BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,padahal tidak benar.Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (Andi Hamzah, 2013: 249). Pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana dan bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana. Sebab untuk menjatuhkan pidana masih di perlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim mendapatkan keyakinan,yaitu terbuktinya terjadinya tindak pidana, terdakwa melakukannya dan keyakinan terdakwa bersalah. Sebaliknya ,apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar atau alasan yang meniadakan pidana
baik dalam undang-undang maupun diluar undang-
undang, maka tidak dibebaskan dan juga tidak dipidana melainkan dijatuhi
amar
putusan
pelepasan
dari
tuntutan
hukum
(AdamiChazawi, 2008: 31). Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan
yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
16
17
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2010: 793). b. Asas-Asas Pembuktian Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip yang harus diketahui, yaitu: 1) Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan Prinsip ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pada pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa. 2) Menjadi Saksi adalah Kewajiban Pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang
dapat
memberikan
keterangan
guna
kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Terdapat
perluasan
pengertian
keterangan
saksi
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-
18
VIII/2010 pada intinya menyatakan bahwa definisi keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Eddy O.S. Hiariej, 2012: 102-103). Menurut Mahkamah Konstitusi, pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit hanya dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP. Pengertian saksi dalam Pasal tersebut membatasi bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya, karena frase “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan dapat diajukan
sebagai
tersangka/terdakwa
saksi
menguntungkan
bagi
(http://www.hukumonline.com/berita/
baca/lt4e49f3ff83f2a/perubahan-makna-saksi-dalam-hukumacara-pidana-dan-implikasinya-terhadap-sistem-peradilanpidana diakses pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 22.02). Dikeluarkannya Putusan MK tersebut menjadi sesuatu yang baru bagi hukum acara pidana namun terdapat ketidakjelasan di dalam putusan. Salah satunya mengenai makna relevansi yang dinyatakan dalam pertimbangan hukumnya. Batasan relevansi serta cakupan perluasan definisi saksi dan keterangan saksi belum dijelaskan secara pasti. Hal itu menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda atau multitafsir antara aparat penegak hukum dalam beracara pidana.
19
3) Satu Saksi Bukan Saksi (unus testis nullus testis) Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut undang-undang, menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara
pidana
dalam
acara
pemeriksaan
biasa
yang
pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa dikuatkan atau didukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah. Kesaksian yang berdiri sendiri
yang demikian itu tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan Penuntut Umum. 4) Keterangan terdakwa hanya mengikat dirinya Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa tidak boleh digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa lainya. 5) Pengakuan Terdakwa tidak Menghapus Kewajiban Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa Prinsip
ini
merupakan
penegasan
dari
lawan
“pembuktian terbalik” yang tidak dikenal hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan
keterangan
terdakwa
saja
tidak
cukup
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
20
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. b. Teori atau Sistem Pembuktian Sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada. Adapun sistem atau teori pembuktian sebagai berikut: 1) Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijk) Teori ini dikatakan sebagai teori positif karena hanya berdasarkan pada undang-undang, apabila telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut oleh undangundang maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini disebut juga dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). Pembuktian menurut undang-undang secara positif ini keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undangundang (M. Yahya Harahap, 2010: 278). Sistem ini berdasarkan undang-undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Keyakinan hakim dalam hal ini tidak boleh berperan (Leden Marpaung, 2011: 26). Menurut Simons pada buku Andi Hamzah mengenai teori pembuktian ini bahwa “Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturanperaturan pembuktian yang keras” (Andi Hamzah, 2013: 251). Kebaikan teori pembuktian ini yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi
21
oleh hati nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undangundang. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim kepada perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Hal ini banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh (Hans Tangkau, 2012: 23). 2) Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) Teori pembuktian ini dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasar kalimat tersebut, nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang yaitu Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjelaskan alat bukti yang sah disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2013: 254). Teori pembuktian negatif ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu yang memadukan unsur obyektif dan subyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur tidak ada, maka tidak cukup pula untuk mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2010: 279).
22
Kelebihan dari teori pembuktian negatif ini adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah sesuai undang-undang serta keyakinan hakim sehingga mencari kebenaran hakiki yang dimungkinkan sangat sedikit terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan.
3) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Berdasarkan Alasan Yang Logis (Conviction Rasionee) Teori
ini
menjelaskan
bahwa
hakim
dapat
memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya. Keyakinan tersebut didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu sehingga putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Teori ini disebut juga sebagai pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Andi Hamzah, 2013: 253). Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti yang sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim harus bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undangundang. Pentingnya di dalam teori ini adalah keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Logis artinya alasan hakim itu harus dapat diterima dengan akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas (Munir Fuady, 2006: 56). 4) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu (Conviction In time) Teori pembuktian keyakinan hakim melulu
suatu
pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa terdakwa benar-
23
benar
melakukan
perbuatan
yang
didakwakan.
Teori
Conviction In Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang. Teori berdasar
keyakinan
keyakinan
hati
hakim
nurani
melulu
hakim
didasarkan
sehingga
kepada
pemidanaan
dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang (Andi Hamzah, 2013: 252). Conviction in time menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2010: 277). Teori Conviction In time keyakinan hakim tidak terikat atas alat-alat bukti apapun. Putusan diserahkan kepada kebijaksanaan
hakim,
walaupun
hakim
secara
logika
mempunyai alasan-alasan tetapi tetapi hakim tersebut tidak diwajibkan menyebutkan alasan-alasan tersebut. Penilaian berdasarkan sistem ini betul-betul tergantung pada penilaian subyektif dari hakim tersebut, kecuali atas sistem ini adalah bahwa pengawasan terhadap putusan hakim sangat teliti (Leden Marpaung, 2011: 26). c. Jenis-jenis Alat Bukti Alat bukti digunakan dalam setiap pemeriksaan, entah itu pemeriksaan acara biasa, acara singkat maupun acara cepat. Tujuan dari penggunaan alat bukti itu yaitu untuk membantu
24
hakim dalam pengambilan keputusan. Alat bukti sangat perlu karena di dalam Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan Hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” (Ignatius Ridwan Widyadharma, 2000: 173). Menurut Minna Joki Erkkila dalam disertasinya yang berjudul Child sexual abuse – Medical statement conclusion in criminal legal process sebagai berikut : Indicted cases tend to have at last two type of evidence,which is often the victim’s disclosure with corroborating evidence (kasus – kasus yang ada di dalam Surat Dakwaan setidakya harus memiliki minimal dua alat bukti agar dalam pengungkapan informasi pada korban dapat memperkuat bukti) (Minna Joki Erkkila 2015: 49). Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP terdiri dari: 1) Keterangan Saksi; 2) Keterangan Ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; 5) Keterangan Terdakwa. Pasal 184 ayat (1) telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan
dipergunakan
untuk
membuktikan
kesalahan
terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.
25
2. Tinjauan tentang Visum et Repertum a. Pengertian Visum et Repertum Menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan dalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1). Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, terdapat pada Pasal 180 ayat (1). Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua Pasal KUHAP, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada penyidikan juga mempunyai peran yang penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung pada keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditangani. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan, dan pemerkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut
berupa keterangan medis
yang sah dan
dapat
26
dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktiaan adanya tanda-tanda kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut Visum et Repertum. Visum et Repertum adalah istilah yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa latin, bentuk tunggalnya adalah “Visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa. Kata “Visum” atau “Visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi Visum et Repertum apalah apa yang dilihat dan diketemukan. Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 “Visum et Repertum” adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro justisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan alat bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian Visum et Repertum adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa ayang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan. Pengertian Visum et Repertum dapat disimpulkan bahwa Visum et Repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna keepntingan peradilan. Jadi dalam hal ini Visum et
27
Repertum
merupakan
kesaksiaan
tertulis
dalam
proses
pemeriksaan peradilan. b. Jenis-jenis Visum et Repertum Macam-macam
jenis
pembagian
Visum
et
Repertum
berdasarkan objeknya yaitu sebagai berikut : 1) Visum et Repertum untuk orang hidup. Jenis ini dibedakan lagi dalam :` a) Visum et Repertum biasa. Visum et Repertum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) utnuk korban yang tidak merlukan perawatan lebih lanjut. b) Visum et Repertum sementara. Visum et Repertum sementara
diberikan
apabila
korban
memerlukan
perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan Visum et Repertum lanjutan. c) Visum et Repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain atau meninggal dunia. 2) Visum et Repertum untuk orang mati (jenazah) Pada pembuatan Visum et Repertum ini, dalam hal korban mati penyidik mengajukam permintaan tertulis kepada pihak kedokteran forensik untuk dilakukan bedah mayat (otopsi). 3) Visum et Repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP. 4) Visum et Repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah. 5) Visum et Repertum Psikiatri. Yaitu Visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.
