BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bio-ekologi Cikukua timor 2.1.1. Jenis-jenis Cikukua dan gambaran ringkas morfologinya Terdapat enam jenis burung Cikukua yang tergolong dalam genus Philemon di daerah Walacea (Coates et al. 2000), yaitu: (1) Cikukua kecil (P. citreogularis), yang merupakan burung penetap (ada sepanjang tahun dan berbiak) di Nusa Tenggara (Kisar-Moa). Burung ini memiliki ukuran tubuh 25 cm, dan bagian pipi yang gundul berwarna abu-abu kebiruan. Burung-burung remaja memiliki tenggorokan bernuansa kuning; (2) Cikukua timor, yang merupakan burung endemik kawasan Wallacea dan memiliki sebaran di Timor (Nusa Tenggara Timur). Burung ini memiliki ukuran tubuh 24 cm, memiliki mata polos, kulit di sekeliling mata agak gundul, dan sekilas nampak hampir mirip dengan Cikukua tanduk (P. buceroides); (3) P. buceroides, merupakan penetap di Nusa Tenggara. Hal yang dapat membedakan dengan P. inornatus adalah ukuran tubuh yang lebih besar (29-33 cm), berwarna kecoklatan kusam, bagian bawah lebih pucat, muka dan sisi kepala gelap dan gundul, paruh hitam besar dengan kenop pada paruh khas, pada Cikukua tanduk remaja memiliki punggung bersisik putih, tenggorokan dan dada agak kuning, kenop pada paruh samar-samar dan P.b. buceroides terdapat di NTT; (4) Cikukua hitam (P. fuscicapillus) terdapat di Maluku bagian Utara, memiliki ciri berukuran tubuh 30 cm, bercak-mata gundul merah-jambu, paruhnya kokoh, kenop pada paruh tidak jelas, sekilas nampak mirip dengan kepudang halmahera (Oriolus phaeochromus), (5) Cikukua seram (P. subcorniculatus) di Maluku sebarannya terbatas sampai di Seram, memiliki ukuran tubuh 35 cm, berwarna coklat zaitun, bagian bawah lebih pucat, muka gundul gelap bercak-mata bervariasi coklat kekuningan hingga kemerahan, leher belakang abu-abu, dada kekuningan, kenop pada paruh tidak jelas, sekilas nampak seperti kepudang seram (Oriolus bouroensis); (6) Cikukua maluku (P. moluccensis) di Nusa Tenggara (Tanimbar) dan Maluku (Buru dan Kei) memiliki ciri ukuran tubuh 31-37 cm, berwarna coklat, bagian bawah dan leher belakang lebih pucat, bercak-muka gundul kehitaman, burung remaja memiliki ciri sisi
8
tenggorokan bagian bawah agak kuning, P. m. moluccensis (Buru), tidak ada kenop pada paruh, tenggorokan
keputih-putihan, alis pucat, sekilas nampak
seperti kepudang muka hitam (Oriolus bouroensis).
a. Cikukua timor
b. Cikukua tanduk
Gambar 2 Perbedaan Cikukua timor dengan Cikukua tanduk. 2.1.2. Klasifikasi Cikukua timor Sistematika Cikukua timor sebagai berikut; Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Ordo
: Passeriformes
Famili
: Meliphagidae
Genus
: Philemon
Spesies
: Philemon inornatus (G.R Gray, 1846)
Nama Daerah
: Cikukua timor (Indonesia); koakiko (Kupang-Timor), Lorikeet (Timor Leste).
Nama Inggris
: Timor Friarbird/Plain friarbird (Sukmantoro et al. 2007)
2.1.3. Daerah penyebaran Cikukua timor Burung ini merupakan jenis endemik Timor. Burung Cikukua timor hidup pada ketinggian 0-2400 dari permukaan laut (Coates et al. 2000). Status Cikukua timor
dalam kategori Endemic Bird Areas (EBAs) adalah RR
(Restricted-range) ditemukan di tipe hutan tropis kering (tropical dry forest)
9 (Trainor 2002). International Union for the Conservation of Nature and Nature Resources (IUCN) memasukkan status keterancaman spesies Cikukua timor yang terkategori Least Concern (LC) Ver 3.1. (BirdLife International, 2009). Status LC menunjukkan bahwa keberadaan populasi burung Cikukua timor di alam masih umum ditemukan dan tidak terancam kepunahan maupun kategori mendekati kepunahan atau Near Treatened (NT). Laporan IUCN ini berdasarkan data Coates dan Bishop (1997), bahwa ukuran populasi secara global tidak dihitung, tapi keberadaan spesies ini tersebar luas dan umum ditemukan di Timur Leste (http: //www. iucnredlist. org/apps/redlist/details, 2011 [19 Februari 2011]). Habitat Cikukua timor dan Cikukua tanduk sama-sama di hutan tropis (Tropical Forest), daerah berhutan (Woodland), dan perkebunan (Plantation), dan dikategorikan sebagai common resident (cr) (Trainor et al. 2008). Trainor (2002) juga menyatakan Cikukua timor hidup di habitat hutan muson (monsoon forest). Cikukua tanduk atau Helmeted Friarbird P. buceroides merupakan burung yang umum di savana dataran rendah, memiliki distribusi di bagian Barat atau Utara Wallacea (yang terhubung dengan pulau dan yang bertautan dengan benua Asia Selatan-Timur (Trainor et al. 2008).
