BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit 2.1.1 Anatomi dan fisiologi kulit Kulit atau dalam bahasa ilmiahnya integumentum communae merupakan organ terbesar dan terpenting dalam tubuh yang menutupi otot-otot dan organ-organ interna. Kulit mencerminkan status kesehatan individu (Muller et al., 2001). Fungsi kulit menurut (Muller et al., 2001) adalah: a). memberikan proteksi terhadap lingkungan baik secara mekanis, kimia, penguapan air, radiasi, lingkungan yang hipertonik maupun yang hipotonik dan bahanbahan biologis lainnya; b). Mengatur suhu tubuh (termoregulator) karena pada kulit terdapat rambut, kelenjar keringat, dan pembuluh darah yang dapat membantu mengatur suhu tubuh; c). Indera perasa; d). Organ ekskresi dan sekresi; e). Tempat pembentukan vitamin D dan deposit lemak (subkutis). Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan subkutis (Muller et al., 2001; Tortora dan Derrickson, 2009). Subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak (Tortora dan Derrickson., 2009).
2.1.2 Lapisan Epidermis Epidermis merupakan lapisan terluar dari kulit yang selalu tumbuh dan berganti. Regenerasi sel-sel kulit akan terus terjadi akibat pengikisan sel-sel luar dan akan diganti selsel lain yang matang dan bergerak ke atas untuk menggantikan sel yang rusak. Epidermis bervariasi dalam ketebalan. Epidermis mengalami karatinasi (kornifikasi) dan dapat berdiferensiasi menjadi foot pads, teracak, dan lain-lain. Di daerah yang terbuka, di daerah kepala dan punggung, epidermis lebih tebal dibandingkan dengan daerah seperti ketiak dan perut (Muller et al., 2001).
2.1.3 Dermis Dermis terletak di frofundal epidermis, mengambil posisi terbesar dari integumen, dan menjadi pembentuk struktur kulit serta menjadi kekuatan kulit. Dermis terdiri dari dua lapisan utama, yaitu: a). Lapisan papilaris: lapisan papilaris ini tipis dan berbatasan dengan
epidermis serta membentuk dermal papillae. b). Lapisan retikularis: lapisan retikularis ini tebal dibandingkan dengan lapisan papilaris .Selain itu terdapat juga unsur-unsur lain seperti pembuluh darah, limfe, dan saraf. Terdapat juga folikel rambut yang memproduksi rambut, kelenjar keringat (Muller et al., 2001).
2.1.4 Hypodermis (subkutaneus) Lapisan tebal di fropundal dermis dan berisi jaringan lemak, pembuluh darah, dan limfe. Di hypodermis ini terdapat Corpusculus pacini (tekanan keras) dan Corpusculus meissner (tekanan ringan). Hypodermis disusun oleh jaringan ikat sehingga tidak terjadi perlekatan dengan jaringan profundalnya sehingga kulit dapat bergerak bebas (Muller et al., 2001).
2.2 Luka Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit ( Taylor, 1997). Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 1995). Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul yaitu : 1.) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ; 2). Respon stres simpatis; 3). Perdarahan dan pembekuan darah; 4). Kontaminasi bakteri; 5). Kematian sel (Baroroh, 2011). Luka perlu ditutup kembali untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Sembuhnya luka merupakan hal yang natural dan fenomena yang spontan (Dunn., 2004).
2.2.1 Jenis-jenis Luka Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka (Taylor., 1997). Berdasarkan tingkat kontaminasi, luka dapat dibagi menjadi 3, yaitu : a.) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup;
jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt).
Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%; b). Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%; c). Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini
juga termasuk insisi akut, inflamasi non purulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%; d). Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, luka dapat dibagi menjadi 4, yaitu : a.) Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit; b.) Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal; c.) Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya; d.) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. Berdasarkan waktu penyembuhan luka dapat dibagi menjadi 2, yaitu: a.) Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati. b.) Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen. Berdasarkan mekanisme terjadinya luka, yaitu: 1.) Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam; 2.) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak; 3.) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam; 4.) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil; 5.) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat; 6.) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar; 7.) Luka Bakar (Combustio).
