BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strangles Strangles adalah penyakit penting pada kuda. Penyakit ini dapat menyebabkan pembesaran limfonodus di leher dan muka. Strangles dapat menyerang pada semua umur terutama umur muda. Umur muda yaitu 4 bulan pertama dapat diproteksi dengan imunitas pasif melalui kolostrum. Strangles disebarkan melalui inhalasi dan ingesti. Streptococcus equi dapat ditemukan di cairan hidung atau nanah dari abses yang pecah dari hewan yang terinfeksi. Penularan dapat terjadi dengan cara bersin, batuk atau kontak hidung hewan yang terinfeksi dengan hewan yang sehat. Streptococcus equi juga dapat menular dengan cara kontak tidak langsung yaitu melalui lalat di sekitar kandang dan pekerja kandang. Semua kuda yang tertular belum tentu menimbulkan gejala klinis (Wood, 2005). Los Angeles Country Department of Health Service mengatakan akan lebih sulit ketika ada salah satu kuda yang terinfeksi di peternakan kuda maka kontrol terhadap kuda yang lain tidak efektif. Maka kuda yang terinfeksi akan dipindah ke area karantina. Enam belas (16) kuda yang terlihat menimbulkan gejala klinis tersebut untuk beberapa bulan akan di euthanasia (Wood, 2005). Faktor kontribusi penularan strangles di peternakan kuda adalah (Anonimus 2007) : 1) Kondisi kandang yang terlalu sempit (populasi kuda yang terlalu banyak dalam satu kandang) 2) Pengetahuan tentang pengetahuan kuda yang kurang dari manajemen peternakan 3) Sanitasi buruk 4) Kurangnya makanan atau kurangnya pengetahuan tentang makanan yang baik 5) Stres yang tinggi akibat perjalanan jauh 6) Kurangnya pengetahuan untuk manajemen kuda yang baru datang pada suatu kandang.
Kuda yang sembuh dari penyakit (tetapi tidak terlalu lama) dapat disertakan dalam perlombaan atau dijual. Kuda betina yang bersifat pembawa (carrier) di breeding farm berperan sebagai penyebar penyakit.
Periode Inkubasi Periode inkubasi lebih cepat antara 4-5 hari atau dapat lebih lama 12-14 hari. Setelah terpapar, inkubasi strangles dapat juga tergantung kondisi cuaca dan kepadatan jumlah kuda pada kandang kecil (Anonimus, 2007).
Gelaja Klinis Kuda-kuda yang terkena strangles akan terlihat gejala-gejalanya antara 314 hari setelah terpapar. Gejala secara umum adanya proses infeksi yaitu depresi, menurunnya nafsu makan dan demam tinggi 39 oC - 39,5 oC (Prescott & Wright, 2003). Gejala klinis lain terlihat keluarnya cairan hidung (awalnya mukoid, kemudian mengental akhirnya cairan bersifat purulent), batuk yang tidak terlalu parah dan jarang, pembengkakan diantara mandibular yaitu pembengkakan di limfonodus submandibular seperti yang terlihat pada gambar 1. Sehingga kuda yang terkena strangles sering terlihat posisi kepala selalu ke bawah dan dijulurkan. Peradangan dapat terjadi di tenggorokan dan limfonodus (Prescott & Wright, 2003).
Gambar 1. Gejala Klinis Penyakit Strangles
Dengan adanya progres yang meningkat dari strangles, terlihat abses di dalam submandibular diantara gigi atau limfonodus retropharyngeal (letaknya di belakang tenggorokan). Limfonodus akan lebih keras dan akan sangat sakit akan menyebabkan terganggunya pernapasan. Abses pada limfonodus akan berisi penuh cairan dan akan pecah dalam 7-14 hari. Selanjutnya akan mengeluarkan cairan kental yang mengandung Streptococcus equi. Abses yang pecah akan cepat terbentuk lagi (Prescott & Wright, 2003). Proses penyakit digambarkan secara klasik dimana kuda tua akan terlihat lebih sedikit dalam waktu singkat dengan ada atau tanpa adanya abses limfonodus. Gelala klinis ini akan menyebabkan kekebalan yang bersifat parsial karena virulensi yang rendah dari bakteri tersebut (Prescott & Wright, 2003). Gejala klinis pada kuda betina umur 5 tahun yang diteliti dengan tidak diberi terapi terlihat adanya dyspnoea, halitosis, dan cyanosis. Sedangkan nekrosi terlihat pneumonia dan pleuritis. Pada kuda umur 1 tahun setelah dinekropsi terlihat epistaksis dan hemoptosis (Piche, 1984). Strangles akan bersifat fatal bila adanya komplikasi dengan penyakit lain. Komplikasi strangles yang bersifat fatal dan sering terjadi adalah : •
“Bastard Stangles”, menggambarkan adanya infeksi yang terjadi selain pada kelenjar getah bening. Sebagai contoh terjadinya abses dan ruptur di abdominal dan limfonodus paru-paru setelah beberapa minggu atau lebih lama akan terlihatnya perubahan. Abses dan ruptur pada otak dapat juga menyebabkan koma. Abses limfonodus retropharyngeal berisi penuh cairan dan akan pecah menyebabkan masuknya cairan nanah dari tenggorokan ke dalam paruparu (Prescott & Wright, 2003).
