5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
Gambar 1. Rumus Bangun Furosemida Nama kimia
: Asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat
Rumus molekul
: C 12 H 11 ClN 2 O 5 S
Berat molekul
: 330,74
Pemerian
: Serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau.
Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamida
dan
dalam larutan
alkali
hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM,1995)
Universitas Sumatera Utara
6
2.2 Farmakologi 2.2.1 Cara Kerja Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai diuretik. Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal. Pada penggunaan oral, furosemida diabsorpsi sebagian secara cepat dan diekskresikan bersama urin dan feses (Lukmanto,2003) 2.2.2 Farmakokinetika Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral, dengan masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam. Absorpsi furosemida dalam saluran cerna cepat, ketersediaan hayatinya 60-69 % pada subyek normal, dan ± 91-99 % obat terikat oleh plasma protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paruh biologis ± 2 jam (Siswandono,1995). Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t ½ plasmanya 30-60 menit. Ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu ( Tjay dan Kirana, 2002). 2.2.3 Efek Samping Efek samping jarang terjadi dan relatif ringan seperti mual, muntah, diare, rash kulit, pruritus dan kabur penglihatan. Pemakaian furosemida dengan dosis tinggi atau pemberian dengan jangka waktu lama dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan elektrolit (Lukmanto,2003).
Universitas Sumatera Utara
7
Secara umum, pada injeksi intra vena terlalu cepat dan jarang terjadi ketulian (reversible) dan hipotensi. Dapat juga terjadi hipokaliemia reversibel (Tjay dan Kirana, 2002). 2.2.4 Penggunaan Klinik Furosemida dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi ringan dan sedang, karena dapat menurunkan tekanan darah (Siswandono,1995). 2.2.5 Sediaan dan Posologi Furosemida tersedia dalam bentuk tablet 20, 40, 80 mg dan preparat suntikan. Umumnya pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari. Dosis anak 2 mg/kg BB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kg BB (Ganiswara,1995). 2.2.6 Klasifikasi Furosemida Berdasarkan Biofarmasi Furosemida memiliki nilai kelarutan 0,01 mg/ml, C log P 1,9 dan log P 0,74 serta nilai pKa 3,9. Berdasarkan nilai log P, maka furosemida digolongkan kepada kelas ke 4, yaitu sebagai obat yang memiliki kelarutan rendah dan permeabilitas rendah sesuai dengan Biopharmaceutics Classification System (BCS) (Anonim, 2002). 2.3 Absorpsi Obat melalui Saluran Cerna Absorpsi obat didefinisikan sebagai penetrasi suatu obat melewati membran tempat pemberian (site of application), dan obat tersebut berada dalam bentuk yang tidak mengalami perubahan (Syukri,2002). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna antara lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain :
Universitas Sumatera Utara
8
a. Bentuk Sediaan Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respons biologis obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, suspensi, emulsi, serbuk, dan larutan, proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan. Ukuran partikel bentuk sediaan juga mempengaruhi absorpsi obat. Makin kecil ukuran partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin besar sehingga kecepatan melarut obat makin besar. Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan pengisi, pelicin, penghancur, pembasah dan emulgator, dapat mempengaruhi waktu hancur dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat. b. Sifat Kimia Fisika Obat Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf, kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasai juga mempengaruhi proses absorpsi obat. c. Faktor Biologis Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan
Universitas Sumatera Utara
9
lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh darah pada tempat absorpsi. d. Faktor Lain-lain Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu (Siswandono, 2000). 2.4 Faktor-Faktor dalam Bioavailabilitas Obat Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses (Gambar 2). Proses tersebut meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media ‘aqueous’, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan sering kali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tetapi sebaliknya untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahapan penentu kecepatan. Pelepasan Dengan Obat dalam produk obat
cara penghancuran
Partikel Obat padat
Pelarutan
Obat Absorpsi Dalam larutan
Obat Dalam tubuh
Gambar 2. Proses laju bioavailabilitas obat (Shargel,1988)
Universitas Sumatera Utara
10
2.5 Struktur Membran Sel Penelitian Dawson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli (1956) mengemukakan suatu lembaran lipida protein sebagai model membran. Model membran tersebut terdiri dari dua basal lipida monomolekular (yang terdiri dari fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fasa berair. Dua kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipid yang polar (salah satu diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globular) mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis tersebut bukan merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Dalam konsep mosaik cair, matrik membran terdiri atas dua lapisan lipida protein globular yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan menurut susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada sumbu utama protein globuler tebalnya ± 85 Angstrom. Model ‘Mosaik Cair’ konsisten tentang eksistensi dari chanel-chanel ion khusus dan reseptorreseptor di dalam dan di sepanjang permukaan membran (Syukri,2002).
