5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Perbanyakan Tanaman dengan Kultur Jaringan Pada penelitian tumbuhan seringkali dibutuhkan penanaman pada media
dan lingkungan yang dapat dikendalikan dengan baik, misalnya saja untuk memantau sebuah varietas baru yang merupakan hasil rekayasa genetika atau untuk membuat beberapa replikasi dari sebuah tanaman yang persis sama satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dicapai dengan penerapan teknologi kultur jaringan yang pada prinsipnya adalah menggunakan sedikit bagian tertentu dari tubuh tanaman induk untuk membentuk sebuah tanaman baru yang utuh. Bagian tersebut dikenal dengan nama eksplan. Eksplan diletakkan didalam suatu lingkungan yang steril dengan ketersediaan nutrisi yang cukup . Dengan mengatur media pertumbuhan agar sesuai dengan kebutuhan tanaman, dalam waktu yang tidak terlalu lama eksplan dapat segera menghasilkan tunas-tunas yang baru dan dengan penambahan hormon tertentu akan segera terlihat adanya akar. Segera setelah eksplan membentuk tunas dan akar baru, tunas-tunas dari eksplan dapat langsung dijadikan eksplan baru. Dari 1 eksplan dapat dihasilkan 10-20 tunas baru dalam waktu sekitar 3 bulan, sehingga dalam 1 tahun dari satu eksplan dapat diproduksi sekitar 10.000-160.000 tunas baru. Tingkat multiplikasi ini jauh lebih tinggi daripada cara konvensional, yaitu dari 1 tunas (bibit) hanya dapat
dihasilkan
antara
20-25
anakan
baru
dalam
1
tahun.
Dengan demikian dalam waktu yang relatif singkat dapat dihasilkan tanamantanaman baru dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, teknologi ini sering juga digunakan untuk perbanyakan masal dengan tujuan komersil meskipun untuk memproduksi bibit melalui kultur jaringan diperlukan laboratorium dan rumah kaca untuk aklimatisasi bibit yang membutuhkan investasi yang relatif besar.
2.1.1 Prosedur Pembuatan Kultur Jaringan Prosedur yang dilakukan dalam implementasi teknologi kultur jaringan dimulai dengan pembuatan media tanam, dilanjutkan dengan sterilisasi eksplan,
6
penanaman eksplan di media tanam, subkultur, evaluasi kultur, aklimatisasi dan akhirnya pemindahan tanaman baru ke tanah. Gambar 1 mengilustrasikan prosedur umum proses perbanyakan tanaman dengan metode kultur jaringan :
Gambar 1 Proses perbanyakan tanaman dengan metode kultur jaringan Berikut adalah penjelasan untuk masing-masing tahapan dalam implementasi kultur jaringan [7]: 1. Pembuatan media tanam Media tanam merupakan campuran dari berbagai garam mineral, air, gula, asam amino, vitamin, zat pengatur tumbuh, pemadat media untuk pertumbuhan dan perkembangan serta kadang-kadang arang aktif untuk mengurangi efek penghambatan dari persenyawaan polifenol (warna cokelathitam) yang keluar akibat pelukaan jaringan pada jenis-jenis tanaman tertentu. Gula, asam amino dan vitamin ditambahkan karena eksplan yang ditanam tidak lagi sepenuhnya hidup secara autotrop (hidup dari bahan-bahan anorganik yang diambil dari alam) tetapi selama beberapa waktu akan berada di dalam tabung laboratorium sehingga harus hidup secara heterotrop (mendapat suplai bahan organik). Media tanam yang banyak digunakan adalah media Murashige & Skoog (MS). Secara umum pembuatan media tanam dimulai dengan perencanaan kemudian dilanjutkan dengan persiapan larutan stok, pencampuran semua bahan dan pembagian kedalam botol/tabung kultur, sterilisasi dan penyimpanan. Perencanaan ditujukan untuk menghitung komposisi bahan yang digunakan agar dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan tujuan dari inisiasi kultur. Rencana tersebut kemudian direalisasikan dengan pembuatan larutan stok. Larutan stok merupakan serbuk-serbuk
7
garam, asam amino, vitamin dan zat pengatur tumbuh yang dilarutkan dalam air. Tujuan pembuatan larutan stok adalah untuk mengurangi seringnya proses timbang terutama jika pembuatan media tanam tidak hanya dilakukan sekali. Selanjutnya adalah proses pencampuran semua bahan yang telah berbentuk larutan dengan gula dan bahan pemadat (biasanya adalah serbuk agar-agar). Semua bahan dari larutan stok diambil dengan menggunakan pipet untuk kemudian dicampurkan dengan air, diaduk rata dan dipastikan bahwa pH-nya berada pada rentang yang ditetapkan. Kemudian campuran tersebut dipanaskan sambil diaduk dan dimasukkan gula serta serbuk agar-agar kedalamnya. Gambar 2 berikut menunjukkan proses pencampuran:
(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Proses pencampuran bahan-bahan media tanam. (a) Pengambilan bahan dari larutan stok, (b) Pengadukan dan pengukuran pH, (c) Pemanasan dan penambahan gula serta serbuk agar-agar Hasil pencampuran berbagai bahan tersebut dibagi-bagikan kedalam botol/tabung kultur, agar setelah proses sterilisasi media tidak terkontaminasi jamur, bakteri maupun virus, bagian atas yang terbuka dari botol/tabung ditutup dengan bahan yang tahan panas. Gambar 3 berikut menunjukkan proses pembagian dan penutupan:
(a)
(b)
Gambar 3 Proses pembagian cairan media tanam ke botol/tabung kultur. (a) Pembagian cairan, (b) Botol/tabung yang telah diisi larutan media tanam ditutup dengan bahan tahan panas
8
Selanjutnya semua botol/tabung kultur disterilisasi dengan memanaskannya pada suhu ± 121ºC selama 20 menit dengan menggunakan sebuah alat yang disebut autoklaf. Tujuannya adalah untuk membunuh jamur, bakteri dan virus yang mungkin menempel pada botol/tabung. Akhirnya botol/tabung kultur yang telah steril disimpan di rak-rak penyimpanan sampai saatnya digunakan. Gambar 4 menunjukkan proses sterilisasi tersebut.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4 Proses sterilisasi botol/tabung kultur. (a) Botol/tabung kultur dimasukkan kedalam autoklaf, (b) Posisi botol/tabung kultur di dalam autoklaf, (c) Botol/tabung kultur diletakkan di rak penyimpanan sementara 2. Sterilisasi eksplan Tujuannya adalah untuk membunuh jamur, bakteri dan virus yang menempel pada bagian tanaman induk yang akan dijadikan eksplan. Hal ini perlu dilakukan mengingat media tumbuh juga sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jamur dan bakteri. Bila diberi kesempatan, organisme mikro tersebut akan tumbuh dengan cepat menutupi permukaan media tanam. Selain itu organisme mikro dapat menyerang eksplan melalui luka-luka akibat pemotongan. Sterilisasi eksplan ini harus dilakukan secara selektif dengan memilih bahan-bahan yang dapat membunuh organisme mikro yang tidak diinginkan namun tidak membawa dampak negatif terhadap eksplan. Bahanbahan sterilisasi yang telah diketahui aman bagi eksplan antara lain adalah deterjen, fungisida dan bakterisida (benlate, dithane M-45, agrimycin), larutan antibiotika HgCl2, bahan pemutih (clorox atau bayclin) dan antiseptik (betadine). Berikut adalah tahapan yang dilakukan dalam sterilisasi eksplan : a. Bagian tanaman yang diinginkan (pucuk, batang, bunga atau umbi) dicuci bersih dibawah air yang mengalir