Gambar 3 Peta Pulau Timor, wilayah garis perbatasan dan penyebaran burung di Timor Leste dan Timor Barat, Indonesia (Sumber: Trainor et al. 2008). 2.2. Karakterisitik Burung Pemakan Nektar Suku Meliphagidae (isap madu) termasuk ke dalam burung AustraloPapua yang besar. Terwakili dengan baik di Indonesia bagian Timur, tetapi jarang mencapai kawasan Sunda. Suku burung ini beragam, mulai dari jenis berukuran
10
besar seperti burung Cikukua yang mengisi relung rangkong sampai berukuran kecil mengisi relung yang sama dengan Pijantung dan Burung madu (MacKinnon et al. 2010) Penampakan umumnya tidak mencolok. Paruhnya ramping, tajam dan melengkung ke bawah. Memakan nektar, buah-buahan dan serangga. Sarangnya dibuat berbentuk mangkuk. Satu-satunya wakil dari suku ini adalah isap-madu Indonesia (Lichmera limbata), khas untuk anggota yang berukuran kecil dalam suku ini (MacKinnon et al. 2010). Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.Peran tersebut tercermin dari posisi tropik yang ditempatinya. Sebagai contoh, burung pemakan nektar dan buah berperan dalam proses penyerbukan buah dan penyebaran biji (Partasasmita 2009). Deliso (2008) menjelaskan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi populasi burung kolibri (hummingbird) di Monteverde, Pegunungan Tilaran, Costa Rica. Perubahan iklim telah mempengaruhi tanaman penghasil nektar. Kolibri telah mengalami efek kompleks pada komunitas tumbuhan melalui penyerbukan. Selanjutnya, nektar dan produksi bunga mempengaruhi perilaku, ukuran populasi, dan siklus kehidupan burung. Variabel iklim yang mencakup curah hujan, temperatur dan penutupan awan mempengaruhi produksi nektar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan yang menurun, terjadinya peningkatan suhu dan penutupan awan telah berdampak langsung kepada populasi kolibri dan tanaman yang mendukung kehidupannya. Famili kolibri lebih memilih jenis tumbuhan yang menghasilkan bunga dengan tempat daun bunga (petal) dan bukaan diameter korola yang lebih besar. Kolibri mengunjungi bunga di hari pertama bunga tersebut mekar dengan jumlah kunjungan sebanyak tiga kali secara bertahap. Selain itu, tanaman yang berukuran besar dengan bunga lebih banyak, dan jumlah nektar lebih besar, menerima kunjungan lebih banyak per tanaman dan per bunga dibandingkan tanaman kecil dengan beberapa bunga saja. Honeyeaters dapat memakan serangga kecil atau serbuk sari ketika mereka mengunjungi bunga yang berukuran kecil. Honeyeaters cenderung makan di daerah hutan yang memilliki ciri-ciri tersendiri (discrete) karena mereka memiliki kepentingan makanan yang sama (Castro & Robertson 1997). Honeyeaters
11 ataupun hummingbirds (Fam.Trochilidae) mendapatkan lebih banyak airnya dari nektar yang mereka konsumsi dan kadang-kadang asupan air yang berlebihan diperoleh melalui nektar (Nicolson 2006). Rata-rata, bunga untuk burung pemakan nektar mengandung 75-80% air (Nicolson 2006). Tumbuhan yang terbanyak menyediakan sumber nektar untuk honeyeaters di Australia berasal dari famili Myrtaceae (10 genus; pohon dan semak belukar), Proteaceae (7 genus: pohon dan semak), Loranthaceae (6 genus: hemisparasites); Rutaceae (6 genus; pohon dan semak), Epacridaceae (5 genus; semak), dan famili penting lainnya yaitu Myoporacea, Haemodoracea, dan Fabacea di Australia Selatan-Timur (Ford et al. 1979). 2.3. Teritori Famili Meliphagidae Maher dan Lott (1995) menyatakan bahwa definisi teritori secara konseptual kebanyakan berbeda antara satu dengan yang lainnya dari tiga tipe yaitu; (1) daerah pertahanan, (2) daerah eksklusif, (3) dominan lokasi spesifik. Teritori pada burung paling umum didefinisikan secara konseptual sebagai areal pertahanan. Penelitian burung kebanyakan terkait dengan penandaan teritori dengan nyanyian. Nyanyian merupakan cara relatif lebih mudah untuk mengukur dan mengidentifikasi teritori; pada habitat yang visibilitas yang rendah, mengukur jumlah nyanyian lebih mudah daripada menghitung jumlah pergerakan penyusupan melalui vegetasi. Graf (2008) menyatakan bahwa teritori berkaitan erat dengan seleksi habitat, karena burung teritorial harus mencari patch yang belum digunakan oleh pesaing sejenis atau lain atau harus merebut suatu wilayah yang sudah digunakan oleh individu atau pasangan lainnya. Teritorialitas biasanya ditunjukkan dengan respon agresifitas terhadap individu lain yang melibatkan penggusuran (displacing), berburu (chasing) atau membentur (striking) dan beberapa respon yang lebih lemah seperti nyanyian dan atraksi lainnya. Menetapkan dan mempertahankan
wilayah
merupakan
pendekatan
untuk
mengamankan
ketersediaan sumberdaya yang terbatas seperti makanan, lokasi bersarang dan kawin.
12
2.4. Perilaku Penelitian di wilayah Armidale, New South Wales (NSW), selama lebih dari 8 tahun dengan melakukan pencincinan burung (banded birds) oleh Ford tahun 1999 diketahui bahwa aktivitas organisasi sosial burung P. corniculatus, seringkali kelihatan dilakukan oleh seekor, berpasangan atau bersama-sama (flocks)
(Clements
2000).
