BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tambak Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan
digunakan sebagai tempat untuk membudidayakan ikan, udang dan hewan air lainnya yang bisa hidup diair payau (Puspita et al. 2005). Istilah tambak berasal dari bahasa Jawa “nambak” yang artinya membendung air dengan pematang sehingga berkumpul pada suatu tempat. Istilah tambak digunakan untuk menyatakan suatu empang di daerah pesisir yang berisi air payau atau air laut,tetapi tidak dinamakan “kolam” karena istilah kolam khusus digunakan bagi petakan berpematang berisi air tawar yang terdapat di daerah daratan (Lekang 2007). Tambak dapat berfungsi secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis tambak berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hewan dan tumbuhan air, seperti ikan, udang, bentos, plankton dan tumbuhan-tumbuhan yang berasosiasi dengan tambak diantaranya mangrove. Tambak pun berperan sebagai sumber plasma nutfah karena tambak juga berperan sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan tempat mencari makan organisme liar di sekitar tambak. Sedangkan manfaat ekonomis tambak sebagai penghasil berbagai sumber daya alam bernilai ekonomis seperti ikan, udang dan kepiting. Adapun manfaat ekonomis lainya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat (Puspita et al. 2005). Salah satu lokasi tambak yaitu berada di wilayah pantai selatan Kabupaten Garut dengan jenis komoditasnya adalah udang vannamei. Pola budidaya tambak udang vannamei yang digunakan di pantai selatan Garut adalah pola intensif. Lokasi yang siap pakai untuk pembudidayaan udang vannamei di wilayah pantai selatan (Pansela) Kabupaten Garut seluas 30 Ha. Rata-rata wilayah tersebut berada pada kisaran 5–20 m dpl. Memiliki temperatur udara antara 27-35oC sehingga sangat baik untuk perkembangan benih udang vannamei yang sangat membutuhkan suhu yang optimal untuk perkembangannya (Maulina et al. 2012).
5
6
Hasil identifikasi faktor-faktor internal yang dihadapi terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Faktor internal yang menjadi kekuatan adalah potensi lahan yang besar, ketersediaan benih yang memadai, jumlah tenaga kerja yang memadai, kualitas tenaga kerja baik, informasi teknologi sangat terbuka dan ketersediaan modal. Faktor yang menjadi kelemahan adalah kualitas SDM rendah, biaya produksi besar, lembaga pengujian mutu belum representatif, jaminan keamanan dan lemahnya penegakkan hukum (Maulina et al. 2012). Faktor eksternal yang menjadi peluang adalah pangsa pasar yang besar/permintaan udang yang besar, harga udang yang stabil dan kompetitif, preferensi konsumen terhadap hasil tambak, sarana transportasi memadai dan peluang berusaha yang besar. Faktor yang menjadi ancamannya adalah menurunnya daya dukung lingkungan, keamanan yang kurang menjamin, adanya kompetitor, adanya pencemaran lingkungan (Maulina et al. 2012). Keberhasilan usaha budidaya tambak tidak hanya ditentukan oleh konstruksi tambak, desain dan tata letak tambak, pengolahan tanah dan pengadaan benih saja, tetapi juga ditentukan oleh proses pemeliharaan sejak penebaran sampai pemungutan hasil (panen). Kegiatan yang perlu dilaksanakan selama periode pemeliharaan berlangsung antara lain pemberian pakan untuk organisme yang dibudidayakan. Pemberian pakan tambahan dalam jumlah yang cukup banyak, kemungkinan akan meninggalkan sisa-sisa yang apabila membusuk akan berpengaruh terhadap kualitas air. Oleh karena itu, pemberian pakan harus dilakukan dengan efisien (Kartadisastra 2003).