•
“Purpura hemoragi”, akan terjadi imflamasi akut di pembuluh darah perifer terjadi selama 4 minggu menyebabkan adanya kekebalan saat hewan sembuh. Kekebalan yang terjadi akibat formasi kompleks antara antibodi dengan komponen bakteri. Kompleks imun yang terbentuk di dalam kapiler menyebabkan imflamasi terlihat dari hemoragi membran
mukus. Hemoragi menyebabkan adanya edema pada kepala, leher, dan beberapa bagian tubuh lain (Prescott & Wright, 2003). Sedangkan komplikasi non fatal/ minor termasuk didalamnya : •
Miokarditis (peradangan otot jantung) yang selalu ada pada kasus strangles dan proporsinya jarang terjadi di kuda
•
Purulent cellulites (inflamasi jaringan subcutaneous)
•
Laryngeal hemiplegia yaitu paralisis otot tenggorokan, kadang-kadang terdengar ringkikan. Kondisi ini biasanya terjadi setelah adanya abses limfonodus cervical
•
Anemia, gejala ini muncul selama periode penyembuhan disebabkan dari respon kekebalan yang diperantarai lisis sel darah merah
•
Guttural pouch empyema (berisi nanah) sering bersamaan dengan strangles klasik atau dengan periode kesembuhan yang baru terjadi. Guttural pouch akan memanjang berada di ventral diverticulum “Eustachian tube”. Lokasinya antara dasar kranium dorsal dan pharynx ventral (Prescott & Wright, 2003). Guttural pouch kadang diinfeksi untuk beberapa bulan. Infeksi guttural
pouch dengan empyema menghasilkan ruptura abses dalam limfonodus retropharyngeal (Newton et al, 1997). Hewan pembawa (carrier) sangat penting dalam interepizootik Streptococcus equi karena merupakan tanda adanya wabah baru. Kuda-kuda yang sembuh dapat bersifat pembawa (carrier) karena Streptococcus equi masih berada di hidung dan saliva selama 6 minggu kejadian infeksi. Maka dari itu pengambilan isolat strangles sebaiknya diambil ketika hewan sakit selama 6 minggu kejadian infeksi (Prescott dan Wright, 2003).
Patogenesa Menurut Sweeney et al. (2005) patogenesa strangles dimulai dengan Streptococcus equi masuk melalui mulut atau hidung dan akan melekat pada sel di daerah kripta dari lidah dan langit-langit tonsil. Selanjutnya bakteri bisa bergabung dengan epitel dari faring dan tuba tonsil. Dalam beberapa jam setelah
infeksi, bakteri ini sulit dideteksi pada permukaan mukosa tetapi akan tampak pada sel epitel dan folikel sub-epitel. Perpindahan dapat terjadi secara cepat dalam beberapa jam menuju ke limfonodus mandibula dan supra-pharyngeal yang berasal dari drainase pharyngeal dan daerah tonsil. Komplemen didapatkan adanya faktor generasi setelah interaksi antara faktor komplemen dengan peptidoglikan bakteri dengan menarik neutrofil polimorfonuklear dalam jumlah besar. Kegagalan neutrofil dalam memfagositosis dan membunuh Streptococcus equi akan menjadi kombinasi kapsul hyaluronic acid, antiphagocytic SeM protein, Mac protein dan antiphagocytic faktor yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus equi. Kejadian ini akan memuncak apabila ada akumulasi Streptococcus equi ekstraselular yang dikelilingi rantai panjang oleh degenerasi dalam jumlah banyak. Penyelesaian terakhir dari bakteri akan tergantung lisisnya kapsul abses dan evakuasi isinya. Streptolisin dan streptokinase diduga juga berkontribusi terhadap perkembangan abses dan lisis oleh sel penghancur membran dan aktivasi proteolitik dari plasminogen. Walaupun kejadian didominasi kejadian perubahan saluran pernapasan bagian atas, penyakit ini juga dapat bermestastasis pada daerah lain. Penyebaran penyakit ini dapat melalui jalur aliran buluh darah (hematogenus) dan bisa juga lewat saluran limfatik, sehingga akan membentuk abses pada limfonodus yang lain dan pada organ di daerah thorak dan abdominal. Kejadian ini dikenal sebagai “bastard strangles”. Metastasis pada otak juga dapat terjadi kira-kira 75% dari kuda yang pernah terkena strangles akan mempunyai daya tahan yang kuat dan mempunyai imunitas abadi (Sweeney et al. 2005). Kuda akan segera sembuh karena resisten terhadap serangan bakteri Streptococcus equi setelah infeksi pertama. Hanya sedikit persentase hewan yang kembali rentan terhadap serangan kedua dari bakteri ini dalam beberapa bulan, hal ini mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam menghasilkan konsentrasi antibodi yang cukup. Serum imunoglobulin akan berespon terhadap permukan protein yang terpapar selama masa persembuhan.
