 (lima) tahun terakhir dan paling sedikit 500 (Lima Ratus) jam diantaranya memimpin dan/ atau mensupervisi perikatan audit umum yang disahkan oleh Pemimpin/Pemimpin Rekan KAP”. Dari ketentuan diatas dijelaskan bahwa menjadi seorang auditor yang berpengalaman harus memiliki 5 tahun atau paling sedikit 500 jam dalam masa kerjanya sebagai auditor.
33
Menurut American Accounting Association (AAA) dalam Guy (2002:18) yaitu “Mensyaratkan pengalaman tertentu biasanya satu/dua tahun pengalaman praktik, pengalaman praktik sebagai pengalaman kerja dengan kantor akuntan publik”. Dari beberapa penjelasan lama waktu bekerja auditor akan menambah keahlian mereka dari segi praktik atau bidang hal lainnya. 2. Pelatihan teknis/ profesi Menurut ISO (9001:2008) menjelaskan bahwa memahami cara membuat perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan pelaporan atas audit sistem manajemen mutu yang berpendekatan proses, termasuk mampu untuk mengumpulkan dan menganalisa temuan, dan membuat kesimpulan berdasarkan observasi sesuai kriteria audit. Dalam peraturan menteri keuangan (SK Menkeu No. 17/PMK.01/2008) mengenai jasa akuntan publik menyebutkan pada pasal 5 poin b yaitu: “Seorang akuntan publik harus memiliki sertifikasi tanda lulus ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) yang diselenggerakan oleh IAPI”. Dari keterangan diatas diambil kesimpulan bahwa seorang auditor akan lebih memiliki pengalaman yang berkualitas jika mengikuti pendidikan lanjutan atau pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh organisasi yang menyelenggarakannya.
34
3. Frekuensi Tugas Frekuensi tugas auditor dijelaskan oleh Kalbers dan Forgaty (1993) sebagai salah satu indikator dalam mengukur pengalaman selain lamanya masa kerja. Pada penelitian yang dilakukan oleh Olofsson Marcus, Bobby Puttonen (2011:14) mengemukakan bahwa “Something new, surpirisngly , will be commonplace by the presence kontuinitas and experience, for example when we study the cycling did not realize that we are already good at. It is often realized new task would be a regular with experience”. Dari kutipan diatas menjelaskan bahwa semakin seorang auditor melakukan tugas auditnya, maka semakin bertambah pengalaman dan pengetahuan auditor tersebut. 2.6
Kecurangan (Fraud) Kecurangan menggambarkan setiap upaya penipuan yang disengaja, yang
dimaksudkan untuk mengambil harta atau hak orang atau pihak lain. 2.6.1
Definisi Kecurangan (Fraud) Menurut Tuanakotta (2013:28), Fraud didefinisikan sebagai berikut: “Any illegal acts characterized by deceit, concealment or violation of trust. These acts are not dependent upon the application of threats of violance or physical force. Frauds are perpetrated by individuals, and organizations to obtain money, property or service; to avoid payment or loss of service; or to secure personal or business advantage” Dari definisi diatas menyebutkan bahwa fraud mengandung penipuan
(deception), penyembunyian (concealment), dan penyalahgunaan kepercayaan (violation of trust).
35
Sedangkan pengertian kecurangan (fraud) menurut Association of certified fraud examines (ACFE) dalam Halim (2003) adalah “All multifariators means which human ingenuity can devise, and which resorted by one individual to get advantage over another by false suggestions or suppression of the truth, and includes all surprise, trick, cunning or dissembling and any unfair way by which another cheated”. Dari pengertian ACFE diatas dimaksudkan bahwa kecurangan merupakan segala sesuatu yang secara lihai dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan dengan cara menutup kebenaran, tipu daya, kelicikan atau mengelabui dan cara tidak jujur yang lain. Dari beberapa pengertian fraud diatas fraud adalah bentuk kecurangan atau penipuan. Penjelasan fraud lain menurut Adenji (2004:354) dan ICAN (2006:206) dalam penelitian Ayobami (2010) adalah “Fraud is an intentional act by one or more individuals among management, employees or third parties, which results in a misrepresentation of financial statements. Fraud can also be seen as the intentional misrepresentation, concealment, or omission of the truth for the purpose of deception/manipulation to the financial detriment of an individual or an organization which also includes embezzlement, theft or any attempt to steal or unlawfully obtain, misuse or harm the asset of the organization” (Adeduro, 1998 and, Bostley and Drover 1972) Dari pengertian diatas dijelaskan bahwa tindakan yang disengaja oleh satu atau lebih individu antara manajemen, karyawan atau pihak ketiga, yang menghasilkan kekeliruan pada laporan keuangan. Penipuan juga dapat sebagai keliru yang disengaja, penyembunyian atau kelalaian kebenaran untuk tujuan penipuan atau manipulasi yang merugikan keuangan suatu individu atau sebuah organisasi yang juga mencakup penggelapan, pencurian atau upaya untuk mencuri atau secara tidak sah memperoleh, penyalahgunaan atau membahayakan aset organisasi.
36
Sementara pengertian fraud menurut Tugiman (2008:3) kecurangan didefinisikan sebagai suatu penyimpangan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan secara sengaja untuk tujuan tertentu. Menipu atau memberikan yang keliru untuk keuntungan pribadi atau kelompok secara tidak fair baik secara langsung maupun tidak langsung merugikan pihak lain. 2.6.2
Jenis-jenis Kecurangan Jenis-jenis
kecurangan
menurut
Association
of
Certified
Fraud
Examinations (2000) mengkategorikan kecurangan kedalam 3 kategori yaitu: 1. (Financial Statement Fraud) kecurangan laporan keuangan Kecurangan laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji
material
laporan keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Dalam bentuk kecurangan ini bersifat finansial atau kecurangan non financial. 2. (Asset Misappropriation) penyalahgunaan asset Kecurangan penyalahgunaan asset dapat digolongkan kedalam kecurangan kas dan kecurangan atas persediaan dan aset lainnya serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudlent disbursement) 3. (Corruption) korupsi Menurut ACFE (Association of certified fraud examines) ini korupsi terbagi dalam tiga bentuk yaitu pertentangan kepentingan (Conflict of interest), pemberian illegal (Illegal gratuity) dan pemerasan (Economic extortion).
37
2.7
Konsep Berkaitan Dengan Fraud
2.7.1
Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle) Salah satu pertimbangan penting yang harus dilakukan oleh seorang
auditor dalam mengungkap kecurangan adalah dengan cara mengindentifikasikan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan seseorang melakukan tindak kecurangan dan yang mengingkatkan risiko kecurangan terjadi.Tiga kondisi kecurangan yang berasal dari pelaporan keuangan yang curang dan penyalahgunaan aktiva diuraikan dalam SAS 99 (AU 316) disebutkan mengenai segitiga kecurangan ada yang disebut dengan insentif (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization) yang akan dijelaskan pada gambar berikut:
Insentif (pressure)
Kesempatan
Sikap / rasionaliasi
Gambar 2.1 segitiga kecurangan Dari gambar diatas terlihat dari masing masing faktor saling terkat satu sama lain yang akan menjadi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan yang akan dijelaskan sebagai berikut:
38
1. Insentif (pressure) Menurut arens (2008:434) insentif adalah suatu fraud yang dilakukan berasal dari manajemen atau pegawai. Manajemen atau pegawai lain merasakan insentif atau tekanan untuk melakukan kecurangan 2. Kesempatan Menurut Arens (2008:434) kesempatan dalam hal ini adalah situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen atau pegawai untuk melakukan kecurangan. 3. Sikap/ rasionalisasi (rationalization) Menurut Arens (2008:434) sikap atau rasionalisasi dalam hal ini adalah sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan manajemen atau pegawai untuk melakukan tindakan yang tidak jujur, atau mereka berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan yang tidak jujur. 2.7.2
Fraud Axioms Fraud axioms adalah suatu pernyataan (proposition) yang tidak dibuktikan
atau tidak diperagakan, dan dianggap sudah jelas dengan sendirinya (self-evident). Axioms atau aksioma merupakan titik tolak untuk menarik kesimpulan tentang suatu kebenaran yang harus dibuktikan. (Tuanakotta, 2013:51) Dalam fraud axioms ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
39
d. Aksioma 1, fraud is hidden Sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi. Fraud mengandung tipuan untuk menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi. e. Aksioma 2, Reverse Proof Pengertian ACFE, aksioma fraud kedua adalah pemeriksaan fraud didekati dari dua cara. Untuk membuktikan fraud memang tejadi, pembuktian harus meliputi upaya untuk membuktikan bahwa fraud tidak terjadi. Dan sebaliknya dalam upaya membuktikan fraud tidak terjadi, pembuktian harus meliputi upaya untuk membuktikan bahwa fraud memang terjadi. f. Aksioma 3, existence of fraud Dijelaskan bahwa pemeriksa fraud berupaya membuktikan terjadi atau tidak terjadinya fraud. Dalam upaya dalam menyelidiki adanya fraud, pemeriksa membuat dugaan mengenai apakah seseorang bersalah (quilty) atau tidak (innocent). 2.7.3
Fraud Predication Menurut ACFE dalam Fraud Examiners Manual (2006) mendefinisikan
predication sebagai berikut: “Predication is the totality of circumstances that would lead a reasonable, profesionally trained, and prudent individual to believe a fraud has occured, is occuring, and/or will occur. Predication is the basis upon whic an examination is commenced. Fraud examinations should not be conducted whitout proper predication”. Dalam hal ini dijelaskan bawa predication adalah keseluruhan peristiwa yang mengarahkan seseorang yang cukup layak, terlatih profesional, dan seorang
40
dengan kehati-hatian, kepada kesimpulan bahwa fraud telah, sedang atau akn berlangsung. Predication adalah dasar untuk memulai investigasi. Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan tanpa danya predication yang tepat. 2.7.4
Teknik Pendeteksian Fraud Menurut Karyono (2013:93) teknik pendeteksian fraud sesuai dengan
jenis fraud, secara umum upaya mendeteksi fraud antara lain: 1. Pengujian pengendalian intern Meliputi pengujian pelaksanaan secara acak dan mendadak. Hal ini untuk mendeteksi fraud yang dilakukan dengan kolusi sehingga pengendalian intern yang ada tidak berfungsi efektif. 2. Dengan audit keuangan atau audit operasional Seorang auditor harus merancang dan melaksanakan auditnya sehingga fraud dapat terdeteksi. 3. Pengumpulan data intelejen dengan teknik elisitasi terhadap gaya hidup dan kebiasaan pribadi. Dijelaskan bahwa pendeteksian ini dilakukan secara tertutup atau diam-diam mencari informasi tentang orang yang sedang dicurigai 4. Penggunaan prinsip pengecualian dalam pengendalian dan prosedur Dimaksud antara lain: (1) adanya pengendalian intern yang tidak dilaksanakan; (2) transaksi-transaksi yang janggal seperti waktu transaksi hari minggu atau hari libur; (3) tingkat motivasi,moral dan kepuasan kerja terus menerus menurun; (4) sistem pemberian penghargaan yang ternyata mendukung perilaku tidak etis.
41
5. Dilakukan kaji ulang terhadap penyimpangan dalam kinerja operasi 6. Pendekatan reaktif meliputi adanya pengaduan dan keluhan karyawan, kecurigaan, dan intuisi atasan. Salah satu elemen penting dalam pendeteksian fraud adalah kemampuan seorang auditor untuk mengenal dan mengidentifikasi secara cepat potensi terjadinya dan penyebab terjadinya sebuah kecurangan. 2.8
Kemampuan Mendeteksi Kecurangan Kemampuan seorang auditor akan mempengaruhi dalam kinerjanya dalam
melakukan berbagai tugas atau pekerjaannya. Pengertian Kemampuan itu sendiri dijelaskan menurut Robbins (2003:52) adalah “Kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu”. Dalam melakukan proses audit seorang auditor dapat membaca tandatanda adanya kecurangan, gejala-gejala yang terlihat oleh auditor itu sendiri. Dalam penelitian Jaffar (2009) bahwa dalam AI 240 (MIA 1997) mengharuskan auditor untuk menilai resiko penipuan dan memberikan beberapa contoh dari kondisi yang dapat meningkatkan risiko fraud, diharapkan isyarat ini saja dapat menyebabkan auditor untuk mencurigai kemungkinan penipuan. Dalam hal ini dimaksudkan untuk auditor mencurigai dan melihat apakah terdapat indikasiindikasi akan terjadinya suatu kecurangan. Fraud itu terjadi merupakan suatu resiko yang didapat oleh perusahaan. Auditor dituntut untuk memahami cara-cara mendeteksi kecurangan. Setiap kecurangan memiliki beberapa karakteristik yang
42
berbeda-beda dalam mendeteksinya auditor harus memahami setiap dari karakteristik dari kecurangan tersebut. Dalam pengumpulan bukti-bukti, bukti kecurangan terkadang banyak bersifat secara langsung. Auditor dalam melihat hal ini harus dapat melihat petunjuk akan gejala-gejala kecurangan yang akan terjadi. Keahlian investigator kejahatan dalam beberapa aspek sama dengan seorang auditor. Seorang auditor dan detektif sama-sama mencari kebenaran. Oleh karena itu seorang auditor dituntut dalam pekerjaanya untuk membuktikan suatu kebenaran terbebas dari kecurangan. Auditor jika mereka ingin menjadi seorangauditor kecurangan, harus cenderung mempelajari orang sekitar. Mereka juga harus mengetahui bagaimana mengidentifikasi dan menempatkan pelaku dan sanksi dan bagaimana mewawancarai mereka, sama seperti mengumpulkan, mengklasifikasikan dan menjaga informasi dan bukti, dan untuk memahami nilai, bobot, dan arti pentingnya. (Tunggal, 2011, Bagian A:65). Menurut Fitriany (2012) ketika seorang auditor akan melakukan pendeteksian kecurangan seorang auditor diharapkan untuk memiliki beberapa kemampuan atau keterampilan yang akan mendukung auditor dalam mendeteksi kecurangan, hal-hal ini meliputi keterampilan teknis, yang meliputi teknologi informasi, kompetensi dan keahlian investigasi, lalu kemampuan untuk bekerja sama sebagai tim, lalu kemampuan menasehati (Mentoring skill), kemampuankemampuan ini harus dapat dimiliki oleh auditor senior dimana auditor senior harus dapat membantu agar auditor junior berhasil dalam mendeteksi selama proses investigasi berlangsung. Selain kemampuan dijelaskan oleh Fitriany (2012)
43
kemampuan seorang auditor dapat dilihat bagaimana mereka menilai gejala gejala yang akan terjadi dan seberapa besar tingkat risiko kecurangan yang akan terjadi. Dalam ISA 240.5 sampai dengan 240.8 dalam Tuanakotta (2013:116) menyebutkan bahwa: “The auditors ability to detect a fraud dependens on factors such as the skillfulness of the prepetrator, the frequency and extent of manipulation, and the seniority of those individuals involved”. Dari kutipan diatas menjelaskan bahwa kemampuan seorang auditor dalam mendeteksi kecurangan tergantung pada beberapa faktor seperti keahlian si pelaku, sering dan luasnya manipulasi, apakah adanya kolusi, jumlah yang dimanipulasi dan senioritas pelaku. Penelitian yang dilakukan oleh jaffar (2009) menyebutkan bahwa: “This study can conclude whether the ability external auditors to detect possible fraud solely influenced by their ability to assess the risk of fraud”. Dari kutipan diatas dijelaskan bahwa kesimpulan pada penelitian Jaffar (2009) kemampuan auditor mendeteksi kecurangan semata-mata dipengaruhi oleh kemampuan mereka untuk menilai resiko kecurangan. Seorang auditor dituntut untuk dapat menilai apakah kecurangan terjadi pada suatu perusahaan dan apakah resiko terjadinya tinggi atau tidak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fullerton dan Durtschi (2004) pun mengembangkan bahwa dalam mengukur sebuah kemampuan mendeteksi kecurangan dapat dilihat dari segi fraud symptoms atau gejala-gejala terjadinya kecurangan. Karyono (2013:91) dengan mengenali gejala dapat pula mengenali
44
sinyal atau mengenal adanya indikasi fraud. Hal ini pun diungkapkan bahwa seorang auditor gagal mendeteksi kecurangan dikarenakan
auditor tidak
menyadari adanya gejala kecurangan (Tunggal,2011, Bagian A:106). Dalam penelitian ini mengikuti indikator yang didapat pada penelitian Jaffar (2009) dan Karyono (2013) yang menyebutkan bahwa dalam mengukur kemampuan mendeteksi kecurangan dapat dilihat dari penilaian auditor atas resiko kecurangan yang terjadi pada perusahaan lalu gejala-gejala yang ada pada perusahaan tersebut. 1. Resiko kecurangan Pada penelitian ini sesuai dengan indikator yang digunakan oleh jaffar (2009) yaitu kemampuan auditor dapat dilihat dari segi menilai resiko kecurangan yang akan terjadinya apakah tingkat resiko yang terjadinya besar atau kecil. dalam melihat resiko kecurangan seorang auditor dapat melihat dari beberapa faktor menurut SAS 99 (Arens, 2008: 439) seperti mengindikasi apakah ada tekanan untuk berbuat curang, kesempatan untuk berbuat curang, dan membenarkan tindakan yang curang. Seorang auditor harus mempertimbangkan untuk menilai seberapa besar tingkat resiko kecurangan yang terjadi. SAS 99 dalam Arens (2008:436) memberikan pedoman bagi auditor dalam menilai resiko kecurangan. Termasuk faktorfaktor risiko kecurangan. Faktor risiko kecurangan diindikasikan adanya insentif atau tekanan untuk melakukan kecurangan, kesempatan untuk berbuat curang, atau sikap atau rasionalisasi yang digunakan untuk membenarkan tindakan yang curang.
45
2. Gejala kecurangan (Fraud symptoms) Menurut W.Steve Albrecht dalam Karyono (2013:95) ada enam tandatanda fraud , tiga diantaranya digunakan sebagai indikator pada penelitian kali ini yaitu: 1. Keganjilan akuntansi Keganjilan akuntansi (Accounting Anomalies) karena adanya rekayasa dari pelaku, sehinga penyimpangan yang terjadi tidak dapat terdeteksi dari akuntansinya, meliputi:
Ketidak beresan dokumen, seperti halnya: (1) menghilangkan, merusak
atau
mengubah
dokumen-dokumen
pendukung
aktivitas atau transaksi dimana pelaku melakukan kecurangan; (2) membuat dokumen ganda; (3) membuat uraian dokumen yang ganjal atau tidak masuk akal.
Kesalahan penjurnalan, kesalahan penjurnalan antara lain berupa jurnal tanpa dokumen pendukung, jurnal yang dibuat oleh petugas atau orang yang tidak biasa atau yang tidak berwenang, jurnal yang tidak seimbang.
2. Penyimpangan analisis Memahami tanda fraud dilakukan dengan melakukan berbagai analisis yaitu: 1. Analisis vertikal: analisis hubungan antar item dalam laporan keuangan tahun lalu dengan tahun ini digambarkan dengan persentase.
46
2. Analisis horizontal: analisis persentase perubahan item laporan keuangan selama beberapa periode laporan. 3. Analisis rasio: perbandingan item-item dalam laporan keuangan 4. Analisis rendemen: perbandingan antara hasil barang jadi dan bahan bakunya. 3. Kelakuan tidak biasa Kelakuan tidak biasa (unusual behaviour) atau perilaku menyimpang sebagai akibat rasa bersalah dan adanya rasa takut, sehingga kelakuan tidak biasa ini merupakan gejala, contohnya: (1) Gelisah atau tidak dapat santai karena selalu dihantui rasa bersalah dan takut. (2) Tidak mampu menatap muka lawan bicara karena takut. (3) Bila diajak bicara soal fraud, bicaranya defensif atau berargumen untuk mencari pembenaran atau alasan.
Ayobami oluwagbemiga oyinlola MR (Nigeria, 2010)
The role of Auditor, audit in fraud detection detection, prevention and reporting in nigeria
Hasil penelitian menunjukan bahwa interaksi lingkungan tidak berpengaruh signifikan terhadap skeptisme dan pendeteksian kecurangan Hasil menunjukan bahwa auditor dengan keahlian yang tinggi lebi skeptis dari auditor yang mempunyai pengalaman yang tinggi
fraud Metode Hasil penelitian ini deskriptif membuktikan bahwa dengan data peranan auditor primer terhadap pendeteksiankecurangan konsisten
Experience, Experimen professional skepticism, knowledge acquisition, fraud detection
3
2
Profesional Kuesioner scepticism, experience auditor, contro environment , fraud detection
The effect of skepricism, auditor’s experience and control environment towards fraud detection The role of experience in professional skepticism, knowledge acquisiton, and fraud detection
Sayed alwee hussnie sayed hussin, takiah mohd.. iskandar, Norman Mohd Saleh, Romlah Jaffar (Malaysia, 2010) Tina Carpenter, Cindy Durtschi, and Lisa Milici Gaynor (Washington D.C, 2002)
1
Alat uji atau Hasil penelitian sampel
Variabel penelitian
Dalam penelitian ini menguji peranan auditor terhadap pendeteksian fraud dan menggunakan 1 variabel independen
Penggunaan 3 variabel dependen dan 1 variabel independent, tempat penelitian berlangsung berbeda
Perbedaan penelitian pada penggunaan variabel x dan objek penelitian disbutkan pada audit internasional
Perbedaan penelitian Menggunakan variabel skeptisme dan pengalaman dan objek penelitian kepada auditor Menggunakan auditor sebagai objek penelitian, meneliti dengan menggunakan variabel pengalaman dan skeptisme profesional Sama sama menguji mengenai variabel fraud detection
Persamaan penelitian
2.9
No. Nama penelitian Judul penelitian
47
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Gaballa and zhao, International converence on business and economic
7
An analytical study of effect of experience on te external
Detection fraud in the organization: an internal audit perspective
Pricilla Burnaby, Martha Howe, Brigitte W. Muehlmann (AS, Vol 3 )
6
5
Rosemary R. The effect of Fullerton (old professional main hill, 2004 ) skepticism on the fraud detection skills of internal auditor Gloria S. Castro Internal (AS, 2013) auditors skepticism in detecting fraud :A quanitative study
4
Study menggunakan mannwhitney test
fraud, Kuesioner audit
Experience auditor, performance auditor, and external auditor (analysis methode
Detection internal perspective
Internal auditor, Kuesioner skeptisme profesional
Profesional Kuesioner skepticism, fraud detection, internal auditor
Hasil menunjukan ketentuan auditor tidak bervariasi sesuai dengan tahun untuk pekerjaan audit. Tingkat
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa auditor internal dengan peringkat lebih tinggi skeptismenya memiliki keinginan signifikan lebih besar dalam mendeteksi kecurangan Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat tinggi skeptisme profesional tidak selalu menjamin bahwa auditor internal dapat mendeteksi risiko kecurangan ketikda berhadapan dengan red flags Hasil penelitian secara garis besar memperlihatkan bahwa internal auditor berperan dalam pendeteksian kecurangan Penggunaan variabel pengalaman sama
yang
Perbedaan adalah dalam penelitian ini menguji dari segi internal auditor
Perbedaan pada penelitian ini adalah menggunakan auditor internal sebagai objek penelitian
Menggunakan auditor internal sebagai objek dan penggunaan metode penelitian yang berbeda
Kesamaan adalah menggunakan variabel detection fraud dan menggunakan kuesioner Penggunaan variabel dependen yang berbeda dan perbedaan
Persamaan adalah menggunakan variabel skeptisme profesional sebagai variabel independen
Sama sama menguji pendeteksian kecurangan, skeptisme profesional
48
Paul coram, colin ferguson, robyn moroney (Australia, 2006)
Anuj sharma and Prabin Kumar Panigrahi (India, 2012)
Nahariah Jaffar (Malaysia, 2009)
8
9
10
Hasil menunjukan bahwa organisasi dengan fungsi internal audit lebih mungkin untuk mendeteksi dan melaporkan penipuan daripada mereka yang tidak A review of Financial Analisi regresi Hasil menyimpulkan financial accounting, fruad bahwa menggunakan accounting detection based on data yang laporan fraud mining techniques keuangan mungkin detection tidak cukup untuk based on data mendeteksi kecurangan mining techniques Fraud Auditor Eksperimental Hasil penelitian detection: the eksternal,kemampu faktorial menyimpulkan bahwa moderating an mendeteksi konsektual tingkat role of fraud resiko penipuan, resiko penipuan risk level tingkat resiko memiliki dampak penipuan terhadap risiko penipuan dan kemampuan mendeteksi kecurangan
The value of Internal audit, fraud Analisis internal audit detection deskriptif in fraud detection
Sama sama meneliti mengenai fraud detection
Sama sama meneliti fruad detection, dan analisis deskripfitf
Perbedaanpengguna Sama sama variabel x dan stui meneliti kasus mengenai fraud detection dan menjadikan auditor sebagai objek penelitian
Penggunaan data laporan keuangan untuk mendeteksi kecurangan, perbedaan penguna variabel X
Menggunakan variabel internal auditor sebagai variabel X dan perbedaan pengguna objek penelitian
49
50
2.10
Kerangka Pemikiran
2.10.1 Hubungan Skeptisme Professional dengan Kemampuan Mendeteksi Kecurangan (fraud) Sikap skeptisme profesional merupakan salah satu sikap yang digunakan oleh auditor dalam melakukan proses audit maupun dalam hal melakukan pendeteksian. Menurut SPAP (2011,230.2) mendefinisikan Skeptisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit. Dalam melakukan pendeteksian auditor dituntut untuk dapat membaca segala tanda-tanda, sinyal dan mampu melihat bukti audit yang didapatnya. Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif akan menuntut seorang auditor mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan dari bukti yang didapat (SPAP,2001:230.2) menurut penelitian yang dilakukan oleh Alwee (2010) menyebutkan bahwa “Auditor is responsible for providing reasonable assurance by having a skeptical attitude that audited financial statements are free from fraud”. Dijelaskan bahwa seorang auditor bertanggung jawab untuk memberikan keyakinan memadai dengan memiliki skeptisme profesional agar laporan keuangan yang diaudit terbebas dari fraud. Tanggung jawab seorang auditor adalah memverifikasi laporan keuangan perusahaan dengan mengekspresikan pendapat apakah laporan keuangan telah memberikan pandangan yang benar dan wajar perusahaan kinerja dan posisi keuangan untuk tahun yang diaudit. Kebutuhan memberikan keyakinan memadai
51
atas laporan keuangan membutuhkan auditor untuk menjadi skeptis ketika merencanakan dan melaksanakan pekerjaan auditor. Auditor perlu mengadopsi sikap profesional skeptisme terutama dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan yang dapat dilihat pada ISA 240 (MIA 2008) dalam paragraf ini menjelaskan bahwa prosedur audit yang harus diimplementasikan dalam melaksanakan skeptisme. Prosedur audit menunjukan bahwa skeptisme harus dilakukan tanpa pengalaman auditor sebelumnya dengan praktik tata kelola. Dokumen atau catatan yang berhubungan dengan integritas, tata kelola dan kesalahan sebelumnya tidak boleh mempengaruhi sikap skeptis. Auditor harus menjaga sikap skeptisme seluruh pekerjaan audit. Dalam SAS 99 dalam penelitian Fullerton dan Durtschi (2004) menyatakan bahwa “Audit team members discuss possibilities about their client susceptibility to fraud. It is implicit in these requirement, that if an auditor is more skeptical about the possibility of fraud existing within a firm, fraud detection will improve” Dijelaskan bahwa dalam SAS 99 mensyaratkan bahwa anggota tim audit membahas kemungkinan tentang kerentangan klien untuk melakukan penipuan. Hal ini tersirat dalam persyaratan ini, bahwa seorang auditor yang lebih skeptis terhadap kemungkinan kecurangan dalam suatu perusahaan maka dalam mendeteksi kecurangan akan semakin meningkat. Dewan Pengawasan Umum (POB) dalam penelitian yang dilakukan oleh Castro (2013) mengeluarkan pernyataan bahwa:
52
“Professional skepticism must be emphasized to audit firms and academia to reduce any audit failures in the future.” Dijelaskan bahwa Dewan Pengawasan Umum di memberi pernyataan bahwa skeptisme profesional harus ditekankan untuk mengaudit perusahaan dan akademisi untuk mengurangi kegagalan audit di masa depan. Messier (2005:107) menerangkan bahwa dalam merencanakan audit, rekan, manajer perikatan harus mengkomunikasikan dengan anggota tim audit mengenai potensi salah saji material karena kecurangan. Salah satu tujuan dari mengkomunikasikan ini adalah untuk menekankan bahwa pentingnya menjaga pikiran yang sehat (dikenal sebagai Skeptisme professional) selama audit yang bisa berkaitan dengan potensi salah saji material karena kecurangan. Salah satu teknik audit dalam mengumpulkan bukti yang mengharuskan auditor untuk menjadi skeptis adalah teknik penyelidikan. Auditor skeptis mewakili mereka kehati-hatian dalam mengumpulkan bukti untuk setiap proses penyelidikan.skeptisme profesional yang rendah akan menumpulkan kepekaan auditor terhadap kecurangan baik yang bersifat nyata maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya (red flags, warning signs) yang mengindikasikan adanya kesalahan atau kecurangan (fraud). Banyak penelitian yang melakukan didaerah skeptisme profesional telah berusaha untuk menyelidiki hubungan antara skeptisme profesional dan deteksi kecurangan (Carpenter dan Reimers 2011; Mcmillan and White 1993; Payne dan ramsay 2005; Rose 2007; Saksena 2010) semua penelitian mengungkapkan bahwa
53
skeptisme profesional adalah salah satu atribut auditor yang akan meningkatkan kemampuan auditor terutama dalam melaksanakan tugas deteksi fraud. Pada penelitian yang dilakukan oleh Castro (2013) dijelaskan bahwa “One of the contributing factors of audits failure is the lack of professional skepticism of the auditors. The public oversight board (POB) issued a statement that professional skepticism must be emphasized to audit firms and academia to reduce any audit failures in the future”. kutipan diatas dijelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi dari kegagalan audit adalahnya kurangnya skeptisme profesional. Dewan pengawasan umum (POB) mengeluarkan pernyataan bahwa skeptisme professional harus ditekankan untuk mengaudit perusahaan guna untuk mengurangi kegagalan audit di masa depan. Hal ini memperlihatkan bahwa dibutuhkan sikap skeptisme dari auditor agar dalam melakukan proses audit auditor tidak melewatkan satu hal sekalipun agar terhindar dari kegagalan audit. Sikap skeptisme seseorang akan mempengaruhi dalam pencarian bukti dan informasi yang dibutuhkan oleh auditor. Hal ini dijelaskan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Fullerton (2004) yang menjelaskan bahwa “The results show that internal auditors who rank higher on the skepticism
scales generally have a significantly greater desire to increase their information search related to fraud symptoms”. Dijelaskan bahwa pada penelitian kepada auditor internal dengan peringkat lebih tinggi pada skala skeptisme umumnya memiliki keinginan signifikan lebih besar untuk meningkatkan pencarian informasi mereka berhubungan dengan gejala kecurangan, hal ini membuktikan bahwa dengan sikap
54
skeptisme profesional seorang auditor akan lebih besar mencari berbagai informasi yang berhubungan dengan tanda-tanda atau gejala kecurangan yang ada. Auditor dalam mengumpulkan bukti-bukti terkait yang dibutuhkan dalam proses audit harus didasar dengan adanya sikap skeptisme professional. Menurut Alwee (2010) menjelaskan bahwa: “One of the audit techniques in gathering evidence which requires auditor to be skeptical is inquiry technique. Skeptical auditors represent their cautiousness in gathering evidence for each inquiry process. Skeptical auditors do not make hasty judgment and decision making. Skeptical auditors will take time to assess and consider reasonably for each audit evidences, feedback or information received to verify the authenticity and reliability of audit evidence”. Dari kutipan diatas dijelaskan bahwa salah satu teknik audit dalam mengumpulkan bukti-bukti audit yang mengharuskan auditor untuk menjadi skeptis adalah teknik penyelidikan. Auditor dengan sikap skeptis akan mewakili mereka dengan sikap hati-hati dalam mengumpulkan bukti untuk setiap proses penyelidikan. Auditor tidak skeptis tidak membuat penilaian dan pengambilan keputusan secara terburu-buru. Auditor dengan sikap skeptis akan mengambil waktu untuk menilai dan mempertimbangkan dengan cukup untuk setiap bukti audit yang ada, umpan balik atau informasi yang diterima untuk memverifikasi keaslian dan keandalan bukti audit. Semakin banyaknya bukti audit yang ditemukan dan semakin handal bukti yang didapat tingkat kecurangan yang akan dideteksiakan semakin besar.
55
2.10.2 Hubungan Pengalaman auditor dengan kemampuan mendeteksi kecurangan (fraud) Seorang auditor memiliki kemampuan yang akan terus menerus berkembang mengikuti perkembangan auditor itu bekerja. Pengalaman adalah keahlian yang didapatkan seseorang setelah jangka waktu yang lama. Menurut SPAP (2011: 210.1) PSA No.04 dalam standar umum pertama menjelaskan dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditng. Pencapaian keahlian itu dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Dengan semakin bertambahnya pengalaman pengalaman yang dimiliki oleh seorang auditor maka dalam melakukan pengumpulan bukti, dan mendeteksi tanda-tanda kecurangan auditor akan lebih bersikap hati-hati dan lebih skeptisme terhadap berbagai hal. Pengalaman dan keahlian sangat dibutuhkan oleh auditor dalam mengetahui karakteristik kecurangan akuntansi (Sharma, 2012). Seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih cepat tanggap dalam mendeteksi kecurangan yang terjadi. Bertambahnya pengalaman auditor juga akan meningkatkan ketelitian dalam melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi akan menghasilkan laporan audit yang berkualitas. Pengalaman auditor yang profesional dapat diperoleh dari pelatihan-pelatihan. Pengalaman kerja seorang auditor akan mendukung keterampilan dan kecepatan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga
56
tingkat kesalahan akan berkurang. Arens (2003:21) menyebutkan Seorang auditor dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti oleh kliennya. Dari keterangan diatas auditor harus memiliki kemampuan teknis yang memadai serta pengalaman untuk dalam bidang industri yang digeluti kliennya agar pula dapat mendeteksi kecurangan yang ada pada bidang kliennya. Menurut Moyes dan Hasan (1996) dan Owusu Ansah et al (2002) dalam penelitian Alwee (2010) menyatakan “Experience of auditors’ positive effect on the detection of fraud, which means the more experienced auditor capable detecting fraud”. Dari hasil penelitian diatas menjelaskan bahwa pengalaman akan membuat auditor akan lebih mampu dalam mendeteksi kecurangan. Auditor dengan pengalaman yang banyak akan memiliki pemikiran yang lebih dalam menyikapi adanya indikasi kecurangan. Hal yang dilakukan dalam menyikapi indikasi kecurangan adalah auditor akan mengabaikan bukti atau kenyataan yang tidak jelas dan akan lebih berfikir skeptis. Hal ini setuju dengan penjelasan dalam penelitian Carpenter (2002) yang menyebutkan “Experienced auditors admit the relevant facts, only experienced auditor capable ignore the facts that are not relevant when making assessment audit”. Dari kutipan diatas dijelaskan bahwa auditor yang berpengalaman akan mengakui fakta yang relevan, hanya auditor yang berpengalaman yang mampu mengabaikan fakta-fakta yang tidak relevan ketika melakukan penilaian audit. Hal
57
ini membuktikan seorang auditor diharuskan untuk mengumpulkan bukti yang benar-benar relevan dan nyata agar tidak terjadi kegagalan audit dan terbebas dari kecurangan. Dalam Tunggal (2011, Bagian A: 59) menjelaskan bahwa “Seorang auditor harus mengetahui batas-batas kemungkinan terjadinya kecurangan. Auditor kecurangan hendaknya mengetahui jenis perilaku kecurangan berdasarkan pengalaman yang lalu dan mampu menghubungkan pengetahuan ini dengan berbagai bagian dari sistem akuntansi dan atau operasi bisnis”. Menurut Gabella dan zhou (2010:169) bahwa pengalaman dapat mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan yang terjadi dalam pelaporan keuangan suatu perusahaan yang diauditnya, yang kemudian akan mempengaruhi terhadap judgement yang diambil oleh auditor, yang kemudian akan mengurangi kesalahan auditor di masa kini maupun masa depan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Jaffar (2009) menyebutkan pula bahwa terdapat penelitian terdahulu yang menyatakan “Experience auditor may have a significant effect on the ability to detect fraud.” (Pincus 1984, Bernardi 1994, Moyes dan Hasan 1996, OwusuAnsah et al 2002). Pernyataan menguatkan bahwa terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukan bahwa pengalaman berpengaruh secara signifikan dalam kemampuan mendeteksi kecurangan.
58
Menurut Priantara (2013:26) menjelaskan bahwa “Ketika suatu indikasi fraud terdeteksi atau suatu fraud terjadi dibutuhkan suatu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dalam menangani fraud”. Dari kutipan diatas menjelaskan bahwa dalam mendeteksi fraud seorang auditor membutuhkan pengetahuan yang memadai, pengalaman yang cukup serta keterampilan dalam menangani fraud yang terjadi. Dijelaskan oleh Purnaby (2011) yaitu: “Sufficient knowledgetoevaluatethe risk offraud”. Yaitu pengetahuan yang cukup untuk mengevaluasi resiko audit, hal ini menjelaskan bahwa semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh auditor dapat mempengaruhi dalam evaluasi akan terjadinya suatu resiko. Dijelaskan pula dalam Priantara (2013:27) bahwa “Auditor harus mencari beberapa bukti tambahan yang menguatkan atau lebih meyakinkan bahwa adanya indikasi kejanggalan akuntansi dan keuangan memang menjadi diduga mengarah kepada fraud, setelah dugaan kuat dan beberapa bukti maka pekerjaan selanjutnya diserahkan kepada orang yang telah memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan anti-fraud”. Dari penejelasan diatas ketika auditor mempunyai bukti yang kuat terhadap kecurangan yang terjadi maka diserahkan kepada orang yang mempunyai pengalaman anti fraud untuk menindak lanjuti kasus tersebut.
59
2.11
Skema Kerangka Pemikiran
Skeptisme profesional (X1) Kemampuan mendeteksi kecurangan (Y)
Pengalaman auditor (X2)
Gambar 2.2 Model kerangka pemikiran 2.12 Hipotesis Dari uraian diatas, peneliti menetapkan hipotesis bahwa: H1: skeptisme profesional berpengaruh terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. H2: Pengalaman auditor berpengaruh terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. H3: Skeptisme profesional dan pengalaman auditor mempengaruhi terhadap Kemampuan Mendeteksi Kecurangan.