2.2
Udang Vannamei Klasifikasi udang vannamei (Gambar 1) adalah :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Subphylum
: Crustacea
Class
: Malacostraca
Order
: Decapoda
Family
: Penaeidae
7
Genus
: Litopenaeus
Species
: L. vannamei
Gambar 1. Udang vannamei
Udang vannamei termasuk pada famili Penaidae yaitu udang laut. Udang vannamei berasal dari perairan Amerika Tengah. Negara di Amerika Tengah dan Selatan seperti Ekuador, Venezuela, Panama, Brasil dan Meksiko sudah lama membudidayakan jenis udang yang juga dikenal dengan nama pacific white shrimp. Udang vannamei banyak diminati karena memiliki banyak keunggulan antara lain relatif tahan penyakit, pertumbuhan cepat (masa pemeliharaan 100-110 hari), padat tebar tinggi, sintasan pemeliharaan tinggi dan Feed Convertion Ratio rendah (Hendrajat et al. 2007). Tingkat kelulushidupan vannamei dapat mencapai 80-100% (Duraippah et al. 2000) dan menurut Boyd & Clay (2002), tingkat kelangsungan hidupnya mencapai 91%. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram setiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m). Ukuran tubuh maksimum mencapai 23 cm. Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, L.vannamei tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban et al. 1995). Udang vannamei termasuk hewan omnivora yang mampu memanfaatkan pakan alami yang terdapat dalam tambak seperti plankton dan detritus yang ada
8
pada kolom air sehingga dapat mengurangi input pakan berupa pelet. Konversi pakan atau feed conversion ratio (FCR) udang vannamei adalah 1,3-1,4 (Boyd & Clay 2002). Menurut Briggs et al. (2004), udang vannamei membutuhkan pakan dengan kadar protein 20-35%. Budidaya udang vannamei sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal lingkungan tambak. Kualitas benih, persiapan tambak, manajemen kualitas air, manajemen pakan, maupun cuaca sangat menentukan keberhasilan budidaya udang. Manipulasi manajemen budidaya sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi udang putih, salah satunya adalah dengan manipulasi kepadatan tebar (Wardiyanto 2008).
2.3
Struktur Komunitas Plankton Komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada lingkungan tertentu
atau habitat fisik tertentu yang saling berinteraksi atau mempunyai hubungan timbal balik dan secara bersama-sama membentuk tingkatan tropik (Odum 1993). Karakteristik-karakteristik yang terdapat di dalam suatu komunitas akan mencerminkan keadaan dalam komunitas namun bukan pada masing-masing organisme pendukungnya (Odum 1993). Krebs (1985) menyatakan bahwa konsep komunitas dapat digunakan dalam menganalisis keadaan suatu lingkungan perairan karena komposisi dan karakter dari suatu komunitas merupakan indikator yang cukup baik untuk melihat keadaan tempat komunitas itu berada. Struktur komunitas adalah pola kelimpahan suatu populasi dari suatu spesies dan pola hubungan antar spesies dalam sebuah komunitas (Cody 1974). Krebs (1985) menyatakan bahwa struktur komunitas memiliki lima karakteristik atau tipologi yaitu, keanekaragaman, dominasi, bentuk, dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif, serta struktur trofik. Dengan melihat distribusi kelimpahan spesies secara keseluruhan memungkinkan mendapatkan gambaran yang lebih baik dari hubungan kekayaan spesies dengan keserasiannya, yaitu terjadinya kelimpahan relatif spesies (Cody 1974). Adanya dominansi dari suatu komunitas dapat dianalisis menggunakan indeks dominansi. Indeks dominansi Simpson merupakan salah satu metode yang
9
dapat digunakan untuk mengetahui adanya dominansi dalam suatu komunitas (Krebs 1985). Menurut Magurran (1988), jika indeks dominansi Simpson (D) meningkat, maka keanekaragaman menurun.
2.3.1
Plankton Istilah plankton berasal dari kata Yunani yang berarti pengembara.
Organisme ini biasanya relatif kecil atau mikroskopis. Menurut Arinardi et al. (1997), plankton dikelompokkan berdasarkan ukurannya menjadi empat, yaitu mikroplankton (20-200μm), mesoplankton (200μm–2mm), makroplankton (220mm) dan megaplankton (> 20mm). Hidup plankton selalu melayang dan daya geraknya tergantung pada arus atau pergerakan air. Namun demikian ada juga plankton yang mempunyai daya renang cukup kuat sehingga dapat melakukan migrasi harian (Arinardi et al. 1997). Istilah “plankton” pertama kali digunakan oleh Hensen pada tahun 1887 dan plankton dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Satu specimen atau individu dari plankton disebut plankter (Sachlan 1982). Plankton terdiri dari dua jenis sebagai zooplankton dan fitoplankton.