9
b. Bagian-bagian yang tidak diperlukan seperti daun-daun tua, pelepahpelepah dan daun-daun robek dibuang c. Bagian tanaman yang telah bersih direndam di dalam larutan fungisida yang telah diberi sedikit deterjen selama 30 sampai 60 menit d. Bagian tanaman dibilas dengan air bersih kemudian dipotong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat dimasukkan kedalam cawan petri atau gelas piala e. Bagian tanaman direndam dalam larutan antibiotika selama 1 jam f. Bagian tanaman dipindahkan kedalam botol steril yang telah berisi larutan clorox 20%, dibiarkan terendam selama 7 menit g. Bagian tanaman direndam dalam larutan clorox 10% selama 10 menit kemudian dibilas dengan air steril dan direndam selama 5 menit h. Bagian tanaman direndam dalam larutan antiseptik selama 3 sampai 5 menit i. Bagian tanaman dibilas dua kali dalam air steril dengan lama perendaman masing-masing 5 menit agar sisa-sisa antiseptik hilang Langkah f sampai dengan i harus dilakukan di dalam laminar air flow cabinet, yaitu suatu alat yang dapat meniupkan udara steril secara kontinu melewati meja preparasi sehingga meja preparasi bebas dari debu dan spora-spora yang mungkin jatuh ke dalam media tanam. Selain itu alat ini juga dilengkapi dengan sinar UV yang dapat membunuh mikroorganisme yang menempel pada meja preparasi. Tahapan sterilisasi sebagaimana yang telah dijelaskan dapat dilihat pada Gambar 5. 3. Penanaman eksplan di media tanam Ini adalah prosedur untuk memindahkan eksplan yang telah steril ke dalam media tanam yang juga telah steril, berikut adalah tahapannya: a. Lampu dan larutan alkohol serta cawan petri disiapkan dan diletakkan di sebelah kanan b. Sebelum mengambil bagian tanaman yang telah steril, pinset dicelupkan kedalam alkohol kemudian dibakar dengan lampu alkohol sampai alkohol yang melekat pada ujung pinset terbakar habis. Setelah itu pinset didinginkan dengan cara meletakkannya di atas cawan petri steril
10
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
Gambar 5 Proses sterilisasi eksplan tahap a sampai dengan i c. Botol yang berisi media tanam disiapkan, tutupnya dibuka dengan hati-hati agar bagian dalamnya tidak tersentuh. Tutup tersebut diletakkan di bagian kiri tempat kerja dalam keadaan bagian dalamnya menghadap ke atas d. Botol dipegang dengan tangan kiri dalam keadaan miring. Mulut botol dibakar diatas api alkohol. Ketika membakar mulut botol, sebaiknya botol diputar dengan hati-hati dengan titik tengah lingkarannya sebagai poros agar seluruh bagian mulut botol terkena api secara merata. e. Dengan menggunakan pinset, eksplan diambil dan ditancapkan ke dalam media tanam f. Sebelum ditutup, mulut botol dan bagian dalam tutupnya (jika menggunakan alumunium foil) sebaiknya dibakar dulu g. Tutup botol dikembalikan ke posisi semula pada mulut botol dan dirapatkan dengan menggunakan karet gelang ataupun segel plastik h. Botol diberi label untuk memudahkan identifikasi eksplan Gambar 6 menunjukkan proses penanaman eksplan ke dalam media tanamnya.
11
(a)
(b)
(c)
Gambar 6 Penanaman eksplan ke media tanam. (a) Persiapan bahan dan alat, (b) Eksplan ditancapkan ke dalam media tanam, (c) Botol ditutup rapat kembali 4. Subkultur Merupakan proses pemindahan eksplan dari media lama ke media baru setelah suatu masa kultur untuk memperoleh pertumbuhan baru yang diinginkan. Berikut adalah beberapa alasan pengadaan subkultur : a. Pertumbuhan eksplan yang cepat dan telah memenuhi botol b. Eksplan perlu diperbanyak lebih lanjut terutama dalam tujuan perbanyakan c. Terjadi proses pencokelatan (browning) terutama pada awal inisiasi akibat persenyawaan-persenyawaan polifenolik yang keluar dari bekas irisan d. Media tanam mengering (agar-agar menciut) atau media cair sudah habis e. Nutrient dalam media tanam sudah habis, eksplan mulai menunjukkan gejala defisiensi f. Eksplan memerlukan media tanam yang susunannya baru agar berdiferensiasi lebih lanjut. Untuk kalus, pemindahannya ke media tanam lain dapat menginduksi terbentuknya pucuk atau embrio somatik g. Eksplan menunjukkan gejala vitrous (daun dan batang lunak, agak transparan akibat kurang lignin) sehingga perlu dipindahkan ke media tanam lain dengan sitokinin yang lebih rendah 5. Evaluasi kultur Regenerasi merupakan inti dari teknik kultur in vitro. Akan tetapi kualitas dari regenerant sangat perlu diperhatikan. Berikut adalah beberapa hal yang harus dihindarkan terjadi pada regenerant: a. Terjadinya vitrifikasi, ditandai dengan pucuk yang berwarna hijau muda, daun dan batang agak transparan dan rapuh. Stomata pada daun tidak berfungsi (hanya terbuka), jaringan palisade tidak tersusun dengan baik,
12
dan rongga-rongga dalam daun banyak. Vitrifikasi dapat dihindarkan dengan
cara
menurunkan ancymidol
menaikkan konsentrasi
dan
konsentrasi sitokinin,
paclobutrazol,
agar-agar
yang
menggunakan
meningkatkan
digunakan,
retardan
intensitas
seperti cahaya,
menurunkan temperatur ruangan dan menggunakan metode dua lapisan media yaitu padat dan diatasnya diberi air steril b. Terjadinya pucuk albino atau variegata, penyebab terjadinya pucuk albino belum diketahui dengan pasti, namun diduga berhubungan dengan genotip tanaman. Dalam pelaksanaan praktis, menumbuhkan eksplan pada temperatur stabil 25ºC dapat menekan terjadinya pucuk albino. c. Terjadinya penyimpangan genetis yang menimbulkan variasi yang tidak diinginkan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti sifat dari tanaman induknya yang terbentuk dari persilangan yang luas antar spesies sehingga menghasilkan sel-sel yang bervariasi yang jika diberi kesempatan tumbuh akan menghasilkan tanaman yang bervariasi pula. Zat pengatur tumbuh yang digunakan pada konsentrasi tertentu dalam waktu yang cukup lama dapat memicu terjadinya mutasi bila digunakan pada spesies tertentu. Bagian tanaman yang diambil seperti ujung akar cenderung menghasilkan tanaman yang bervariasi jika diregenerasikan dan akhirnya subkultur yang berkepanjangan selama lebih dari satu tahun yang menyebabkan tanaman secara genetis berusaha beradaptasi dengan lingkungan in vitro yang bukan lingkungan tumbuh yang sesungguhnya. 6. Aklimatisasi Kultur in vitro selesai pada saat terbentuk plantlet yaitu tanaman kecil yang mempunyai pucuk pada ujung yang satu dan akar yang berfungsi pada ujung yang lainnya. Selanjutnya (jika diperlukan) adalah pemindahan plantlet ke tanah. Masa ini merupakan masa yang kritis karena plantlet harus menyesuaikan diri dari kondisi heterotrop menjadi autotrop. Masa penyesuaian diri ini disebut aklimatisasi. Untuk itu plantlet tidak dapat langsung diletakkan di tanah terbuka sebagaimana pada tanaman dengan perbanyakan alami. Aklimatisasi dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau pesemaian, yang kondisinya (terutama kelembaban) dapat dikendalikan.