Menurut
Sukarsono
(2009),
perilaku
sosial
menyediakan banyak manfaat. Banyak binatang lebih sukses dalam menemukan makanan jika mereka mencarinya secara berkelompok, terutama jika sumbersumber daya makanan hanya terdapat di tempat tertentu. Jika lebih banyak individu bekerja sama, maka akan ada satu atau lebih kesempatan mereka menemukan makanan. Tracey et al. (2007) Noisy friarbirs dapat bermigrasi dan kebanyakan populasi Noisy friarbirs terlihat bergerak mengembara (nomadic) mengikuti kualitas nektar terbaik dari pohon dan belukar yang sedang berbunga. Noysi friarbird tercatat melakukan berpindah terjauh 510 km dari selatan Mudgee ke Mita-Mita di timur laut Victoria. Noisy friarbirs makan bersama kelompok lorikeets, red wattlebirds (Anthochaeracarunculata)
dan
honeyeaters
(Melipagidae)
lain
sampai
berkompetisi secara intensif pada saat kekurangan pakan. Secara umum friarbird makan dalam kelompok kecil yang ribut, tidak lebih dari 20 induvidu, tapi berkelompok lebih besar dapat terjadi sekitar sumber pakan (Tracey et al. 2007) Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Bailey (1984) menyatakan bahwa satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdaya habitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Banyak hewan tinggal dalam kelompok sosial yang dilakukan juga untuk perlindungan. Beberapa binatang membentuk kelompok sosial untuk membuat
13 perjalanan mereka lebih mudah, seperti Angga kenada dan spesies burung lain secara tipikal terbang dengan formasi V (Sukarsono 2009). Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hirarki dan teritorial. Sistem hirarki dan teritorialisme ini selanjutnya mengendalikan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984). 2.5. Habitat Morrison (2005) menyatakan bahwa istilah habitat terkait pada konfigurasi spesifik dari komponen lingkungan (misalnya, vegetasi, permukaan batuan, air) yang digunakan satwa pada setiap titik waktu.
Habitat merupakan konsep
spesifik suatu spesies, dimana setiap spesies hewan menggunakan suatu kombinasi dari komponen lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, tidak ada daerah spesifik habitat yang baik atau buruk, kecuali jika dinilai dalam hubungannya dengan spesies tertentu. Jadi apa yang “baik” untuk satu spesies mungkin “ tidak baik” bagi spesies lain. Kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar disebut habitat (Alikodra 2002). Menurut Krebs (1978); Leksono (2007), habitat merupakan lingkungan dimana spesies berada atau habitat adalah bagian biosfer dimana organisme dapat hidup, baik secara permanen maupun temporer. Menurut Bailey (1984), habitat suatu organisme pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Kebutuhan habitat dari suatu spesies satwaliar adalah faktor yang menentukan kesejahteraan bagi suatu jenis satwa. Tersedianya kebutuhan habitat suatu jenis satwa selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan kesehatan dari satwa. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Persyaratan habitat terdiri dari pakan, penutupan tajuk dan faktor lain yang dibutuhkan oleh satwaliar untuk bertahan
14
hidup serta untuk keberhasilan proses reproduksi. Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung (Alikodra 2002). Berdasarkan segi komponennya, habitat terdiri dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik dan biotik ini membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar. Faktor-faktor dari komponen fisik yang berperan dalam pertumbuhan populasi satwaliar antara lain; (a) air dimana ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal, dan iklim tidak hanya menentukan kuantitas total air yang tersedia per tahun, tetapi juga keadaan hujan yang merata sepanjang tahun atau hanya beberapa bulan saja, (b) radiasi surya diubah dengan cara kimia setelah sampai di permukaan bumi untuk dipergunakan oleh berbagai organisme, (c) temperatur dimana berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kematian suatu organisme, dan secara umum temperatur berpengaruh terhadap perilaku satwaliar, ukuran tubuh ataupun bagian-bagiannya, (d) panjang hari dimana aktivitas satwaliar banyak tergantung pada panjang hari, terutama jenis satwa yang aktif pada siang hari (diurnal) dan berlindung pada malam hari, jenis satwaliar yang aktif pada malam hari (nocturnal), dan beberapa jenis aktif pada waktu senja ataupun fajar (crepuscular), (e) aliran dan tekanan udara berperan sangat penting bagi beberapa jenis satwaliar seperti jenis elang, mempengaruhi tingkat kandungan air dan kelembaban relatif tanah, mempunyai kekuatan sebagai perusak, perbedaan tekanan udara berdasarkan perbedaan ketinggian dapat menyebabkan perbedaan bentuk kehidupan, dimana semakin tinggi suatu tempat akan semakin rendah tekanan udaranya, sehingga mempersulit proses respirasi satwaliar, (f) tanah yang terbentuk sebagai hasil interaksi proses geologis, iklim, dan biologis, secara umum tipe tanah berpengaruh terhadap tipe vegetasi, sehingga dapat menentukan struktur kehidupan satwaliar yang menempatinya (Alikodra 2002). Faktor-faktor dari komponen biotik terdiri dari kuantitas dan kualitas makanan, pemangsaan (predasi) dan penyakit (Bailey 1984). Satwaliar memerlukan kuantitas dan kualitas makanan yang berbeda menurut jenis, perbedaan jenis kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim, cuaca dan kondisi geografis. Alikodra (2002) menyatakan bahwa adanya asosiasi antara mangsa