2.3.2
Fitoplankton Fitoplankton adalah komponen autotrof plankton. Autotrof adalah
organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Fitoplakton menurut Arinardi et al. (1997) merupakan nama untuk plankton tumbuhan atau plankton nabati. Menurut Boney (1989) biota fitoplankton adalah tanaman yang diklasifikasikan ke dalam
kelas alga.
Ukurannya sangat kecil, tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Ukuran yang paling umum berkisar antara 2–200 mikro meter (1 mikro meter = 0,001 mm). Fitoplankton umumnya berupa individu bersel tunggal, tetapi ada juga yang membentuk rantai.
10
Fitoplankton
memperoleh
energi
melalui
proses
yang
dinamakan fotosintesis sehingga mereka harus berada pada bagian permukaan permukaan (disebut sebagai zona euphotic) lautan, danau atau kumpulan air yang lain (Thurman 1997). Kemampuan firoplankton untuk mensintesis sendiri bahan organik menjadikannya sebagai dasar dari sebagian besar rantai makanan di ekosistem lautan dan di ekosistem air tawar (Richtel 2007). Selain cahaya, fitoplankton juga sangat tergantung dengan ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhannya. Nutrisi-nutrisi ini terutama makronutrisi seperti nitrat, fosfat atau asam silikat, yang ketersediaannya diatur oleh kesetimbangan antara mekanisme yang disebut pompa biologis dan upwelling pada air (Richtel 2007). Fitoplankton dicirikan dengan pigmen yang berkaitan dengan proses fotosintesis. Selanjutnya proses fotosintesis yang dilakukan oleh algae berkaitan dengan klorofil a dan pigmen tersebut merupakan sel organ kloroplas. Pigmen yang terdapat dalam kloroplas tersebut digunakan sebagai kriteria untuk mengelompokkan ke dalam kelas alga (Bold dan Wynne 1985). Menurut Romimohtarto dan Juwana (1999) meskipun membentuk sejumlah biomasa di laut, fitoplankton ini hanya diwakili oleh beberapa divisi saja, sebagian besar diantaranya bersel satu dan bersifat mikroskopis. Sachlan (1982) membagi algae menjadi beberapa divisi yaitu : Cyanophyta (alga hijau biru), Chlorophyta (alga hijau), Chrysophyta (alga kuning), Pyrrophyta (dinoflagellata), Euglenophyta, Phaeophyta (alga coklat), Rhodhophyta (alga merah).
2.3.3
Zooplankton Zooplankton atau plankton hewani merupakan suatu organisme yang
berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus di lautan bebas yang hidupnya sebagai hewan. Zooplankton termasuk golongan hewan perenang aktif, yang dapat mengadakan migrasi secara vertikal pada beberapa lapisan perairan, tetapi kekuatan berenang mereka adalah sangat kecil jika dibandingkan dengan kuatnya gerakan arus itu sendiri (Hutabarat dan Evans 1986).
11
Berdasarkan siklus hidupnya zooplankton dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu sebagai meroplankton dan holoplankton banyak jenis hewan yang menghabiskan sebagian hidupnya sebagai plankton, khususnya pada tingkat larva. Plankton kelompok ini disebut meroplankton atau plankton sementara. Sedangkan holoplankton atau plankton tetap, yaitu biota yang sepanjang hidupnya sebagai plankton (Arinardi et al. 1994, 1996). Meroplankton terdiri atas larva dari Filum Annelida, Moluska, Byrozoa, Echinodermata, Coelenterata atau Planula cnidaria, berbagai macam Nauplius dan zoea sebagai Artrhopoda yang hidup di dasar, juga telur dan tahap larva kebanyakan ikan. Sedangkan yang termasuk holoplankton antara lain filum Artrhopoda terutama subkelas Copepoda, Chaetognata, Chordata kelas Appendiculata, Ctenophora, Protozoa, Annelidaordo Tomopteridae dan sebagian Moluska. Zooplankton merupakan produsen sekunder sehingga penting dalam jaring makanan di suatu perairan. Zooplankton memangsa fitoplankton dimana fitoplankton itu sendiri memanfaatkan nutrient melalui proses fotosintesis. Pada proses selanjutnya zooplankton merupakan makanan alami bagi larva ikan dan mampu mengantarkan energi ke jenjang tropik yang lebih tinggi. Dalam hubungan dengan rantai makanan zooplankton berperan sebagai penghubung produsen primer dengan tingkat pakan yang lebih tinggi, sehingga kelimpahan zooplankton sering dikaitkan dengan kesuburan peraiaran (Arinardi et al. 1994). Menurut Nybakken (1992), zooplankton melakukan migrasi vertikal harian dimana zooplankton bergerak ke arah dasar pada siang hari dan ke permukaan pada malam hari. Gerakan tersebut untuk mencari makanan yaitu fitoplankton. Gerakan pada malam hari lebih banyak dilakukan karena adanya variasi makanan yaitu fitoplankton lebih banyak, selain itu dimungkinkan karena zooplankton menghindari sinar matahari langsung (Nontji 2008).