13
Plantlet dapat ditanam dalam dua cara. Pertama, plantlet ditanam dalam polibag diameter 10 cm yang berisi media (tanah + pupuk kandang) yang telah disterilkan kemudian dipelihara di rumah kaca atau rumah kasa. Kedua, bibit ditaruh di atas bedengan yang dinaungi dengan plastik. Lebar pesemaian 1-1,2 m, panjangnya tergantung keadaan tempat. Dua sampai tiga minggu sebelum tanam, bedengan dipupuk dengan pupuk kandang (4 kg/m2) dan disterilkan dengan formalin 4%. Planlet ditanam dengan jarak 20 cm x 20 cm. Aklimatisasi berlangsung selama 2-3 bulan. Aklimatisasi cara pertama dapat dilakukan bila lokasi pertanaman letaknya jauh dari pesemaian dan cara kedua dilakukan bila pesemaian berada di sekitar areal pertanaman. 7. Pemindahan tanaman baru ke tanah Tahap ini adalah tahap akhir dari seluruh rangkaian prosedur kultur jaringan. Setelah tanaman dirasa cukup kuat untuk bertahan dengan lingkungan barunya, tanaman dipindahkan ke lahan yang sesungguhnya untuk selanjutnya mengalami proses pertumbuhan alami.
2.1.2 Evaluasi Pertumbuhan Evaluasi pertumbuhan merupakan aktivitas untuk mendapatkan ukuranukuran baik kualitatif maupun kuantitatif terhadap variabel-variabel morfologi tanaman. Ukuran-ukuran kuantitatif yang biasa digunakan untuk tanaman in vitro antara lain adalah berat kering, berat basah, panjang akar, jumlah akar, jumlah daun, luas penampang daun, warna daun dan tinggi tanaman. Untuk kebutuhan penyimpanan, evaluasi hanya dilakukan pada ukuran-ukuran kualitatif seperti indikasi perubahan warna tanaman sebagai gejala browning, bleaching dan defoliasi dengan menggunakan sistem rating. Evaluasi ini dilakukan secara berkala dengan interval waktu tertentu.
2.1.3 Masalah-Masalah Evaluasi Pertumbuhan Tanaman In Vitro Kendala utama untuk mendapatkan hasil kuantifikasi dari variabel-variabel morfologi untuk tanaman in vitro adalah tidak dimungkinkan untuk mengekspos tanaman pada udara terbuka tanpa resiko kontaminasi oleh mikroorganisme yang begitu banyak ada di udara, selain itu beberapa ukuran hanya bisa diperoleh dengn
14
destructive test. Artinya setelah tanaman mengalami proses pengukuran kemungkinan besar tanaman tersebut tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya. Sistem rating sering memberikan hasil dengan variasi yang sangat besar karena tingginya tingkat subyektifitas dari peneliti, selain itu sistem ini juga membutuhkan waktu yang lama dalam pelaksanaannya.
2.2
Citra Digital Secara harfiah, citra merupakan gambar pada bidang dua dimensi. Ditinjau
dari sudut pandang matematis, citra merupakan sebuah fungsi kontinu dari intensitas radiasi pada bidang dua dimensi. Sumber radiasi mengeluarkan radiasi yang kemudian mengenai objek, objek memantulkan kembali sebagian dari radiasi tersebut, pantulan radiasi ini ditangkap oleh sensor pada alat-alat optik seperti mata, kamera, pemindai (scanner) dan sebagainya. Akhirnya bayangan objek tersebut direkam dalam suatu media tertentu. Citra semacam ini disebut juga sebagai citra pantulan. Jika objek menghasilkan radiasi sendiri, maka citra yang tertangkap oleh sensor disebut sebagai citra emisi. Sedangkan jika objek bersifat transparan, sehingga citra yang dihasilkannya merupakan representasi dari radiasi yang berhasil diserap oleh partikel-partikel dari objek tersebut, maka citra tersebut adalah citra absorpsi [8]. Untuk pembahasan selanjutnya pada seluruh bagian dari tesis ini, yang disebut sebagai citra adalah citra pantulan yang ditangkap oleh sensor pada kamera. Analisis terhadap sebuah citra dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer melalui sebuah sistem visual buatan yang biasa disebut dengan computer vision. Secara umum, tujuan dari sistem visual adalah untuk membuat model nyata dari sebuah citra. Untuk itu citra yang ditangkap oleh sensor yang masih dalam bentuk fungsi kontinu (analog) harus dirubah terlebih dahulu menjadi fungsi diskret (digital) yang dapat dibaca oleh komputer. Proses ini disebut sebagai digitasi, terdiri dari dua sub proses yaitu sampling dan kuantifikasi. Sampling merupakan proses untuk mengubah sebuah sinyal dalam ruang kontinu menjadi sinyal dalam ruang diskret, hasil dari proses ini adalah citra yang terdiri dari piksel-piksel yang tersusun dalam kolom dan baris. Setiap piksel merupakan hasil penggabungan dari beberapa sinyal yang saling berdekatan.