15 (prey) dan pemangsa (predator) menunjukkan bahwa populasi mangsa akan ditentukan oleh ukuran populasi predator, dan populasi predator akan ditentukan oleh ketersediaan mangsa. 2.6. Preferensi Habitat Habitat preferensi mencerminkan integrasi beberapa faktor lingkungan pada beberapa skala spasial, dan individu mungkin memiliki lebih dari satu pilihan untuk mengoptimalkan fitness melalui strategi seleksi habitat. Penilaian kualitas habitat untuk strategi manajemen idealnya harus mencakup analisis beragam konsekwensi fitness pada berbagai tingkatan spasial ekologi yang relevan (Chalfoun & Martin 2007). Preferensi habitat didorong oleh interaksi yang kompleks antara pola-pola perilaku, persyaratan biologis dan kondisi lingkungan (Ersts & Rosenbaum 2003). Menurut Celuch dan Zahn (2008) secara umum, tujuan untuk menentukan preferensi habitat suatu spesies adalah untuk mengevaluasi kualitas habitat yang memiliki kontribusi terhadap kelangsungan hidup dari populasi tersebut. Penggunaan habitat menjadi selektif jika satwa membuat pilihan dibandingkan mengembara dengan sembarangan di luar lingkungannya. Penilaian kualitas suatu habitat berdasarkan pada pemahaman bahwa preferensi dan seleksi adalah terkait dengan fitness dan karena itu preferensi dapat diduga dari pola pemanfaatan yang diamati. Mengidentifikasi atribut-atribut habitat yang mempengaruhi pemilihan habitat dan meningkatkan fitness adalah hal penting untuk pengelolaan yang efektif (Chalfoun & Martin 2007). Leksono (2007) menjelaskan fitness adalah ukuran atau kemampuan kontribusi genetis individu untuk generasi berikutnya. Individu memiliki fitness yang tinggi jika mereka meningggalkan banyak keturunan. Individu dapat lebih sesuai dengan lingkungan jika; (a) memiliki laju reproduksi yang tinggi, (b) memiliki kesintesaan (lama hidup) yang lama, (c) memiliki keduanya. 2.7. Kesesuaian Habitat Habitat yang sesuai adalah tempat yang mampu menyediakan kondisi yang dibutuhkan oleh satwa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam
16
jangka waktu yang cukup lama (Nursal, 2007). Menurut Odum (1993), proses identifikasi kesesuaian habitat satwaliar dilakukan berdasarkan kajian dan penilaian atas kebutuhan hidup satwaliar tersebut. Hal ini tidak dapat lepas dari hukum minimum Leibig dan hukum toleransi Shelford. Hukum minimum Leibig menyatakan bahwa untuk dapat bertahan dan hidup di dalam keadaan tertentu, suatu organisme harus memiliki bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan berkembangbiak. Keperluan-keperluan dasar ini bervariasi antara jenis dan keadaan. Di bawah keadaan-keadaan mantap, bahan penting yang tersedia dalam jumlah paling mendekati jumlah minimum genting yang diperlukan akan cenderung merupakan pembatas. Hukum toleransi Shelford menyatakan bahwa kehadiran dan keberhasilan suatu organisme atau golongan organisme bergantung pada lengkapnya kompleks keadaan. Ketiadaan atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan atau kelebihan secara kualitatif atau kuantitatif dari salah satu beberapa faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme tersebut. Keadaan manapun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai yang membatasi atau faktor pembatas. Kebutuhan hidup minimal bagi setiap spesies satwaliar berbeda-beda satu sama lain (Odum 1993), atau dapat dikatakan bahwa setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya (Indriyanto 2006). Perbedaan tersebut mengakibatkan tidak seluruh wilayah kawasan hutan secara potensial sesuai bagi setiap spesies satwaliar. Oleh karena itu masing-masing spesies memperlihatkan perbedaan dalam lokasi keberadaannya, sehingga masing-masing spesies memiliki relung atau ruangan habitat yang berbeda (Odum 1993). Selanjutnya Indriyanto (2006) menjelaskan jika terjadi gangguan pada habitat, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya. Apabila kondisi habitat berubah hingga di luar kisaran faktor-faktor ekologi yang diperlukan oleh setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau migrasi ke tempat lain.
