BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria Malaria merupakan infeksi protozoa genus plasmodium yang dapat menjadi serius dan selalu menjadi salah satu masalah besar kesehatan dunia (Winsatanley, 2001;Greewood, 2002). Setiap tahun hampir 10 persen dari seluruh populasi dunia menderita malaria. Dari jumlah sebanyak itu 500 juta penderita dengan gejala klinis dan diantaranya menimbulkan 1-3 juta kematian yang tersebar di lebih dari 90 negara (Sachs, 2002). Penyakit ini ditandai dengan adanya dingin/menggigil, demam, berkeringat (trias malaria), sakit kepala dan dapat menimbulkan komplikasi serebal, anemia berat, gastroenteristis, hipoglikemia, edema paru, rupture limpa, gagal ginjal, bahkan kematian. Malaria juga ancaman bagi traveler yang mengunjungi daerah endemik malaria (Mandell, 2000 dan Zein, 2002) Di Indonesia sendiri angka kejadian malaria meningkat semenjak terjadinya krisis moneter di tahun 1997. Di Pulau Jawa misalnya, angka kejadian parasit tahunan (annual parasite incidence rate – API) meningkat dari 0.1 ke 0.8 infeksi per 1000 tahun orang antara tahun 1996 dan 2000. Pada tahun 2002, angka ini meningkat lagi hampir 70 % (Barcus, 2002). Disamping melalui gigitan nyamuk anoples, malaria juga dapat ditularkan melalui tranfusi darah dari donor yang terinfeksi malaria. Pada tahun 2005 ditemukan 5 kasus malaria falciparum pada penderita hemodialisis regular di RS. Pirngadi Medan yang pernah mendapatkan tranfusi darah, dan dua kasus meninggal akibat penyakit malaria berat. (Zen dan Lubis, 2001).
2.1.1 Siklus Hidup Parasit Malaria Dalam siklus hidupnya plasmodium mempunyai dua hospes yaitu manusia dan nyamuk, siklus aseksual yang berlangsung pada manusia disebut dengan
5
skizogoni dan siklus sosial yang membentuk sporozoid di dalam nyamuk yang disebut sporogoni (Nugroho dkk, 2000).
A. Siklus Aseksual Sporozoid infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina masuk dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Dalam waktu tiga puluh menit jasa tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulainya stadium eksoeritrositik daur hidupnya. Di dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi erozoid. Sel hati yang mengadung parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. (Barcus MJ, Laihad F dan Mworto H, 2002). Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merocoid keluar dengan bebas, sebagian menglami fagositosis. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka disebut stadium pre-eritrositik. Siklus eritrositik dimulai saat merozoit menerobos masuk sel-sel darah merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit. Tropozoit berubah menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri menjadi beberapa merozoit. Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah merah pecah dan merozoit,pigmen dan sisa sel keluar dan bebas berada dalam plasma darah. Merozoit dapat masuk sel darah merah lainnya lagi untuk mengulangi siklus skigoni. Selain dapat memasuki eritrosit kembali dan membentuk skizon, merozoid dapat juga membentuk gametosit yaitu bentuk seksual parasit plasmodium (Barcus MJ, Laihad F dan Mworto H, 2002).
B. Siklus Seksual Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang ada di darah tidak dicerna oleh sel-sel tubuh lain. Pada gamet janten, kromatin membagi menjadi 6- 8 inti yang bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa 6
filament dibentuk seperti cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membrane basal dinding lambung nyamuk. Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. (Bags MJ, Baird JK, dan Marwoto H ,2001). Di dalam ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar ludah nyamuk dan bila nyamuk menggigit atau menusuk manusia memungkinkan sporozoit masuk ke dalam darah dan mulailah siklus pre eritrositik (Nugroho, 2000; Scheme Life Cycle Malaria).
