3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kebakaran Hutan
2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan unsur-unsur yang lain dan ditandai dengan adanya panas, cahaya, serta penyalaan (Davis 1959). Kebakaran hutan merupakan suatu proses pembakaran yang terjadi secara menyebar bebas serta melahap bahan bakar yang ada di hutan seperti serasah, rumput, semak belukar, ranting, sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, semak dedaunan, dan pohon-pohon segar yang masih berdiri dalam tingkat terbatas (United States Forest Service 1956 dalam Brown dan Davis 1973). Menurut Brown and Davis (1973) proses pembakaran merupakan proses kebalikan dari proses fotosintesis, yaitu proses perombakan karbohidrat (C6H1206) dan oksigen (O2) yang menghasilkan energi panas, uap air (H2O), dan karbondioksida (CO2). Pembakaran terjadi melalui proses kimia dan fisika. Proses ini berlangsung cepat dan memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, yang berlawanan dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesis (Suratmo et al. 2003). Kebakaran terjadi karena adanya interaksi antara tiga unsur, yaitu bahan bakar, oksigen (O2) dan sumber panas. Ketiga unsur tersebut digambarkan seperti segitiga atau disebut segitiga api (fire triangle), sebagai berikut : Panas
Oksigen
Bahan bakar
Gambar 1 Segitiga api (Clar dan Chatten 1954)
Prinsip segitiga api ini merupakan prinsip dasar untuk melakukan tindakan pencegahan serta pengendalian kebakaran hutan, yaitu dengan mencegah
4
terjadinya hubungan antara ketiga unsur tersebut. Apabila salah satu unsur dari ketiganya tidak tersedia maka kebakaran tidak akan terjadi dan pada umumnya unsur yang paling berpotensi untuk dikurangi ketersediaanya adalah bahan bakar (Clar dan Chatten 1954).
2.1.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan
1.
Faktor Lingkungan Biofisik
a.
Karakteristik Bahan Bakar Menurut Brown dan Davis (1973) terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu bahan
bakar bawah yang terdiri atas duff, akar, dan gambut. Bahan bakar permukaan yang terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu, dan cabang pohon yang semuanya belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan, dan semai. Bahan bakar tajuk yang terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati yang berada diatas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter. Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sukar terbakar. Susunan bahan bakar juga mempengaruhi kebakaran, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran dan volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperaturnya tinggi dan sulit dipadamkan. Kerapatan bahan bakar mempengaruhi kebakaran, kayu yang memiliki kerapatan tinggi dan rendah akan terbakar dengan baik sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi. Kadar air bahan bakar mempengaruhi sulit atau tidaknya suatu bahan bakar untuk terbakar dan bahan bakar yang banyak mengandung air akan lebih sulit terbakar. Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar, sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air dari bahan bakar berubah seiring dengan
5
perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek (Chandler et al. 1983). b.
Kondisi Bahan Bakar Kondisi bahan bakar mempengaruhi mudah-tidaknya api membakar bahan
bakar, kondisi bahan bakar tersebut berhubungan dengan kadar air dan jumlah bahan bakar. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, apabila kadar airnya tinggi maka api tidak mudah menyala. Kelembaban kurang dari 30% mendukung terjadinya kebakaran (Saharjo 2003 dalam Darwo 2009). 2.
Faktor Manusia Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya adalah faktor
manusia, baik sengaja maupun karena kelalaian, dimana kegiatan konversi menjadi kegiatan yang seringkali menjadi penyebab kebakaran hutan (Syaufina 2008). Masyarakat melakukan kegiatan pembakaran dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang memiliki lahan yang kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut bekerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani yayasan, atau koperasi (Heryalianto 2006). Menurut Boonyanuphap (2001) pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan yang menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Akibat bertambahnya pendatang baru dan meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, dan pembukaan lahan dengan pembakaran. 2.2
Perubahan Penggunaan Lahan (Land Use Change) Menurut Arsyad (1989) perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai
setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kehidupannya, baik materil mapun spiritual. Begitu juga dengan perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya berupa hutan menjadi lahan yang digunakan untuk aktivitas lain, seperti pertanian, pemukiman, perindustrian, dan
6
perkebunan. Perubahan ini dapat berdampak pada penurunan kualitas lahan itu sendiri, seperti semakin meningkatnya luas lahan kritis, meningkatnya erosi tanah, sedimentasi, terjadinya banjir pada musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau.