17 2.8. Seleksi Habitat Johnson (1980) mendefinisikan seleksi sebagai proses dimana satwa secara nyata memilih suatu sumberdaya atau habitat; dan menurut Bailey (1984), seleksi habitat merupakan spesialisasi. Bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kesesuaian dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia. McComb (2007) menyatakan bahwa seleksi habitat adalah sekumpulan perilaku kompleks tentang suatu spesies yang dibangun diantara individu-individu di dalam populasi untuk kelangsungan fitnes. Moris (1987) menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan suatu hal penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Menurut Morris (1987), faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak menentukan terjadinya pemilihan habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Beberapa organisme tidak dapat menempati range pontensialnya, meskipun secara fisik mereka dapat mencapai daerah tersebut. Dengan demikian, individu-individu tersebut tidak hidup di habitat tertentu dan distribusi dari spesies mungkin dibatasi oleh faktor perilaku pemilihan habitat (Leksono 2007). Menurut Johnson (1980), hadirnya populasi atau individu tergantung pada kriteria biologi dan fisik serta kriteria ini untuk membangun habitat. Penggunaan habitat atau “Habitat use”merupakan penggunaan dari salah satu komponen-komponen ini, sedangkan seleksi habitat (“Habitat selection”) merupakan proses dimana satwa memilih komponen apa yang digunakan. Pemilihan komponen diatur dalam urutan hirarkis dengan urutan pertama adalah jangkauan geografis, kedua adalah home range (daerah jelajah) individu dalam jarak geografis, ketiga adalah penggunaan komponen dalam home range dan keempat adalah representasi dari bagian komponen home range yang secara aktual digunakan oleh individu seperti
18
jika urutan ke-tiga merupakan suatu tempat mencari makan, urutan ke-empat adalah makanan yang dikonsumsi. Moris (1987) menyatakan bahwa beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (seperti predasi dan kompetisi) dan memaksimumkan
interaksi positif (seperti
ketersediaan mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni;(1) ketersediaan mangsa (pakan), (2) menghindari pesaing, dan (3) menghindari predator (Moris 1987; Leksono (2007). Graf (2008) menjelaskan bahwa pemilihan habitat adalah keputusan berbagai aspek yang harus dilakukan oleh burung. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
pemilihan tempat untuk berkembangbiak, kawin dan mencari
makan. Beberapa faktor dari bagian habitat burung adalah struktur atribut lanskap seperti air, jurang, hutan primer, atau semak atau padang rumput, kepadatan dan semak-semak yang tidak tinggi, dekat dengan lokasi mencari makan dan peluang bersarang, ketersediaan pakan, keberadaan predator (pemangsa), mudah melakukan pertahanan (keamanan), kemungkinan survive bagi keturunannya, perubahan iklim mikro, dan jarak ke pemukiman. Bermacam-macam faktor ini menunjukkan bahwa hal tersebut sangat mahal bagi burung untuk menjelajahi seluruh wilayah untuk mengecek semua faktor ini atau setidaknya ada faktor penting untuk burung. Leksono (2007) menjelaskan dua pendekatan untuk mempelajari seleksi habitat; pertama pendekatan proksimal yakni melihat pemilihan habitat sebagai mekanisme perilaku dan mempertanyakan dalam rangka fisiologi bagaimana hewan memilih habitatnya, kedua pendekatan ultimate atau pendekatan evolusi yakni melihat alasan adaptif untuk pemilihan habitat dan signifikansi evolusioner dari perilaku yang terlibat. McComb (2007) menjelaskan bahwa perilaku seleksi habitat juga telah memungkinkan setiap spesies memilih habitat dengan cara yang memungkinkan untuk mengurangi kompetisi memperoleh sumber daya dengan spesies lain. Jadi, tekanan seleksi evolusioner pada setiap spesies, baik abiotik dan biotik, telah menyebabkan spesies tersebut mengembangkan strategi yang berbeda untuk kelangsungan hidup yang berkaitan dengan seleksi habitat dan dinamika populasi.
19 Beberapa spesies yang memiliki habitat generalis, dapat menggunakan sumber daya makanan dan cover yang luas. Spesies generalis cenderung mudah beradaptasi
dan
terdapat
dalam
berbagai
macam
kondisi
lingkungan.
Spesies-spesies yang lain memiliki habitat spesialis. Spesies spesialis beradaptasi bertahan hidup di hutan dengan memanfaatkan penggunaan sekumpulan sumber daya yang sempit, sumber daya bagi mereka beradaptasi lebih baik untuk digunakannya daripada kebanyakan spesies yang lain. 2.9. Struktur dan Komposisi Vegetasi Struktur fisik hutan terbentuk oleh adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur dan sifat tumbuhnya. Kondisi ini membentuk stratifikasi menjadi relung ekologi tertentu bagi suatu jenis satwa (Duma 2007). Analisis struktur fisik vegetasi hutan, Soerianegara dan Indrawan (1998) membedakan stadium tumbuh vegetasi sebagai berikut; (a) semai (seedling) mulai dari kecambah sampai tinggi 1,5 m, (b) pancang (sapling) tumbuhan berkayu yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm, (c) tiang (pole) tumbuhan berkayu dengan diameter 10 - < 20 cm, dan (d) pohon dewasa yang berdiameter yang berdiameter ≥ 20 cm. 2.10. Kerapatan Kerapatan atau densitas adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume atau merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang (Indriyanto 2006). Salah satu unsur habitat yang paling umum diukur adalah kerapatan yang meliputi; pohon, tiang, pancang, semak atau semai dan tanaman lain (McComb 2007). Menurut Arrijani et al. (2006), nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies yang bersangkutan pada satuan luas tertentu. Oleh karena itu nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut pada suatu lokasi penelitian. Nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran tentang bagaimana distribusi dan pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya, sedangkan pola sebaran dapat ditentukan dengan membandingkan nilai tengah spesies tertentu dengan varians populasi secara keseluruhan. Perbedaan nilai
20
kerapatan masing-masing jenis disebabkan oleh reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Indriyanto (2006), menyatakan densitas pada umumnya berhubungan dengan kelimpahan berdasarkan penaksiran kualitatif seperti sangat jarang, jarang, banyak, dan sangat banyak.Kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Menurut Bibby et al. (2000), menghubungkan distribusi burung secara langsung dengan pohon dan jenis tumbuhan yang ada di suatu tempat memang sangat ideal. Kelimpahan pohon yang sedang berbuah mungkin dapat dihubungkan dengan kelimpahan jenis burung pemakan buah-buahan. 2.11. Principal Component Analysis (PCA) Secara teknis, Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Kompunen Utama (AKU) merupakan suatu teknik mereduksi data multivariate (banyak data) yang mencari untuk mengubah (mentransformasi) suatu matrik data awal/asli menjadi suatu set kombinasi linear yang lebih sedikit akan tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian dari data awal. Banyaknya faktor (komponen) yang dapat diekstrak dari data awal/asli ialah sebanyak variabel yang ada. Kita harus mereduksi data asli dengan sedikit mungkin komponen/faktor akan tetapi masih memuat sebagian besar variasi dari data asli/awal katakan lebih dari 80% (Supranto 2004). Di dalam aplikasi data penginderaan jauh (inderaja), PCA merupakan salah satu metode statistika yang digunakan untuk menggali informasi dari data citra inderaja, terutama dalam hubungannya dengan multidimensi peubah (Adiningsih et al.2004). Principal Component Analysis digunakan untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif. Teknik ini sangat baik dalam mendeteksi hubungan linear antara plot-plot pada berbagai komposisi jenis, kepadatan dan cover. Principal Component Analysis telah digunakan sebagai cara terbaik melakukan analisis awal dari skema klasifikasi vegetasi dalam mempersiapkan
membangun
peta
vegetasi.
Komponen
utama
dihitung
berdasarkan kombinasi linear dari variabel-variabel yang digunakan dalam analisis, dengan koefisien yang sama untuk eigenvector dari korelasi atau matriks kovarian. Komponen utama diurutkan berdasarkan urutan eigenvalue, dimana
21 sama dengan komponen varian. Bila diterapkan dengan benar, PCA sangat kuat untuk analisis awal dataset vegetasi, terutama untuk analisis komunitas tumbuhan. Hal ini merupakan langkah awal yang efektif sebagai cara untuk mengklaster plotplot survei yang memiliki komposisi, kepadatan atau cover yang serupa (Department of The Army USA 1999). Syartinilia
(2008)
menjelaskan
bahwa
korelasi
berbasis
PCA
menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) dilakukan pada variabel lingkungan dalam rangka untuk mengukur pola lanskap yang independent satu sama lainnya. Secara matematis, PCA, melibatkan eigen analisis dari persamaan matriks simetris atau koefisien korelasi antara variabel-variabel geografis untuk menghasilkan serangkaian eigenvalues dan eigenvector yang saling berhubungan. Komponen utama diakhiri dengan dirotasi menggunakan metode varimax untuk membantu interpretasi cara penyelesaian faktor. Kemudian komponen-komponen diinterpretasikan dengan menggunakan komponen yang dimasukkan (korelasi antara komponen utama dan setiap variabel asli). Khera et al. (2009) menggunakan PCA dengan program XLSTAT (Versi 2007.6) untuk menganalisis distribusi burung pada 19 ruang hijau dan menentukan ukuran ruang hijau dan spesies tumbuhan berkayu yang mempengaruhi kelimpahan spesies burung di Delhi, India. Data matrik PCA terdiri dari 19 lokasi x 56 jenis burung. Nilai rata-rata sejumlah individu dicatat dari tiap spesies yang digunakan dalam matriks. Dua sumbu utama dihubungkan dengan variabel-variabel habitat seperti ukuran ruang hijau, keanekaragaman dan kepadatan spesies tumbuhan menggunakan korelasi Pearson. Korelasi Pearson digunakan untuk menentukan bagaimana ukuran komunitas burung secara keseluruhan dipengaruhi oleh ukuran ruang hijau, keragaman dan kepadatan vegetasi berkayu, jumlah spesies burung dan keragamannya berkurang dengan ukuran ruang hijau. Hasil analisis dengan PCA menunjukkan bahwa spesies burung cenderung lebih memilih hutan dengan semakin bertambahnya ukuran ruang hijau, keragaman dan kepadatan semak belukar.
22
2.12. Populasi Populasi didefinisi sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individuindividu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu (Anderson, 2002). Dalam pengelolaan satwaliar, Alikodra (2002) memberikan batasan populasi menjadi “kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya”. Dalam ilmu dinamika populasi, Tarumingkeng (1994) mendefinisikan populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Suatu populasi memiliki sifat-sifat khas yaitu; kepadatan (denstitas), laju kelahiran (natalitas) laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi), pemencaran (disperse), struktur umur, potensi biotik, sifat genetik, nisbah kelamin dan perilaku (Tarumingkeng 1994; Alikodra 2002). Kepadatan populasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa parameter demografi antara lain; natalitas, mortalitas, struktur populasi, nisbah kelamin, dan migrasi (Alikodra 2002). Survei memberikan informasi dasar tentang distribusi spesies dan jumlah populasi. Survei mengkaji situasi pada suatu saat tertentu, sedangkan program pemantauan umumnya mendeteksi perkembangan menuju situasi yang telah ditetapkan. Survei berperan penting pada saat merancang jaringan kawasan lindung, menentukan perbatasan kawasan suaka atau batas-batas koridor yang menghubungkan populasi yang terisolasi, dan saat memutuskan di lokasi mana akan dilakukan investasi waktu dan upaya untuk kegiatan perlindungan atau penelitian (Khul et al. 2011). 2.13. Lanskap Lanskap merupakan suatu konsep ruang yang holistis dan umum, jauh lebih luas daripada komponen-komponen penyusunnya; dataran, tanah, penutup dan penggunaan lahan (Sheil et al. 2004). Lanskap dapat diartikan sebagai tata ruang atau bentang alam yang didalamnya terdiri dari berbagai kegiatan baik yang
23 berjalan secara alami maupun bentuk kegiatan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu proses kegiatan di dalam lanskap akan selalu berhubungan dengan proses sosial ekonomi dan ekologi atau yang dikenal dengan ekologi lanskap (Farina 1998). Perubahan lanskap dapat dibedakan ke dalam lima tipe (Forman dan Gordon 1986), yaitu; (1) lanskap alamiah (perkembangan/perubahan terjadi karena alam bukan manusia, (2) lanskap pengelolaan (perkembangan/perubahan terjadi karena miss-managamant) misalnya buruknya sistem pengelolaan hutan produksi, (3) lanskap budidaya (perkembangan/perubahan terjadi karena budidaya usahatani yang terkait erat dengan pengembangan wilayah dan transportasi; proses perubahan lanskap budidaya terjadi melalui tiga tahap yaitu usaha tani tradisional, kombinasi tradisional dan moderen, dan moderen yang pada perkembangannya menghasilkan bentuk-bentuk permukiman terpencar, kemudian berkelompok dan akhirnya menyatu menjadi pedesaan dan perkotaan, (4) lanskap pedesaan (perkembangan/perubahan terjadi karena adanya kegiatan manusia, antara lain, kebun dan pekarangan, (5) lanskap perkotaan terbentuk karena adanya perubahan struktur lanskap alamiah yang terdegradasi menjadi bentuk alam perkotaan akibat akivitas manusia. 