15
Sekali sebuah citra mengalami proses sampling, tidak dimungkinkan untuk mengembalikannya kedalam bentuk kontinu. Setiap piksel biasanya akan memuat nilai intensitas yang pada awalnya mempunyai range kontinu, artinya sangat banyak kemungkinan nilai yang dapat dimuat oleh setiap piksel. Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan komputer untuk memproses pengkodean nilainilai tersebut, dibutuhkan sebuah metode untuk membatasinya. Kuantifikasi merupakan proses untuk mengubah range nilai intensitas yang semula kontinu menjadi range nilai yang diskret sedemikian sehingga dapat diakomodasi oleh sistem pengkodean biner pada komputer. Akhirnya, sebuah citra yang telah melalui proses digitasi disebut sebagai citra digital.
2.2.1 Representasi Citra Digital Citra digital biasa direpresentasikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi f(x,y), x dan y adalah koordinat spasial yang menunjukkan lokasi dari sebuah piksel didalam sebuah citra dan amplitudo dari f pada setiap pasangan koordinat (x,y) adalah intensitas dari citra pada piksel tersebut [9]. Untuk kebutuhan pengolahan dan analisis, representasi tersebut ditampilkan dalam bentuk matriks seperti pada Gambar 7.
⎡ f(0,0) ⎢ f(1,0) ⎢ . f(x, y) = ⎢ ⎢ . ⎢ . ⎢ ⎣⎢ f(M − 1,0)
f(0,1)
...
f(1,1)
...
f(M − 1,1)
...
f(0, N − 1) ⎤ f(1, N − 1) ⎥⎥ . ⎥ ⎥ . ⎥ . ⎥ f(M − 1, N − 1)⎦⎥
nilai intensitas tiap piksel
(a)
(b)
Gambar 7 Representasi citra digital. (a) Piksel-piksel dalam konvensi koordinat, (b) Piksel-piksel dalam sel-sel matriks 2.2.2 Tipe-Tipe Citra Digital Tiga tipe citra digital yang sering digunakan adalah citra intensitas, citra biner, dan citra RGB. Selain ketiga tipe tersebut, pada tesis ini digunakan pula citra HSV. Citra intensitas dan citra biner merupakan citra monokrom (lebih
16
dikenal dengan citra hitam putih) sedangkan citra RGB dan HSV merupakan citra berwarna. a. Citra Intensitas, merupakan sebuah matriks dua dimensi berukuran mxn yang setiap selnya berisi nilai intensitas antara 0 sampai dengan 255. Intensitas 0 ditangkap sebagai warna hitam pekat, sedangkan intensitas 255 ditangkap sebagai warna putih terang oleh mata manusia. Nilai intensitas yang ada diantaranya merupakan gradasi dari warna hitam ke putih, atau lebih sering disebut warna keabuan (grayscale). b. Citra biner, merupakan sebuh matriks dua dimensi berukuran mxn yang setiap selnya berisi kode 0 atau 1 yang merupakan representasi dari nilai logical ”benar” atau ”salah”, disebut juga tipe data boolean. Nilai 0 sering diasosiasikan dengan warna putih terang (setara dengan nilai 255 pada citra intensitas) sedangkan nilai 1 sering diasosiasikan dengan warna hitam (setara dengan nilai 0 pada citra intensitas). Namun bagaimanapun, asosiasi tersebut bisa berubah-ubah tergantung dari asumsi yang digunakan oleh pengguna. Tidak ada kesepakatan baku yang mengatur bagaimana nilai 0 dan 1 dihubungkan dengan warna hitam dan putih. Umumnya, citra biner terbentuk dari citra intensitas yang mengalami proses tresholding. Proses ini sangat sederhana, pertama-tama tetapkan sebuah nilai T yang terletak diantara range nilai intensitas. Ubah nilai intensitas dari setiap piksel dengan mengikuti aturan berikut :
⎧ 0 , jika f(n) ≥ T ⎪ g(n) = ⎨ ⎪⎩ 1, jika f(n) < T Gambar 8 berikut menggambarkan bentuk citra biner dari sebuah citra intensitas:
Gambar 8 Pembentukan citra biner dari citra intensitas
17
c. Citra RGB (red, green, blue), merupakan kumpulan dari 3 buah matriks 2 dimensi yang masing-masing memuat nilai intensitas (0 s.d. 255) untuk warna merah, hijau dan biru. Sebuah piksel merupakan komposisi dari ketiga nilai intensitas tersebut (triplet). Jika digunakan sebagai input pada sistem monitor berwarna, triplet tersebut akan menghasilkan warna-warna yang unik. Gambar 9 mengilustrasikan susunan komponen RGB untuk sebuah piksel sehingga menghasilkan citra berwarna:
Komposisi ketiga komponen warna untuk sebuah piksel
⎡zR ⎤ ⎢z ⎥ ⎢ G⎥ ⎢⎣ z B ⎥⎦ Komponen blue Komponen green Komponen red
Gambar 9 Skema susunan komponen RGB untuk sebuah piksel pada citra berwarna
d. Citra HSV, untuk mendapatkan informasi dari tingkat kecerahan citra maka citra RGB dapat dikonversi ke dalam model warna HSV (hue, saturation,
value). Model warna HSV mempunyai tiga atribut warna,yaitu :
Hue berhubungan dengan ragam warna, merupakan nilai sudut antara vektor warna aktual dan vektor warna referensi.
Saturation berhubungan dengan kecerahan warna, merupakan persentase dari pencahayaan ditambah warna referensi.
Value berhubungan dengan intensitas warna.
Gambar 10 menunjukkan perbedaan struktur geometri format RGB dengan format HSV [9].
18
(a)
(b)
Gambar 10 Perbandingan model geometri format RGB dan HSV (a) Model RGB, (b) Model HSV Perhitungan komponen-komponen HSV berdasarkan nilai RGB dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut (r, g dan b adalah nilai R, G dan B yang telah dinormalisasi):
v = max(r, g,b)
(1)
s=
v − min(r, g,b) v
(2)
r' =
v−r v − min (r, g,b)
(3)
g' =
v−g v − min (r, g,b)
(4)
b' =
v −b v − min (r, g,b)
(5)
(6)
Selain citra RGB dan citra HSV, citra berwarna dapat pula dinyatakan dalam beberapa sistem pengkodean lainnya seperti NTSC, YcbCr, CMY, CMYK dan HSI. Pada toolbox MATLAB untuk pengolahan citra digital, semua sistem pengkodean tersebut dapat dibuat melalui mekanisme konversi pada citra RGB.