2.2.2 Kesembuhan Luka Menurut Dunn (2004) tujuan dari manajemen luka adalah campur tangan untuk proses kesembuhan yang efisien melalui rangkaian perbaikan biologi ataupun regenerasi. Status kesehatan pasien juga akan mempengaruhi proses kecepatan kesembuhan. Berikut adalah beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum dan selama melakukan prosedur operasi
diantaranya umur, berat badan, status gizi, status dehidrasi, suplai darah ke luka, respon imun, penyakit kronis dan terapi radiasi. Kesembuhan luka baik luka karena kecelakaan maupun tindakan operasi, melibatkan aktivitas jaringan sel darah yang rumit, jaringan sitokin dan faktor pertumbuhan (MacKay and Miller, 2003). Menurut Berata.,dkk (2011), secara deskriptif berdasarkan waktu proses perbaikan kesembuhan luka ada tiga fase yang terjadi pada suatu jaringan yang sebelumnya mengalami cedera atau terinfeksi yaitu : fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi. Fase inflamasi berlangsung selama 0-5 hari. Proses kesembuhan sebenarnya sudah dimulai pada saat respon radang itu terjadi. Diawali dengan mengalirnya darah di daerah luka tersebut dan segera mengaktifkan proses pembekuan darah dimana terjadi degranulasi dari platelet/trombosit dan diikuti aktivasi faktor Hageman. Kemudian akan diikuti oleh aktifnya komponen biologi seperti kinin dan siklus cascade serta plasmin. Semua komponen yang terlibat ini tidak hanya membekukan darah dan menyatukan ujung luka, tetapi juga dapat mengakumulasi sejumlah mitogen dan kemoatraktan lainnya untuk aktif menuju daerah luka yang mengalami
proses kesembuhan. Produksi prostaglandin dan kinin menyebabkan
terjadinya vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas dari kapiler di sekitar daerah radang akibatnya daerah tersebut mengalami edema termasuk rasa sakit dan timbulnya kebengkakan (Berata dkk., 2011). Pertama-tama sel polimorfonuklear aktif memasuki daerah radang untuk melakukan fungsinya memfagosit agen mikroorganisme, seperti bakteri yang masuk pada awal cedera terjadi. Tahapan respon seluler yang selanjutnya akan diperankan oleh makrofag yang merupakan turunan dari sel monosit yang terbentuk dari pengaruh kombinasi migrasi dan chemotaksis. Selama melakukan fagosit, makrofag juga memiliki kemampuan untuk mengaktifasi zat aktif biologi berupa interseluler transmitter (sitokin) yang berperan dalam inisiasi dan propagasi dari aktivasi jaringan granulasi dalam rangka proses perbaikan jaringan yang mengalami luka atau cedera (Berata dkk., 2011). Fase ke-dua dari kesembuhan luka yaitu fase proliferatif yang memiliki karakter berupa formasi granulasi pada jaringan luka/cedera. Lamanya fase ini tergantung pada ukuran luka umumnya terjadi 3-14 hari.(Berata dkk., 2011) tetapi proses ini tetap berlangsung lambat 1-2 tahun (Baroroh, 2011). Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi elemen seluler termasuk matrik kolagen dan sel radang bersamaan dengan terbentuknya kapiler-kapiler baru. Fibroblast pertama muncul pada hari ketiga pasca cedera dan mencapai puncaknya pada hari ketujuh (Berata dkk, 2011).