2.14. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumber daya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis, memanipulasi dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis (Jaya 2002; Prahasta 2009). Menurut Ekadinata et al. (2008) sistem SIG adalah sebuah sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisa, serta menyajikan data dan informasi dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadannya di permukaan bumi. Data geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial merepresentasikan posisi atau lokasi
24
geografis dari suatu obyek di permukaan bumi, sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu obyek. Data atribut dapat berupa informasi numerik foto, narasi, dan lain sebagainya yang diperoleh dari data statistik, pengukuran lapangan dan sensus, serta lain-lainnya. Sumber data spasial antara lain mencakup; data grafis peta analog foto udara, citra satelit, survei lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran dengan menggunakan Global Positioning System (GPS), dan lain-lain (Ekadinata et al. 2008). Menurut Barnes dan Malik (1997), aplikasi SIG telah diadoposi dalam pemodelan ekologi sebagai alat untuk menghasilkan data yang diperlukan pada pemodelan skala ruang dan waktu yang berbeda, dan juga sebagai alat untuk ekstrapolasi hasil dari basis titik menjadi basis spasial (Osborne at al. (2001). 2.15. Citra Landsat-5 Thematic Mapper (TM) Lo (1995), menjelaskan sensor pada satelit landsat berfungsi sebagai sistem pencitraan, diantaranya adalah kamera Return Beam Vidicon (RBV), Multispectral Scanner (MSS) dan Thematic Mapper (TM). Landsat 2 dan 3 adalah RBV dan MSS, sedangkan pada Landsat 4 ditambahkan sistem pencitraan TM yang bertujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spektral, kecermatan dan radiometrik, serta ketelitian geometrik. Thematic Mapper merupakan suatu sensor optik penyinaran yang beroperasi pada saluran tampak, inframerah. Secara rinci dapat terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper Saluran (Band) 1
Panjang Gelombang (µm) 0,45-0,52
2
0,52 – 0,69
3 4
0,63- 0,69 0,76 – 0,90
5
1,55 – 1,75
6
10,40– 12.50
7
2,08 – 2,35
Sumber: Lo (1995).
Potensi Pemanfaatan Dirancang untuk penetrasi badan air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai, membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan korniver Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan Saluran absorsi klorofil yang penting untuk diskriminasi Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan delineasi badan air Menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tana, dan juga bermanfaat untuk membedakan salju dan awan Saluran inframerah termal penggunaanya untuk analisis pemetaan vegetasi, diskriminasi kelebaban tanah dan pemetaan termal Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan pemetaan hidrotermal
25 Landsat 5, diluncurkan pada bulan Maret 1984, dengan sensor citra-bumi TM. Satelit dan sensor kontinu beroperasi harian, setelah melayani lebih dari 23 tahun. Thematic Mapper memiliki 7 band; 30 m 6 band reflektif dan 120 m satu band thermal. Band-band TM memiliki pusat panjang gelobang kira-kira 0,49, 0,56, 0,66, 083, 1,67, 11,5 dan 2,24 µm (Chander et al. 2007). 2.16. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Selama bertahun-tahun, berbagai indek vegetasi telah dikembangkan dalam penilaian kuantitatif dan kualitatif dari parameter bio-fisik vegetasi. Sensor dengan band spektral pada Red (RED) dan near-infrared (NIR) digunakan untuk memonitoring vegetasi karena band-band tersebut merupakan indikator kuat dari jumlah biomasa hijau aktif photosintesis (Tucker 1979 diacu dalam Chander & Groeneveld, 2009). Hasilnya telah digunakan secara luas ketika membuat NDVI, yang didefinisikan sebagai (NIR-RED)/(NIR + RED). Teillet et al (1997) meringkas efek dari spektral, karakteristik spasial dan radiometrik pada NDVI dari daerah berhutan. Vegetasi merupakan suatu yang penting dan elemen dinamis dalam siklus hidrologi. Penggunaan citra satelit pada areal yang bervegetasi umumnya menunjukkan nilai yang tinggi disebabkan oleh reflektansinya yang tinggi pada inframerah dekat dan reflektansi yang rendah pada sinar tampak. Hal sebaliknya terjadi dimana air, awan dan salju mempunyai nilai reflektansi yang tinggi terhadap sinar tampak (merah) dari pada reflektansi inframerah dekat, sehingga menunjukkan nilai indeks vegetasi yang negatif. Pada batuan dan lahan atau tanah kosong menghasilkan indeks vegetasi mendekati nol, karena pada kedua band (kanal) reflektansi yang terjadi hampir sama (Yin & Williams 1997). Budi (2000) menjelaskan bahwa semakin tinggi nilai NDVI maka biomassa akan meningkat secara logistik. Sesuai dengan
penyataan Barret dan Curtis
(1992) diacu dalam Budi (2000), bahwa hubungan NDVI dengan biomassa tidak berbentuk linear (tidak konsisten). NDVI telah menjadi indeks popular untuk estimasi LAI (Leaf Area Index) di seluruh ekosistem yang beragam. Namun, sebagian besar studi tersebut untuk memperkirakan LAI menggunakan NDVI yang terkait dengan sistem vegetasi semi-arid dan pertanian dimana penutupan
26
kanopi kurang dari 100%. Studi terbaru menunjukkan bahwa NDVI banyak tidak sensitif terhadap nilai-nilai LAI khususnya pada ekosistem hutan yang memiliki kanopi yang rapat dimana nilai LAI relatif tinggi (Chen & Cihlar 1996; Turner et al. 1999). Menurut Prahasta (2009) vegetasi memiliki spektral signature yang unik dan memungkinkan bagi dipakainya untuk membedakan tipe-tipe landcover pada image near-infrared. Pantulannya akan bernilai rendah pada domain spektrum biru dan merah, karena penyerapan klorofil untuk fotosintesa. Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau dan meningkatkan warna hijau pada unsur yang bersangkutan.Bentuk spektrum pantulan juga dapat dipakai untuk mengidentifikasi tipe atau kelas vegetasi. 2.17. Representasi Data Spasial Data spasial perlu dikonversi ke dalam format dijital untuk dapat dipergunakan dalam data SIG. Dalam format digital, terdapat dua model representasi data (struktur data grafis) yaitu model vektor dan raster. Kedua model mampu menyimpan detil informasi tentang lokasi serta atributnya. Pada model vektor, posisi suatu obyek didefinisikan oleh rangkaian koordinat X dan Y. Dalam menggunakan model vektor, obyek-obyek dan informasi di permukaan bumi dilambangkan sebagai titik, garis, atau polygon (Ekadinata et al. 2008) Pada model raster, data spasial diorganisasikan dalam sel (grid cells) atau pixel.Piksel adalah unit dasar yang digunakan untuk menyimpan informasi secara eksplisit. Masing-masing pixel mewakili luasan tertentu di permukiman bumi. Pada dasarnya dalam pemodelan raster, permukaan bumi yang dimodelkan menjadi matriks dua dimensi yang terdiri dari sel-sel yang sama besar (Ekadinata et al. 2008). 2.18. Pemanfaatan SIG untuk Konservasi Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa SIG yang terdiri atas berbagai tahapan, termasuk menyimpan, menampilkan dan menganalisa bermacam jenis data yang tersimpan dalam peta, termasuk
peta jenis vegetasi, iklim, tanah,
topografi, geologi, hidrologi, sebaran spesies, kawasan yang dilindungi, permukiman manusia dan pola ekstrasi sumber daya alam. Kumara (2006) menjelaskan keunggulan-keunggulan SIG sebagai sebuah perangkat sistem yang
27 sudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan, menyimpan, memunculkan kembali, mentransformasi dan menampilkan data spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud atau tujuan tertentu, telah membuat SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisa spasial dan telah diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sekedar pemetaan, namun juga pemanfaatannya dibidang pengelolaan sumber daya alam maupun konservasi. Menurut
Sinclair
et
al.
(2006)
SIG
merupakan
sarana
yang
menghubungkan informasi geografis yang kompleks dari struktur fisik, relief topografi, fitur biologis, dan elemen lanskap buatan manusia ke dalam data base komputerisasi. Hal ini memungkinkan pengguna dengan cepat menyaring informasi spasial yang kompleks dalam konteks visual. Osborne et al. (2001) menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk membuat pemodelan penggunaan habitat pada skala lanskap. Beberapa penelitian habitat menggunakan SIG dengan metode dan perangkat lunak yang bervariasi Tabel 2. Tabel 2 Penelitian tentang habitat burung menggunakan SIG Lokasi Habitat Propinsi Toledo, Spanyol
Castello, Iberian Paninsula
Software SIG Arc-View Sofware
Analisis spasial dengan ESRI, Inc© Arview GIS 3.2.Logistic Regression
Osca, Hungaria
GPS pathfinder office 2.90 dan ArcView 3.2
TN.Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara
ARgis 9.3, Erdas Imagine 9.1, Regresi Logistic
Hasil Penelitian Model preferensi habitat untuk sarang elang (Owls Bubo Bubo): topografi yang bersifat irregular, dekat sungai dapat diartikan baik untuk dipilih sebagai kawasan lindung bagi lokasi sarang atau kawasan dengan ketersedian mangsa yang tinggi. Pemodelan preferensi habitat breeding Bonelli’s eagle (Hieraaetus fasciatus) dalam hubungan dengan topografi, gangguan, iklim, penggunaan lahan pada skala spasial berbeda: spesies ini nampak suka menyebar di hutan, lahan bersemak belukar, dan areal pertanian. Preferensi habitat Sylviidae warblers di lahan basah terfragmentasi; pola distribusi dan ukuran home range tampak berbeda diantara kelompok studi, pemilihan habitat ternyata menjadi skala keputusan yang sangat kecil Analisis kesesuian habitat burung maleo (Macrocephalon maleo): model kesesuaian burung maleo di TNBNW adalah model dengan veriabel bebas ketinggian tempat, jarak dari sungai, NDVI layak diterapkan.
Sumber Ortego dan Diaz (2004)
Lopez et al. (2006)
Preiszner dan Csorgi (2008)
Ambagau (2011)