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 3. Stuktur Membran Sel 2.6 Cara Penembusan Obat Melalui Membran Biologis Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat membran biologis. Cara penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas : 1. Difusi pasif Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga, yaitu difusi pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut dalam lemak penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas. a. Difusi Pasif Melalui Pori Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau osmotik; semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membrane. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7oA) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150
Universitas Sumatera Utara
12
untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Aiache, dkk, 1993)
Gambar 4. Difusi Pasif Melalui Pori b. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran Penembusan
terjadi
karena
adanya
perbedaan
konsentrasi
atau
elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membran. Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi transmembran terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Hanya fraksi zat aktif yang terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang
Universitas Sumatera Utara
13
tak terionkan (satu-satunya yang bergantung pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul. c. Difusi Pasif dengan Fasilitas Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan osmosa, yang disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran, pengangkutan ini berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan
kadar
yang
lebih
rendah
dan
berhenti
setelah
mencapai
kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki energi dan terjadi secara spontan. Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa dalam membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah bergerak menembus membran. Pada sisi membran yang lain kompleks akan terurai melepas molekul obat dan molekul pembawa bebas kembali ke tempat semula. Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan muatan molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis dapat berjalan dengan cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil.
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 5. Difusi dengan Fasilitas Hukum difusi Fick :
dQ KxD = S (C1 − C 2 ) dt e Keterangan : dQ dt
= laju pelintasan zat aktif melalui membran
K
= koefisien partisi membran biologik / cairan pelarutan
D
= koefisien difusi molekul zat aktif melintasi membran
S
= permukaan membran yang kontak dengan pelarutan
e
= tebal membran
C 1 -C 2 = perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran Dari persamaan tersebut, dapat dilihat hal-hal yang berpengaruh pada penyerapan zat aktif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa laju penyerapan berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran (C 1 -C 2). Penyerapan pasif terjadi hingga tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti bila aliran darah tidak lagi mengangkut zat aktif dalam jumlah yang setara dengan jumlah yang diserap (Aiache, dkk.,1993).
Universitas Sumatera Utara
15
2. Transpor Aktif Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan suatu bagian dari membran, berupa enzim atau paling tidak senyawa protein dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor selalu terjadi dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa menuju serosa). Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa telah digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat menghambat kompetisi transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah. Transpor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi. Transpor aktif ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosintrifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu ATPase. Kebalikan dari proses difusi dimana laju pelintasan membran tergantung pada perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran yang berkurang karena adanya difusi, maka laju transpor aktif tidak tergantung pada konsentrasi (Aiache, dkk, 1993).
Universitas Sumatera Utara
16
Gambar 6. Sistem Pengangkutan Aktif 3. Pinositosis Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum, gliserin, vitamin A,D,E dan K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada bakteri (Siswandono, 1995).
Gambar 7. Sistem Pengangkutan Secara Pinositosis Kebanyakan dari obat melewati membran biologis dengan cara difusi pasif. Senyawa obat yang berbobot molekul kecil dengan bebas melewati mikroporus dari sel. Dengan catatan mungkin obat larut diluar fase membran plasma menembus membran dan masuk ke dalam sitoplasma sel. Karena bersifat
Universitas Sumatera Utara
17
lipid membran sel mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi terhadap bentuk obat yang larut dalam lipid. Obat asam lemah dan basa lemah mungkin berada dalam keadaan tak terion pada harga pH dari fasa berair pada bagian eksternal dan internal membran. Selama bentuk tak terion dari obat lebih mudah larut dalam lipid dari pada bentuk terion, bentuk tak terion larut ke dalam membran dan seterusnya maka difusi akan lebih cepat dari pada bentuk terion (Wolf,1994). 2.7 Usus Halus Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga penyerapan zat makanan. Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatanlipatan mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan kerckring, yang terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Di daerah tersebut villi-villi usus tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus (mikrovilli) dan mempunyai aktivitas yang kuat. Adanya anyaman kapiler darah dan getah bening pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang besar. Gerakan usus dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan mendorong terjadinya penembusan menuju pembuluh darah. Keadaan pH serta tebal dinding yang beragam di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang cukup besar pada molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH lambung. Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya pelintasan membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif.
Universitas Sumatera Utara
18
Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut lemak atau fraksifraski tak terionkan yang larut lemak. Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradien difusi, hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan susjacent. Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan terhadap pembawa yang sama atau terjadi penjenuhan sistem transpor yang dapat membatasi pelintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum terhadap molekul-molekul yang tidak larut (Aiache, dkk, 1993).
Gambar 8. Skema Usus Halus dengan Villi dan Perfusinya
Universitas Sumatera Utara
19
2.8 Metode Kantung Terbalik (Everted sac) Preformulasi melibatkan sejumlah pemeriksaan untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk tahap formulasi selanjutnya meliputi kestabilan fisikokimia dan kecocokan dosis obat secara biofarmasi. Penelitian awal biofarmasi dari senyawa obat juga dilakukan selama preformulasi. Uji-uji ini didesain untuk menelusuri karakteristik ketersediaan senyawa obat secara in vitro. Hasil penelitian ini mengkontribusikan suatu produk sediaan obat yang efektif, rasional, aman, dan ekonomis. Suatu teknik dengan menggunakan everted intestinal sac dapat digunakan dalam mengevaluasi karakteristik absorpsi dari zat obat (Ansel,1989). Dalam persiapannya, teknik everted sac menggunakan bagian dari intestin, disayat dari bagian omentum dan sirkulasi mesenterikum. Intestin ini dibalik sehingga permukaannya berada pada bagian luar dan ujung dari bagian ini diikat, larutan buffer dimasukkan melalui kateter pada bagian lainnya, dan bagian luar usus direndam dalam larutan berisis obat dengan suhu 37oC, dialiri oksigen 95% dan CO 2 50%. Kedua bagian, baik serosa maupun mukosa dapat dijadikan sampel untuk analisis. Everted sac merupakan teknik yang sederhana yang menghadirkan kerumitan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengujian konsentrasi obat secara in vivo. Kondisi dari temperatur, oksigen, ketersediaan makanan sebagai sumber energi dapat diatur dalam metode ini, namun tidak ada lagi sirkulasi
Universitas Sumatera Utara
20
mesenterikum dan kehadiran obat secara total pada bagian dalam kantung pada difusi melalui serosa. Selain metode everted sac, terdapat beberapa metode lain yang juga dapat digunakan untuk melakukan percobaan secara in vitro pada usus halus antara lain: •
Everted Intestinal Ring Metode ini hampir serupa dengan metode everted sac, namun pada metode ini usus halus dibagi secara horisontal menjadi bentuk cincin-cincin yang berukuran 2-5 mm. Cincin-cincin ini dibenamkan tanpa pemberian oksigen, larutan obat dikontrol oleh temperatur. Konsentrasi obat yang ditentukan antara cincin-cincin dan media. Kebaikan dan keburukan dari metode ini sama besarnya dengan metode everted sac. Secara teknis metode ini lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan metode everted sac, tetapi pengambilan dari permukaan mukosa dan serosa dapat terjadi.
•
Isolated Mucosal Strips (Swarbrick, and Boylan, 1992)
2.9 Kinetika Laju Absorpsi a. Orde reaksi •
Reaksi orde nol Laju peruraian obat secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut : Laju pengurangan konsentrasi = Dimana;
− dCa =k dt
Ca = Konsentrasi zat A yang bereaksi k
= faktor perbandingan = laju reaksi
t
= waktu
Universitas Sumatera Utara
21
Bila data dari suatu studi stabilitas mengikuti reaksi orde nol, grafik x (jumlah yang bereaksi) versus t (waktu) merupakan garis lurus dengan kelandaian menyamai k. Nilai k menyatakan jumlah obat yang terurai per satuan waktu, dan titik potong garis pada waktu nol sama dengan konstanta. jumlah yang bereaksi (x)
Waktu (t) •
Reaksi ode pertama Laju pengurangan konsentrasi = -
dCa = k Ca dt
Dengan memakai persamaan tersebut untuk reaksi orde pertama dihasilkan garis lurus bila dibuat grafik logaritma konsentrasi Ca terhadap waktu. Kecepatan atau konstanta laju reaksi, k, dapat dihitung dari kelandaian garis dikalikan 2,303. % obat yang tersisa
waktu
Universitas Sumatera Utara
22
b. Persamaan Michaelis Menten V= Dimana;
V
Vmaks [C ] + Kd [C] K m + [C ]
= Kecepatan absorpsi awal (mcg/ml.menit)
V maks = Kecepatan absorpsi maksimum (mcg/ml.menit) Km
= Tetapan Michaelis Mentens (M)
[C]
= Konsentrasi (M)
Kd
= Koefisien Difusi (Inui, et al, 1988)
3. Lineweaver Burk Kurva hubungan konsentrasi [C] dan kecepatan absorpsi [V] yang dikemukakan oleh Michaelis mentens dapat diubah ke dalam kurva garis lurus apabila digunakan harga resiproknya (1/V dan 1/C). Persamaannya adalah: 1/v =
Km 1 1 + Vmaks Vmaks C
Bentuk kurva:
1/v
1/V maks
1/K m
1/C
(Armstrong, 1995)
Universitas Sumatera Utara