Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Tinjauan Umum Tentang Fats (lemak) dan Oils (minyak) Secara kimia, fats dan oils merupakan kombinasi dari gliserin dan fatty acid (asam lemak). Referensi yang umum untuk fats dan oils adalah trigliserida. Secara fisik, fats dan oils dibedakan yaitu fats berbentuk solid/padatan pada temperatur normal ruang normal sedangkan oils adalah liquid/cairan pada temperatur ruang normal. Perbedaan-perbedaan sifat tersebut secara luas ditentukan dengan komposisi asam lemak dan lebih jauh terhadap adanya sifat jenuh dan tak jenuh. Aspek-aspek ini diidentifikasikan dengan panjang rantai karbon dan jumlah atau posisi dari ikatan rangkap (double bonds) dari individu asam lemak, dan posisinya pada gliserin. Secara umum, fats padat diindikasikan dengan suatu suatu dominansi asam lemak jenuh, dan oil cair mempunyai suatu level yang tinggi dari asam lemak yang tak jenuh. Asam lemak adalah asam monokarboksilat alifatik yang memiliki jumlah atom C genap antara 4 sampai 24. Asam lemak didapatkan melalui hidrolisis lemak alam karena asam lemak selalu ditemukan di alam dalam bentuk berikatan dengan gliserol. Asam lemak jenuh adalah asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap, contohnya asam kaprilat, asam laurat, asam miristat, asam palmitat dan asam stearat. Sedangkan asam lemak tak jenuh adalah asam lemak yang memiliki ikatan rangkap. Ada dua jenis asam lemak tak jenuh, yaitu asam lemak tak jenuh yang memiliki hanya satu ikatan rangkap (monounsaturated fatty acid) seperti asam oleat, dan asam lemak Gliserol adalah alkohol trihidrat (mengandung 3 gugus hidroksil) yang dapat bereaksi dengan 1 asam lemak (membentuk monogliserida), 2 asam lemak (membentuk digliserida) dan
3 asam lemak
(membentuk trigliserida). Trigliserida mempunyai dua macam bentuk, yaitu padat dan cair. Jika berbentuk padat, trigliserida disebut fat/lemak; sedangkan jika berbentuk cair disebut minyak. Trigliserida memiliki massa jenis lebih rendah daripada air. Contoh trigliserida antara lain trilaurin, tristearin, tripalmitin, 1laurodipalmitin, dan lain-lain.
6
Panjang rantai karbon fats dan oils yang dapat dimakan (edible) bervariasi antara 4 samapi 24 atom karbon dengan lebih dari tiga ikatan rangkap.
Tabel 2.1
merupakan review dari panjang rantai, nama yang umum, jenuh, dan tak jenuh dari asam lemak yang umum yang diidentifikasi sebagai fats dan oils yang dapat dimakan (edible). Asam lemak jenuh yang paling umum adalah laurat (C-12:0), myristic (C-14:0), palmitat (C-16:0), stearat (C-18:0), arakidat (C-20:0), behenat (C-22:0), dan lignoserat (C-24:0). Asam lemak mono-tak jenuh yang paling penting adalah oleat (C-18:1) dan erusat (C-22:1). Asam lemak poly-tak jenuh adalah linoleat (C-18:2) dan linolenat (C-18:3). Tabel 2.1 menampilkan ikatan rangkap asam –asam lemak yang utama. Tabel II.1. Asam lemak yang Utama, O’Brien (1998) Panjang Rantai C-4 C-6 C-8 C-10 C-12 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-20 C-22 C-24
Ikatan Rangkap Asam Lemak Mono (satu) di (dua) Butyric Caproic Caprylic Capric Lauric Myristic Pentadecanoic Palmitic Margaric Stearic Arachidic Behenic Lignoceric
tri (tiga)
Mrystoleic Palmitoleic Margaroleic Oleic Gadoleic Erucic
Linoleic Eicosadienoic
Linoleic
Sifat-sifat fisik natural fats dan oils bervariasi secara luas, meskipun terdiri asam lemak yang sama atau serupa. Perbedaan-perbedaan ini dihasilkan dari perbedaan proporsi asam lemak dan struktur individu trigliserida. Diantara beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi asam lemak oils tumbuhan adalah kondisi iklim, tipe tanah, musim pertumbuhan, kematangan tanaman, kesehatan tanaman, lokasi benih mikrobiologi dalam bunga, dan variasi genetik tanaman. Komposisi fats dan oils pada hewan bervariasi berdasarkan jenis hewan, diet, kesehatan, lokasi fat pada kerangka, dan kematangan.
7
Sifat-sifat fisik dari suatu fat atau oil merupakan hal penting yang kritis dalam menentukan karakteristik fungsionalnya atau penggunaannya dalam makanan. Satu sifat fisik fundamental yang penting adalah adalah indikasi apakah suatu lipid adalah cair atau padat pada temperatur ruang. Produk minyak tumbuhan yang padat pada temperatur ambien dalam suatu iklim sedang adalah cair pada temperatur ambient tropis dimana tanaman tersebut tumbuh. 2.1.1 Reaksi-reaksi penting trigliserida Ada beberapa reaksi penting trigliserida yang sering dilakukan di dalam industri kimia untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan, antara lain reaksi esterifikasi, interesterifikasi, hidrogenasi, hidrolisis, gliserolisis, dan metanolisis. Esterifikasi, merupakan reaksi yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan gliserol ataupun ester. Berikut adalah reaksi esterifikasi secara umum. Asam lemak
Æ
+ alkohol
ester + H2O
Interesterifikasi, reaksi ini adalah reaksi redistribusi gugus-gugus asam di dalam suatu campuran trigliserida (minyak / lemak). Biasanya reaksi ini dilakukan untuk mengubah titik rentang dan titik tengah temperatur pelelehan lemak, misalnya di dalam pembuatan lemak-coklat tiruan (cocoa butter substitute). Trigliserida 1 + Trigliserida 2
Æ
Trigliserida 3 + Trigliserida 4
Hidrogenasi, reaksi ini disebut juga sebagai reaksi penjenuhan ikatan rangkap. Pada reaksi ini trigliserida direaksikan dengan gas hidrogen membentuk senyawa trigliserida baru dengan perubahan pada gugus asam lemaknya. Æ
Trigliserida + H2
Trigliserida* (berubah gugus asam lemaknya)
Hidrolisis, reaksi ini biasanya dilakukan untuk memperoleh asam-asam lemak. Reaksi hidrolisis ini pada prinsipnya adalah memecah trigliserida menjadi asamasam lemaknya dengan direaksikan dengan air, dan produk samping yang diperoleh adalah gliserol.