19
Untuk beberapa kasus analisis citra digital, salah satu sistem pengkodean tersebut mungkin lebih sesuai untuk digunakan dibandingkan dengan pengkodean RGB.
2.2.3 Ekstraksi Ciri Tujuan utama dari proses ekstraksi ciri adalah untuk mengkarakterisasi objek yang ingin dicari/dikenali dari sebuah citra dengan menggunakan sejumlah ukuran. Ukuran-ukuran tersebut harus mirip untuk objek pada kategori yang sama dan sangat berbeda untuk objek pada kategori yang tidak sama. Artinya, dilakukan pencarian terhadap ciri-ciri dari objek yang membedakannya dengan objek yang lain dan ciri-ciri tersebut tidak akan berubah (invariant) meskipun ada pengaruh transformasi yang tidak relevan terhadap citra [10]. Misalkan saja ingin dikembangkan sebuah alat pendeteksi jenis ikan untuk tujuan pengemasan. Ikanikan yang sejenis dimasukkan kedalam kotak yang sama. Sensor diletakkan diatas konveyor dan ikan-ikan yang akan dikemas diletakkan diatas konveyor menuju kotak pengemasannya. Untuk dapat mengidentifikasikan jenis ikan yang tertangkap sensor, sistem tidak boleh terpengaruh atas posisi ikan tersebut pada konveyor, apakah tergeletak secara vertikal maupun horizontal dan juga tidak boleh terpengaruh atas ukuran dari ikan tersebut. Baik besar maupun kecil, seekor ikan salmon tetaplah ikan salmon. Maka, dipilih bentuk dan warna sebagai ciri yang membedakan antara jenis ikan yang satu dengan jenis ikan yang lain. Bentuk dan warna tidak akan berubah meskipun posisi dan ukuran dari objek berubah. Ekstraksi ciri adalah pekerjaan yang sangat tergantung dari domain masalah yang sedang dihadapi, tidak ada sebuah ciri yang lebih baik daripada ciri yang lainnya untuk semua kasus yang ada. Oleh karena itu pemilihan ciri yang akan digunakan membutuhkan pengetahuan yang menyeluruh terhadap tujuan dan proses yang ada pada sistem yang sedang dibuat. Untuk kepentingan pencarian objek pada sebuah citra, ciri-ciri objek yang umum digunakan antara lain adalah: a. Warna, warna objek yang tampak oleh mata manusia dipengaruhi oleh dua faktor fisik yaitu distribusi kekuatan spektrum cahaya yang mengenai objek dan sifat dari permukaan objek yang memantulkan spektrum cahaya tersebut. Pada pengolahan citra digital, sistem RGB sering digunakan untuk merepresentasikan warna. Namun sebenarnya sistem representasi warna oleh
20
mata manusia tidaklah sama dengan sistem RGB. Oleh karena itu perbedaan warna pada sistem RGB belum tentu dapat ditangkap oleh mata manusia, sistem HSV lebih sesuai untuk merepresentasikan warna yang ditangkap oleh persepsi manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian 2.2.2, penggunaan sistem pengkodean warna tergantung dari kebutuhan penelitian. Pemilihan sistem yang tepat akan memberikan hasil yang maksimal pada proses berikutnya. Pada implementasinya, ciri warna dari sebuah objek direpresentasikan dalam bentuk histogram warna. b. Tepi (edge), pada umumnya tepi dari sebuah objek mempunyai intensitas warna yang cukup kuat dibandingkan dengan intensitas warna pada daerah di sekitarnya. Pencarian tepi bertujuan untuk menemukan perbedaan intensitas yang ekstrim tersebut sehingga dapat ditarik garis pembatas untuk membedakan sebuah objek dengan objek lainnya. Satu hal yang penting untuk diketahui adalah bahwa tepi tidak akan terlalu terpengaruh terhadap perubahan pencahayaan (iluminasi) dibandingkan dengan warna. Tepi digunakan untuk merepresentasikan bentuk geometris dari sebuah objek. salah satu metode deskripsi bentuk berdasarkan tepi yang populer adalah moment invariants. Momen dua dimensi orde (p+q) dari sebuah citra digital f(x,y) adalah [9]: m pq = ∑∑ x p y q f(x, y) x
(7)
y
Pusat dari momen dihitung dengan persamaan berikut :
μ pq = ∑∑ (x − x ) p (y − y )q f(x, y) x
(8)
y
Berikut adalah normalisasi dari pusat momen :
η pq =
μ pq μ00λ
(9)
Untuk mendapatkan momen yang invariant terhadap translasi, perubahan skala, refleksi dan rotasi digunakan persamaan-persamaan berikut :
φ1 = η 20 + η02
(10)
φ2 = (η 20 − η02 ) 2 + 4η112
(11)
φ3 = (η30 − 3η12 ) 2 + (3η 21 − η03 ) 2
(12)
21
φ4 = (η30 + η12 ) 2 + (η 21 + η03 ) 2
(13)
φ5 = (η30 − 3η12 )(η30 − η12 )[(η30 + η12 ) 2 − 3(η 21 + η03 ) 2 ]
(14)
+ (3η 21 − η03 )(η 21 + η03 )[3(η30 − η12 ) 2 − (η 21 − η03 ) 2 ]
φ6 = (η 20 − η02 )[(η30 + η12 ) 2 − (η 21 + η03 ) 2 ] + 4η11 (η30 + η12 )(η 21 + η03 )
(15)
φ7 = (3η 21 − η03 )(η30 + η12 )[(η30 + η12 ) 2 − 3(η 21 + η03 ) 2 ]
(16)
+ (3η12 − η30 )(η 21 + η03 )[3(η30 + η12 ) 2 − (η 21 − η03 ) 2 ]
c. Tekstur, merupakan ukuran keragaman intensitas dari sebuah permukaan yang dikuantifikasikan dalam ukuran-ukuran seperti kehalusan (smoothness) dan keteraturan (regularity). Ukuran-ukuran tersebut disebut sebagai deskriptor. Sebagaimana tepi, tekstur juga tidak terpengaruh oleh perubahan iluminasi. Terdapat tiga pendekatan untuk menganalisa tekstur dari sebuah citra, pendekatan
statistik,
struktural
dan
spektral.