Diagnosa
1. Kultur Membiakkan bakteri dari swab nasal, cucian nasal, dan pengambilan nanah dari abses merupakan standar baku untuk mendeteksi keberadaan Streptococcus equi. Spesimen akan dioleskan pada Colombia cna agar dengan ditambahkan 5% darah kuda. Apabila pada agar menghasilkan β-hemolisis streptococcus dan bentuk koloni yang mukoid merupakan interpretasi utama streptococcus equi pada biakan agar. Hasil cucian hidung sebenarnya lebih efektif dibandingkan nasal swab untuk mendeteksi jumlah Streptococcus equi karena permukaan dan bagian dalam nasal yang lebih luas. Pencucian hidung dapat dilakukan dengan menanamkan kira-kira 50 ml garam melalui karet tubing yang lembut sepanjang 15 cm dan dimasukkan ke dalam rongga hidung dan kemudian hasil pencucuian dikumpulkan (Sweeney et al 2005).
2. Polymerase Chain Reaction Streptococcus equi menghasilkan M-protein yang biasa disebut SeM. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu metode untuk menentukan sekuen Deoxyribonucleic acid (DNA) dari SeM, dimana gennya digunakan sebagai antifagositik protein M terhadap Streptococcus equi. Menurut Timoney dan Trachman (1985) dalam Sweeney et al (2005), menyebutkan bahwa PCR didasarkan oleh SeM yang digunakan untuk tambahan pada kultur yang digunakan untuk mendeteksi Streptococcus equi. PCR tidak dapat membedakan antara organisme hidup dengan organisme mati dan hasil positif dari PCR harus dipertimbangkan sampai dapat dipastikan pada media biakan. PCR diperkirakan tiga kali lebih sensitif dibandingkan media kultur lainnya (Timoney dan Artiushin 1997 dalam Sweeney et al 2005). Pada diagnosa dengan PCR, DNA dari Streptococcus equi dapat terdeteksi. PCR dapat digunakan untuk deteksi asimtomatis gejala carrier, menentukan status dari Streptococcus equi dari guttural pouch.
3. Serologis Protein tertentu dari Streptococcus equi untuk memperoleh serum antibodi sebagai respon infeksi. Salah satu uji serologis yang dapat digunakan ELISA SeM-spesifik. Uji ini digunakan untuk deteksi infeksi yang baru terjadi, untuk menentukan jenis vaksinasi, identifikasi hewan yang memiliki antibodi yang sangat tinggi dengan predisposisi purpura hemoragika, dan sebagai diagnosa penunjang.
Terapi dan Vaksinasi Terapi yang tepat untuk kuda yang terserang strangles biasanya tergantung derajat keparahan penyakit. Secara umum kasus strangles tidak membutuhkan terapi selain istirahat dan hewan selalu kering dan bersih, kandang yang nyaman, pakan yang cocok, dan kualitas pakan yang bagus. Pakan dan minum adalah kemungkinan akses yang cepat untuk Streptococcus equi. Selain itu dapat diberikan antibiotik yaitu penisilin G. Kebanyakan dari kuda memiliki imunitas penuh pada masa pemulihan dari strangles, berlangsung lebih dari 75% dari hewan selama 5 tahun atau lebih. Dengan indikasi ini imunitas tertinggi tubuh dapat terstimulasi. Hal inilah kemungkinan dapat memberikan presentasi yang tepat dari imunogen protektif. Peneliti dari Australia berpendapat imunogen protektif sensitif pada temperatur diatas 56 oC (Sweeney et al. 2005). Earlier bacterin, tipe vaksin yang telah digantikan dengan ekstrak Streptococcus equi dicampur dengan hot acid atau mutanolysin dan detergen. Hot acid memecah dan membuang asam protein resisten dan karbohidrat mutanolisin (muramidase) dengan menghidrolisa dinding sel bakteri.
