BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kenakalan remaja 1. Pengertian Kenakalan remaja merujuk pada tindakan pelanggaran suatu hukum atau peraturan oleh seorang remaja. Pelanggaran hukum atau peraturan bisa termasuk pelanggaran berat seperti membunuh atau pelanggaran seperti membolos dan mencontek. Pembatasan mengenai apa yang termasuk sebagai kenakalan remaja mungkin dapat dilihat dari tindakan yang diambilnya, seperti tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial, tindakan pelanggaran ringan dan tindakan pelanggaran berat (Gunarsa, 2009). Sarwono (2011) mendefinisikan salah satu bentuk penyimpangan sebagai kenakaan remaja. Kenakalan remaja ini merupakan tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya tidak sempat diketahui oleh petugas hukum maka dirinya dapat dikenai hukuman. Perilaku menyimpang remaja merupakan tingkah laku yang menyimpang dari norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga, namun jika penyimpangan tersebut terjadi terhadap norma-norma hukum pidana baru disebut kenakalan. 2. Jenis-jenis kenakalan remaja Kenakalan remaja merupakan perilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau melanggar hukum. Jensen (1985 dalam Sarwono, 2011) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis, yaitu : a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain. b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
7
8
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat. d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. 3. Pencegahan kenakalan remaja Dalam menghadapi remaja, ada beberapa hal yang harus diingat yaitu bahwa remaja adalah jiwa yang penuh gejolak dan bahwa lingkungan sosial remaja juga ditandai dengan perubahan sosial yang cepat yang menyebabkakan kesimpangsiuran norma. Upaya untuk mengurangi benturan berbagai gejolak itu dan memberi kesempatan agar remaja dapat mengembangkan dirinya secara lebih optimal, perlu diciptakan kondisi lingkungan terdekat yang stabil mungkin, khususnya lingkungan keluarga (Sarwono, 2011). Keadaan keluarga yang ditandai dengan hubungan suami istri yang harmonis akan lebih menjamin remaja untuk dapat melewati masa transisinya dengan mulus. Kondisi dalam keluarga dengan adanya orang tua dan saudara-saudara akan lebih menjamin kesejahteraan jiwa remaja daripaa asrama atau lembaga pemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut maka tindakan pencegahan yang paling utama adalah berusaha menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga sebaik mungkin (Gunarsa, 2009). Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa setiap remaja adalah unik. Kebiasaan menyamaratakan remaja dengan saudara-saudaranya sering kali bukan tindakan yang bijaksana karena justru akan menimbulkan rasa iri hati pada remaja (Sarwono, 2011). Di samping faktor keluarga, pengembangan pribadi remaja yang optimal juga perlu diusahakan melalui pendidikan, khususnya sekolah. Pendidikan yang pada hakikatnya merupakan proses pengalihan norma-norma, jika dilakukan dengan sebaikbaiknya sejak usia dini, akan diserap dan dijadikan tolok ukur yang mapan
9