Perluasan dari terbentuknya fibroblas untuk menutup cedera/luka merupakan suatu hasil kombinasi dari migrasi dan proliferasi dari fibroblas. Fibroblas sendiri dihasilkan dari sel-sel mesenkim yang ada disekitar jaringan yang mengalami cedera/luka, terutama bagian jaringan dari endotel pembuluh darah di bagian adventitianya. Dalam perluasannya, fibroblas terinduksi untuk berproliferasi dan menyusun jaringan yang cedera/luka oleh kombinasi sitokin yang awalnya diproduksi oleh platelet, yang kemudian diproduksi oleh makrofag dan limfosit. Fibroblast merupakan elemen primer sintesis yang berperan penting pada awal proses perbaikan dan bertanggung jawab atas dihasilkannya anyaman penutup cedera/luka. Setelah proses terbentuknya anyaman, akan diikuti migrasi dari sel-sel epitel dan selanjutnya sel-sel ini akan berubah bentuk dari epitel pipih menjadi kolumner dan akan menjadi lebih aktif bermitosis (Berata dkk., 2011). Pelapisan dari sel epitel ini akan terulang lagi sampai pada epitel terluar dan diduga kuat sebagai penutup cedera/luka dan mengalami keratinisasi. Proses re-epitelisasi ini akan selesai dalam kurun waktu kurang dari 48 jam pada kasus luka irisan, tetapi akan lebih lama pada cedera/luka yang lebih luas dan dalam (Berata dkk., 2011). Segera setelah matriks penutup luka ada fase maturasi dimulai, umumnya terjadi mulai hari ketujuh hingga 1 tahun. Awalnya akan terbentuk matriks ekstraseluler yang kaya akan fibronektin. Jaringan ini penting dalam hal proses migrasi dan pertumbuhan dari sel-sel epitel, serta sekaligus merupakan tempat dari deposisi kolagen oleh fibroblast. Lambat laun kolagen mendominasi dari isi matriks yang kemudian membentuk ikatan-ikatan fibril dan secara perlahan-lahan membentuk jaringan baru yang semakin tebal dan kuat. Umumnya hari kelima setelah cedera/luka dimana terbentuk jaringan granulasi dan matriks yang tersusun oleh fibronektin dan asam hyaluronat, kekuatan dari jaringan yang baru semakin meningkat akibat dari proses fibrinogenesis (Berata dkk., 2011). Perubahan dari kekuatan jaringan baru tidak hanya dipengaruhi oleh deposisi dari kolagen secara kontinu, tetapi juga dipengaruhi oleh remodeling dari kolagen itu sendiri. Remodeling dari kolagen itu sendiri sangat tergantung dari sintesis dan katabolisme dari kolagen, dimana proses degradasi dari kolagen dikontrol oleh berbagai enzim yang terdapat pada kolagen itu sendiri. Proses sintesis dari kolagen dapat berlangsung antara 6-12 bulan sedangkan bersama dengan proses remodeling, dapat mencapai waktu 1 tahun untuk membentuk jaringan yang baru (Berata dkk., 2011). Menurut
Perdanakusuma
(2007),
kesembuhan luka adalah sebagai berikut :
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi
1) Koagulasi ; adanya kelainan pembekuan darah (koagulasi) akan menghambat penyembuhan luka sebab homeostasis merupakan tolak ukur dan dasar dari fase imflamasi. 2) Gangguan sistem imun (infeksi, virus) ; gangguan system imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontamonasi. 3) Bila sistem daya tahan tubuh, baik seluler maupun humoral terganggu, maka pembersihan kontaminasi dan jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan baik. 4) Gizi (kelaparan, malabsorbsi) ; gizi kurang juga mempengaruhi sistem imun. 5) Penyakit kronis ; penyakit kroonis seperti TBC dan diabetes juga dapat mempengaruhi sistem imun. 6) Keganasan agen infeksi ; keganasan tahap lanjut pada agen infeksi dapat menyebabkan gangguan system imun yang akan mengganggu penyembuhan luka. 7) Obat-obatan ; pemberian sitostatika, obat penekan reaksi imun, kortikosteroid dan sitotoksik mempengaruhi penyembuhan luka dengan menekan pembelahan fibroblast dan sintesis kolagen. 8) Teknik penjahitan ; teknik penjahitan luka yang dilakukan secara berlapis akan mengganggu penyembuhan luka. 9) Kebersihan / personil hygiene ; kebersihan akan mempengaruhi proses kesembuhan luka, karena kuman setiap saat dapat masuk melalui luka bila kebersihan tubuh berkurang. 10) Vaskularisasi ; akan berlangsung baik bila proses penyembuhan berlangsung cepat. Sementara daerah yang memiliki vaskularisasi yang kurang baik proses penyembuhannya memerlukan waktu lama. 11) Pergerakan ; daerah yang relatif sering bergerak penyembuhannya akan terjadi lebih lama. 12) Ketegangan tepi luka ; pada daerah yang tegang (tight) penyembuhan luka lebih lama dibandingkan dengan daerah yang longgar.