Dampak
dari
perubahan
penggunaan
lahan
seringkali
tidak
diperhitungkan karena adanya keterbatasan dalam nilai barang dan jasa lingkungan (Bonnieux dan Goffe 1997). Perubahan penggunaan lahan ini berdampak pada manfaat langsung yang diperoleh akibat peningkatan pendapatan. Aktivitas ini terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh, namun dari sisi lain banyak manfaat dari perlindungan lingkungan yang hilang dan tidak diperhitungkan dalam merubah penggunaan lahan. Salah satu alasan dari perubahan penggunaan hutan menjadi non hutan adalah karena semakin terbatasnya lahan yang ada di Indonesia dan didorong dengan pertumbuhan populasi manusia yang semakin tinggi. Salah satu permasalahan dalam perubahan penggunaan lahan tersebut adalah pembukaan hutan dengan cara pembakaran yang tidak terkendali dengan asumsi pembakaran hutan untuk pembukaan lahan lebih praktis dan efisien (Syaufina 2008). Menurut Ekadinata dan Dewi (2011), faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan adalah konversi, perubahan praktek, kebakaran, bencana, dan perubahan iklim. Perubahan tutupan seringkali dikaitkan dengan perubahan penggunaan, pengertian dari perubahan tutupan lahan sendiri menurut Hartanto (2006) berkaitan dengan jenis kenampakan yang terdapat di permukaan bumi, dengan ada atau tidak adanya aktivitas manusia, sementara penggunaan lahan mengarah pada kegiatan manusia pada obyek tersebut. 2.3
Emisi Karbondioksida (CO2) Kebakaran hutan tidak hanya berdampak terhadap lingkungan sekitar,
tetapi juga dapat menembus batas geografis suatu negara melalui asap dan emisi karbon yang dihasilkannya. Hasil pembakaran hutan berupa emisi tersebut menjadi salah satu masalah karena sangat berhubungan dengan pemanasan global, yaitu
mengakibatkan
akumulasi
polutan-polutan
di
atmosfer
sehingga
menyebabkan efek rumah kaca (green house effect). Emisi karbon merupakan jumlah total gas karbondioksida yang termasuk sebagai gas rumah kaca dan secara
7
umum dinyatakan setara ton karbondioksida (CO2). Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara dalam bentuk CO2, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH4, dan asap. Sulfur akan tertinggal sebagai asap dan sedikit terbentuk menjadi SO2 dan unsur klorin membentuk senyawa CH3Cl (Crutzen dan Andreae 1990 dalam Lobert et al. 1990). Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang memiliki nilai Global Warming Potential (GWP) sebesar 1. Global Warming Potential memiliki definisi yaitu suatu nilai berdasarkan sifat radiatif yang digunakan untuk memperkirakan potensi efek pemansan global dari emisi beberapa gas (Forster et al. 2007 dalam Kusuma 2011) 2.4
Titik Panas (Hotspot) Menurut Anderson, Imanda dan Muhnandar (1999) dalam Heryalianto
(2006), pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api. Namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas. Data tentang hotspot tersebut dapat dihimpun melalui satelit MODIS, yang juga dapat digunakan untuk pemantauan secara global. Terlebih lagi, NASA telah membuka akses yang luas bagi para pengguna MODIS di seluruh dunia. MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah perangkat yang memiliki satelit Terra dan Aqua. Orbit satelit Terra adalah di sekitar bumi yang bergerak dari arah utara ke selatan melintasi khatulistiwa di pagi hari, sementara satelit Aqua bergerak dari selatan ke utara di atas khatulistiwa setiap sore hari. Perangkat MODIS menyediakan sensitivitas radiometrik yang tinggi (12 kanal) dalam 36 spektral band dengan kisaran panjang gelombang dari 0,4–14,4 µm dengan resolusi spasial yang bervariasi (2 kanal pada 250 m, 5 kanal pada 500 m dan 29 kanal pada 1 km). Alat ini didesain untuk menyediakan pengukuran dalam skala besar termasuk perubahan tutupan bumi oleh awan, radiasi dan peristiwa yang terjadi di laut, di daratan, dan pada tingkat atmosfir terendah. Sebuah hotspot MODIS/lokasi terjadinya kebakaran menunjukan pusat yang berisi 1 atau lebih hotspot/kebakaran yang sedang aktif terbakar dengan
8
radius 1 km pixel (rataan), hotspot/kebakaran tersebut dideteksi menggunakan data dari alat MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Pada umumnya, hotspot MODIS merupakan kebakaran vegetasi, namun terkadang dapat berupa erupsi vulkanik atau semburan api dari sumur gas. Satelit MODIS akan mendeteksi suatu obyek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang terdeteksi sebagai hotspot oleh satelit MODIS adalah sekitar 330 K (NASA 2002). 2.5
Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang rawan kebakaran
hutan dan lahan di Pulau Kalimantan. Salah satu kebakaran paling besar adalah pada tahun 1997-1998 yang menghanguskan 6,5 juta ha areal hutan di Kalimantan, terutama di Kalimantan Barat (Bappenas 1999 dalam Tacconi 2003) dan total kerugian diperkirakan mencapai US$ 9 milliar dengan emisi karbon yang cukup tinggi dan merupakan poluter terbesar di dunia yaitu sebesar 206,6 juta ton dan 75% dihasilkan dari kebakaran gambut atau sekitar 156,3 juta ton (ADB 1999 dalam Tacconi 2003). Menurut Kementerian Kehutanan (2012) luas kebakaran hutan di Kalimantan Barat pada tahun 2000 mencapai 104 ha dan mengalami peningkatan pada tahun 2001 menjadi sekitar 170 ha. Luas kebakaran hutan di Kalimantan Barat kembali mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi sekitar 361 ha dan mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi sekitar 28 ha. Pada tahun 2004, 2005, dan 2006 luas hutan dan lahan yang terbakar di Kalimantan Barat masing-masing sekitar 1.027 ha, 1.686 ha dan 3.489,96 ha. Peningkatan jumlah luasan kebakaran hutan dan lahan tersebut berbanding lurus dengan jumlah hotspot atau titik panas yang terdeteksi di Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2004 terdapat sejumlah 4.784 hotspot yang tersebar di berbagai kabupaten di Kalimantan Barat, hotspot yang terdeteksi terdapat pada non kawasan hutan (65%) dan pada kawasan hutan (35%). Peningkatan jumlah hotspot terjadi pada tahun 2006 menjadi 11.517 hotspot yang tersebar pada non kawasan hutan (48%) dan kawasan hutan (52%) (Kementerian Kehutanan 2012).