2.4
Parameter Lingkungan Perairan Sumber air yang baik dalam pembudidayaan ikan harus memenuhi kriteria
kualitas air yang meliputi sifat-sifat kimiawi dan sifat-sifat fisik air, seperti
12
suspensi bahan padat, suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH, kadar mineral, bahanbahan beracun dan sebagainya (Boyd 1990). Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang penting yaitu sebagai faktor pengontrol yang dapat mempengaruhi aktivitas fisiologis dan kimiawi organisme perairan (Boyd 1990). Suhu optimal di dalam air bergantung pada spesies dan berbagai parameter seperti pertumbuhan, perkembangan, konversi pakan dan ketahanan penyakit. Salinitas Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat diperairan (Boyd 1988 dalam Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total didalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan ionida digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Satuan salinitas dinyatakan dalam satuan permil (‰). Kisaran salinitas air laut adalah 30-35‰, estuari 5-35‰ dan air tawar 0,5-5‰. Oksigen (O2) Oksigen (O2) merupakan gas yang terpenting untuk proses respirasi dan metabolisme dalam tubuh ikan. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Dalam budidaya, kadar oksigen terlarut dalam perairan minimal 3 mg/L dan optimal 5 mg/L (Boyd 1990). pH Nilai pH menunjukan konsentrasi ion H+ dalam perairan. Semakin rendah pH, perairan semakin asam, air yang bersifat asam tidak sesuai untuk pemeliharaan ikan. Derajat keasaman (pH) yang ideal bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,5-8,5 (Boyd 1990). Fosfat, Nitrat dan Silikat Fosfat
merupakan
sebuah
unsur
hara
metabolik
kunci
yang
ketersediaannya seringkali mengendalikan produktivitas perairan (Boyd et all 2001). Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Ortofosfat merupakan
13
bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat merupakan unsur fosfor yang harus terlebih dahulu mengalami hidrolisis membentuk fosfat sebelum dimanfaatkan sebagai sumber fosfor (Effendi 2003). Fosfat dalam bentuk larutan dikenal dengan ortofosfat dan merupakan bentuk fosfat yang digunakan oleh tumbuhan air dan fitoplankton di perairan dan keseimbangannya dikendalikan oleh pH air. Menurut Effendi (2003) nitrogen merupakan senyawa terbesar di biosfer mencapai 78 %. Nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil pada hewan dan tumbuhan. Walaupun ditemukan dalam jumlah yang melipah dilapisan atmosfer, nitrogen tidak dapat dimanfaatkan oleh mahluk hidup secara langsung, melainkan nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4 dan NO3. Nitrat sangat mudah larut di dalam air, dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003). Menurut Mackentum (1969) dalam Haryani (1989) kadar nitrat yang optimal bagi fitoplankton berkisar antara 3,9-15,5 mg/L dan kandungan nitrat kurang dari 0,114 mg/L akan menjadikan nitrat sebagai faktor pembatas. Silikat adalah salah satu nutrisi yang dibutuhkan plankton, dalam hal ini adalah Diatomae. Silikat berperan dalam pembentukan dinding sel Diatomae. Komponen silikat yang digunakan plankton dalam bentuk ortho-Silikat (SiO2). Silikat berperan dalam meningkatkan fotosintesis dan resistansi tanaman terhadap cekaman biotik (serangga, hama dan penyakit dan abiotik, kekeringan, salinitas, alkalinitas dan cuaca ekstrim) (Badan Penelitian Tanah 2010).