Kontrol dan Pencegahan Penyakit Investigasi kejadian strangles dimulai dari wawancara dengan pemilik kuda untuk mendapatkan sejarah hewan secara lengkap dan untuk mengevaluasi masalah penyakit yang berpotensial untuk menyebar.
Pencegahan kejadian strangles dapat dilakukan dengan karantina dan biological screening. Namun dalam hal ini ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan diantaranya : •
Pencegahan strangles dengan karantina dan screening sangat sulit dilakukan, terutama tanpa tujuan untuk menurunkan resiko dari infeksi Streptococcus equi. Pemilik akan selalu menanyakan kemungkinan hewan mereka terserang strangles
•
Pencegahan dengan karantina dan screening sulit dilakukan selama terjadi perpindahan dan pencampuran kuda selama musim breeding
•
Jika mungkin terjadi, hewan diperkenalkan dengan populasi baru dan diisolasi selama 3 minggu dan screening Streptococcus equi dilakukan uji pada nasopharyngeal swab.
B. Streptococcus equi Klasifikasi Klasifikasi dari Streptococcus equi adalah: Kingdom
:
Eubacteria
Filum
:
Firmicutes
Class
:
Bacilli
Ordo
:
Lactobacillales
Family
:
Sterptococcaceae
Genus
:
Streptococcus
Spesies :
Streptococcus equi
Bakteri ini termasuk ke dalam beta-hemolisis grup (bila dilihat dari kemampuan bakteri tersebut terhadap reaksi bakteri dalam cawan agar darah). Bakteri ini tidak dapat diisolasi dari manusia. Streptococcus equi memiliki protein yang menyebabkan adanya opsonisasi antibodi pada kuda. Penentu virulensi bakteri tersebut (Timoney dan Eggers, 1997).
Etiologi. Streptococcus equi diketahui berasal dari satu biovar atau klone yang sama dengan S. zoopidemicus. Fakta-fakta persuasif didasarkan pada lokus multi enzim dengan elektroforesis. Sehingga lebih jelas bahwa S. equi subsp equi tidak dilegitimasi sebagai spesies tetapi dinamakan kembali S. zoopidemicus biovar equi. Sekarang dokter hewan lebih senang menyebutkan Streptococcus equi untuk penyakit infeksius kuda. Epizoologi. Streptococcus equi merupakan parasit obligat pada kuda. Streptococcus equi bergantung pada ruangnya untuk hidup dan bersifat virulensi. Streptococcus equi dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air tetapi akan mati secara cepat pada tanah dan kondisi panas.
C. Kuda Kuda berperan penting dalam kehidupan sehari-hari karena ikut meringankan beban manusia. Sejak dahulu kala peranan kuda sebagai saran transportasi telah berhasil membuka isolasi daerah pedalaman (Soehardjono, 1990). Diperkirakan proses domestikasi kuda telah dilakukan oleh penduduk di pesisir selat Kaspia sekitar + 5000 tahun yang lalu (Mackay, 1995). Menurut sumber-sumber cerita dari Eropa, sejak + 1200 SM penggunaan kuda oleh para bangsawan lebih banyak bermotivasi untuk menunjukkan status seseorang, seperti yang dilakukan oleh bangsa Estrusia dari Romawi. Bangsa Asyiria dan Yunani sejak lama telah memanfaatkan kuda sebagai penunjang untuk lebih mempercepat gerakan pasukan. Sedangkan di wilayah Timur Tengah, kereta kuda pada waktu itu digunakan sebagai sarana penunjang para komandan perang dalam memimpin pergerakan para pasukan.
Klasifikasi Linnaeus (1758) dalam Wikipedia menyatakan bahwa kuda (Equus caballus) diklasifikasikan ke dalam: Kingdom
:
Animalia
Filum
:
Chordata
Ordo
:
Perissodactyla
Family
:
Equidae
Genus
:
Equus
Spesies
:
Equus caballus
Nenek moyang kuda pertama kali dikenal dengan nama Hyracoterium dan diperkirakan telah ada sekitar 70 – 60 juta tahun yang lalu. Memiliki konformasi tubuh ramping dan panjang dengan ukuran tubuh sebesar serigala sehingga dapat bergerak lebih lincah. Pada bagian ekstremitas terdapat 3 jari pada kaki depan dan 4 jari pada kaki belakang. Seiring dengan perubahan struktur formasi geografis dunia, maka kuda juga mengalami proses evolusi menjadi sebesar domba yang dikenal dengan nama Mesohippus dan diperkirakan hidup sekitar 35 juta-25 juta tahun yang lalu. Perubahan morfologis yang terjadi yakni hanya terdapat 3 jari pada kaki depan. Merychippus merupakan perkembangan lebih lanjut dari proses evolusi kuda. Spesies ini memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan kuda Shetland poni. Mulai saat itu tidak terjadi perubahan berarti dalam evolusi kuda karena proses adaptasi sudah berlangsung dengan lebih baik. Perkembangan selanjutnya dikenal dengan nama Pliohippus yang diperkirakan hidup sekitar 7-2 juta tahun yang lalu. Pliohippus menjadi kuda berteracak tunggal pertama yang selanjutnya berkembang menjadi Equus caballus yang dikenal saat ini. Kuda Prezwalski yang terdapat di Rusia dan Mongolia dianggap sebagai salah satu nenek moyangnya kuda yang ada saat ini, karena morfologi tubuhnya yang masih mirip dengan ancestor kuda sebelumnya (Kidd, 1995). Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) adalah salah satu dari sepuluh spesies modern mamalia dari genus Equus (Wikipedia, 2008). Kuda tergolong
ke
dalam
ordo
perissodactyla
bersama-sama
dengan
famili
Rhinocerotidae (badak) dan Tapiridae (tapir). Dari ordo perissodactyla, hanya
tiga spesies yang didomestikasi yaitu kuda (Equus caballus) dan keledai (Equus asinus dan Equus africanus somalicus) (Ernest et al., 2005). Persilangan dari famili Equidae hampir selalu menghasilkan keturunan yang infertil. Kejadian infertilitas ini mungkin disebabkan oleh perbedaan struktur genom sehingga terjadi kegagalan pada saat pembelahan miosis. Persilangan yang cukup dikenal yaitu antara kuda betina dengan keledai jantan yang menghasilkan bagal (mule) (Ernest et al., 2005). Morfologi Kuda Priangan Salah satu jenis kuda yang menjadi cikal bakal perkembangan kuda di Indonesia adalah kuda (Equus caballus) yang berasal dari pulau Jawa, seperti kuda Tengger, kuda Priangan, dan kuda Dieng. Menurut para ahli, ketiga jenis kuda tersebut merupakan nenek moyang kuda di pulau Jawa yang populasinya terancam punah. Kuda ini tergolong ke dalam kuda poni dengan ukuran tubuh lebih besar jika dibandingkan dengan spesies kuda poni dari wilayah lain di Indonesia, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan tropis sepanjang hari, sehingga biasa digunakan oleh para penduduk di Jawa sebagai sarana transportasi. Kuda Jawa ditemukan dalam berbagai corak ragam warna (Mackay, 1995). Kuda jenis ini masih terdapat di daerah Karesidenan Besuki dan Priangan. Persilangan kuda Jawa yang berulang kali, menghasilkan 3 jenis keturunan baru, yaitu : Pertama, Kuda Priangan, merupakan keturunan dari pejantan asal Persia dan Australia, kuda ini tersebar di daerah Jawa Barat, morfologi kuda Priangan secara umum memiliki bentuk badan yang kurang sempurna serta berwatak lebih labil. Kedua, kuda Sandel (Sandelwood), kuda ini selanjutnya menyebar ke wilayah Sumba dan Sumbawa, kuda poni ini memiliki keunikan karena bentuk kepalanya mirip seperti kuda arab, ciri morfologi kuda ini memiliki dada lebar, mata yang lebih besar, konformasi kaki yang kokoh dan dapat ditemukan dalam beragam corak warna (Mackay, 1995). Ketiga, Kuda Gunung, kuda ini jumlahnya tidak banyak dan memiliki konformasi tubuh lebih ramping, namun lama kelamaan jenis kuda Gunung
berkurang populasinya dan kemudian menghilang (Soehardjono, 1990). Tinggi kuda Jawa rata-rata 1,15 meter dan bertemperamen labil dibandingkan dengan jenis kuda yang lainnya, konformasi tubuh kuda Jawa dinilai kurang ideal karena terdapat kesenjangan antara ukuran tubuh dan kaki. Selain itu, kuda Jawa juga memiliki kuku yang lembek (Soehardjono, 1990).