Pendekatan
statistik
menghasilkan karakteristik permukaan citra seperti halus, licin, dan kasar, pendekatan
struktural
menghasilkan
garis-garis
beraturan
yang
merepresentasikan citra sedangkan teknik spektral didasarkan pada energi dari spektrum Fourier untuk mendeteksi perubahan global dari citra dengan cara mengidentifikasi tingkat keseragaman dan puncak spektrumnya. Pada penelitian ini dilakukan analisis perbandingan terhadap tekstur dari citra yang dideskripsikan dengan pendekatan statistik dan spektral. Pendekatan statistik : Umumnya, analisis tekstur dengan pendekatan statistik dilakukan dengan menghitung komponen-komponen statistik dari histogram citra intensitas (histogram grayscale) seperti rata-rata (mean), standar deviasi, kehalusan permukaan (smoothness), kesimetrisan histogram (third moment), ragam variasi gray level (uniformity) dan keteracakan distribusi (entropy). Untuk menghitung nilai-nilai tersebut digunakan persamaan berikut [9]:
Mean
L −1
m = ∑ zi p ( zi )
(17)
i =0
1
Standard deviation
σ = ( μ2 ( z ) ) 2
(18)
22
1 (1 + σ 2 )
Smoothness
R = 1−
Third Moment
μ3 = ∑ ( zi − m ) p ( zi )
L −1
(19) 3
(20)
i =0
Uniformity
L −1
U = ∑ p 2 ( zi )
(21)
i =0
Entropy
L −1
e = ∑ p ( zi ) log 2 p ( zi )
(22)
i =0
zi adalah intensitas piksel ke-i, p adalah probabilitas nilai intensitas tertentu
dari seluruh kemungkinan nilai intenstas yang ada, dan μn adalah momen ke-n. Pendekatan spektral : Pendekatan spektral didasarkan pada spektrum Fourier yang idelnya sesuai digunakan untuk mendeskripsikan arah dari pola periodik atau hampir periodik dari sebuah citra dua dimensi. Pola tekstur secara global dapat dibedakan melalui konsentrasi kemunculan dari energi yang tinggi pada spektrum yang biasanya sulit dibedakan dengan metode spasial. Oleh karena itu,
tekstur dengan penekatan spektral bisanya cocok digunakan untuk
membedakan antara pola tekstur yang periodik dengan yang tidak periodik. Untuk menyederhanakan interpretasi, sebuah spektrum diekspresikan pada sebuah koordinat polar
untuk membentuk fungsi S(r,θ) dimana S adalah
fungsi spektrum sedangkan r dan θ adalah variabel-variabel didalam sistem koordinat. Untuk setiap arah yang ditunjukkan oleh θ, S(r,θ) adalah sebuah fungsi satu dimensi Sθ(r) sedangkan untuk setiap frekuensi r, S(r,θ) adalah sebuah fungsi satu dimensi Sr(θ). Dengan melakukan analisa tehadap Sθ(r) pada sebuah nilai θ tertentu akan diperoleh gambaran perilaku dari spektrum (seperti kemunculan puncak) sepanjang arah radial dari titik origin sedangkan dengan melakukan analisa tehadap Sr(θ) pada sebuah nilai r tertentu akan diperoleh gambaran perilaku dari spektrum sepanjang lingkaran yang berpusat pada titik origin. Persamaan (22) dan (23) adalah formula yang digunakan untuk mendapatkan kedua deskriptor tersebut :
23 π
S(r) = ∑ S θ (r)
(23)
θ =0 R0
S( θ ) = ∑ S r ( θ )
(24)
r =1
Gambar 12 menunjukkan grafik dari nilai-nilai S(r) dan S(θ) dari spektrum yang ada pada Gambar 11.
Gambar 11 Citra sehelai daun dan spektrumnya
1800
35000
1600
30000
1400 25000
S (th eta)
1200
20000
S (r )
1000
15000
800 600
10000
400 5000
200 0
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
1
11 21 31 41 51 61 71 81 91 101 111 121 131 141 151 161 171
theta
r
Gambar 12 Grafik S(r) dan S(θ) dari spektrum pada Gambar 11
2.3
Object Tracking dalam Citra Digital
Object tracking merupakan suatu metode yang digunakan untuk menemukan
sebuah objek tertentu di dalam suatu citra digital (baik citra statis maupun bergerak) yang didalamnya terdapat pula objek-objek lain yang ikut terekam bersama-sama dengan objek yang menjadi pusat perhatian. Beberapa penggunaan object tracking yang penting antara lain adalah untuk :
a. Pemantauan otomatis, biasanya digunakan untuk pengamanan (security). Tujuannya
adalah
untuk
mengenali
adanya
aktivitas-aktivitas
mencurigakan ataupun kejadian-kejadian yang tidak biasa
yang
24
b. Pengenalan objek bergerak, misalnya untuk menemukan seseorang dengan identitas tertentu di bandara c. Video Indexing, yaitu untuk kepentingan penelusuran atau temu kembali sebuah file video di dalam database
secara otomatis. Artinya, file yang
diinginkan akan dicari berdasarkan kejadian yang terekam didalamnya, bukan berdasarkan judul dari file tersebut. d. Interaksi manusia dan komputer, misalnya pengambilan gambar mata seseorang yang kemudian akan diproses lebih lanjut oleh komputer untuk menentukan identitas orang tersebut e. Pemantauan lalu lintas, yaitu pengumpulan data secara real time untuk menyusun statistik dari arus lalu lintas di sebuah kota tertentu f. Navigasi kendaraan, yaitu untuk mencari rute perjalanan dan juga menghindari objek-objek lain yang ada di jalur tempuh untuk mengindari tabrakan Pada kenyataannya, mencari objek dalam sebuah citra digital tidaklah mudah, hal ini disebabkan adanya informasi yang hilang karena transformasi dari ruang 3 dimensi ke ruang 2 dimensi, adanya noise pada citra, pergerakan objek yang kompleks, bentuk objek yang mudah berubah (nonrigid), adanya penghalang seperti objek lain yang menutupi sebagian ataupun keseluruhan objek yang menjadi pusat perhatian, bentuk objek yang sangat kompleks, adanya perubahan pencahayaan dan kebutuhan-kebutuhan untuk pengolahan data secara real time.