pada saat anak memasuki usia remaja, dengan kata lain remaja yang sejak usia dini sudah dididik sedemikian rupa sehingga dirinya mempunyai nilai-nilai yang mantap dalam jiwanya, akan berkurang gejolak jiwanya sehingga akan bisa menghadapi gejolak di luar dirinya dengan lebih tenang (Sarwono, 2011). 4. Penanganan terhadap perilaku kenakalan remaja Roggers (dalam Sarwono, 2011) menyebutkan ada lima ketentuan yang akan dipenuhi untuk membantu remaja, yaitu : a. Kepercayaan, yaitu remaja harus mampu percaya kepada orang yang mau membantunya. Orang tua, teman sebaya dan sekolah memiliki peran penting untuk menumbuhkan kepercayaan pada remaja, karena pada dasarnya hanya pihak-pihak inilah yang memegang peranan dalam dalam menumbuhkan kepercayaan pada remaja (Santrock, 2003). Kepercayaan remaja terhadap orang tua ini dapat dilakukan dengan penanaman akhlaq atau agama kepada remaja. Dalam pendidikan anak perlu diperhatikan perlakukan orangtua yang diterima oleh si anak misalnya, kasih sayang, perhatian yang memadai, adil dan tempat berbagi cerita. Dengan demikian anak akan merasa aman dan tenteram tanpa rasa takut dan dimarahi, dibanding-banding dengan saudarasaudaranya yang lain (Arkan, 2006). b. Kemurnian hati. Remaja harus merasa bahwa penolong itu sungguhsungguh mau membantunya tanpa syarat. Remaja tidak suka kalau orang tua misalnya mengatakan “pelajaranmu itu kan penting, utamakan dulu pelajaranmu nanti yang lainnya mama yang bantu. Inikan buat kepentinganmu sendiri”. Bagi remaja yang terpenting kalau mau membantu tinggal dibantu saja tanpa ada penambahan halhal yang lain (Sarwono, 2011). c. Kemampuan mengerti dan menghayati perasaan remaja. Posisi yang berbeda antara remaja dengan orang dewasa menyebabkan kesulitan bagi orang dewasa untuk berempati kepada remaja, karena setiap
10
orang akan cenderung untuk melihat segala persoalan dari sudut pandangnya sendiri (Sarwono, 2011). d. Kejujuran.
Remaja
menyampaikan
apa
mengharapkan adanya
termasuk
kejujuran hal-hal
penolongnya yang
kurang
menyenangkan. Keluarga, teman sebaya dan sekolah harus mampu memfasilitasi agar remaja dapat membuka diri dengan menunjukkan kejujuran dari beberapa pihak ini sehingga remaja bersedia menceritakan setiap permasalahannya sehingga dapat dipecahkan sedini mungkin (Santrock, 2003). e. Mengutamakan persepsi remaja sendiri. Remaja akan memandang segala sesuatu berdasarkan sudut pandangnya sendiri, terlepas dari kenyataan atau pandangan orang lain yang ada. Remaja yang merasa diperhatikan akan berusaha untuk tidak kehilangan perhatian, melakukan hal-hal positif yang dapat menarik perhatian orangtua, berpikir dan menggali potensi diri untuk menarik perhatian orangtua. Remaja akan aktif berpikir dalam proses kreatif. Bila dihargai pemikirannya, remaja akan aktif berpikir sebagai bagian dari proses kreatif (Maryati, dkk, 2009).
5. Faktor yang menyebabkan kenakalan remaja Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan penyimpangan adalah: a. Pilhan yang rasional (Rational choice). Teori ini mengutamakan faktor individu dari pada faktor lingkungan. Kenakalan yang dilakukannya adalah
atas pilihan, interes, motivasi atau kemauannya sendiri. Di
Indonesia banyak yang percaya pada teori ini, misalnya kenakalan remaja dianggap sebagai kurang iman sehingga anak dikirim ke pesantren kilat atau dimasukkan ke sekolah agama, yang lain menganggap remaja yang nakal kurang disiplin sehingga diberi latihan kemiliteran (Sarwono, 2011).