8
Æ
Trigliserida + 3 H2O
Gliserol + Asam-asam lemak
Gliserolisis, reaksi ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan monogliserida ataupun digliserida. Monogliserida merupakan agen pengemulsi yang handal. Æ
Trigliserida + Gliserol
Monogliserida + Digliserida
Metanolisis, reaksi ini melibatkan metanol dan trigliserida sebagai reaktan. Esterester metil asam lemak bertitik didih kurang dari titik didih asam-asam lemaknya, sehingga lebih mudah dipisahkan dengan cara distilasi. Æ
Trigliserida + 3 metanol
Gliserol + ester metil asamasam lemak
II.1.2 Karakteristik Fats (lemak) dan Oils (minyak) Karakteristik-karakteristik dari minyak/lemak dapat diidentifikasikan dengan beberapa parameter. Paragraf – paragraf berikut akan menjelaskan parameterparameter tersebut dengan lebih detil. Komposisi asam lemak (% berat), merupakan komposisi asam lemak dari minyak dan lemak yang seringkali diidentifikasi menggunakan kromatografi gas. Sampel direaksikan dengan metanol agar asam lemaknya berubah menjadi turunan metil ester yang relatif lebih volatil. Kemudian ester ini dimasukkan ke dalam aliran gas yang inert. Aliran gas ini akan melalui fasa stasioner yang memperlambat gerak molekul yang kepolarannya serupa dengan fasa stasioner. Keluaran alat ini berupa kurva yang luasnya menunjukkan kuantitas komponen yang terelusi dalam kolom kromatografi gas. Angka asam (Acid Value) dalam mg KOH/gr minyak, angka asam merupakan jumlah kalium (dalam miligram) yang diperlukan untuk menetralkan asam bebas dalam satu gram minyak. Angka asam dapat pula didefinisikan sebagai ukuran banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalm minyak/lemak (terbentuk via deteriorasi hidrolitik reaktan maupun produk). Angka ini menunjukkan seberapa
9
banyak senyawa intermediet (asam lemak bebas) yang terbentuk, semakin kecil berarti gliserida (mono-,di-, dan tri-) yang terbentuk semakin banyak. Angka Saponifikasi (Saponification Value) dalam mg KOH/gr minyak, merupakan ukuran banyaknya KOH (dalam miligram) yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram minyak/lemak. Angka ini menunjukkan ukuran berat molekul rata-rata seluruh asam-asam lemak yang ada di dalam minyak/lemak. Angka Iodium (Iodine Value) dalam mg I2/100 gram minyak, angka iodine adalah ukuran banyaknya iodium (dalam gram) yang diabsorpsi oleh 100 gram minyak/lemak. Angka ini menunjukkan ukuran kandungan ikatan rangkap di dalam minyak/lemak (tingkat ketidak jenuhan). Angka Hidroksil (OH value), angka hidroksil yaitu banyak KOH (dalam miligram) yang ekuivalen dengan jumlah hidroksil (OH) dalam sampel. Angka ini menunjukkan sisa hidroksil yang tersisa dalam reaksi. Zat-Zat yang tak tersaponifikasi (Unsaponification Value) mempunyai satuan dalam % berat. Zat-zat yang tak tersaponifikasi dalam lemak adalah komponen yang terekstrak oleh heksan atau eter setelah sampel lemak direfluks dengan KOH alkoholik atau banyaknya komponen tidak larut dalam air setelah minyak disabunkan. Range/ titik leleh, range/titik leleh dari suatu produk lemak adalah temperatur di saat transisi dari keadaaan solid ke liquid dapat diamati. Tidak seperti zat murni yang mempunyai titik leleh yang jelas, lemak adalah campuran dari trigliserida yang memiliki range temperatur leleh. Metode yang mudah digunakan antara lain, metode tube kapiler. Dengan metode ini, lelehan sampel lemak ditarik ke dalam tube yang terbuka kedua ujungnya. Lemak ini lalu dikeraskan dengan pendinginan dan dilelehkan dalam air dengan temperatur yang diatur kenaikannya. Temperatur di saat lemak slip dan terlihat cair dan jernih dinamakan titik atau range lelehnya.
10
Indeks refraktif, indeks refraktif suatu medium adalah perbandingan kecepatan cahaya pada gelombang tertentu dalam vakum terhadap kecepatan cahaya pada suatu medium tertentu. Refraktometer yang digunakan pada temperatur yang spesifik untuk jenis sampel yang khusus. Alat ini berguna untuk identifikasi lemak dan observasi reaksi yang berlangsung selama proses hidrogenasi. II.2 Sumber Monogliserida Monogliserida dapat dibuat dari berbagai minyak nabati. Tabel II.2 menampilkan komposisi asam-asam lemak dari sumber-sumber nabati (%-berat). Tabel II.2. Komposisi Asam-asam Lemak Pada Berbagai Sumber Nabati, Soerawidjaja ( 2002)
Jenis Asam Lemak
Kelapa
Inti Sawit
Kaproat (C-6:0)
0-1
Tapak
Kaprilat (C-8:0)
5-10
3-6
Kaprat (C-10:0)
5-10
3-5
Laurat (C-12:0)
43-53
40-52
tapak
Miristat (C-14:0)
15-21
14-18
tapak
0-2
0-2
Palmitat (C-16:0)
7-11
6-10
23-30
30-48
17-29
8-19
7-12
Stearat (C-18:0)
2-4
1-4
32-37
3-6
1-4
0-4
2-6
Arakhidat (C-20:0)
<1
0-1
0-1
0-3
Behenat (C-22:0)
0,5
Tapak
tapak
Oleat (C-18:1)
6-8
9-16
Cokelat
30-37
Sawit
Jagung Kedelai
0-1
38-44
Gadoleat (C-20:1) Linoleat (C-18:2)
Biji Kapas
13-44
tapak
19-50
Tapak 1-3
1-3
2-4
Linolenat (C-18:3)
11
9-12
33-58
20-30 0-1
34-62
48-58
0-2
4-10
Indonesia adalah penghasil minyak nabati. Dimana minyak nabati yang paling banyak dihasilkan adalah minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Dengan kapasitas bahan baku yang melimpah dan produksi minyak kelapa dan sawit yang besar seperti yang telah disebutkan sebelumnya maka perlu dipertimbangkan untuk menambah daya guna minyak kelapa (alternatif pilihan) ataupun minyak kelapa sawit tidak hanya sebagai minyak goreng, dalam hal ini sebagai bahan baku produksi monoasilgliserol. Tabell II.3 menjelaskan komposisi asam lemak minyak kelapa dan minyak inti sawit. Tabel II.3. Komposisi Asam Lemak Dari Minyak Kelapa dan Minyak Inti Sawit, Bailey (1996) Jenis asam lemak
C6H12O2
0,2 – 0,8
Minyak inti kelapa sawit 0–1
C8H16O2
6–9
3–5
Kaprat
C10H20O2
6 – 10
3–5
Laurat
C12H24O2
46 – 50
44 – 51
Miristat
C14H28O2
17 – 19
15 – 17
Palmitat
C16H32O2
8 – 10
7 – 10
Stearat
C18H36O2
2–3
2–3
Oleat
C18H34O2
5–7
12 – 19
Linoleat
C18H32O2
1 – 2,5
1–2
Asam lemak
Asam lemak Kaproat jenuh Kaprilat
Asam Lemak tak jenuh
Formula
Minyak kelapa (%)
II.2.1. Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit/palm oil dibuat dari buah tanaman minyak kelapa sawit, Elaesis guineensis. Buah tersebut tumbuh dalam suatu bunches/kumpulan yang beratnya lebih dari 40 pounds, dengan 400 sampai 2000 buah. Masing-masing buah terdiri dari daging buah luar, dimana merupakan sumber minyak kelapa sawit mentah; suatu bagian dalam yang digunakan untuk fuel (bahan bakar); dan
12
dua atau tiga kernel/biji yang merupakan sumber dari tipe minyak yang lain- palm kernel. Buah dari biji sawit dapat dilihat pada gambar II.1.
Gambar II.1. Buah dari pohon minyak sawit. Kualitas minyak sawit yang diperoleh pada mill/penggilingan dan proses sesudahnya adalah tergantung pada kumpulan buah yang dikirim ke mill/penggilingan minyak. Buah yang terlalu masak dapat dimemarkan dengan mudah, mempercepat kenaikan asam lemak bebas melalui hidrolisis enzimatik dan secara berlawanan akan mempengaruhi kemampuan pemutihan pada minyak yang telah diekstraksi. Setelah melalui penggilingan buah, ekstraksi minyak dari buah diselesaikan dalam empat tahap seperti yang ditampilkan dalam bentuk diagram proses pada gambar II.2.
13
Gambar II.2. Proses ekstraksi minyak dari buah kelapa sawit. Gambar II.2 merupakan proses ekstraksi buah kelapa sawit secara umum. Proses ekstraksi tersebut mempunyai beberapa tahap sebagai berikut : sterilisasi, digestion, pressing, dan klarifikasi. Pada tahap sterilisasi, kumpulan buah sawit digunakan untuk deaktivasi enzym dalam reaksi hidrolisis yaitu berfungsi untuk melepaskan buah dari kumpulannya. Deaerisasi yang tidak tepat atau sterilisasi yang berlebih akan menyebabkan masalah dalam proses bleaching/pemutihan. Pada tahap digestion, buah kelapa sawit dibuburkan pada temperatur tinggi untuk memisahkan sel yang dapat melepaskan partikel minyak. Pada tahap pengepresan (screw preses), kompresi bertahap dan injeksi live steam digunakan untuk mengekstrak minyak dari buah. Sedangkan pada tahap klsrifikasi, minyak setelah keluar dari tangki klarifikasi disentrifugasi untuk memindahkan kelembaban dan impuritis dengan pengeringan atmosferik atau vakum.
14
II.2.2 Komposisi dan Sifat Fisik Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit mentah mempunyai warna oranye-merah yang mengandung karotene tinggi: 0,03 sampai 0,08%, dimana 90% mengandung alpha dan beta karoten. Caustic refining (penyulingan minyak yang caustic) mempunyai pengaruh yang kecil terhadap warna, tapi dapat dilakukan heat bleached untuk mengurangi warna jika karoten belum dioksidasi dan ditetapkan; kesalahan penggunaan minyak kelapa sawit mentah dapat menyebabkan warna coklat yang sangat sulit untuk dihilangkan. Minyak kelapa sawit secara hati-hati diproses untuk mempertahankan kandungan karoten, sebisa mungkin, digunakan sebagai suatu pewarna natural untuk margarin dan produk-produk shortening. Minyak kelapa sawit mentah mempunyai karakteristik rasa ”nutty” atau ”fruity” yang dapat dihilangkan dengan mudah dengan penyulingan minyak (refining). Minyak kelapa sawit yang telah diproses umumnya menyebabkan suatu warna muda tersendiri seperti violet dengan oksidasi. Stabilitas oksidasi dari minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh adanya beta karoten dalam tingkat yang tinggi, dimana berperan sebagai suatu pro-oksidan meskipun terdapat konsentrasi tocopherol yang tinggi. Tipe dan karakteristik dari minyak kelapa sawit mentah dapat dilihat pada tabel II.4.
15
Tabel II.4 Karakteristik minyak sawit, O’Brien (1998) Typical
Range
0
Specific gravity, at 99/5,5 C
0,8919 to 0,874
at25/ 15,50 C Iodine value (mg I2 / g) Saponification value (mg KOH / g) Unsaponifiable matter, %
46,0 to 56,0 196 to 202 0,2 to 0,5
Melting range,0C Carotene content, mg/kg Solids fat index, %
36,0 to 45,0 500 to 1600
at 10,0 0C
34,5
30,0 to 39,0
0
14
11,5 to 17,0
0
11
8,0 to 14,0
0
7,4
4,0 to 11,0
0
5,6
2,5 to 9,0
4,7
2,0 to 7,0
37,5
35,5 to 39,5
at 21,1 C at 26.7 C at 33,3 C at 37,8 C 0
at 40,0 C 0
Mettler melting point, C Fatty acid composition, % Lauric C-12:0 Myristic C-14:0 Palmitic C-16:0 Palmitoleic C-16:1 Stearic C-18:0 Oleic C-18:1 Linoleic C-18:2 Linolenic C-18:3 Arachidic C-20:0
0,1 1 44,3 0,15 4,6 38,7 10,5 0,3 0,3
II.2.3 Gliserol Gliserol juga dikenal sebagai gliserin atau 1,2,3-propanetriol. Gliserol mempunyai sifat fisik tidak berwarna, tidak berbau, higroskopik, merupakan cairan viskos yang berasa manis. Gliserol merupakan gula alkohol dan mempunyai tiga grup hidroksil hidrophilik alkoholik (-OH) yang bertanggung jawab terhadap kelarutannya dalam air. Karena sifat higroskopiknya ini pula maka gliserol dapat mengabsorp air dari udara, sifat inilah yang membuat gliserol berharga sebagai pelembab dalam kosmetik. Gliserol hadir dalam bentuk esternya (gliserida) dalam semua lemak dan minyak hewan dan tumbuhan.
16
Gliserol mencapai nilai komersialnya sebagai produk samping ketika lemak dan minyak dihidrolisa menjadi asam lemak atau garam metalnya (sabun). Gliserol juga disintesis pada skala komersial dari propilen (diperoleh dengan cracking petroleum). Gliserol juga dapat diperoleh selama proses fermentasi gula jika natrium bisulfat ditambahkan dengan yeast. Selain itu gliserol digunakan secara luas sebagai solven, sebagai pemanis, dalam pembuatan dinamit, kosmetik, sabun cair, permen, tinta, sebagai komponen campuran anti beku, sebagai sumber nutrien untuk kultur fermentasi dalam produksi antibiotik, dan dalam obat-obatan. Karakteristik dari gliserol dapat dilihat dari tabel II.5. Tabel II.5 Karakteristik gliserol (www.wikipedia.org) Nama kimia Rumus kimia Massa molekular Titik leleh Titik didih Densitas Energi makanan Nomor CAS Nomor HS
Gliserol 1,2,3-propanetriol C 3H 8O 3 92.09 g/mol 18 0C 290 0C 1,261 g/cm3 4,32 kcal/g 56-81-5 gliserol kasar : 1520.00.00 gliserol murni : 2905.45.00
II.3 Definisi Monogliserida Monogliserida merupakan senyawa kimia penting dari turunan komersil yang digunakan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, pelumas. Monogliserida digunakan dalam banyak aplikasi sebagai surfaktan, terutama sebagai pengemulsi dalam makanan, kosmetik dan farmasi. Monogliserida digunakan dalam yeast pengembang makanan untuk retarding staling, cakes, icing dan dalam pembuatan margarin. Secara keseluruhan, kelompok surfaktan ini sangat penting digunakan
17
dalam industri makanan, dimana 75% dari total produksi pengemulsi. Surfaktan mempunyai aplikasi yang luas dengan semua proses yang melibatkan kerja pada permukaan (interfaces). Surfaktan nonionik khususnya ester dari polyol hidrophilik, seperti gliserin dengan asam lemak sangat diinginkan dalam industri. Produk komersil yang paling penting adalah gliserol monostearat, monooleat, dan monorisinoleat. Berdasarkan kemampuannya untuk membentuk emulsi yang stabil, monogliserida seperti monooleat adalah sesuai sebagai komponen pengemulsi dalam cairan fiber finishes, komponen minyak pelumas, minyak mesin, dan pada pasta grinding dan polishing. Monogliserida juga mempunyai sifat antibakteri dan dari perkembangan terakhir diketahui penggunaannya dalam fasilitator pengiriman obat dan bioadhesive. Selain itu monogliserida juga diketahui mempunyai efek pencegahan pada penyakit kardiovaskular. II.3.1 Komposisi dan Karakteristik Monogliserida Campuran ester monogliserida yang mempunyai rantai yang panjang, merupakan asam lemak jenuh dan tak jenuh yang terdapat dalam lemak makanan, terdiri dari tidak lebih dari 30% alfa monogliserida dan juga mengandung isomer monogliserida yang lain, sama seperti halnya di- dan trigliserida, gliserol bebas, asam lemak bebas, sabun dan kandungan air, biasanya diproduksi melalui gliserolisis dari lemak atau minyak yang dapat dimakan, tetapi dapat juga dengan esterifikasi dari asam lemak dengan gliserol, dengan atau tanpa produk didistilasi molekular. Rumus bangun dari monogliserida adalah dapat dilihat pada gambar II.3. Dimana R merupakan gugus alkil dari monogliserida.
Gambar II.3. Rumus bangun monoasilgliserol (monogliserida)
18
Monogliserida berwarna putih atau krem dan mempunyai penampilan waxy atau lemak yang keras, berupa produk plastik atau cairan viskos. Monogliserida tidak larut dalam air, larut dalam etanol, kloroform dan benzene. Metoda analisa : menentukan alfa-monogliserida dan kandungan gliserol bebas. Secara komersil produk monogliserida terdapat dua kategori yang dikenal sebagai GMS (Glyceryl Monostearate) dan GMO (Glyceryl Monooleate). Tabel II.6 berikut menampilkan karakteristik monogliserida secara komersil. Tabel II.6. Karakteristik Komersil Monogliserida Glycerol monostearate Appearance White flakes or powder Warna (gardner) 3.0 max Tidak lebih dari 2,0% (metode Karl Air Fischer) Angka Iodine (g I2/100g) 3.0 max Freezing point, oC 55 -60 Angka asam (mg KOH/g) Tidak lebih dari 6 Angka penyabunan (mg KOH/g) 160 -175 (tidak lebih dari 6%) Gliserol bebas, % Tidak lebih dari 7% Arsenic (as AS), ppm 3 max (Tidak lebih dari 3 mg/kg) Heavy metals (as Pb), ppm 10 max (Tidak lebih dari 10 mg/kg) Iron (Fe), ppm 10 max
II.3.2 Sintesis Monogliserida Monogliserida dapat dibuat dengan metode secara kimia ataupun enzimatik, yaitu dengan mereaksikan trigliserida dengan gliserol (gliserolisis) atau mereaksikan asam lemak dengan gliserol (esterifikasi) baik dengan menggunakan katalis asam/alkali (metode kimia) maupun dengan bantuan enzim (enzimatik). Monogliserida di dalam perdagangan merupakan campuran dari mono dan diasilgliserol dan dapat berbentuk cair, padat elastis, atau lemak tergantung pada jenis dan distribusi asm lemak di dalam molekul. Dan secara struktur monogliserida adalah produk kondensasi satu molekul gliserol dengan satu atau dua molekul asam. Berikut adalah rute-rute proses pembuatan monogliserida yang pernah dilakukan.
19
II.3.2.1 Esterifikasi Asam Lemak Dengan atau Tanpa Pelarut Organik Reaksi esterifikasi secara umum dapat dilihat pada gambar II.4. Reaksi ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan gliserol maupun ester. KATALIS ASAM ⎯⎯⎯ ⎯→ gliserol + 3 ester Trigliserida + 3 alkohol ←⎯
Gambar II.4 Esterifikasi Asam Lemak Asam lemak diperoleh melalui reaksi hidrolisis lemak/minyak. Reaksi esterifikasi ini antara lain dapat dikatalisasi oleh asam (asam sulfat atau HCl) dan enzim lipase. Enzim lipase yang digunakan untuk menghasilkan monoasilgliserol adalah 1,3-regioselektif lipase (Watanabe,2004). Reaksi esterifikasi merupakan reaksi reversibel dengan reaksi hidrolisis. Agar produk lebih banyak dihasilkan (selektifitas ke arah reaksi esterifikasi), air yang dihasilkan dalam reaksi harus dipisahkan dari campuran reaksi. Air dapat dipisahkan antara lain dengan proses distilasi, proses absorpsi dengan pelarut polar, dan dengan menciptakan kondisi vakum pada reaktor (untuk reaksi yang dilakukan pada suatu reaktor tangki berpengaduk) atau mensirkulasikan campuran reaksi ke suatu bejana bertekanan rendah/vakum (untuk reaksi yang dilakukan pada suatu reaktor unggun tetap). Proses esterifikasi dengan bantuan katalis enzim paling baik dilakukan dalam suatu reaktor unggun tetap. Jika reaksi ini dilakukan dalam suatu reaktor tangki berpengaduk, enzim terkekang tidak dapat digunakan pada larutan reaksi yang memiliki massa jenis besar karena enzim terkekang akan rusak oleh adanya gaya geser yang dihasilkan oleh proses pengadukan. Reaksi esterifikasi tanpa pelarut organik biasanya diselenggarakan pada temperatur relatif rendah (25 0C) tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelarut organik yang biasa digunakan dalam proses esterifikasi adalah nheksan. Reaksi esterifikasi dengan pelarut organik, berlangsung pada daerah antarmuka antara gliserol dengan asam lemak yang terlarut dalam pelarut
20
organik. Penambahan padatan (solid support) seperti silika gel pada campuran reaksi esterifikasi dengan pelarut organik akan meningkatkan produk reaksi secara signifikan. Hal ini antara lain disebabkan oleh: a). meningkatnya luas kontak (interfacial area) antara gliserol (bersifat hidrofil) yang teradsorbsi oleh silika gel dengan pelarut organik n-heksan (bersifat hidrofobik). Asam lemak yang digunakan dalam reaksi esterifikasi terlarut dalam pelarut organik (n-heksan), b). air hasil reaksi esterifikasi akan teradsorbsi oleh silika gel, sehingga reaksi kesetimbangan akan "bergeser" ke arah produk. Peningkatan jumlah monogliserida atau digliserida yang dihasilkan dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan perbedaan kelarutan produk reaksi dalam pelarut organik (n-heksan), menggunakan sifat spesifisitas enzim agar produk yang diharapkan (monogliserida atau digliserida) lebih banyak dihasilkan. Monogliserida dan digliserida memiliki kelarutan dalam n-heksan sangat rendah jika dibandingkan dengan kelarutan trigliserida dan asam lemak karena monogliserida dan digliserida memiliki gugus hidroksi yang bersifat hidrofil. Hal ini menyebabkan monogliserida dan digliserida yang dihasilkan akan mengendap (precipitated) dalam reaktor. Hal ini akan mengakibatkan bergesernya kesetimbangan ke arah produk (monogliserida dan digliserida). Jika spesifisitas enzim yang digunakan memiliki tahap penentu laju reaksi pada tahap pembentukan trigliserida (k1), monogliserida dan digliserida akan terakumulasi dalam reaktor karena monogliserida dan digliserida yang terbentuk
akan
segera
mengendap
(precipitated)
sebelum
terjadi
pembentukan trigliserida. Sebaliknya, jika spesifisitas enzim yang digunakan memiliki tahap penentu laju reaksi pada tahap pembentukan monogliserida (k2), digliserida akan terakumulasi dalam reaktor karena digliserida yang terbentuk akan
segera
mengendap
(precipitated)
monogliserida.
21
sebelum
terjadi
pembentukan
II.3.2.2 Deasilasi Kimia Deasilasi kimia dilakukan dengan menggunakan reagen Grignard (seperti etil magnesium bromida). Reagen akan bereaksi secara acak dengan satu dari tiga ikatan ester pada trigliserida dan menghasilkan digliserida serta alkohol tersier. Reaksi dihentikan dengan penambahan asam asetat pada titik produksi maksimum
monogliserida.
Produk
monogliserida
dipisahkan
dengan
menggunakan TLC (Thin Layer Chromatography). II.3.2.3 Gliserolisis Trigliserida Reaksi secara gliserolisis merupakan reaksi alkoholis. Pada reaksi gliserolisis,
trigliserida
direaksikan
dengan
gliserol
membentuk
monogliserida dan digliserida. Secara umum reaksi gliserolisis trigliserida dapat dilihat pada gambar II.5.
Gambar II.5. Reaksi Gliserolisis Trigliserida Sebagian besar monogliserida dan digliserida di dalam industri diproduksi dengan proses gliserolisis trigliserida. Pada proses ini, lemak (± 99% trigliserida) direaksikan dengan gliserol pada temperatur tinggi. Reaksi gliserolisis merupakan suatu reaksi kesetimbangan sehingga produk reaksi dapat ditingkatkan (reaksi dapat “digeser” ke arah produk) dengan menggunakan gliserol berlebih. Gliserol yang bersifat hidrofil tidak larut dalam lemak pada temperatur ruang, sehingga reaksi gliserolisis dilangsungkan pada temperatur tinggi untuk meningkatkan kelarutan gliserol di dalam lemak. Monogliserida dan digliserida dapat diproduksi baik secara batch maupun kontinyu. Sebagian besar produksi di Amerika Serikat masih menggunakan proses batch dimana waktu reaksi, temperatur dan katalis yang digunakan bervariasi. Untuk proses kontinyu, waktu proses biasanya lebih pendek sekitar 30 menit dibandingkan waktu proses sistem batch.
22
Biasanya monogliserida dan digliserida diproduksi dengan gliserolisis trigliserida atau lemak dan minyak. Pada proses ini, lemak atau minyak yang diinginkan kekerasannya (produk yang diinginkan) dicampur dengan gliserol berlebih pada kenaikan temperatur (220-240 0C atau 425-4400F) dengan melibatkan katalis alkali, biasanya berupa natrium atau kalsium hidroksida (0,1% berat minyak). Namun sebelumnya reaktan didehidrasi dahulu pada temperatur 220-240 0F selama 30 menit. Selama proses reaksi, campuran reaksi
tetap
dipertahankan
sampai
radikal
asam
lemak
trigliserida
didistribusikan kembali secara random diantara grup hidroksil gliserol yang tersedia. Reaksi dilakukan dengan pengadukan selama 30 sampai 60 menit. Campuran
reaksi
kesetimbangan
kemudian
dicapai
dan
didinginkan dengan pengadukan sampai kemudian
katalis
dideaktivasi
dengan
menambahkan suatu asam makanan (food acid), biasanya berupa asam fosfor (0,1%). Garam fosfat yang dihasilkan dari netralisasi katalis harus dikeluarkan dengan filtrasi. Gliserol berlebih akan dipisahkan, sebagai lapisan bawah selama pendinginan, secara parsial dengan dekantasi. Sedangkan gliserol yang tersisa dalam campuran reaksi dapat dikeluarkan melalui distilasi vakum yang sementara itu juga dilakukan steam stripping untuk mengurangi kandungan asam lemak bebas dan memindahkan material oksidasi yang menyebabkan rasa dan bau yang tidak diinginkan. Dengan proses ini menghasilkan monogliserida dan senyawa lain yaitu diasilgliserol, trigliserida dan gliserol bebas. Perbandingan monoasilgliserol terhadap diasilgliserol dapat dikendalikan dengan perbandingan relatif reaktan, temperatur, waktu, katalis, dan menggunakan stripping steam atau gas inert. Distribusi normalnya adalah 50% monogliserida, 40% digliserida dan 10% trigliserida; dimana sekitar 85% monogliserida teresterifikasi pada posisi alfa dari gliserida. Pada Gambar 2.6 berikut ini adalah rute reaksi yang merupakan salah satu contoh reaksi gliserolisis (produksi monogliserida dan digliserida) yang dilangsungkan dengan sistem batch.
23
Gambar II.6. Skema Reaksi Gliserolisis Sistem Batch (O'Brien, 1998) Reaksi gliserolisis trigliserida ini sudah dikenal sejak tahun 1946, dalam eksperimen yang dilakukan oleh Feuge dan Bailey. Dalam penelitiannya, campuran monogliserida, digliserida, dan trigliserida yang dibentuk dari reaksi gliserolisis minyak cottonseed yang telah dihidrogenasi dengan menggunakan
24
katalis alkali (natrium hidroksida). Pada temperatur 200 0C, pada kesetimbangan reaksi, dan pada rentang konsentrasi gliserol dimana produk reaksi homogen, proporsi dari gliserol bebas, mono-, di-, dan trigliserida membentuk suatu pola distribusi acak terhadap gugus OH yang teresterifikasi. Produk yang diproduksi pada temperatur diatas 200 0C mengandung gliserol tinggi tapi sedikit αmonogliserida. Hal ini mungkin terjadi karena produk mengalami polimerisasi, seperti contohnya di-asam digliserol. Suatu penelitian juga menyatakan bahwa komposisi produk reaksi yang mengandung gliserol dapat dikurangi dengan distilasi steam pada temperatur tinggi dan tekanan vakum (deodorisasi). Minyak yang digunakan adalah minyak cottonseed yang telah dihidrogenasi dengan nilai iodine 0,7. Berat molekul rata-rata dari trigliserida, dihitung dari nilai netralisasi dari asam lemak adalah 876,2. Perhitungan kandungan gliserol untuk tri-, di-, dan monogliserida adalah 10,51%, 14,98% dan 26,05%. Reaksi antara minyak dan gliserol berlangsung di dalam bejana gelas berpengaduk pada kondisi atmosferik hidrogen. Pada semua operasi menggunakan katalis NaOH sebesar 0,1% dari berat minyak yang digunakan. Kinetika reaksi gliserolisis ini dapat ditingkatkan dengan bantuan katalis basa lainnya (biasanya selain NaOH juga umum digunakan Ca(OH)2 dan CH3COOK) atau katalis asam. Katalis CH3COOK (kalium asetat) paling banyak
digunakan
karena
dapat
meminimalisasi
terjadinya
discoloration/timbulnya warna kemerahan pada produk akhir reaksi yang pada umumnya tidak dikehendaki. Sebelum penambahan katalis, biasanya minyak (reaktan) terlebih dahulu dikeringkan (didehidrasi) agar aktivitas katalis lebih balk. Campuran reaksi ini dipertahankan pada temperatur tinggi hingga radikal asam lemak dari trigliserida mengalami redistribusi dan berikatan secara acak dengan gugus-gugus hidroksil dari gliserol. Reaksi juga dilangsungkan pada atmosfer inert (dengan memasukkan gas N2 atau CO2) untuk meminimumkan perusakan warna. Campuran reaksi didinginkan setelah kesetimbangan tercapai dan katalis dideaktivasi dengan penambahan asam pangan, biasanya asam fosfat. Garam
25
fosfat yang dihasilkan dari proses deaktivasi katalis harus dipisahkan dengan filtrasi. Kelebihan (ekses) gliserol akan terpisah pada fasa yang terletak di bagian bawah campuran reaksi (pada proses pendinginan). Sebagian gliserol dapat dipisahkan dengan cara dekantasi. Gliserol yang masih tersisa dalam campuran reaksi dapat dipisahkan melalui destilasi vakum, bersamaan dengan itu juga dilakukan steam stripping untuk mereduksi kandungan asam lemak bebas dan memisahkan material pengoksidasi yang dapat merusak rasa dan bau. Reaksi gliserolisis menggunakan katalis baik asam maupun alkali basa berlangsung pada temperatur yang tinggi (200-240 0C). Hasilnya merupakan suatu campuran kasar dari mono dan diasilgliserol (secara kasar hampir sama) dan trigliserida yang tidak terkonversi (konversi keseluruhan adalah 90%). Produk yang dihasilkan mempunyai beberapa kekurangan seperti yield yang diperoleh sedikit, warna yang gelap/keruh. Proses pemisahan lebih lanjut biasanya dilakukan
dengan
distilasi
molekular
yang
menghasilkan
kemurnian
monoasilgliserol (> 90%). Oleh sebab itu perhatian banyak teralih kepada rute reaksi gliserolisis lemak menggunakan enzim lipase baik dengan melibatkan solven atau tidak. Selain biaya operasional menjadi mahal karena harga solven yang cukup mahal ditambah dengan penggunaan katalis. Selain itu masih harus dilakukan perlakuan khusus pada produk pada akhir reaksi. Untuk mencapai yield monogliserida yang tinggi pada temperatur rendah, sangat penting untuk menciptakan suatu lingkungan yang homogen dalam medium reaksi. Kemudian dalam perkembangannya telah dilakukan studi gliserolisis asam lemak untuk produksi monoasilgliserol dengan melibatkan solven. Hukum aksi massa dapat beroperasi dengan memuaskan jika kedua reaktan gliserol dan lemak dilarutkan dalam suatu solven yang sesuai selain itu reaksi dapat berlangsung pada temperatur yang lebih rendah. Produk yang diperoleh menghasilkan yield yang tinggi. Sehingga penggunaan co-solven sangat disarankan dalam banyak literatur. Namun demikian sangat sedikit solven yang dapat secara simultan larut
26
baik dalam lemak maupun gliserol. Literatur yang menggunakan metode yang menggunakan pyridine, 1,4-dioksan, kloroform, fenol, kresol, dan dimethyl formamadide, dll sebagai solven dengan menggunakan katalis asam atau alkali. Solven-solven tersebut bersifat toksik dan lebih lagi penggunaan katalis memerlukan tahap netralisasi. Sehingga akan lebih menguntungkan jika melakukan suatu reaksi dalam suatu solven yang memberikan kondisi lingkungan reaksi yang homogen dan pada saat yang sama sangat aman digunakan dalam menghasilkan monoasilgliserol dalam persiapan food grade. Pada penelitian yang dilakukan oleh Thengumpillil dkk. (2002), disebutkan bahwa esterfikasi asam laurat dan gliserol dapat dilakukan dengan melibatkan solven (asam laktat dan metil laktat) organik yang memenuhi standar food grade. Reaksi berlangsung pada temperatur lebih rendah (130-150 0C) dan tidak menggunakan katalis. Selektivitas proses dapat mencapai 98%. Persentasi yang kecil dari lactylated monoasilgliserol (5-20%) yang terkonversi selama reaksi berlangsung masih diperbolehkan dalam pengemulsi makanan. Aktivitas permukaan lactylated- monoasilgliserol yang tinggi memberikan superior secara fungsional terhadap produk itu sendiri. Sejauh ini penggunaan asam laktat dan alkil laktat sebagai solven pada rekasi tersebut belum pernah dilakukan (Thengumpillil dkk., 2002). Proses ini menghasilkan monogliserida dengan struktur yang telah tertata ulang dan gliserol bebas. Selektivitas reaksi ke arah produksi dapat dikontrol dengan pengaturan perbandingan komposisi reaktan, temperatur reaksi, waktu reaksi. Perbandingan reaktan asam lemak/gliserol adalah 1:1-1:10 (perbandingan mol), temperatur reaksi optimum berada dalam rentang antara 130-150°C, waktu reaksi optimum dalam rentang antara 3 - 6 jam, dan jumlah solven dalam rentang antara 5% - 20%-berat asam lemak dan gliserol dalam reaksi (Thengumpillil dkk., 2002). Namun penggunaan asam laurat sebagai bahan baku menyebabkan produk mempunyai tekstur padat dan kandungan, selain itu asam lemak yang terkandung dalam produk cukup besar (diatas 22%). Untuk lebih jelasnya, rute produksi monoasilgliserol yang dilakukan oleh Thengumpillil dkk. (2002) dapat dilihat pada gambar II.7.
27
Gambar II.7. Rute Produksi Monogliserida versi Thengumpillil dkk.,2002. II.4 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Gliserolisis Homogenitas reaktan merupakan hal utama yang tersulit dalam mencapai yield monoasilgliserol yang tinggi baik pada reaksi gliserolisis atau pada esterifikasi langsung dari asam lemak dengan gliserol adalah kurang memadainya derajat 28
homogenitas reaktan yang menghasilkan produk mono-diasilgliserida dan trigliserida. Sehingga banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan derajat homogenitas reaktan yaitu dengan pengadukan. Sementara usaha lain yang dilakukan adalah dengan menggunakan solven yang sesuai terhadap reaktan. Namun solven tersebut meskipun sesuai dengan karakteristik reaktan namu banyak tidak memenuhi standar food grade. Kadar air dan asam lemak bebas, trigliserida berupa minyak kelapa yang akan direaksikan mengandung kadar air dan asam lemak bebas. Apabila asam lemak bebas dan kandungan airnya tinggi maka kebutuhan katalis juga besar, sabun yang terbentuk juga banyak sehingga kekentalan campuran reaksi meningkat atau terbentuk gel. Hal ini akan menyulitkan dalam pemisahan gliserol. Kandungan air yang tinggi (melebihi 3%) akan menyebabkan perolehan gliserol berkurang karena air ikut mengkonsumsi katalis. Temperatur reaksi, peningkatan temperatur reaksi akan mempengaruhi tumbukantumbukan antar molekul reaktan. Peningkatan tumbukan yang terjadi antar molekul reaktan akan menyebabkan semakin besarnya konversi trigliserida menjadi produk selain itu juga peningkatan temperatur juga akan meningkatkan laju reaksi menuju keadaan setimbang. Perbandingan komposisi reaktan gliserol terhadap trigliserida, reaksi gliserolisis merupakan suatu reaksi kesetimbangan sehingga produk reaksi dapat ditingkatkan (reaksi dapat “digeser” ke arah produk) dengan menggunakan gliserol berlebih. Gliserol yang bersifat hidrofil tidak larut dalam lemak pada temperatur ruang, sehingga reaksi gliserolisis dilangsungkan pada temperatur tinggi untuk meningkatkan kelarutan gliserol di dalam lemak. Selain itu untuk meningkatkan selektifitas produksi monoasilgliserol daripada diasilgliserol melibatkan katalis alkali atau asam, dimana memerlukan tahap netralisasi. Sementara usaha lain yang dilakukan adalah dengan menggunakan solven yang sesuai terhadap reaktan, namun solven tersebut tidak memenuhi standar food grade. Sehingga perlu proses alternatif yang bebas katalis, sementara
29
pada saat yang sama ramah lingkungan dan menghasilkan yield monoasilgliserol yang tinggi. Waktu reaksi, untuk mencapai konversi yang mendekati sempurna, diperlukan waktu reaksi yang diperlukan reaktan dalam reaktor yang cukup. Waktu reaksi yang cukup dapat menyebabkan reaksi pada kondisi tunak, dimana konsentrasi bukan lagi merupakan fungsi dari waktu.
30