2.2 Patobiologi Plasmodium Falciparum (Malaria Tropik) Semua gejala klinis yang ditemukan yang khas ditemukan pada penderita malaria, baik tanpa komplikas ataupun dengan komplikasi. Dasar patologinya adalah dasar-dasar eritrosit yang terinfeksi oleh plasmodium aseksual. Ketika plasmodium berkembang di dalam eritrosit maka sejumlah substansi yang telah di ketahui maupun yang belum diketahui yang merupakan bahan-bahan produk parasit. Seperti pigmen hemozoin, dan bahan bahan toksik lainnya terakumulasi di dalam sel eritrosit yang terinfeksi. Ketika eritrosit mengalami lisis untuk melepaskan merozoid, maka bahan bahan toksik akan hanyut ke aliran darah. (Human Host and Malaria,2004).
2.3 Siklus Hidup Plasmodium Mekanisme kerja parasit tehadap parasit malaria sangatlah kompleks, karena hampir melibatkan komponen imun, baik yang timbul secara alami ataupun di dapat, karena hanya infeksi yang spesifik dan nonspesifik, humoral ataupun selular.
7
Gambar 1. Skema Siklus Hidup Plasmodium (Consencus of Malaria Management,2003)
Siklus hidup parasit malaria melibatkan dua host. Selama makan darah, malaria Anopheles betina yang terinfeksi nyamuk inoculates sporozoit ke dalam host manusia. Sporozoit menginfeksi sel-sel hati dan matang menjadi schizonts yang pecah dan merozoit Realease. Setelah replikasi awal di hati (exo-erythrocytic schizogony ), parasit aseksual menjalani perkalian dalam eritrosit (schizogony erythrocytic). Merozoit menginfeksi sel darah merah. tahap cincin trophozoites dewasa menjadi schizonts, yang melepaskan repture Merozoit. Beberapa parasit berdiferensiasi menjadi tahap erythrocytic seksual (gametosit). (Dr.M Djamil,2002). Gametosit yang bersama darah tidak dicerna. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang bergerak kepinggir parasit. Dipinggir ini beberapa filamen dibentuk seperti cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. 8
Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet kedalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Didalam ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar nyamuk dan berkembng ke kelenjar lubah nyamuk. Bila nyamuk menggigit atau menusuk manusia maka sporozoit masuk kedalam darah dan mulailah siklus pre eritrosi. (Widyawarunarti,dkk,2000).
2.3.1
Prinsip Transmisi Malaria Pada daerah dengan transmisi tinggi angka EIR bisa mencapai 500 – 1000,
seperti beberapa daerah di Afrika, dan daerah transmisi rendah dengan angka EIR ≤ 0,01, yang terdapat di daerah temperate zone seperti Caucasus dan Central Asia dimana transmisi malaria sedikit dan terbatas. Diantara kedua daerah ekstrim ini, ada daerah dengan musim yang tidak stabil seperti daerah Asia dan Amerika Latin dengan EIR ≤ 10, dan selalu berkisar antara 1–2, dan situasi dengan musim yang stabil di daerah Afrika Barat dengan EIR antara 10–100. (Zein U, Hendri H, Ginting Y,2002). Proporsi nyamuk yang terinfeksi secara lokal berhubungan dengan jumlah manusia yang terinfeksi di daerah tersebut. Oleh karena itu, dengan mengurangi jumlah orang yang terinfeksi di suatu daerah, akan menurunkan tingkat transmisi malaria di daerah tersebut, dan juga menurunkan angka prevalensi dan insidensi secara lokal. Hubungan antara EIR dan prevalensi malaria dipengaruhi oleh imunitas alami dan ada tidaknya pengobatan yang efektif. Obat antimalaria dapat menurunkan transmisi karena efeknya kepada infektivitas parasit. Efek ini dapat secara langsung pada
gametosit,
sebagai
bentuk
infektiv
(gametocytocidal effect) atau ketika obat
yang
ditemukan
pada
manusia
memasuki tubuh nyamuk sewaktu
menghisap darah penderita, akan mempunyai efek terhadap perkembangan parasit di dalam tubuh nyamuk (sporonticidal effect). Klorokuin dapat membunuh gametosit muda, tetapi tidak mempunyai efek menekan bentuk infektiv yang immature. Malah klorokuin menunjukkan kemampuan memperbesar infektivitas gametosit terhadap 9
nyamuk. (WHO, 2006).
2.4.Mekanisme Pembunuhan Parasit
2.4.1.Sistem Imun Mekanisme kerja tubuh terhadap parasit malaria sangat kompleks, karena melibatkan hampir semua komponen imun, baik imunitas yang timbul secara alam maupun didapat, karena adanya infeksi yang spesifik maupun nonspesifik, humoral maupun seluler. Adanya toksin malaria yang dominan berupa GPI (Glucose Phosphate Isomerase), yang merupakan komponen dari protein membran plasmodium dan dapat mengaktifkan makrofag dan endotelium vaskuler, merangsang TNF, IL-1, NO dan ekspresi ICAM yang mengakibatkan timbulnya berbagai mekanisme pathogenesis malaria (Enger, 2001). Efek peningkatan TNF-α pada malaria mencakup juga pelepasan radikal bebas dan NO serta meningkatkan fagositosis oleh makrofag dan netrofil. Tumor Necrozing Factor α (TNF-α) dapat merangsang netrofil untuk menghasilkan radikal bebas dalam jumlah besar sebagai respon terhadap parasit. Radikal oksigen bebas berupa super oksida (O2-), peroksida -
(O22-) dan radikal hidroksi (HO ) yang dapat meningkatkan penghancuran makromolekul seluler dan lipid. Radikal O2 bersama-sama dengan INOS
dapat
melakukan oksidasi fagosit yang dalam fagosom asidik menghasilkan radikal peroksinitrit yang sangat reaktif dan dapat membunuh parasit (Abbas et al, 2000).
2.5 Resistensi Antimalaria Resistensi parasit malaria terhadap klorokuin muncul pertama kali di Thailand pada tahun 1961 dan di Amerika Serikat pada tahun 1962. Dari kedua focus ini, resistensi meluas keseluruh dunia. Di Indonesia resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin ditemukan pertama kali di daerah Kalimantan Timur pada tahun 1974, kemudian resistensi ini terus meluas dan pada tahun 1996 kasus-kasus malaria
10
yang resisten klorokuin sudah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia (Depkes RI, 1995, Laihad dan Acang, 2002). Salah satu daerah di Indonesia yang dinyatakan sebagai daerah resisten klorokuin yang bersifat sporadis pada tahun 1994 adalah Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera UtarA (Depkes. RI,1995). Untuk mengatasi kasus resistensi parasit malaria terhadap obat klorokuin pemerintah telah menyediakan obat alternatif yang sudah tersedia di Indonesia seperti pirimetamin-sulfadoksin dan kina, namun terhadap kedua obat tersebu Plasmodium falciparum juga telah menunjukkan resistensi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, melaporkan pertama kali resistensi Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-sulfadoksin pada sembilan kasus di Papua, dimana sebelumnya pada tahun 1981 daerah itu telah dinyatakan resisten terhadap klorokuin (Sungkar & Pribadi, 1992).
2.5.1 Mekanisme Resistensi Malaria Secara umum resistensi terjadi sebagai akibat seleksi dan mutasi genetik pada parasit malaria. Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat malaria tertentu dalam wakt yang lama. Resistensi terhadap obat malaria yang bekerja lemah dan lambat terhadap fase skizogoni darah secara relatif timbul lebih cepat dibandingkan dengan resistensi terhadap obat yang bekerja kuat dan cepat terhadap skizogoni tersebut (Sutisna, 2004). Resistensi plasmodium terhadap suatu obat antimalaria adalah kemampuan plasmodium tersebut untuk dapat hidup dan berkembang biak setelah diberi obat dalam dosis yang optimal atau lebih tinggi dari pada dosis yang biasa diberikan, tetapi yang masih dalam batas toleransi penderita. Teori Clyde menyebutkan kemungkinan adanya mekanisme defensif parasit.
Laktan
feriprotoporfirin
IX-
klorokuin ini mampu melisiskan membran parasit. Resistensi terhadap klorokuin terjadi karena tempat ikatan klorokuin dalam eritrosit berkurang sehingga parasit dalam eritrosit tidak dapat dibunuh. Menurut Cowman pada umumnya resistensi terjadi oleh mutasi gen karena pemakaian obat secara terus-menerus dalam waktu lama dan bersifat massal. Mutasi ini menyebabkan parasit mengambil jalur 11
metabolisme lain sehingga terhindar dari pengaruh obat. Pada anti folat terjadi mutasi pada gen tunggal dan pada klorokuin terjadi mutasi yang multigenik sehingga timbul secara perlahan-lahan (Sungkar dkk, 1992).
2.6 Obat malaria Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun tetapi dapat menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan atabrin (quinacrine hydrocloride) yang pada saat itu lebih efektiv daripada kinin dan toksisitasnya lebih ringan. Sejak akhir perang dunia kedua, kloro dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektiv dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan atabrin atau kinin. Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Indonesia, Vietnam, Thailand dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain
Plasmodium falciparum. Seiring
dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, serta fakta bahwa jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di berbagai negara tropis. (Schinder EL, Carlson HK,2003) Sampai tahun 2003, obat antimalaria yang tersedia di Indonesia terbatas pada klorokuin, pirimetamin- sulfadoksin, kina dan primaquin (Tjitra, 2000). Antibiotika yang bersifat antimalaria adalah tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, kloramfenikol, sulfametoksazol-trimetropim dan kuinolon. Obat-obat ini pada umumnya bersifat skizontosida darah untuk Plasmodium falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang efektiv. Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu misalnya dengan kina (Tjitra, 1996). Beberapa obat antimalaria yang ada dan kombinasinya terlihat tabel berikut. 12
Gambar 2. Tabel Jenis Obat No
Nama Obat
Mekanisme Kerja
Efek
Dosis
Antimalaria 1
Artesunat
Idem
Skizontosid
Idem
darah
2
Klorokuin
Mengikat feriprotoporfirin
Skizontosid
25 mg basa/ kg BB
darah
diberi dalam 3 hari
IX
yaitu hari I dan II
yaitu suatu cincin
masing-masing 10
hematin yang
mg basa /kg BB dan
merupakan hasil
pada hari III 5 mg
metabolisme
basa/kg BB
hemoglobin didalam parasit. Ikatan feriprotoporfirin IXklorokuin
ini
bersifat melisiskan membran parasit
sehingga
parasit mati
(Taylor,
2000) 13
3
Membentuk ikatan
Kina
Skizontosida
Membentuk ikatan
darah
hidrogen dengan
dengan DNA yang untuk
semua DNA yang akan
akan
jenis
menghambat sintesa
menghambat
plasmodium
protein sehingga
sintesa
manusia dan
pembelahan DNA
gametosida P.
dan perubahan
sehingga
vivax dan P.
menjadi RNA tidak
pembelahan
Malariae
terjadi
(Gambar. 2) 2.7 Sambiloto Herba sambiloto (Andrographis paniculataNees) adalah satu dari tanaman obat
yang
terdapat
hampir
di
seluruh
daerah
Indonesia
(Kloppenburg,
1988)Andrographis paniculata (AP) yang juga dikenal sebagai King of Bitters adalah sejenis tumbuhan famili Acanthaceae yang telah digunakan selama beberapa abad di Asia untuk mengobati beberapa penyakit termasuk malaria (Andrographis in Depth Review). Gambar berikut menunjukkan bentuk tumbuhan sambiloto.
Gambar 3. Tanaman Obat Sambiloto
14
2.7.1 Klasifikasi Tumbuhan Klasifikasi herba sambiloto: a.
Divisi
:Spermatophyta
b.
Subdivisi : Angiospermae
c.
Kelas
: Dicotyledoneae
d.
Bangsa
: Solanales
e.
Suku
: Acanthaceae
f.
Marga
: Andrographis
g.
Jenis
: Andrographis paniculata Nee
2.6.2 Kandungan Kimia Andrographis paniculata Nees (Sambiloto) a.
Daun mengandung : saponin, flavonoida, dan tanin.
b.
Kandungan kimia daun dan cabang sambiloto: diterpene lakton yang terdiri dari: deoxy andrographolide, andrographolide (zat pahit), neoandrographolide, deoxy, didehydroandrographolide, dan homoandrographolide.
c.
Flavonoid dari akar mengandung : polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-o-methylwithin, apigenin-7, 4-dimethyl ether, alkane, ketone, aldehyde, kalium, kalsium, natrium, asam kersik, dan damar.
d.
Kandungan lain yaitu : andrographolida < 1 %, kalmegin (zat amorf), dan hablur kuning (yang memiliki rasa pahit).
e.
Disamping itu juga mengandung turunan flavonoida yaitu andrografidin A, B, C, D, E dan F, Juga mengandung seskuiterpena lakton yaitu panikulida A, B, dan C. (Tang W, Eisenbrand G, 1992) serta logam alkali (Dep. Kes. RI, 1989).
Gambar 4. Rumus Kimia Andrograpolida dan Neoandrograpolida 15
2.7.3 Penelitian Sambiloto Secara tradisional, maka bagian sambiloto yang sering digunakan sebagai obat adalah daunnya. Tanaman ini tumbuh tegak dengan banyak cabang. Tingginya mencapai 50 - 80 cm. Daunnya terbukti tidak beracun dan memiliki sifat antipiretik (menghilangkan demam oleh berbagai penyebab).. Tanaman herbal seperti sambiloto sudah banyak diteliti di luar negeri, walaupun bukan untuk malaria dan uji secara invitro mempunyai efek terhadap plasmodium. (Schinder EL, Carlson HK,2003) Disamping itu, secara tradisional sambiloto telah digunakan untuk pengobatan malaria. Pada kultur splenosit, dari tikus yang di imunisasi dengan vaksin Salmonella yang dimatikan dan diberi pengobatan dengan AP atau Andrograholid, menunjukkan peningkatan produksi IFN- yang diikuti dengan stimulasi dari lisat bakteri, dan ini menunjukkan bahwa terdapat induksi terhadap Salmonella-specific cell- mediated response/immune response (Xu et al, 2007) Aktivitas antimalaria dari sambiloto adalah dari ekstrak etanol 50% yang dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium berghei secara in-vitro 100 mg/ml. (WHO monographs on selected medicinal plants). Penelitian di Surabaya menemukan bahwa ekstrak dari herba sambiloto dapat menghambat pertumbuha Plasmodium falciparum secara in-vitro dan mempunyai efektifitas yang sama dengan klorokuin difosfat (Widyawaruyanti dkk, 1995). Penelitian di Kuala Lumpur, membandingkan efek anti malaria dari AP dengan dua jenis herbal
lainnya daun sirih (Piper sarmentosum) dan brotowali (Tinospora
crispa), dan mendapatkan efek anti malaria dari AP lebih besar secara in-vivo pada hewan coba (Nik Najib et al, 1999) Caceres et al, 1999, membandingkan ekstrak AP 1200 mg/hari dengan placebo terhadap pasien Common cold dan mendapatkan AP mempunyai efektifitas yang lebih baik, dan tidak ditemukan adanya efek samping. Melchior
et al, 2000, melakukan uji klinis fase III terhadap pasien infeksi
saluran nafas tanpa komplikasi dan mendapatkan perbaikan yang sangat signifikan. (Schinder EL, Carlson HK,2003)
16
17