2.3.1 Representasi Objek
Untuk kebutuhan pencarian, objek dapat direpresentasikan berdasarkan bentuk dan penampilan luarnya (appearance) [11]. Berdasarkan bentuknya, objek dapat direpresentasikan sebagai : a. Titik, baik satu titik pada pusat objek maupun beberapa titik pada beberapa posisi objek. Representasi titik ini sesuai untuk objek yang hanya menempati sebagian kecil saja dari area citra yang diamati, atau dengan kata lain objek tersebut cukup kecil ukurannya (Gambar 13 (a) dan (b) )
25
b. Bentuk geometrik yang sederhana, seperti segi empat, elips, lingkaran dan lain sebagainya.Biasanya representasi ini digunakan untuk objek yang bentuknya tidak mudah berubah (rigid) dan sederhana, meskipun demikian, pada beberapa kasus representasi ini juga digunakan untuk objek yang bentuknya cukup kompleks (Gambar 13 (c) dan (d) ) c. Model artikulasi bentuk, objek-objek yang merupakan artikulasi bentuk tersusun dari beberapa bagian yang disatukan oleh sebuah penghubung. Sebagai contoh, badan manusia merupakan objek artikulasi bentuk dengan lengan, tangan, kepala, dan kaki yang dihubungkan oleh sendi-sendi. Hubungan antar bagian dibangun oleh model pergerakan kinematik. Untuk memodelkan objek yang merupakan artikulasi bentuk, setiap bagian yang berhubungan dapat direpresentasikan dengan bentuk silinder atau elips (Gambar 13 (e) ) d. Model kerangka, kerangka dari sebuah objek dapat dibentuk dengan menerapkan transformasi medial axis pada siluet dari objek. Representasi ini biasa digunakan untuk tujuan pengenalan objek (Gambar 13 (f) ) e. Kontur dan siluet, kontur merupakan garis yang membatasi daerah dari sebuah objek dan memisahkannya dari objek-objek lainnya sedangkan siluet merupakan daerah yang ada didalam kontur tersebut. Representasi ini sesuai untuk objek yang bentuknya kompleks dan mudah berubah (Gambar 13 (h) dan (i) )
Gambar 13 Berbagai macam representasi objek. (a) Satu titik pada pusat, (b) Beberapa titik, (c) Segi empat, (d) Elips, (e) Artikulasi bentuk, (f) Kerangka, (g) Titik-titik pengendali pada kontur, (h) Kontur lengkap, (i) Siluet
26
Sedangkan berdasarkan fitur tampilan luarnya seperti warna dan tekstur, objek dapat direpresentasikan dalam bentuk: a. Probability Densitiy, estimasi probability density dari tampilan luar objek dapat dilakukan secara parametrik seperti gaussian dan mixture gaussian ataupun secara nonparametrik seperti parzen windows dan histogram. Untuk menghitung probability density dari objek, terlebih dahulu objek yang diinginkan ditandai dengan menggunakan model bentuk tertentu seperti kontur maupun bentuk geometrik sederhana (segiempat, elips,lingkaran), selanjutnya probability density dihitung untuk piksel-piksel yang berada di dalam daerah
yang dibatasi oleh model bentuk tersebut. b. Template, dibentuk dengan menggunakan bentuk geometrik sederhana seperti elips dan segi empat ataupun siluet. Kelebihan dari template adalah dapat membawa informasi spasial dan tampilan secara bersamaan, namun template hanya mengkodekan tampilan dari objek pada satu sudut pandang tertentu. Oleh karena itu, template hanya cocok digunakan untuk proses pencarian objek yang tidak bergerak. c. Active appearance model, dibangkitkan dengan secara simultan memodelkan bentuk objek dan juga tampilan luarnya. Umumnya bentuk dari objek didefinisikan dengan menggunakan sekumpulan landmark. Sebagaimana pada representasi objek dengan kontur, landmark-landmark dapat diletakkan pada garis batas (boundary) dari objek maupun didalam area yang dibatasi oleh garis tersebut. Untuk setiap landmark, vektor-vektor yang mendefinisikan tampilan dari objek disimpan dalam bentuk informasi warna, tekstur atau gradien. Representasi dengan active appearance model
ini membutuhkan
tahapan pelatihan. Melalui tahapan ini, informasi mengenai bentuk dan juga tampilan dari suatu objek tertentu dipelajari melalui beberapa sampel dari objek tersebut. d. Multiview appearance model, digunakan untuk memodelkan objek dari berbagai sudut pandang. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk merepresentasikan objek dari berbagai sudut pandang adalah dengan membangkitkan sub ruang dari sudut pandang yang ditentukan. Teknik yang
27
dapat digunakan untuk membangkitkan sub ruang ini antara lain adalah PCA (principle component analysis) dan ICA (independence component analysis).
2.3.2 Teknik Penentuan ROI (Region of Interest)
Dalam implementasinya seringkali pengolahan dan analisis tidak dilakukan pada keseluruhan area yang ada pada citra melainkan hanya pada sebagian kecil saja dari area tersebut. Area yang menjadi fokus pengolahan dan analisis itu disebut ROI. Banyak teknik dapat digunakan untuk menentukan ROI, berikut adalah beberapa teknik yang telah digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya: a. Menggunakan window dua dimensi dengan ukuran yang lebih kecil dari citra dan sesuai dengan ukuran dari objek yang ingin diamati. Dengan menggunakan teknik ini diperlukan contoh citra objek yang ingin dicari, selanjutnya window digeser-geser sebanyak jumlah piksel yang ada pada citra. Untuk setiap pergeseran, dilakukan pencocokan antara citra yang tertangkap oleh window dengan citra objek yang dijadikan contoh. Jika sesuai, citra yang tertangkap oleh window tersebut kemudian diekstraksi, sedangkan jika tidak sesuai pencarian dilanjutkan dengan menggeser window ke posisi berikutnya [12]. Untuk mempercepat proses pencarian, citra yang ada pada window diproyeksikan terlebih dahulu kedalam bentuk lain, seperti vektor-vektor ataupun fungsi-fungsi tertentu untuk selanjutnya diterapkan prosedur pencocokan pola (pattern matching). b. Menggunakan informasi koordinat dari segi empat yang membingkai objek yang dimaksud. Dengan metode ini dibutuhkan campur tangan dari operator untuk memperkirakan koordinat ujung kiri atas dan ujung kanan bawah dari bingkai segi empat sedemikian sehingga objek yang dimaksud masuk di dalamnya. Jika pada suatu saat koordinat yang ditentukan tidak dapat membingkai objek dimaksud, atau dengan kata lain segi empat tersebut membingkai objek yang lainnya maka operator harus memperbaharui koordinat tersebut [6]. Dengan teknik ini proses penentuan ROI tidak dapat sepenuhnya dilakukan secara otomatis.
28
c. Meletakkan titik-titik penanda pada tepi objek yang dimaksud untuk kemudian menghubungkan titik-titik tersebut sehingga membentuk bingkai untuk objek yang dimaksud [13].
2.3.3 Pencocokan Pola (Pattern Matching)
Terdapat beberapa teknik pencocokan pola yang dapat diterapkan untuk mencari objek tertentu didalam sebuah citra, antara lain adalah: a. Template matching [14] Template merupakan sebagian kecil dari citra yang memuat bentuk objek yang
dicari. Untuk setiap posisi pada citra dihitung jumlah piksel yang cocok dengan piksel-piksel pada template. Posisi yang menghasilkan kecocokan paling tinggi menunjukkan posisi dari objek yang dicari pada citra. Jika orientasi objek pada citra dapat berubah-ubah, maka harus juga disediakan template yang mewakili berbagai orientasi dari objek.
b. Histogram matching [15] Biasanya diterapkan pada citra intensitas dan citra berwarna. Intensitas setiap piksel pada citra dikelompokkan pada bin-bin tertentu yang mewakili bin-bin intensitas dari objek yang dicari untuk kemudian dihitung frekuensinya. Jika citra memuat objek yang dicari, maka selisih dari frekuensi pada setiap bin yang ditentukan akan kecil. Sebaliknya, jika citra tidak memuat objek yang dicari, selisih frekuensi pada bin-bin yang ditentukan akan besar. c. Hough transform [16] Teknik ini digunakan untuk mencari suatu bentuk dalam sebuah citra. Pada umumnya bentuk yang dicari adalah berupa garis, lingkaran dan elips, namun telah pula dikembangkan generalised hough transform untuk mencari bentukbentuk
yang
lebih
kompleks.