28
6) Visum et Repertum barang bukti, misalnya Visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.
b. Bentuk Umum Visum et repertum Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok Visum et Repertum, maka ditetapkan ketentuan mengenai susunan Visum et Repertum sebagai berikut : 1) Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO YUSTISIA”, artinya bahwa isi Visum et Repertum hanya untuk kepentingan peradilan. 2) Di tengah atas dituliskan Jenis Visum et Repertum serta nomor Visum et Repertum tersebut. 3) Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan : a) Identitas peminta Visum et Repertum. b) Identitas surat permintaan Visum et Repertum. c) Saat penerimaan surat permintaan Visum et Repertum. d) Identitas dokter pembuat Visum et Repertum. e) Identitas korban/barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum. f) Keterangan kejadian sebagaimana tercantum di dalam surat permintaan Visum et Repertum. 4) Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti. 5) Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa yang dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti. 6) Bagian penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa Visum et Repertum ini dibuat atas dasar sumpah dan janji pada waktu menerima jabatan.
29
7) Disebelah kanan bawah diberikan nama dan tanda tangan serta cap dinas dokter pemeriksa.
c. Peranan dan Kedudukan Visum et Repertum Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et
Repertum
menguraikan
segala
sesuatu
tentang
hasil
pemeriksaan medik yang tertuang di dalam Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai benda bukti. Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di bagian Kesimpulan. Dengan demikian Visum et Repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca Visum et Repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia. Tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan Visum et Repertum sehingga bekerjanya harus obyektif
dengan
mengumpulkan
kenyataan-kenyataan
dan
menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan pemberitaan dari Visum et Repertum itu harus yang
sesungguh-sesungguhnya
dan
seobyektif-obyektifnya
tentang apa yang dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan. Dengan demikian Visum et Repertum merupakan kesaksian tertulis. Maka Visum et Repertum sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang
30
tepat. Selain daripada itu Visum et Repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen dengan mana dapat ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti
yang telah diperiksa apabila
bersangkutan (jaksa, hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut. Maka Visum et Repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda Bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban merupakan Corpus Delicti. maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et Repertum. Dan tentunya kedudukan seorang dokter di dalam penanganan korban kejahatan dengan menerbitkan Visum et Repertum seharusnya disadari dan dijamin netralitasnya, karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya kebenaran Sehubungan dengan peran Visum et Repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan misalnya, pangaduan atau laporan kepada pihak kepolisian baru akan dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban. Jika korban dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis, maka dokter punya kewajiban untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi atau menyuruh keluarga korban untuk melapor ke polisi. Korban yang melapor terlebih dahulu ke polisi pada akhirnya juga akan dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis sekaligus pemeriksaan forensik untuk dibuatkan Visum et Repertum nya. Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan maka hakim dapat meminta
31
keterangan ahli atau diajukannya bahan baru seperti yang tercantum
dalam
KUHAP
yang
memberi
kemungkinan
dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (Pasal 180 KUHAP).
3. Tinjauan tentang Putusan Hakim dan Pertimbangan Hakim a. Pengertian Putusan dan Isi Putusan Putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, menerangkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini, Pasal 182 ayat (6) KUHAP juga menerangkan, bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan pemufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara: 1) Putusan diambil dengan suara terbanyak. 2) Jika yang tersebut pada angka 1 tidak juga dapat diperoleh putusan,
dipilih
ialah
pendapat
hakim
yang
paling
mengutungkan Terdakwa. Yahya Harahap berpendapat bahwa putusan akan dijatuhkan pengadilan, tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (Yahya Harahap, 2010: 247). Setiap keputusan hakim yang bukan putusan akhir (Putusan Sela) merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : 1) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
32
Terkait dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatukan putusan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP). 2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan karena Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan tidak cermat, kurang jelas dan tidak lengkap. 3) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan penuntut umum sebab putusan dijatuhkan karena: a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntut dalam delik aduan tidak ada. b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem). c) Hak untuk penunututan telah hilang karena daluwarsa atau verjaring. b. Macam-macam Putusan Pengadilan 1)
Pemidanaan atau penjatuhan pidana Pasal 193 ayat (1) KUHAP mengatur tentang putusan pemidanaan,
yaitu jika pengadialn berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan dijatuhi hukuman pidana oleh seuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang
33
didakwakan kepada terdakwa. Dan putusan pemidanaan juga harus memuat Pasal 197 ayat (1) f KUHAP yang menyatakan tentang pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan
atau
tindakan
dan
pasal
peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Sedangkan Van Bamellen merumuskan bahwa putusan pemidanaan diajtuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan dan terdakwa dapat dipidana (Andi Hamzah, 2013: 281). 2)
Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum Pasal 191 ayat (2) mengatur tentang putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi tindakan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasarkan kriteria: a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan; b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tidank pidana. Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengatakan bahwa, “Jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil
pemeriksaan
disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Kata kesalahan multi interpretasi, karena bisa hanya berarti opzet atau culpa, atau berarti sifat
34
dapat dicelanya pembuat delik tersebut. Mengingat KUHP mengant paham monistis, dimana opzet atau culpa dapat dirumuskan menjadi bestanddeel delict dan diputus lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal opzet atau culpa menjad unsur diam-diam (elemen delict). Apabila kesalahan berarti sifat dapat dicela orang yang melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini putusan bebas
dijatuhkan
karena
terdakwa
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka putusan bebas tersebut hanya dapat dijatuhkan bukan hanya karena tidak terbuktinya criminal act tetapi juga criminal liability. Putusan bebas dijatuhkan ketika criminal act terbukti tetapi criminal liability tidak terbukti, maka putusannya dapat dikategorikan bebas tidak murni atau nietzuivere vrijspraak. Bebas tidak murni adalah putusan “lepas dari segala tuntutan hukum terselubung” atau bedekte onslag van rechtvervolging (Yudhantara Fajar Pradana, Skripsi, 2012: 36). 3) Putusan Bebas Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijpraak) atau acqittal. Terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, maksudnya dibebaskan dari pemidanaan atau dengan kata lain terdakwa tidak dipidana. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1), yang menjelaskan bahwa apabila pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan
terdakwa
atas
perbuatan
yang
didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. c. Pengertian Pertimbangan Hakim Ketentuan
mengenai
pertimbangan
hakim
dalam
menjatuhkan putusan pidana diatur dalam Pasal 197 ayat (1)
35
huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan sebagai berikut “Pertimbangan hakim disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan yang menjadi dasar penentuan kesalahankesalahan terdakwa.” Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
d. Jenis-Jenis Pertimbangan Hakim 1) Pertimbangan Yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya: a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka pengadilan (Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010: 65). Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan sebuah surat dakwaan yaitu syaratsyarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana serta waktu
36
dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). b) Tuntutan Pidana Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa dengan menjelaskan karena telah terbukti
melakukan tindak pidana (Nikolas
Simanjuntak, 2009: 142). Penyusunan surat tuntutan oleh Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya didalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa,
dengan
memberikan
alasan
tentang
anggapannya tersebut. c) Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Lilik Mulyadi, 2007: 169). Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri dan harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan
37
hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah Testimonium de Auditu. d) Keterangan Terdakwa Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e. keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Pasal 189 KUHAP menyetakan bahwa “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” Keterangan terdakwa dapat meliputi
keterangan
yang
berupa
penolakan
dan
keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. e) Barang Bukti Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang
pengadilan
bertujuan
untuk
menguatkan
keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adanya
barang
bukti
yang
diperlihatkan
pada
persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi. f) Pasal-Pasal dalam KUHAP Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah
38
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan
suatu
putusan
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4748/1/ 09E01948.pdf, diakses pada Selasa, 24 - 11 - 2015 pukul 22.50 WIB). 2) Pertimbangan Non Yuridis Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis (Bunadi Hidayat, 2009: 93). Pertimbangan yang bersifat sosiologis berguna
untuk
mengetahui
latar
belakang
mengapa
terdakwa melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak. Secara psikologis untuk mengetahui kondisi psikologi terdakwa pada saat melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak maupun sesudah dijatuhi putusan pidana. Secara kriminologis berguna untuk mengetahui sebab-sebab terdakwa melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak. Hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan anak (Pradhita Rika Nagara, 2014: 7). Terdapat
pertimbangan
non
yuridis
yang
mempengaruhi suatu putusan hakim selain yang disebutkan di atas yaitu pertimbangan yang memberatkan dan meringankan, seperti: a) Pertimbangan yang Memberatkan KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang
39
memangku suatu jabatan dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya
sebagai
berikut
“Bilamana
seseorang
pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan
tindak
pidana
memakai
kekuasaan,
kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatannya,
pidananya
dapat
ditambah
sepertiganya”. Kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Ketiga yaitu gabungan atau samenloop adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana. b) Pertimbangan yang Meringankan Menurut
KUHP
alasan-alasan
yang
dapat
meringankan pidana adalah: 1) Percobaan dalam Pasal 53 ayat (2) dan (3) KUHAP; 2) Membantu atau medeplichgqheid dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2) KUHAP; 3) Belum dewasa atau minderjarigheid dalam Pasal 45 KUHAP. c) Hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut: 1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan;
40
2) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik; 3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyesalan atas perbuatannya. 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak a. Pengertian Anak Hukum positif yang berlaku di Indonesia terdapat pluralisme mengenai definisi anak. Hal ini dikarenakan setiap peraturan perundang-undangan
mengatur
secara
tersendiri
mengenai
pengertian anak, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, anak didefinisikan sebagai “Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.” 2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012
tentang
Sistem
Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (4) menyebutkan bahwa “Anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun
yang mengalami
penderitaan fisik, ment al, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.” 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 butir 1 menyebutkan pengertian
anak
adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan
ibu
menurut
undang-undang
mendapatkan suatu perlindungan hukum.
ini
telah
41
4) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pengertian dari anak tidak diartikan secara lebih lanjut, namun berdasarkan Pasal 45 KUHP dapat disimpulkan mengenai pengertian anak yaitu seseorang yang belum cukup umur, di mana batasan umurnya adalah 16 (enam belas) tahun. 5) Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. b. Pengertian Persetubuhan Tindak pidana kesusilaan juga banyak yang melibatkan anak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak di dalamnya diatur dalam Pasal 81 ,Pasal 82 dan Pasal 88. Yang disebut persetubuhan menurut rumusan KUHP adalah sesuai Arrest Hoge Raad sebagaimana dikutip (Andi Zainal Abidin Farid,2007: 339) disebutkan: “Tindakan memasukan kemaluan laki laki kedalam kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan ,dengan kata lain bilamana kemaluan itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan. Oleh karna itu, apabila dalam peristiwa perkosaan walaupun kemaluan laki-laki telah agak lama masuknya kedalam kemaluan perempuan, air mani laki-laki belum keluar hal itu belum merupakan perkosaan ,akan tetapi percobaan perkosaan.” Pengertian persetubuhan tersebut masih pengertian aliran klasik. Menurut teori modern tanpa mengeluarkan air manipun maka hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai persetubuhan sehingga tidak tepat jika disebut
hanya sebagai percobaan.
42
Persetubuhan yang lengkap terdiri dari penetrasi penis kedalam vagina,gesekan-gesekan peni teradap vagina dan ejakulasi. Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus diakhiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan ,yaitu masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat dianggap sebagai tindakan persetubuhan (Sofwan Dahlan, 2000: 108). Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia ,seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal persetubuhan jika ia sudah genap berumur 15 tahun. Pada umur tersebut ia sudah dianggap mampu memahami resiko-resikonya dan oleh karenanya ia dapat menentukan sendiri apakah ia akan menyetujui suatu persetubuhan atau tidak. Namun
persetubuhan dengan wanita
yang tidak sehat akalnya tidak dianggap sah ,meskipun wanita itu sudah berumur 15 tahun . Ikatan perkawinan dapat dianggap sebagai persetujuan atau izin bagi suami untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya. Jika persetubuhan dilakukan dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip di atas maka persetubuhan dianggap tak legal dan dapat dipidana (Sofwan Dahlan, 2000: 108-109). Berdasarkan KUHP, persetubuhan tak legal terdiri atas persetubuhan tak legal yang harus dilakukan didalam perkawinan dan persetubuhan tak legal yang dilakukan di luar perkawinan. Yang dimaksud persetubuhan tak legal yag dilakukan didalam perkawinan disini adalah persetubuhan yang dilakukan terhadap istrinya sendiri yang belum cukup umur dan persetubuhan tersebut telah menimbulkan luka-luka. Ancaman hukuman berdasarkan Pasal 288 KUHP ialah penjara selama-lamanya 4 tahun jika mengakibatkan luka berat maka ancaman hukumannya 8 tahun dan jika mengakibatkan mati ancaman hukumannya 12 tahun. Sedangkan persetubuhan tak legal diluar perkawinan
43
adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan wanita yang bukan istriya, dengan kata lain antara lakilaki dan wanita yang melakukan persetubhan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan. Persetubuhan ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1) Persetubuhan yang dilakkan atas persetujuan atau izin dari wanita yang disetubuhi, misalnya persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur dan perzinaan. 2) Persetubuhan yang dilakukan tanpa persetujuan atau izin dari wanita yang disetubuhi,misalnya perkosaan dan persetubuhan degan wanita yang tidak berdaya Yang dimaksud dengan persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 tahun. Berdasarkan Pasal 287 KUHP, jika umurnya wanita itu belum genap 12 tahun termasuk delik biasa dan jika umurnya sudah genap 12 tahun tetapi belum genap 15 tahun termasuk delik aduan. Sedangkan yang dimaksud persetubuhan dengan wanita tidak berdaya sebagaimana
diuraikan
dalam
Pasal
286
KUHP
ialah
persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang keadaan kesehatan jiwanya tidak memungkinkan wanita itu dapat dimintai persetujuannya atau izinya. Wanita tak sadar, gila, atau idiot tidak mungkin dapat dimintai persetujuan atau izinya untuk disetubuhi, kalaupun ia memberikan persetujuan atau izin maka dianggap tidak sah. Begitu juga wanita yang pingsan ,dengan catatan pingsannya itu bukan karena perbuatan laki-laki yang menyetubuhinya, namun jika pingsannya itu akibat perbuatan laki-laki itu maka tindak pidana tersebut termasuk pemerkosaan bukan persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya (Sofwan Dahlan ,2000: 110-111).
44
c. Pengertian Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Kekerasan terhadap anak-anak yang terjadi di sekitar kita dan sepanjang tidak saja dilakukan oleh lingkungan keluarga anak, namun juga dilakukan oleh lingkungan keluarga anak sendiri yakni orang tua. Alasan pada umumnya pelaku adalah sangat beragam, selain tidak rasional juga mengada-ada. Sementara itu usia korban rata-rata berkisar antara 2 (dua)-15 (lima belas) tahun bahkan diantaranya dilaporkan masih berusia 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan. Para pelaku sebelum dan sesudah melakukan kekerasan seksual umumnya melakukan kekerasan, dan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan (Lukman Hakim Nainggolan, 2008: 76). Anak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan dapat menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri. Penderitaan itu menyebabkan efek jangka panjang yang negatif terkait dengan depresi, trauma dengan laki-laki, rendah diri, berpikir untuk bunuh diri, putus asa dan bahkan tidak mau melanjutkan jenjang pendidikan (Daniel Rees dan Joseph Sabia, 2013: 3). Tindak pidana persetubuhan terhadap seorang anak diatur secara tegas dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP yang berbunyi: 1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
45
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
46
B.Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak (Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP)
Pembuktian
Alat Bukti (184 ayat (1) KUHAP)
Keterangan Saksi
Keterangan Ahli
Surat
Petunjuk
Visum et repertum Nomor: 045/DIR/RSU-KB/V/2015 Pertimbangan Hakim (Pasal 183 jo. 193 KUHAP)
Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 32/Pid.Sus/2015/PN.Kln
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan Terdakwa
47
Penjelasan Kerangka Pemikiran: Kerangka pemikiran tersebut menggambarkan logika hukum yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian hukum penulis yaitu mengenai kekuatan alat bukti Visum et Repertum dalam pembuktian tindak pidana mengajak anak bersetubuh secara berlanjut sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Berawal dari adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang laki-laki berusia 31 (tiga puluh satu) tahun yang melakukan persetubuhan terhadap anak yang masih berusia 16 (Enam belas) tahun dimana keduanya memiliki status hubungan berpacaran. Hal ini diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP tentang Perlindungan Anak. Orang tua korban tidak terima dengan perbuatan terdakwa sehingga melaporkan kasus ini ke ranah hukum. Pembuktian dilakukan demi terciptanya fakta hokum agar terdakwa dapat dikenai sanksi hukum yaitu dengan cara mengajukan salah satu alat bukti yaitu pengajuan Visum et Repertum. Alat bukti yang sah ini dinilai sebagai alat bukti berupa keterangan ahli maupun surat dengan berdasar Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Visum et Repertum yang diajukan ini telah menjelaskan hasil pemeriksaan laboratorium forensik terhadap korban atas perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa. Hasil alat bukti yang diajukan mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Pertimbangan hakim ini harus sesuai dengan Pasal 183 jo. 193 KUHAP sehingga menghasilkan suatu putusan hakim dari Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 32/Pid.Sus/2015/PN.KLN. yang harus diterima oleh terdakwa yaitu pidana penjara dan denda.