2.2.3 Penutupan Luka Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami namun terkadang diperlukan penanganan khusus pada luka untuk membantu proses tersebut dan proses ini dalam ilmu bedah diperlukan suatu jahitan( Antara., 2012). Jahitan adalah proses penyatuan jaringan dengan menggunakan jarum dan benang, sehingga jaringan tersebut menyatu dan sembuh. Ketika menjahit tepi luka lapisan dermis dari kedua sisi luka harus bersentuhan, agar luka sembuh dengan baik bagian dermis harus bertemu dan sembuh
bersama. Teknik menjahit yang dipilih juga penting untuk mencapai kesembuhan yang optimal (Semer.,2001). Menurut Dunn (2004), pola jahitan sederhana terputus lebih sering digunakan oleh para dokter untuk menutup dinding abdomen dengan menggunakan benang yang terserap seperti vicryl. Jika benang yang tidak terserap digunakan benang harus dilepaskan 5-10 hari setelah operasi. Hal ini dikarenakan tekanan pada yang sedang dalam proses kesembuhan akan diserap oleh fascia, oleh karena itu para dokter menyadari untuk tetap mempertahankan luka agar tetap tertutup. Jahitan kulit maupun subkutikuler harus cukup kuat untuk menahan tegangan kulit dan mempertahankan tepi luka pada posisinya. Pola jahitan pada kulit biasanya dapat berupa pola jahitan menerus ataupun terputus. Namun pola jahitan sederhana terputus lebih digemari oleh para dokter. Benang non absorbable juga lebih disukai untuk menutup luka pada kulit. Benang monofilament juga memberikan reaksi pada jaringan yang lebih sedikit dibandingkan benang multifilamen (Dunn, 2005). Pola jahitan sederhana terputus mudah diaplikasikan, memiliki tegangan yang lebih kuat dan jahitan ini membuat penyesuaian yang diperlukan untuk mensejajarkan tepi luka dengan baik (Mackay, 2010). Dunn (2004) mengatakan bahwa luka karena insisi waktu operasi dapat disatukan dengan menggunakan jahitan, staples, clips, strips penutup kulit, atau bahan perekat topikal.
2.3 Peradangan (Inflamasi) Inflamasi merupakan suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak (Katzung., 2004). Proses terjadinya inflamasi sebenarnya merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri dari tubuh terhadap benda asing, tetapi jika proses ini berlangsung secara terus menerus (kronis) justru akan merusak jaringan (Opal dkk., 1996; Docke dkk., 1997; Westerndorp dkk., 1997). Kerusakan sel terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim lisosomal yaitu arachidonic acid kemudian dilepas dari persenyawaan fosfolipid, dan berbagai eicosanoid akan disintesis (Katzung., 2002). Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat noksi akan membebaskan berbagai mediator atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, dan leukotrien (Mansjoer, 1999).
2.3.1 Tanda peradangan
Proses terjadinya peradangan ini dapat diamati dari tanda-tanda utama peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), peningkatan panas (kalor), pembengkakan (tumor), rasa sakit (dolor) dan adanya gangguan fungsi jaringan (fungsio laesa) (Price dan Wilson., 1995). Adanya warna merah (rubor) yaitu sebagai hasil peningkatan aliran darah pada daerah radang atau hiperemi (Celloti dan Laufer., 2001). Timbulnya kemerahan pada permulaan peradangan diatur oleh tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia (Price dan Wilson., 1995). Panas (kalor) yaitu sebagai hasil hiperemi vaskuler (Celloti dan Laufer., 2001). Panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37C yaitu suhu di dalam tubuh. Peningkatan panas pada daerah peradangan disebabkan oleh darah dengan suhu 37C yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang mengalami radang lebih banyak daripada yang disalurkan ke daerah normal (Price dan Wilson., 1995). Pembengkakan atau tumor disebabkan oleh leukotrein yang dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah peradangan sehingga terjadi peningkatan jumlah cairan dan terlihat bengkak atau odema serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil dan makrofag. Selain itu, akibat adanya tekanan dari akumulasi cairan plasma pada saraf tepi di sekitar peradangan akan menimbulkan rasa sakit (dolor) (Beltrani., 2006). Sakit (dolor) disebabkan oleh adanya iritasi tekanan dan adanya produk metabolisme dan yang terakhir kehilangan fungsi (functio laesa) karena fungsi jaringan berjalan secara tidak normal (Celloti dan Laufer., 2001).
2.3.2 Mediator peradangan Banyak substansi endogen yang dikeluarkan yang telah dikenal sebagai mediator peradangan, diantaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin dan leukotrien. Histamin merupakan produk dekarboksilasi asam amino histidin yang terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru-paru, kulit dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leuokosit basofil adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik dan disimpan terikat pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia pembebas histamin (Mutschler,1999). Bradikinin dan kalidin merupakan mediator radang yang secara lokal menimbulkan rasa nyeri, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mansjoer,1999). Serotonin berasal dari asam amino esensial triptamin melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi, terdapat dalam platelet darah, mukosa usus dan di beberapa bagian otak
dengan konsentrasi tinggi. Serotonin disimpan dalam granula, terikat dengan adenosin triphosphat serta protein dan dibebaskan jika sel dirangsang melalui eksositosis dan mengaktifkan reseptor spesifik. Pada trombosit, serotonin berfungsi meningkatkan agregasi dan mempercepat penggumpalan darah sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler., 1999).