Bentuk-bentuk
yang
ingin
dicari
direpresentasikan dalam suatu fungsi matamatis. Setiap piksel dari citra (yang biasanya adalah citra biner), dioperasikan dengan menggunakan fungsi tersebut. Hasilnya disimpan dalam sebuah akumulator yang disebut sebagai houh space. Keberadaan dari bentuk yang dicari dapat dilihat dari frekuensi
maksimum (puncak) yang terbentuk pada akumulator.
29
2.3.4 Ukuran Kemiripan (Similarity Measure)
Pada setiap proses pencocokan pola diperlukan suatu ukuran yang dapat memberikan informasi mengenai kemiripan ciri dari citra yang dibandingkan. Untuk ciri-ciri yang berbentuk histogram (seperti grayscale dan color index) ukuran kemiripan yang telah banyak digunakan adalah L1 [16,17] dan L2 [18] dengan formula sebagai berikut : (25) (26) Karena kebanyakan histogram yang merepresentasikan fitur dari suatu citra mengikuti distribusi normal, maka selain kedua ukuran yang telah umum digunakan tersebut, telah diselidiki pula kinerja dari ukuran yang lain yaitu kullback discriminant [19]. Ukuran ini digunakan untuk mengukur kemiripan
ketidaksimetrisan dari dua buah distribusi normal. Berikut adalah formulanya : n
K(I, M) =
∑i i =1
I
ci
. log
i ci m ci
(27)
dan M adalah dua buah histogram yang masing masing memiliki sejumlah n
bin, sedangkan ici dan mci adalah frekuensi dari bin ke-i. Semakin kecil nilai L1 , L2 dan K, kedua histogram semakin mirip. Untuk ciri-ciri yang berbentuk vektor
(seperti spektrum Fourier, edge, moment dan tekstur ) ukuran kemiripan yang umum digunakan adalah jarak euclidean dan mahalanobis [9], berikut adalah formulanya secara berturut-turut :
y adalah
d( x , y ) = x − y = y − x = [( x1 − y 1 ) 2 + ... + ( x n − y n ) 2 ]1/2
(28)
d( y , m x ) = ( y − m x )T C x−1 ( y − m x )
(29)
vektor yang berisi nilai-nilai ciri milik input, x adalah vektor yang berisi
nilai-nilai ciri milik model, m x adalah vektor rata-rata milik model dan C x adalah matriks kovarian milik model. Semakin kecil nilai d semakin mirip input dengan model.
30
2.3.5 Teknik Segmentasi dalam Citra Digital
Segmentasi ditujukan untuk memisahkan objek dari latar belakangnya, hasil akhir dari teknik ini adalah citra yang didalamnya terdapat partisi-partisi sebagai penanda bagi objek yang dicari. Penanda tersebut biasanya berupa warna-warna yang kontras antara objek dengan latar belakangnya. Pada citra biner, objek ditandai dengan warna putih sedangkan latar belakangnya ditandai dengan warna hitam (ini bisa berlaku sebaliknya). Salah satu pendekatan untuk mempartisi citra kedalam beberapa daerah adalah segmentasi berdasarkan daerah itu sendiri yang biasanya mempunyai nilai intensitas yang berbeda dengan latar belakang. Pada segmentasi berdasarkan daerah, semua piksel yang berkorespondensi dengan sebuah objek dikelompokkan dan diberi tanda yang sama agar mereka dikenali sebagai satu daerah. Piksel-piksel ini dikelompokkan ke dalam daerah menggunakan kriteria yang membedakan mereka dari bagian citra lainnya. Dua kriteria yang penting dalam segmentasi adalah kemiripan nilai intensitas dan kedekatan posisi. Kemiripan nilai intensitas lebih banyak digunakan karena memang lebih dominan, sedangkan kedekatan posisi digunakan bila sebagian dari objek dan latar belakang mempunyai kemiripan nilai sehingga perlu diperiksa dengan syarat yang kedua. Kemiripan nilai intensitas dua piksel dapat diukur berdasarkan perbedaan nilai intensitas keduanya, sedangkan kedekatan posisi dua piksel dapat diukur melalui jaraknya (biasanya menggunakan jarak euclidean). Dalam situasi yang sederhana dimana citra hanya mengandung beberapa objek, segmentasi dapat dilakukan dengan binerisasi melalui proses tresholding dan pelabelan komponen, namun untuk citra yang lebih kompleks diperlukan teknik yang lebih canggih untuk menandai piksel milik suatu daerah yang berkorespondensi dengan bagian objek. Segmentasi juga dapat dilakukan dengan menemukan piksel-piksel yang terletak pada perbatasan daerah. Piksel-piksel ini disebut juga dengan piksel tepi, dapat ditemukan dengan memeriksa piksel-piksel tetangganya.
2.3.6 Ekstraksi Objek
Setelah melalui proses segmentasi, objek yang menjadi pusat perhatian dapat dengan mudah dipisahkan dari latar belakangnya karena telah memiliki tanda
31
yang spesifik . Proses ekstraksi objek adalah menemukan tanda dari objek tersebut untuk kemudian diproses sesuai dengan kebutuhan, seperti misalnya dilakukan pengukuran maupun modifikasi terhadapnya.
2.3.7 Pengukuran Objek
Pada proses ini, dilakukan pengukuran terhadap morfologi dari objek seperti luas, kebulatan (roundness), keliling dan lain sebagainya. Pengukuran luas objek misalnya, dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil segmentasi yang berupa citra biner. Objek berwarna putih sedangkan latar belakangnya berwarna hitam. Luas objek dihitung dengan cara menghitung jumlah piksel yang berwarna putih untuk masing-masing citra objek. Untuk keliling objek , ditentukan jumlah piksel terluar (yang berbatasan dengan piksel latar belakang) pada masing-masing citra objek. Pembacaan piksel terluar dilakukan dengan membandingkan piksel warna objek dengan latar belakang. Piksel warna putih yang berbatasan dengan piksel warna hitam disebut piksel terluar. Keliling dapat dihitung dengan menjumlahkan piksel-piksel terluar tersebut.