11
b. Ketidakteraturan sosial (Social disorganization). Permasalahan yang menyebabkan
kenakalan
remaja
adalah
berkurangnya
atau
menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjaga keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat. Ketidakteraturan sosial ini terjadi dalam bentuk perubahan-perubahan norma seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi yang menuntut remaja dapat mengikuti perkembangan tersebut. Peran orang tua yang diwujudkan
dalam
pemilihan
pola
pengasuhan
akan
dapat
menempatkan remaja untuk kembali kepada norma yang berlaku. Faktor psikologis dari keanakalan remaja meliputi hubungan remaja dengan orang tua dan faktor kepribadian dari remaja itu sendiri. Suasana dalam keluarga, hubungan antara remaja dan orang tuanya memegang peranan penting atas terjadinya kenakalan remaja (Gunarsa, 2009). Penelitian Shanty (2011) menemukan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi
terjadinya
kenakalan
remaja
adalah
ketidakberfungsian keluarga, dimana peran orang tua dalam mencegah kenakalan anak remajanya berjalan kurang efektif. Orang tua yang bekerja di luar rumah tidak mampu memberikan pengawasan dan perhatian dengan baik sehingga remaja mencoba untuk mencari jati dirinya di luar rumah. c. Tekanan (Strain). Teori ini dikemukakan oleh Merton yang intinya adalah bahwa tekanan yang besar dalam masyarakat, misalnya kemiskinan, menyebabkan sebagian dari anggota masyarakat yang memilih jalan rebellion melakukan kejahatan atau kenakalan remaja. Faktor eksternal dalam lingkungan sosial juga menunjang terjadinya kenakalan remaja, sehingga dapat dikatakan adanya suatu lingkungan yang delinkuen yang mempengaruhi remaja tersebut (Gunarsa, 2009) Tekanan ini terjadi juga akibat dari salah pergaulan (Differential association). Menurut teori ini, kenakalan remaja adalah akibat salah pergaulan. Anak-anak nakal karena bergaulnya dengan anak-anak
12
yang nakal juga. Paham ini banyak dianut orang tua di Indonesia, yang sering kali melarang anak-anaknya untuk bergaul dengan teman-teman yang dianggap nakal, dan menyuruh anak-anaknya untuk berkawan dengan teman-teman yang pandai dan rajin belajar (Sarwono, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Shanty (2012) menemukan bahwa faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja pada anak yaitu kurang tersedianya waktu orang tua untuk mendidik anak, tidak adanya pengawasan dari orang tua, pengaruh lingkungan, pengaruh teman sepermainan serta faktor kesenangan dari para remaja sendiri. Faktor pendukung peran orang tua dalam mencegah kenakalan anak remajanya yaitu tersedianya sarana televisi tetapi tidak dimanfaatkan secara baik. Faktor penghambatnya yaitu ketidaktegasan orang tua dalam mendidik anak, aktifitas anak yang sering bermain, pengaruh lingkungan, pengaruh teknologi dan pengaruh teman sepermainan e. Labelling: Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal Di Indonesia, banyak orang tua (khususnya ibu-ibu) yang ingin berbasabasi dengan tamunya, sehingga ketika anaknya muncul di ruang tamu, kemudian mengatakan pada tamunya, "Ini loh, mbakyu, anak sulung saya. Badannya saja yang tinggi, tetapi nakaaalnya bukan main". Hal ini kalau terlalu sering dilakukan, maka anak akan jadi betul-betul nakal. Identitas diri melalui julukan atau pelabelan akan membentuk perilaku karena merupakan hasil penilaian terhadap dirinya, yang selanjutnya hasil penilaian akan mewarnai perilaku yang ditampilkan (Margiantari, 2006). f. Male phenomenon: Teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat laki-laki atau karena budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal (Sarwono, 2011).
13
B. Remaja 1. Pengertian remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata lain adolecere (kata belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istiliah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, spasial dan fisik (Sarwono, 2011). Hurlock dalam (Sarwono, 2011) juga menjelaskan bahwa berdasarkan usia adalah antara 13-18 tahun. Masa ini dibagi menjadi usia 13-16 tahun sebagai masa remaja awal dan usia 16-18 tahun disebut sebagai masa remaja akhir. Tarwoto (2010) memberikan definisi tentang remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dan masa ini sering disebut sebagai masa pubertas. Pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis baik bentuk maupun fisiologis yang terjadi dengan cepat dari masa anak-anak ke masa dewasa, terutama perubahan alat reproduksi. Masa remaja juga diistilahkan dengan masa adolesens dimana istilah ini lebih menekankan pada perubahan psikososial atau kematangan yang menyertai masa pubertas (Soetjiningsih, 2004). 2. Perkembangan Remaja Setiap tahap usia manusia pasti ada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui. Perkembangan remaja meliputi perkembangan fisik, sosial, emosi, moral dan kepribadian (Monks dan Haditomo, 2007). a. Perkembangan fisik remaja Seperti pada semua usia, dalam perubahan fisik juga terdapat perbedaan individual. Perbedaan seks sangat jelas. Meskipun anak laki-laki memulai pertumbuhan pesatnya lebih lambat daripada anak perempuan. Hal ini menyebabkan pada saat matang anak laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah masa puber, kekuatan anak laki-laki melebihi kekuatan anak perempuan. Perbedaan individual juga dipengaruhi oleh usia kematangan. Anak yang matangnya
14
terlambat cenderung mempunyai bahu yang lebih lebar daripada anak yang matang lebih awal. Usia remaja terjadi pengeluaran androgen yang menyebabkan pembentukan rambut pubis yang kemudian disusul dengan keluarnya rambut ketiak. Pada remaja perempuan berangsurangsur ovarium mulai berkembang (Wignyosastro, 2009). Perubahan-perubahan
fisik
pada
remaja
yang
terbesar
pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi makin panjang dan tinggi), mulai berfungsi alatalat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2011). Perkembangan fisik remaja masih jauh dari sempurna pada masa puber (masa dimana terjadi kematangan organ seks) berakhir, dan juga belum sepenuhnya sempurna pada akhir masa awal remaja. Perkembangan fisik masa remaja ini mengalami penurunan dalam laju pertumbuhan dan perkembangan. Perkembangan internal seperti sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem endokrin dan jaringan tubuh lebih menonjol daripada perkembangan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks dan ciriciri seks sekunder (Nurihsan dan Agustin, 2011). b. Perkembangan sosial Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Monks dan Haditomo, 2007). Remaja memiliki keinginan kuat untuk mengadakan interaksi sosial dalam upaya mendapatkan kepercayaan dari lingkungan, sedangkan di lain pihak remaka mulai memikirkan kehidupan secara mandiri serta terlepas dari pengawasan dari orang tua dan sekolah.
15
Remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan interpersonal yang awalnya belum pernah ada, juga harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Remaja dalam mencapai hubungan pola sosialisasi dewasa, harus membuat banyak penyesuaian baru (Tarwoto, 2010). Upaya untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Hal yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilainilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Monks dan Haditomo, 2007). c. Perkembangan emosi Masa remaja ini biasa juga dinyatakan sebagai periode “badai dan tekanan”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya perubahan emosi ini dikarenakan adanya tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Pada masa ini remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, atau dengan suara keras mengritik orang-orang yang menyebabkan amarah (Irwanto, dkk, 2007). Faktor yang menyebabkan tingginya emosi pada remaja karena adanya tekanan sosal, menghadapi kondisi dan lingkungan yang baru, dan kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan dan lingkungan baru tersebut. Remaja mengalami masa badai tersebut dengan ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru (Nurihsan dan Agustin, 2011). d. Perkembangan moral Pada perkembangan moral ini remaja telah dapat mempelajari
16
apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Perkembangan moral pada remaja ini sebagai akibat dari adaptasi diri terhadap lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Melalui kehidupan kelompok dalam lingkungannya ini remaja dapat mengekspresikan perasaan, pikiran, memainkan peran dan mendapat pengakuan keberadaannya (Suliswati, 2005). e. Perkembangan kepribadian Pada masa remaja, anak laki-laki dan anak perempuan sudah menyadari sifat-sifat yang baik dan yang buruk, dan mereka menilai sifat-sifat ini sesuai dengan sifat teman-teman mereka. Mereka juga sadar akan peran kepribadian dalam hubungan-hubungan sosial dan oleh karenanya terdorong untuk memperbaiki kepribadian mereka. Banyak remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka mengenai kepribadian “ideal”. Tidak banyak yang merasa dapat mencapai gambaran yang ideal ini dan mereka yang tidak berhasil ingin mengubah kepribadian mereka (Monks dan Haditomo, 2007).
C. Peranan Orang Tua 1. Pengertian Peran Orang tua Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena orang tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga inti ini memiliki hubungan biologis yang menyiratkan pengaruh genetik dari keduanya (Gunarsa, 2009).
17
Menurut Gunarsa 2009) dalam keluarga yang ideal (lengkap) maka ada dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan peran ibu, secara umum peran kedua individu tersebut adalah pada proses sosialisasi peranan ibu dapat dikatakan lebih besar daripada seorang ayah. Sebagaimana ibu harus mengambil keputusan-keputusan yang cepat dan tepat. Bahkan sebagai ayah berfungsi untuk mengambil keputusankeputusan penting, sedangkan seorang istri mengambil keputusan yang kurang penting. Walaupun demikian, terdapat suatu kecenderungan bahwa peranan orang tua mulai berubah, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Kesempatan untuk kerja bagi wanita semakin banyak, tersedianya lembaga-lembaga pendidikan lanjutan yang terbuka untuk wanita serta dibentuknya organisasi-organisasi wanita yang ada kaitannya dari tempat suami bekerja. Hal-hal tersebut mengakibatkan terjadinya kesulitankesulitan di dalam melaksanakan proses sosialisasi kepada anak (Gunarsa, 2009). 2. Pola asuh Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negative maupun positif (Drey, 2006). Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat (Gunarsa, 2009).
18
Terdapat tiga macam jenis pola asuh orang tua yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial remaja antara lain (Gunarsa, 2009): a. Pola asuh autoritarian atau pola asuh otoriter Adalah gaya pola asuh orang tua yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan otoriter ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang cakap. Remaja dengan orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter biasanya seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai sesuatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah. Kelebihan dari penerapan pola asuh ini sekilas anak akan nampak patuh dan menurut dengan orangtua (Sukarmin, 2009). Pola pengasuhan otoriter seringkali membuat anak remaja memberontak, terlebih lagi bila orangtuanya keras, tidak adil dan tidak menunjukkan afeksi. Remaja akan menunjukkan sikap bermusuhan kepada orang tua dan seringkali menyimpan perasaan tidak puas terhadap kontrol dan dominasi dari orang tua (Gunarsa, 2008). a.
Pola asuh otoritatif (demokratis) Dimana pola asuh tersebut mendorong untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan- tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung secara dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Pengasuhan dengan sistem demokratis berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten. Remaja dengan pola asuh ini akan mmempunyai kesadaran diri dan tanggung jawab sosial yang cukup tinggi (Sukarmin, 2009). Pola pengasuhan otoritatif merupakan salah satu pola pengasuhan yang paling efektif untuk mencegah delinkuensi bagi
19
remaja. Remaja yang dibesarkan dengan pola pengasuhan otoritatif akan merasakan suasana rumah yang penuh rasa saling menghormati, penuh apresiasi, kehangatan, penerimaan dan adanya konsisrtensi pengasuhan dari orang tua, sehingga remaja akan lebih mudah menyeseuaikan diri dengan lingkungan (Gunarsa, 2009). b. Pola asuh permisif Pola asuh permisif ini dapat dibedakan menjadi dua macam : 1) Pola
asuh
permisif
tidak
peduli
(Premissive-indiifferent
parenting) adalah suatu pola di mana orang tua tidak mau ikut campur dalam kehidupan remaja. Remaja sangat membutuhkan perhatian orang tua mereka, orang tua yang menerapkan pola asuh ini mendapat kesan bahwa aspek lain dari kehidupan orang tua lebih penting daripada anaknya. Remaja dengan pola asuh permisif
biasanya
tidak
cakap
secara
sosial,
mereka
menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik (Sukarmin, 2009). 2) Pola asuh permisif dalam bentuk memanjakan (permissiveindulgent parenting) adalah suatu pola asuh dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permissife-memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kekurangannya dalam mengendalikan diri. Bagi remaja yang berkepribadian
baik
ada
kemungkinan
anak
dapat
mengembangkan diri dengan baik (Sukarmin, 2009). Pola pengasuhan permisif ini membuat orang tua sangat menunjukkan dukungan emosional kepada anak mereka tetapi kurang menerapkan kontrol pada anak. Orang tua mengizinkan anak remajanya untuk melakukan apa saya yang mereka mau, bahkan nampak bahwa remaja lebih berkuasa daripada orang tua dalam pengambilan berbagai keputusan. Hal ini menyebabkan anak remaja tidak memiliki kontrol diri yang baik, menjadi egois, memaksakan
20
kehendak mereka sendiri tanpa memperdulikan perasaan orang lain (Gunarsa, 2009). 3. Sosialisasi Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat (Nurihsan dan Agustin, 2011). a. Jenis sosialisasi Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: 1. Sosialisasi primer (dalam keluarga) Sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan
belajar menjadi anggota masyarakat.
Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orangorang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya (Nurihsan dan Agustin, 2011). 2. Sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama (Gunarsa, 2009). 4. Pendekatan orang tua dalam mencegah kenakalan remaja Peranan orang tua dalam mencegah terjadinya kenakalan remaja sangat penting. Remaja memiliki keinginan yang kuat untuk diterima sebagai orang dewasa yang otonom. Otonomi atau kemandirian
21
melibatkan suatu proses pemisahan individuasi. Proses pemisahan individuasi ini merupakan proses ketika remaja menjadi individu yang unik terlepas dari orang tuanya (Santrock, 2003). Remaja memiliki kelekatan yang kuat secara psikologis dengan orang tuanya. Kelekatan dengan orang tua ini dapat memfasilitasi kompetensi sosial dan kesejahteraan remaja. Remaja yang memiliki hubungan yang aman dengan orang tua mereka didapati memiliki harga diri yang lebih tinggi dan kesejahteraan emosional yang lebih baik. Remaja juga akan dapat memiliki hubungan yang kompeten dan positif dengan teman sebayanya, dan dapat menjalin hubungan yang akrab di luar keluarganya. Kelekatan
yang sehat dengan orang tuanya dapat mencegah perasaan
cemas dan depresi pada remaja yang pada akhirnya dapat membantu remaja untuk berfikir dan bertingkah laku yang lebih logis dan rasional (Gunarsa, 2009).
22
D. Kerangka Teori
Rational choice (Pilihan yang rasional) meliputi interes, motivasi dan kemamuan sendiri
Social disorganization (Ketidakteraturan sosial) - Budaya -pranata -pola asuh orang tua Strain (Tekanan) - kemiskinan
Differential association (Salah pergaulan) - teman sebaya - lingkungan Labelling (Pelabelan) - panggilan yang salah
Male phenomenon (Fenomena jenis kelamin laki-laki)
Gambar 1. Kerangka teori Sumber : Sarwono (2011) Keterangan: Kausatif/penyebab
Kenakalan remaja
23
E. Variabel penelitian Variabel penelitian ini adalah peran orang tua dalam mencegah kenakalan remaja. F. Pertanyaan penelitian 1. Bagaimana pengetahuan bapak/ibu tentang kenakalan remaja? 2. Bagaimana pengasuhan yang Bapak/Ibu berikan kepada anak remaja anda? 3. Bagaimana komunikasi yang terjalin antara Bapak/Ibu dengan anak remaja Bapak/Ibu? 4. Bagaimana sifat-sifat anak remaja Bapak/Ibu di mata Bapak/Ibu? 5. Bagaimana cara mencegah kenakalan pada anak remaja Bapak/Ibu? 6. Apa saja kendala-kendala yang Bapak/Ibu hadapi untuk mencegah kenakalan pada anak remaja Bapak/Ibu?