2.4 Deksametason Kortikosteroid saat ini sudah dianggap sebagai obat ”dewa” karena hampir beberapa penyakit dapat diobati dengan obat ini, seperti suatu anafilaktik, serangan asma yang berat dan beberapa penyakit lainnya. Preparat kortikosteroid terus dikembangkan dan dimodifikasi. Telah terdapat pula sintesa baru dari preparat ini sehingga kortikosteroid tidak lagi dianggap sebagai obat baru. Salah satunya adalah deksametason (Ridho, 2010). Deksametason memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresan yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. Penggunaan deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi arthritis rheumatoid, systemic lupus erithematosus, rhinitis alergica, asma, leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain itu deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma cushing. Selain itu efek samping pemberian deksametason juga mengakibatkan terjadinya insomnia, osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain ( Ridho, 2010). Sebagai imunosupresan deksametason bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang. Dan sebagai anti-inflamasi, deksametason bekerja dengan jalan menekan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi (Santosa, 2009). Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan
ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik steroid (Suherman, 2007). Untuk analgesia regional, deksametason intravena dapat memperpanjang waktu anestesi regional dan brakialis blok pleksus. Diberikan selama anestesi umum, deksametason telah terbukti bermanfaat dalam mengurangi rasa sakit dari tonsilektomi. Hal ini bahkan lebih efektif bila dikombinasikan dengan non-steroid anti-inflamasi, terutama untuk tonsilektomi (Allen, 2007). Pada tikus, pemberian deksametason dapat diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/Kg BB/ hari (Da Silva et al., 2007).
2.5
Tikus putih (Rattus norvegicus) Tikus merupakan satwa liar yang sering kali berada di sekitar kehidupan manusia.
Keberadaan tikus di muka bumi sudah jauh lebih tua dari pada umur peradaban. Kehidupan tikus (untuk spesies tertentu) sudah sangat bergantung pada kehidupan manusia. Tikus merupakan satwa yang sudah sangat beradaptasi dengan kehidupan manusia (Priyambodo, 1995). Pada dasarnya, seluruh strain tikus pada tikus laboratorium berasal dari tikus liar yang kemudian mengalami pemilihan selektif dan domestikasi. Tikus laboratorium pertama dikembangkan di AS antara tahun 1877 dan tahun 1893 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus (Rattus norvegicus) strain albino merupakan tikus yang sudah kehilangan pigmennya. Sifat ini sudah menurun pada keturunannya dan hal ini disebabkan karena adanya seleksi yang dilakukan oleh manusia untuk memudahkan dalam menangani tikus putih di laboratorium (Kohn dan Barthold., 1987). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) tikus putih dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Dunia Filum Subfilum Kelas Subkelas Infrakelas Ordo Subordo Family Genus Species
: Animalia : Chordata, : Vertebrae (craniata) : Mammalia : Theria : Eutheria : Rodentia : Myomorpha : Muridae : Rattus : Rattus norvegicus
2.6 Antibiotika amoksisilin Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Gunawan dkk., 2007). Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat membunuh atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya terhadap manusia relatif kecil (Rahardja., 2002). Definisi lain menyebutkan bahwa antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia, yang harus memiliki sifat toksisitas yang selektif, artinya obat tersebut bersifat toksik pada mikroba, tetapi tidak toksik pada tuan rumah atau manusia (Pelczar., 1988). Amoksisilin merupakan penisilin semi-sintetik oral yang secara struktur berhubungan dengan ampisilin (Pires de Abreu and Ortiz, 2003). Amoksisilin mengandung tidak kurang dari 90,0% C16H19N3O5S, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian : serbuk hablur, putih. Amoksisilin sukar larut dalam air dan metanol; tidak larut dalam benzena, dalam karbon tetraklorida dan dalam kloroform. Agar amoksisilin mudah larut dalam air, maka dibuat garam amoksisilin C16H19N3O5S. Na (Depkes RI, 1995). Amoksisilin digunakan sebagai trihidrat dalam produk oral dan sebagai garam dalam produk parenteral. Amoksisilin digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram – negatif seperti Neisseria gonorrhoeae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Salmonella. Amoksisilin juga digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram – positif seperti Streptococcus pneumoniae, Enterococci, Listeria dan Staphylococcus yang tidak menghasilkan penisilinase (McEvoy, 2002). Mekanisme kerja amoksisilin adalah menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (Istiantoro dan Ganiswarna., 1995). Amoksisilin sering diberikan dalam bentuk sediaan injeksi kering. Sediaan injeksi kering diformulasikan untuk senyawa-senyawa yang tidak stabil dalam bentuk larutan tetapi stabil dalam bentuk kering. Injeksi ini diberikan dalam bentuk serbuk kering yang telah disterilkan dan dalam kemasannya disertai dengan pelarutnya (aqua pro injeksi). Dalam penggunaanya, air ditambahkan secara aseptis ke dalam vial obat untuk menghasilkan obat suntik yang diinginkan (Ansel, 1989). Injeksi amoksisilin adalah larutan steril dari Na-amoksisilin dalam aqua pro injeksi. Injeksi amoksisilin disiapkan dengan cara melarutkan Na-amoksisilin untuk injeksi dalam aqua pro injeksi dengan jumlah yang sama. Na-amoksisilin untuk injeksi adalah bahan yang terdiri dari Na-amoksisilin dengan atau tanpa zat tambahan (Departement of Health, 2002).
Natrium amoksisilin 50 mg/ml lebih tidak stabil pada semua larutan infus dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah, 10 atau 20 mg/ml (Trissel,1998). Amoksisilin memiliki dua jalur degradasi, disebut sebagai dimerisasi dan peruraian hidrolitik pada cincin β-laktam (Connors,1992).
2.7 Kerangka Konsep Luka dapat diartikan sebagai terputusnya kontinuitas jaringan tubuh (Edward, 2005). Luka perlu ditutup kembali untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Sembuhnya luka merupakan hal yang natural dan fenomena yang spontan (Dunn, 2004).Tidak jarang luka bekas operasi sembuh dengan waktu yang agak lama dan akan terinfeksi oleh bakteri, sehingga akan mengalami peradangan. Untuk menghindari infeksi jaringan akibat peradangan tersebut maka setelah dilakukan operasi akan diberikan antibiotik dan obat anti radang. Anti radang yang digunakan dalam penelitian ini adalah anti radang golongan steroid yaitu deksametason. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Gunawan dkk.,2007). antibiotik mempunyai aktivitas spektrum sempit dan luas. Dalam penelitian ini digunakan antibiotik spektrum luas yaitu amoksisilin. Deksametason merupakan anti radang golongan steroid yang memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresan yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan. Mekanisme kerja deksametason adalah dengan menghambat enzim fosfoliphase α2 untuk melepaskan asam arakidonat yang akan merangsang enzim siklooksigenase untuk menghasilkan prostaglandin. Penggunaan deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi arthritis rheumatoid, selain itu deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma cushing. Terkadang pembedahan merupakan suatu tindakan yang harus dijalani untuk mengatasi suatu kelainan atau penyakit yang ada pada hewan tersebut. Setiap pembedahan akan menimbulkan bekas luka akibat insisi dan jahitan yang dilakukan. Bekas luka insisi ini dapat menurunkan nilai estetika atau nilai jual dari hewan tersebut. Tidak jarang luka bekas insisi ini sembuh dengan waktu yang agak lama dan tak jarang luka insisi ini akan terinfeksi oleh bakteri, tidak hanya itu terkadang luka pasca operasi akan mengalami peradangan. Untuk menghindari kerusakan jaringan akibat peradangan tersebut maka setelah dilakukan operasi akan diberikan obat anti radang yaitu deksametason. Deksametason memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresan yang digunakan untuk
mengobati berbagai kondisi peradangan. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh, kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone ( Ridho, 2010). Namun menurut Perdanakusuma (2007), obat penekan reaksi imun seperti kortikosteroid, dalam hal ini deksametason dapat mepengaruhi penyembuhan luka dengan menekan pembelahan fibroblast dan sintesis kolagen sehingga dapat memperlambat kesembuhan luka.
2.8 Hipotesis Pemberian amoksisilin dan deksametason pasca operasi memperlambat kesembuhan luka insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus).