BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management), direferensikan sebagai perilaku tindak untuk rnengkoordinir berbagai stakeholder pada aktivitas yang sinergis.
Oleh karena itu,
mekanisrnenya harus dirurnuskan berdasarkan proses penelitian yang rnenyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap: keadaan surnberdaya alarn pesisir, kegiatan ekonorni, kebutuhan rnasyarakat wilayah pesisir, dan prioritas pengelolaan yang difokuskan pada outcomes yang paling baik dari berbagai skenario pengelolaan yang akan dilaksanakan di rnasa rnendatang, sehingga dapat berlangsung seara berkelanjutan (Clark, 1996; Dahuri et al. 1996 ; Rais, 2001). Berbagai kornponen yang harus dipadukan dalarn pengelolaan wilayah pesisir, agar rnencapai hasil yang optimal dan berkelanjutan, setidaknya rnencakup lirna aspek, yaitu: (1)
Keterpaduan wilayah (ekologis), (2)
Keterpaduan sektor, (3) Keterpaduan hierarki pernerintahan (nasional, propinsi, kabupatenlkota), (4) Keterpaduan disiplin ilrnu, dan (5)
Keterpaduan
stakeholder. Dari ke lirna aspek tersebut, keterpaduan stakeholder (pernerintah, swastalinvestor, lernbaga swadaya masyarakat, dan rnasyarakat pesisir) merupakan bagian yang sangat penting, karena masing-masing cenderung rnerniliki persepsi dan kepentingan yang berbeda-beda, sehingga seringkali
saling berebut pengaruh untuk menjaga eksistensinya masing-masing (Bengen, 2000).
Koordinasi keterpaduan sinergis ini sangat diperlukan, karena pernbangunan berkelanjutan di wilayah pesisir menghadapi kompleksitas fenomena, sebagai berikut: 1) Terdapat keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional, baik antara
ekosistem di dalam kawasan pesisir, maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas (up land), dan dengan lahan laut lepas.
2) Terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa lingkungan di kawasan
pesisir
yang
dapat
dikembangkan
untuk
kepentingan
pernbangunan. 3) Terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang merniliki keterampilan,
keahlian, kesenangan, dan bidang kerja secara berbeda. 4) Secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan secara monokultur (single
use) sangat rentan terhadap perubahan internal dan eksternal yang
rnengarah kepada kegagalan usaha (Bengen, 2000). Berbagai tahapan dapat dirumuskan untuk merealisir keterpaduan simultan pembangunan di wilayah pesisir, antara lain meliputi; pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan pengawasan (Sorensen and
Mc Creary dalam Dahuri et al, 1996). Kemudian prosedur dan pelaksanaannya, dievaluasi secara kontinyu sebagai landasan untuk merumuskan program berikutnya, agar berkelanjutan. Dengan demikian, perumusan program
dilakukan secara siklik, meliputi siklus rotasi program pengelolaan yang terdiri atas; identifikasi dan pengkajian isu, persiapan program, adopsi program secara formal, penyediaan dana, pelaksanaan program, dan evaluasi (Olsen et al, 1999). Konsep keterpaduan yang bersifat siklik tersebut, direalisasikan dalam tataran hierarkhis yang meliputi; tataran teknis, konsultatif, dan koordinasi (Lang dalam Dahuri et al. 1996). Kesinambungan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didasarkan pada prinsip normati, bahwa upaya pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tidak boleh mengganggu pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Oleh karena itu, kesinambungan pembangunan di kawasan pesisir, harus berpijak pada beberapa kriteria dan laju pemanfaatan sumberdaya, serta produksi limbah di kawasan pesisir tidak boleh melebihi kapasitas lingkungan pesisir dalam rnelakukan proses asirnilasi (Rustiadi, 2001). Mengacu pada beberapa pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management), memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut : 1) Mempunyai batas fisik (geografis) dari kawasan yang akan dikelola, baik
batas tegak lurus garis maupun yang sejajar dengan garis pantai.
2) Bertujuan untuk meminimalkan konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya, sehingga diperoleh keuntungan (benefit) secara optimal dan berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat pesisir.
3) Merupakan proses dinamis yang terus dievaluasi secara siklik, sehingga
selalu bermuara pada tahapan perbaikan program dalam jangka panjang yang berkelanjutan. 4) Diprogram berdasarkan karakteristik dan dinamika yang mencakup berbagai
keterkaitan antara komponen biofisik, sosial, ekonomi, hukum, dan budaya dengan melibatkan berbagai ahli berdasarkan spesialisasinya masingmasing. 5) Didekati secara interdisipliner dengan rnelibatkan berbagai stakeholders dan
masyarakat lokal secara partisipatif. 6) Dilakukan oleh suatu lembaga yang kapabel menangani pengelolaan kawasan pesisir, sehingga proses pertanggungjawaban dan implikasi pengembangan program lanjutan lebih dapat dipertanggungjawabkan (Dahur~eta/, 1996).
2.2
Pengelolaan Wilayah Sosiolinguistik Peagalaman
Pesisir
menunjukkan,
bahwa
Berdasarkan
Pendekatan
ketidakberhasilan
program
pengelolaan sumberdaya alam selama ini lebih banyak disebabkan oleh pendekatan yang kurang seimbang. Aktivitas pendekatan pengelolaan, lebih banyak ditekankan pada komponen fisik dan menornorduakan tema sosial. Padahal secara empiris, dinamika tema sosial lebih dominan dengan berbagai perubahan,
karena
melibatkan
kompleksitas perilaku
manusia,
yang
berakumulasi pada perubahan dan keseirnbangan alam (Widyaprakosa, 1994).
Pendekatan pada tema sosial, dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menjadi semakin penting, seiring dengan semakin berkembang dan terpusatnya lokasi industri di kawasan pesisir yang berimplikasi pada semakin dinamisnya pertambahan penduduk di kawasan pesisir dengan berbagai latar belakang perilakunya (Suprihalyono, 2000). Bersamaan dengan itu pula, pembanglinan wilayah pesisir secara terpadu juga dihadapkan pada berbagai dilema, seperti; kesadaran masyarakat yang masih relatif rendah, keterbatasan jumlah sumberdaya manusia yang terlatih dalam perencanaan dan pengelolaan, keterbatasan modal finansial yang diperlukannya untuk mengembangkan pemahaman akan nilai startegis wilayah pesisir (Lawrence. 1988). Berbagai upaya mengeieminer dilematika tersebut telah dilakukan. sebagaimana dinyatakan oleh Dahuri et a/. (1996), bahwa secara garis besar konsep pembangunan berkesinambungan untuk mengeleminasi tantangan dan hambatan harus berpijak pada empat demensi, yaitu : (1) Dimensi Ekologis, (2) Sosial Ekonomi, (3) Sosial Politik, (4) Hukum dan Kelembagaan. Beranjak dari kompleksitas fenomena di atas, untuk mencari solusi masalah-masalah pembangunan berkelanjutan pada bentanglahan wilayah pesisir yang disebabkan oleh manusia, maka pendekatan yang berorientasi pada tema sosial perlu diprioritaskan, dengan ruang lingkup yang menyangkut perilaku yang berkisar pada masalah hakiki sosial-budaya manusia dengan berbagai dimensinya (Savitri dan Khazali, 1999). Pemahaman secara lebih mendalam mengenai hakikat manusia, kebudayaan, beserta perilakunya dalam
setiap bentanglahan sangat esensial dijadikan sebagai dasar pengkajian pengelolaan, karena berbagai indikasi perilaku yang ditemukan dapat digunakan sebagai kerangka kerja pengelolaan sumberdaya di bentanglahan komunitas tersebut (Widyaprakosa, 1994). Dengan kata lain, perilaku sosialbudaya rnasyarakat pada suatu bentanglahan rnerupakan substansi abstrak yang harus d~perhatikandala~mperencanaan pengelolaan sumberdaya alam, derni
kepentingan kelestarian lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan
kepentingan generasi yang akan datang (Djayadiningrat, 1997). Dalarn sistern bentanglahan terdapat kurnpulan berbagai elemen yang saling berhubungan dan topografi merupakan unit pemetaan bentanglahan terkecil yang dapat digambarkan batasnya dalam peta (Mangunsukardjo, 1996). Topografi bentanglahan memiliki karakteristik tertentu yang stabilitasnya sangat ditentukan oleh interaksi berbagai peruntukkan dengan latar belakang tujuannya masing-rnasing (Sutikno dan Sunarto, 1996). Dengan dernikian, kondisi stabilitas bentanglahan topografi sangat ditentukan oleh perilaku karnunitas rnasyarakat yang tinggal dalam bentangruangnya. Hal ini terjadi, karena sikap dan persepsi komunitas terhadap bentang ruang
sangat
menentukan pola tindakan kornunitas itu dalam mengelola lingkungan. Demikian pula dengan bentanglahan topografi di kawasan pesisir, sebagai kawasan produktif, yang memiliki keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional, baik antara ekosistem di dalam kawasan pesisir, maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas (up land), dan dengan lahan laut lepas,
kondisinya sangat ditentukan oleh perilaku komunitas yang berada dalam bentangruangnya (Supriharyono, 2000). Oleh karena itu, pengkajian terhadap perilaku komunitas masyarakat pada setiap bentanglahan topografi di kawasan pesisir menjadi semakin urgen dilakukan. Secara ekologis, stabilitas bentangruang pesisir sangat ditentukan oleh karakter daerah aliran sur~gaiyang bermuara di pesisir itu (Bengen, 2000). Demikian pula dengan bentangruang daerah aliran sungai, stabilitasnya sangat ditentukan oleh karakter perilaku komunitas yang tinggal dalam bentangruang topografinya, baik yang di kawasan hulu, tengah, maupun hilir. Dengan demikian, pembahasan perilaku komunitas masyarakat, yang bernaung dalam bentangruang topografi daerah aliran sungai merupakan bagian yang sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
berbasis
masyarakat. Pengkajian mendasar yang beranjak dari bentangruang topografi sebagaimana pernyataan di atas, perlu difokuskan pada masalah mendasar yang berakar dari perilaku sosial-komunikasi komunitas setempat. Perilaku sosial-komunikasi merupakan kaidah esensial yang mengatur tata-interaksi sosial, dan merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. lnteraksi sosial antarkelompok manusia, dan antara kelompok manusia dengan lingkungannya yang berlaku di berbagai suku bangsa lazim menjadi tradisi yang melembaga, dan prosesnya didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain; faktor im~tasi,sugesti, identifikasi, dan simpati (Soekanto, 2000).
Salah
satu
perangkat
deteksi,
yang
dapat
gunakan
untuk
mengidentifikasikan deferensial etnis, beserta perilaku sosial-budaya dan sosial-komunikasinya
pada
bentanglahan
topografi
yang
stmktur
masyarakatnya sangat majemuk adalah dengan memjuk pada dialek yang digunakan sebagai alat interaksi unit komunitas. Berdasarkan ha1 tersebut, maka dialek yang berlaku dalam setiap bentangruang topografi atau dialek topografi merupakan komponen identitas yang dapat digunakan sebagai perangkat acuan untuk mengetahui karakter sikap, persepsi, dan perilaku unit komunitas itu pada suatu bentangmang. Dalam sistem semesta kebahasaan, dialek topografi merupakan komponen integral sosiolinguistik, dan secara esensial dialek topografi mengkaji variasi dialek dari lingkungan tutur bahasa yang lebih sempit daerah pakainya (Chambers, 1994). Berasaskan pada pengertian di atas, pendekatan sosiolinguistik dengan fokus pada komponen dialek topcqrafi dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, tidak hanya sekadar melibatan masyarakat lokal, tetapi melibatkan seluruh komunitas wilayah kehidupan sosial dengan identitas etnisitasnya yang berada pada bentang ruang lokasi penelitian sesuai dengan topografinya. Komunitas dialek dalam sudut pandang ini merujuk pada warga masyarakat setempat (communrty) yang berupa sebuah desa, kota, etnis atau kelompok etnis yang membentuk social relationship antara anggota suatu kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan dialek yang dipergunakannya.
Entitas dialek topografi ini adalah bagian rnasyarakat yang berternpat tinggal di suatu wilayah (dalam art; geografi) dengan batas-batas tertentu, dirnana faktor utama yang rnenjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya dengan derajad tertentu yang diliputi oleh sifatnya yang lokalis dan perasaan sosial seternpat (Soekanto, 2000). Masyarakat lokal secara ulnum dibatasi sebagai kornunitas dengan variasi identifikasi sebagai berikut; (1) rnerupakan keturunan penduduk asli suatu daerah, (2) sekelornpok orang yang rnernpunyai bahasa, tradisi, budaya, dan agarna yang berbeda dengan kelornpok yang dorninan, (3) selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonorni rnasyarakat, (4) keturunan masyarakat pernburu, nornadik, dan peladang berpindah, .(5) masyarakat dengan hubungan sosial yang rnenekankan pada kelornpok, pengarnbilan keputusan secara bersama dalarn pengelolaan surnberdaya alarn (During dalam Mitchell et al, 2000). Seiring dengan batasan tersebut, terminologi rnasyarakat lokal dari sudut pandang sosiolinguistik adalah suatu kelornpok masyarakat yang rnernandang dirinya sebagai suatu komunitas yang rnenggunakan sebuah bahasa dengan variasinya yang sarna (Halliday dalarn Suporno, 1976). Satuan dasar terrninologi ini adalah sistem variasi bahasa yang rnonolitik sebagai cerminan dari perilaku sosial-kornunikasi satu komunitas rnasyarakat. Jadi. dalam kornunitas ini terdapat individu-individu yang rnenggunakan bahasa dengan variasinya yang sama untuk rnengaktualisasikan diri dalarn jaringan
sistem sosial-komunikasi intra komunal (Suhardi dalam Masinambow dan Paul, 2002). Perilaku individu-individu yang membentuk social relationship yang diikat oleh satuan rnornolitik bahasa, dan komunitasnya tinggal dalam bentangruang tertentu inilah yang dijadikan sebagai acuan pengelolaan sumberdaya alam pesisir. Hal yang demikian, telah menjadikan sosiolinguistik sebagai basis pendekatan pengelolaan surntjerdaya alarn pesisir yang berorientasi pada masyarakat. Kriteria utama yang direpresentasikan untuk membedakan masyarakat dalarn terrninologi ini adalah pemakaian bahasa yang dituturkan dalam interaksi sosial-komunikasi pada situasi konkret sehari-hari (Appel dalam Suwito 1996). Dalam kondisi empiris, interaksi sosial-komunikasi yang intensif hanya terjadi intra kelornpok, dalam ragam leksis dialeWdialek topografi yang terbatas distribusinya pada penutur atau komunitas rnasyarakat yang sarna. Theodor
Frings
(1987)
rnenyatakan,
bahwa
penentuan ruang
pernukiman rnasyarakat bahasa, berdasarkan ciri-ciri histori dan budayanya dapat diasosiasikan untuk mengkaji perilaku sosial-kornunikasi kornunitas itu. Untuk itu, diperlukan bantuan teknis dari ilmu geografi, sejarah, sosial, etnologi yang pada dasarnya dari disiplin ilmu di sekelilingnya (dalam Suhardi et a/, 1995). Sebagai konsekuensi dari penentuan tersebut, lebih lanjut akan terdapat dimensi perilaku ruang bahasa dan perilaku ruang budaya, dirnana bagi Frings (1987). geografi ruang bahasa sama dengan geografi ruang budaya.
lrnplikasi pendekatan sosiolinguistik dalarn pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat adalah partisipasi masyarakat lokal. Dalam konteks ini, rnasyarakat pesisir perlu berbekal atau dibekali (kognis~)dengan pengetahuan tentang
lingkungan
biofisik
pesisir
beserta
berbagai
potensi
dan
perrnasalahannya yang berakar dari teradisi linguis sisosial-kornunikasi kornunitasnya. Langkah ini dirnaksudkan untuk rnenurnbuhkan rnotivasi internal, berupa persepsi yang benar, sikap yang positif, sehingga rnarnpu rnenirnbulkan karsa perilaku konstruktif kornunitas rnasyarakat pesisir, agar rnarnpu rnernbangkitkan kernauan kolektif untuk rnencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang potensial ditemukan di bentanglahan pesisir, oleh setiap kornunitas dialek sesuai dengan topografi kornunitas dialek dan bentangruang kewilayahannya.
2.3 Sosiolinguistik Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa dalarn hubungannya dengan
perilaku
rnasyarakat
(Hudson,
1973).
lstilah
sosiolinguistik
rnenunjukkan bahwa disiplin ilrnu tersebut intenlisipliner, terdiri atas bidang sosiologi dan linguistik. Kata Sosio adalah kornponen utarna dalarn penelitian, dan rnerupakan ciri urnum bidang ilrnu tersebut yang terfokus pada rnasyarakat, sedangkan linguistik dalarn ha1 ini juga berciri sosial, sebab bahasa juga berciri sosial. Hal ini terjadi, karena bahasa dan strukturnya hanya dapat berkernbang dalarn suatu rnasyarakat tertentu dan tarbatas hanya pada satu kornunitas rnasyarakat tertentu saja (Rochayah dan Misbach, 1995).
Dalam sosiolinguistik, bahasa tidak saja dipandang sebagai fenornena individual tetapi juga
merupakan fenomena sosial. Karena secara riil
rnasyarakat terdiri atas para individu, oleh karena itu, sosiolinguistik rnenempatkan individu secara proporsional dan representatif pada fokus perhatian, dan menjaga agar tidak kehilangan individu itu pada saat rnernbicarakan abstraksi dan gerakan ilrniah yany berskala lebih besar (Suwito, 1996) Secara sosiolinguistik, pengalaman individu penutur yang diwujudkan dalarn konsep guyub tutur, objek, dan perilakultindakan, tidak terlepas dari sikap yang pada dasarnya rnerupakan akumulasi dari ujaran-ujaran yang dihasilkan oleh para penutur individual lainnya, yang masing-masing bersifat unik, dan akumulasi tatanan sosiolinguistik kornunitas rnasyarakat terbentuk secara bersistern dari perilaku kebahasaan agragatif para penuturnya. Bersarnaan dengan itu pula, secara berangsur-angsur dan sinergis terbentuk taianan interaksi sosial dan kornunikasi rnasyarakat dengan berbagai konsekuensi dan dinarnika perilakunya (Kentjono, 1984). Tumpuan pendekatan dalarn sosiolinguistik adalah rnengamati perilaku rnasyarakat dari dalam, dengan rnengambil sudut pandang dari seorang anggota individu yang sedang berbicara dan rnendengarkan dan rnengarnati perilaku individu lain, sehingga mernungkinkan dirnulainya kerangka kerja analitis yang mempertautkan hubungan antara perilaku berbahasa dengan pernakaiannya dalarn rnasyarakat (Masinambow dan Paul, 2002). Kemudian
dalarn perkembangannya, eksistensi dan dinarnika yang terjadi dalarn sosiolinguistik tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik sernata. tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh signifikan terhadap pemakaian bahasa dalarn rnasyarakat, seperti faktor-faktor sosial dan situasional, serta histori spasial ternpat bahasa tersebut digunakan oleh penuturnya (Hudson, 1973).
2.4 Topografi Dialek (Dialect Topography) Dalarn kajian sosiolinguistik, terdapat komponen bahasan terkecil, narnun paling esensial, yaitu dialect topography. Dialect, yang disepadankan dengan logat rnengacu pada variasi bahasa berdasarkan pernakainya. Dengan dialek, setidaknya dapat diprediksikan secara deferensial, latar belakang siapa penuturnya; dari rnana penutumya berasal, baik secara geografis dalarn ha1 dialek regional, ataupun secara sosial dalarn kaitannya dengan dialek sosial. Hal tersebut dapat dilakukan, karena pada dasarnya dialek menyatakan ha1 yang sarna dengan cara yang berbeda, sehingga dialek cenderung berbeda bukan dalarn ha1 makna yang diungkapkan, tetapi dalarn ha1 pernyataan rnakna karena aspek variasi bahasa yang lain, seperti dalarn ha1 tata bahasa, kosa kata, fonologi, ataupun fonetiknya (Halliday dan Hasan. 1994). Ciri utama dialek rnenurut Meillet adalah perbedaan dalarn kesatuan dan kesatuan dalarn perbedaan (dalarn Ayatrohaedi, 1983). Selain itu, identifikasi ciri turunan dari sebuah dialek adalah; (i) rnerupakan seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang rnerniliki ciri urnurn, rnasing-
masing lebih mirip sesarnanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (ii) pengeidentifikasian sebuah dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah variasi bahasa (Ayatrohaedi, 1983). Perbedaan satu dialek dengan dialek lainnya, secara dominan terdapat pada bidang fonetik, fonemik, dan leksikon. Oleh karena itu, pengkajian tentang dialek bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang tertentu, sesuai dengan tujuan ~engkajiannya, misalnya bidang leksikon dari sudut pandang ilmu geografi, dengan bahasan pada leksis topografis atau dialect topography yang mengkaji dialek dari lingkungan tutur bahasa yang lebih sempit lagi daerah pakainya (Chambers, 1994). Dalam sebarannya yang sejajar dengan etnisitas yang berimplikasi pada adanya adat budaya, dialek mempunyai distribusi kewilayahannya masing-masing yang tersebar melalui populasi penuturnya pada suatu kawasan tertentu. (Halliday dan Ruqaiya, 1994). Distribusi kewilayahan yang memiliki karakter fisik yang unik pada suatu kawasan tertentu (termasuk di dalamnya bentuk lahan, vegetasi, dan tanah) di permukaan bumi yang keruangannya memiliki keterikatan dan ketergantungan fungsional lazim disebut topografi (Mangunsukardjo, 1996). Acuan topografi adalah permukaan bumi (earth surface) pada suatu kawasan tertentu yang keberadaan atau posisinya dapat dipetakan secara cermat dan terperinci (Gunawan, 2001).
Berdasarkan kedua pengertian di atas, secara kontekstual dapat dinyatakan, bahwa dialect topography adalah suatu kajisn yang mendalami variasi kebahasaan dalam satu komunitas masyarakat tertentu, yang pemakaian dan keberadaannya dapat dihubungkan dengan sikap, persepsi, dan perilaku komunitas pemakainya pada suatu bentang ruangl kawasan tertentu, termasuk kawasan pesisir. Kajian dialek atau dialektologi mencakup dua aspek, yaitu : (i) sinkronis (deskriptif); dan (ii) diakronis (historis) (Femandez, 1994; Mahsun, 1995). Oleh karena itu, penelitian geografi dialek yang di dalarnnya terdapat komponen partial topografi dialek, dapat menjangkau kajian sinkronis, yaitu pengkajian dialek pada bidang fonetislfonologi, rnorfologi, leksikon, sintaksis, dan semaotik yang analisisnya hanya untuk ilmu kebahasaan secara deskriptif (Mahsun, 1995). Anasir kebahasaan dialek topografi dari sisi sinkronis, setidaknya mencakup beberapa komponen pembahasan, seperti: Perbedaan fonetik, polimorf~smeatau alofonik, perbedaan Semantik, perbedaan Onomasiologis, dan
perbedaan
Semasiologis
(Ayatrohaecfi,
1979).
Keunikan
anasir
kebahasaan dari sisi sinkronis, secara eksplisit terutarna disebabkan oleh demensi spasial. Hal ini mengindikasikan, bahwa variasi dialek topografi dalam suatu bahasa mempunyai distribusi kewilayahannya masing-masing. Distribusi kewilayahan tersebut, berlandaskan pada adanya populasi penutur yang rnembentuk satu komunitas masyarakat yang terikat oleh norma-norma sistem
komunikasi dalam bentuk interaksi pada komunalnya. Oleh karena itu, pendekatan sosiolinguistik dalam suatu bentang ruang dapat disirnplifikasikan dari representasi etnik dan budaya pada suatu bentangruang dengan distribusi kewilayahannya (Gunawan, 2001). Sisi diakronis dialektologi menganalisis tentang penjelasan terhadap perbedaan-perbedaan yang ditemukan dalam unit dialek yang diteliti pada setiap kawasan (dialect topography), yang di dalamnya mencakup pengaruh dialek pada sikap, persepsi, dan perilaku yang terjadi pada komunitas masyarakat daerah pakainya terhadap fenomena kehidupan tertentu yang sifatnya nonlinguistik (Mahsun, 1995). Seiring dengan deskripsi di atas, kajian dialect topography dalam penelitian ini, secara interdisipliner diproyeksikan sebagai ruang acuan dalam mengidentifikasikan
komunitasnya,
pada
perilaku
keruangan
yang
merepresentasikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Oleh karena itu, diperlukan terminologi 'mediator' yang dapat rnenyublimasikan keduanya, sehingga korelasinya logis, operasional, dan dapat dipertanggungjawabkan konsistensi keterkaitannya. Bertolak dari keperluan dimaksud, maka batasan operasional (scope) penelitian ini, beranjak dari terminologi dalam ilmu lingkungan, yakni bioregion. Suratmo (2001) menyatakan, bahwa bioregion adalah satuan region atau area di mana terdapat living organism. Berdasarkan batasan tersebut, dapat ditentukan satuan area (region) topography dalam kajian ini, diprioritaskan pada
wilayah ecoregion yang rnemiliki keterkaitan fungsional dengan sistern ekologi kawasan pesisir dan laut, yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan pantai. Sedangkan kornponen bio-nya (dari kata biome artinya community of man and human) adalah rnasyarakat yang berdornisili pada kawasan pesisir dirnaksud, dengan berbagai dialek topografinya, baik di kawasan hulu, tengah rnaupun hil~r. Penentuan area (region) daerah aliran sungai (DAS), juga didasarkan pada fakta empiris, bahwa ekosistem daerah aliran sungai digunakan sebagai unit pengelolaan (management) yang terkait dengan pencemaran, sedimentasi, dan tata air yang secara langsung berkaitan erat dan menentukan stabilitas ekosistem wilayah pesisir (Suratmo, 2001). Dengan demikian, apabila tujuan pengelolaan kawasan adalah untuk konservasi sekumpulan komunitas di kawasan pesisir, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable) oleh rnanusia, serta untuk memecahkan akar perrnasalahan sosial ekologi yang bersurnber dari keterkaitan langsung antara surnberdaya alarn dengan perilaku komunitasnya, rnaka daerah aliran sungai merupakan unit pendekatan penelltian yang paling manageable. Hal ini urgen dilakukan, karena dalam dirnensi ekologi sosial, perilaku partisipasi kornunitas lokal pada unit bentanglahan yang diimplernentasikan melalui interaksi intrakornunal dalan bentuk sosial-komunikasi, rnerupakan penentu stabilitas wilayah "milik bersarnanya" itu (Suratmo, 2001).
Dari sisi linguistik, penelusuran akan adanya keterhubungan aspek bahasa dengan persepsi, sikap, dan perilaku kornunitasnya, pada berbagai fenornena alam dan kernanusiaan, disintesakan dari tradisi sastra klasik lisanltulisan yang berupa; prasasti, dongeng, legenda, dan mite, yang secara keselutuhan terhirnpun dalarn folklore (Fernandez, 1994). Folklore adalah cerita rakyat yang disebarluaskan, dan diwariskan dalarn bentuk lisanltulisan yang secara instrinsik berisi sandilajaran perilakuladat secara turun-ternurun (Jokodamono, 1979). Pengkajian unsur ekstrinsik folklore dalarn tradisi sastra lisan, direpresentasikan untuk menganalisis kesemestaan perilaku sosial-kornunikaai, antara rnanusia dengan berbagai fenornena alarn dan kernanusiaan, yang. di dalarnnya terdapat
berbagai
peristiwa
irnajiner
yang
mengindikasikan
"hubungan" antarrnereka (Surnardjo, 1979). Makna yang rnenyelubungi folklore selalu berkait erat dengan konteks, sebuah agregasi di rnana berbagai riwayat masa ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan sosialnya, yang di dalamnya harus rnewadahi puia kebutuhan personal setiap individu yang diacu oleh rnakna dari bahasa yang dipakainya. Keberadaan bahasa dalarn konteks ini tidak sarna sekali tidak berrnakna, atau dalarn bahasa lain bukan tidak rnerniliki acuan pada konteks hidup sosial. Hal ini terjadi, karena fenomena sikap individuallpribadi pujangga yang juga sebagai rnakhluk sosial pada zarnannya, di rnana setiap saat berhadapan dengan beragam wacana tentang dunia sosial (discourse of social) di setiap rnasyarakat yang juga beragarn asal usul historis, sosial,
metode pengaturan, dan kontrolnya yang juga beragam. Hal ini dapat dicermati pada beragamnya sikap masyarakat terhadap berbagai wacana sosial, yang berbeda antara satu dengan lainnya, tergantung pada konteks kepentingan, serta diatur sistem nilai dan ideologi yang melatarinya (Sukatno, 2002). Sisi diakronis inilah yang rnenjadi fokus kajian penelitian ini dengan orientasi pada perilaku kebahasaan yang identik dengan representasi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Pada sisi sosial-komunikasi, wilayah kenrangan dialek topografi dapat diidentikkan dengan kawasan kelompok etnik (ethnic group) dan budaya tertentu. Pengidentikkan tersebut, didasarkan atas realitas, bahwa kelornpok etnik memiliki kategori pernbeda, dengan karakter budayanya, sebagai berikut; (1) Adanya komunikasi antara sesama mereka dengan bahasa atau dialek
yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara mereka, (2)Adanya pola-pola sosial kebudayaan yang rnenumbuhkan perilaku yang dinilai sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat yang dihormati bersama, (3) Adanya perasaan kzterikatan antara satu dengan yang la~nnyasebagai
cuatu kelompok, dan yang menimbulkan rasa kebersarnaan di antara mereka, (4)Adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalarn kelompok ash, terutama dalam rnenghadapi kelompok lain pada berbagai kejadian sosial kebudayaan, dan;
(5)Adanya
perasaan
keterikatan dalarn
kelompok
karena
hubungan
kekerabatan, genealogis, dan ikatan kesadaran teritorial di antara mereka (Mattulada, 1989). Dalarn kaitannya dengan masyarakat pesisir, sebagai komunitas yang hidup bersarna dalam suatu kawasan dengan kompetisi perebutan surnberdaya sangat minim, dan sating ketergantungan yang sangat kecil, sehingga struktur sosialnya cenderung
adaptif dan
stabil.
Meskipun demikian, dalarn
kompleksitas perilaku polietnis di kawasan pesisir, juga memiliki karakter budaya khas. Menurut Amien (1997), kornunitas etnis pesisir memiliki struktur kemasyarakatan dengan ciri budayanya, sebagai berikut: ( 1 ) Masyarakat
Pesisir Tradisional,
yaitu
kelornpok
masyarakat
yapg
rnelaksanakan upaya bercocok tanam dengan sangat sederhana. Tanaman pokok berupa keladi dan ubi jalar yang dikornbinasikan dengan berburu, rnenangkap ikan, dan rneramu sagu. Umurnnya merupakan rnasyarakat dengan kegiatan dorninan sebagai 'pengumpul bahan rnakanan' (fc~od gathering). Aiat tangkap dan alat berburu sangat sederhana dan pasif,
seperti bubu, belat, pancing yang dipergunakan di tempat tertentu, dan hanya rnenunggu ikan yang datang. Campur tangan kornunitas ini dalarn proses produksi biologis binatang dan turnbuhan harnpir tidak ada, kecuali perlindungan kolektif melalui nilailnorma dan adaffkepercayaan. Ciri lain komunitas ini, diantaranya adalah belumltidak mengenal cara bertanarn padi; bentuk dasar kernasyarakatan rnerupakan desa terpencil dengan
sarana transportasi dan komunikasi yang sangat tidak memadai; pengaruh dunia luar masih sangat minim. Kornunitas masyarakat pesisir kategori ini dijumpai di Pantai Utara lrian Jaya dan pantai Kepulauan Mentawai. (2) Masyarakat Pesisir Desa, yaitu komunitas masyarakat yang usaha pokok
kelompoknya berupa usaha tani lahan kering, dan atau sawah, nelayan, dan atau petambak. Berbagai usaha, khususnya usaha tani tanarnan, ternak, ikan, umumnya merupakan usaha skala kecil tetapi ada pula yang telah berkembang menjadi usaha yang berskala sedang dan telah bersifat komersial. Alat dan cara yang digunakan dalam berbagai usaha (usaha tanilternakl pemeliharaan ikanl penangkapan ikan di laut, pelayaran niaga, dan transportasi) walaupun umurnnya rnasih bersifat tradisional, tet.api memiliki kecenderungan dalam peningkatan pemanfaatan teknologi modem, baik berupa peralatan maupun teknologi, ataupun manajemennya. Karakteristik kelompok masyarakat ini, antara lain usaha tani (tanaman dan hewan) belum dilakukan secara intensif, namun campur tangan dalam proses produksi biologi tanarnanltemaklikan, dan
pengorganisasian
produksi dan pemasaran sudah ada yang dilakukan secara intensif atau semaitin intensif. Bentuk dasar kemasyarakatan adalah komunitas petani dengan sarana dan prasarana yang belum memadai; telah menerima pengaruh luar dari masa lampau, seperti kebudayaan Hindu, Nasrani, dan Islam. Komunitas tersebut dapat diternukan pada masyarakat di Pantai Pulau Nias Sumatra Utara (Batak), Kalimantan Tengah (Dayak), Sulawesi
Utara (Minahasa), Flores, Ambon, Aceh, Sumatra Barat (Minangkabau), Sulawesi Selatan (Bugis-Makasar), Bali, Jawa Barat (Sunda) Pantai Pulau Jawa Tengah dan Timur (Jawa). (3) Masyarakat Pesisir Kota. Umumnya komunitas ini memiliki kegiatan yang
tidak terkait langsung dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, tetapi lebih dominan pada usaha di sektor modern, seperti jasa pemerintahan, perdagangan dan industri. Berdasarkan tingkat evolusinya pemukiman kornunitas rnasyarakat ini dibedakan menurut 2 subkategori, yaitu : (i) Masyarakat pesisir kota pemerintahan, memiliki ciri berupa kegiatan penduduk banyak berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan pemerintahan. Kegiatan perdagangan dan industri belurn berkembang secara optimal. Komunitas masyarakat subkategori ini umurnnya berada di semua kota kecil yang terletak di bibir pantai, seperti Banda Aceh, Sigli, Cirebon, Brebes dan sebagainya yang keseluruhannya tidak kurang dari 45 kota. (ii) Masyarakat pesisir kota perdagangan dan industri, dengan ciri selain sebagai pusat administrasi pemerintahan, kegiatan perekonomian mulai didorninasi oleh aktivitas perdagangan dan industri. Komunitas ini dapat ditemukan di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, serta Makasar. Dialek topografi ditinjau dari sisi budaya, dikategorikan sebagai jenis pengetahuan nonkultural yang sama-sama dimiliki. Kriteria tersebut didasarkan
atas perspekti, bahwa budaya adalah jenis pengetahuan yang kita pelajari dari orang lain, baik melalui pengajaran langsung atau dengan memperhatikan perilaku rnereka. Pada persepsi ini, pengetahuan dibedakan atas dua jenis, yaitu; pengetahuan nonkultural yang sama-sama dimiliki, dan pengetahuan nonkultural yang tidak sama-sama dimiliki (Edwards, 1989). Tentunya, jenis yang sarna-sama dirniliki relevan bagi dialect topography. Analogi ini didasarkan atas realitas, bahwa dialect topography selalu berkaitan dengan konsep-konsep yang sama-sama dimiliki secara komunal pada suatu tatanan komunitas masyarakat di area (region) tertentu, atau dipercayai sarna-sama dimiliki secara komunal sebagai sarana berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dalam satu kelompok etnik (ethnic group) tertentu. Karena eksistensinya yang demikian, dialect topography dapat juga dipersepsikan sebagai salah satu perangkat pembeda komunitas etnik, sebagairnana proxy indicator yang dinyatakan oleh Gunawan (2001), bahwa (i) perbedaan bahasa rnenunjukkan perbedaan etnis, (ii) penggunaan suatu bahasa daerah menunjukkan homeenitas etnis, dan (iii) kesamaan bahasa yang dipakai (misalnya bahasa nasional) mengindikasikan tingkat hiterogenitas etnis. Wujud pembeda tersebut, secara teritori dalam ilmu geografi diwujudkan dalam kontinum (line polygon) kata atau isoglos, yakni garis yang memisahkan dua lingkungan dialect topography berdasarkan wujud atau sistern kedua lingkungan itu yang berbeda. Dalam kajian dialektologi, bentuk konkret dari setiap isoglos penyebaran subsistem variasi bahasa atau dialek, lazim
didelineasikan dalam peta bahasa, dengan organ detailnya berupa dialect topography yang didalamnya terdapat kelompok
masyarakat penutur yang
identik dengan kelompok etnis dan budaya tertentu (Chambers, 1994). Konteks di atas menunjukkan betapa pentingnya mengkaji manusia dari sisi bahasanya, sebagaimana pendapat Halliday (1973), karena manusia didefinisikan sebagai makhluk sosial oleh sekelilingnya yang terdiri atas kategori sosial, maka sangat perlu mempelajari makhluk sosial ini melalui bahasanya (dalam Suhardi, et a1 1995). Dalam ha1 ini, termasuk juga leksis topografi atau dialect topography dalam bentang ruang community ekologi wilayah pesisir. Dengan demikian, pengkajian sosiolinguistik dari sisi interdisipliner akan memiliki kecenderungan yang multiperspektif, dengan kecenderungan kajian yang semakin meluas, sesuai dengan fenomena semakin meluasnya perbendaharaan perhatian manusia terhadap berbagai segi kehidupan dengan tingkatan intensitasnya. Gejala multiperspektif tersebut, disinyalir oleh Suwito (1996). yang menyatakan bahwa sosiolinguistik sebagai ilmu yang sifatnya interdisipliner mempunyai jangkauan yang sangat luas, termasuk menangani masalah-masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu lain di luar bidang kebahasaan. Dalam ha1 ini, sosiolinguistik harus memperhatikan perkembangan bahasa sebagai akibat dari dinamika perkembangan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan pada umumnya.
Peran sosiolinguistik sebagai sarana bantu untuk turut rnencari solusi rnasalah-masalah kebahasan dalarn hubungannya dengan rnasalah-masalah di luar kebahasaan merupakan ciri utarna dari sosiolinguistik terapan. Narnun dernikian, tataran pengkajian dalam sosiolinguistik terapan haws beranjak dari fenomena parsial dialect topography karena bentang ruangnya yang lebih sernpit, sekaligus merupakan komponen terkecil masyarakat bahasa dengan berbagai fenornena dan dinarnika kemanusiannya.
2.5 Kegiatan Ekonomi Masyarakat Pesisir Kawasan pesisir rnerniliki potensi sumberdaya yang berlirnpah, terdiri atas (i) sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (ii) surnberdaya yang tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (iii) jasa-jasa lingkungan (environmental sewices) (Dahuri et al, 1996), sehingga keberadaannya mengundang berbagai aktivitas ekonorni, baik yang terkait langsung, maupun tidak langsung dengan potensi surnberdaya tersebut. Karakter unik akibat keberadaan berbagai barang sumberdaya tersebut, rnenjadikan kawasan pesisir sebagai wilayah penyedia barang-barang sumberdaya. Arnien (1997), rnengklasifikasikan aktivitas perekonomian rnasyarakat pesisir rnenjadi dua bagian, yaitu; (i) First-generation activities (ii) Second atau third-generation activities. Pengklasifikasian tersebut menyebabkan adanya keberagaman dalam kegiatan ekonomi rnasyarakat di wilayah pesisir, namun aktivitas dirnaksud dapat dipilah rnenjadi 4 (ernpat) kelornpok kegiatan, yaitu: (1) Kegiatan Ekstraktif, (2) Kegiatan Budidaya, (3) Kegiatan Industri, (4)
Kegiatan Jasa lingkungan pesisir termasuk deriveddemand (permintaan turunan).
2.6 Sistem lnfomasi Geografi Sistem lnformasi Geografi adalah Sistem teknologi yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsideskripsi lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang ditemukan di lokasi tersebut (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2001). Cara kerja sistem informasi geografi mangacu pada sistem referensi spasial, yang dipakai untuk proses analisis dan proses memanipulasi berbagai macam data. Sehingga dengan demikian, analisis dan penyajian data keruangan dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat akurasi yang tinggi. Sebagai perangkat sistem teknologi berbasis komputer, sistem informasi geografi memiliki beberapa subsistem yang saling terkait (Prahasta, 2001). yaitu : Data Input : perangkat subsistem ini berfungsi untuk mengumpulkan dan mernpersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsis!em ini pula yang berfungsi dalam mengkonversi atau mentransformasikan formatformat data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh sistem inforrnasi geografi.
Data Output : Subsistem ini berfungsi menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagaian basis data, baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, seperti; tabel, grafik, peta, dan lain-lain Data Management : Subsistem ini berfungsi mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa, sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit. Data Manipulation dan Analysis : Subsistem ini berfungsi menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh sistem informasi geografi. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Subsistem di atas dapat digambarkan dengan pola sebagai berikut: Gambar 2.1: Uraian Subsistem Dalam Sistem lnformasi Geografi
DATA INPUT
DATA MANAGEMENT & MANIPULATION
Tahel
OUTPUT Penek. la~ane -* Data digital lain
Peta (tematik, tonomafi. dll)
-*
--, Informas i digital
(sofico-
(Prahasta, 2001)
Data input merupakan kornponen terpenting dalarn sistern infornasi geografi, karena kehandalan pengelolaan informasi yang dihasilkan akan sangat bergantung dari data rnasukannya, sehingga dalarn sistern infornasi geografi dikenal istilah garbage in garbage out artinya kualitas data yang buruk akan menghasilkan inforrnasi yang buruk pula. Oleh karena itu, sebelum dianalisis dengan sistem informasi geografi, data yang ada perlu didesain, dikelola seefisien mungkin, dan disesuaikan dengan implernentasi sistem infornasi geografi yang digunakan. Diprediksikan lebih dari 80% upaya dibutuhkan untuk rnembangun basis data sebelurn digunakan (Pheny et a/, 1992 dalarn Dahuri, 1996). Surnber data dalarn teknologi sistern inforrnasi geografi, diklasifikasikan rnenjadi dua jenis, yaitu; (1) data spasiallkeruangan yang berupa peta digital, dan (2) data base1 atribut yang berasal dari berbagai sumber. Kedua data tersebut saling terkait dan saling rnendukung. Data spasial rnengacu kepada ruang suatu wilayah geografi tertentu, di mana lokasi itu berada di permukaan bumi (koordinat lintang dan bujurj atau jenis data yang rnerepresentasikan aspek-aspek kenrangan dari fenornena yang bersangkutan. lnformasi spasial bisa juga diartikan sebagai georeferensi yang bentuk penyajiannya berupa peta (Suharto, 1990). Data spasial dalarn sistern inforrnasi geografi, dapat berupa: (i) titik (point) yang rnereperesentasikan substansi geografis yang sangat kecil, seperti; lokasi ibu kota, gunung, titik ketinggian, dan lain-lain. (ii) rona garis (line feature) yang merepresentasikan substansi yang tidak rnemiliki dirnensi luasan,
seperti; jalan, garis batas adrninistrasi, sungai, garis kontur, dan lain-lain. (iii) rona area (area feature) yang merepresentasikan substansi geografis yang rnemiliki luasan yang berupa poligon, seperti; danau, daerah pemukirnan, dan sebagainya. Data spasial dapat bertipe vektor atau raster. Pada tipe vektor entitas geografik seperti titik, garis, dan polygon ditujukkan dengan koordinat X Y, sedangkan pada tipe raster tampilan geografis diwujudkan sebagai unit area yang teputus-putus (diskret) seperti grid (sebagai pixel = satuan homogen terkecil) atau segitiga dan heksagonal yang tidak beraturan. Struktur data raster lebih sederhana bila dibandingkan dengan struktur data vektor, oleh karena itu, data raster lebih rnudah untuk di-overlay-kan bila dibandingkan dengan data vektor. Data atribut atau non-spasial merupakan karakteristik atau deskripsi dari fenornena yang dimodelkan entitas lokasi tersebut (Prahasta, 2001). Fungsi data atribut adalah melengkapi keterangan dari data spasial, baik dalarn bentuk statistik maupun dalam bentuk deskriptif. Data atribut rnenurut Nurwadjedi (1996), dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : Barang dan daftar dalam bentuk list, formatnya berupa kode alfabetik dan nurnerik. Laporan lengkap, formatnya berupa kata, kalimat, dan keterangan lain. Keterangan garnbar, forrnatnya berupa angka, keterangan, dan simbol
Keunggulan sistern inforrnasi geografi terletak pada data base atau atributnya, dalam pengertian bahwa semakin banyak data yang disimpan pada data base berarti sernakin banyak pula inforrnasi yang dapat ditarnpilkan secara spasial. Dengan kata lain, dapat dinyatakan, bahwa sistern informasi geografi tidak punya rnakna apapun tanpa adanya data base atau data atribut. Maguire (1991), rnengidentifikasikan bahwa fungsi utarna slstern informasi geografi adalah sebagai perangkat pengumpulan, pernbaharuan, dan perbaikan data; penyirnpanan dan strukturisasi data, generalisasi data, transformasi data, pencarian data, analisis data, dan presentasi hasil analisis. Multi fungsi tersebut secara urnurn dikemas dalarn perangkat Sistern lnformasi Geografi. Dua fungsi utarna yang dapat diternukan dalarn perangkat Sistern lnformasi Geografi (Chrisrnan,1996), yaitu: 1)
Kernampuan rnencari data (Query). Query data dimaksudkan untuk rnenghubungkan antara data spasial dengan data atribut. Fungsi Query pada data spasial adalah pencari datdlokasi dan overlay beberapz Deta. Pencarian lokasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. seperti daerah penyangga (buffer), dan informasi yang terdapat dalarn wilayah daerah penyangga tersebut.
2)
Analisis. Berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan sistem inforrnasi geografi, antara lain :
(a) Operasi titik (point operation) yaitu tipe analisis dengan memasukkan beberapa formula aljabar dan overlay beberapa layer data. (b) Operasi tetangga (Neighbouhood operation) yaitu tipe analisis yang menghubungkan titik pada suatu lokasi di perrnukaan bumi dengan informasi atributnya, dengan lingkungan sekitarnya. Operasi ini biasanya digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan dengan kriteria
tertentu
yang
digunakan
untuk
berbagai
kepentingan
pernbangunan.
(c) Analisis Jaringan (Network analisis) yaitu tipe analsisis yang menghubungkan beberapa tarnpilan data (feature) berupa garis. Aplikasi analisis jaringan biasanya digunakan untuk menentukan jalan dengan jarak terdekat di antara dua kota. Idealnya, sistem informasi geografis dapat mengakomodasi kondisi khusus dan kornpleks, khususnya dalam pernetakan tema sosial di wilayah pesisir. Sebagaimana ilustrasi dan uraian di atas, aplikasi sistern informasi geografi yang berbasis sosiolinguistik dapat dikaji untuk didelineasikan. Optimistis ini didasarkan atas
beberapa kerangka pemikiran, bshwa
masyarakat bahasa yang mengaktualisasikan d~ridalarn bentuk kelompok penutur, secara parsial terkelompok dalam komunitas masyarakat yang terhampar pada satu unit posisi geografis (topograti) yang dapat didelineasi posisinya.
Sehubungan dengan ha1 tersebut, penelitian dialek topografi bahasa Lampung yang telah banyak dilakukan oleh linguis lokal, dapat dimanfaatkan untuk basis data dalam sistem informasi geografi, yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan faktor-faktor non linguistik, seperti perilaku keruangan komunitas penutur terhadap sumberdaya alam sebagaimana fokus dalam penelitian ini. Muara kajian dengan perangkat sistem informasi geografi ini, pada akhimya dapat memadukan secara simultan proyeksi program pembangunan pesisir dengan menyublimasikan kecenderungan sikap dan persepsi yang muncul pada komunitas masyarakat penutur setiap dialek topografi yang lebih dominan. Dengan demikian, tanpa upaya sosialisasi yang intensifpun, alternatif yang diputuskan untuk merealisir program pembanguoan akan berjalan di kawasan tersebut, karena keputusan yang diambil sudah menjadi perhatian yang mengakar dengan perilaku komunitas setempat. Untuk itu, diperlukan kemampuan pendelineasian batas ruangan secara cermat, untuk menentukan daerahlkawasan pakai setiap dialek topografi bahasa Lampung dengan perbatasannya (boundary) masing-masing. Kemudian, untuk menyederhanakan research, dalam upaya mencapai representasi
keterwakilan
perilaku
populasi,
maka
penentuan lokasi
pengamatan menjadi sangat urgen untuk ditentukan. Untuk itu, kawasan pantai dan Daerah Aliran Sungai (selanjutnya disingkat DAS) menjadi prioritas alternatif penentuan setiap stasiun pengamatan.
Perlakuan tersebut
didasarkan pada pandangan, bahwa dalam perspektif pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu, kawasan pantai dan DAS merupakan sistem ekoregion yang mempunyai keterkaitan fungsional dengan wilayah pesisir (Bengen, 2000). Keterkaitan fungsional kawasan pantai dan DAS, dalam menunjang
stabilitas ekologi sangat ditentukan oleh sikap, persepsi, dan perilaku komunitas dialek yang bernaung di bentang ruangnya. Dengan demikian, penentuan teritori penelitian dengan fokus pada perilaku keruangan komunitas pada bentang ruangnya tersebut, merupakan kajian simultan karena keberadaan keduanya saling memiliki ketergantungan (intenlependency). Secara kontemporer ha1 yang demikian dapat disimplifikasikan dalam peragkat sistem inforrnasi geografi.
2.7 Dialect Topography dan Budaya Masyarakat Lampung Topografi Propinsi Lampung sangat bervariasi, pada bagian barat dan selatan, merupakan kawasan pegunungan dari gugus Bukit Barisan, sedangkan pada bagian tengah, utara, dan timur, merupakan kawasan dataran rendah (BPS Lampung. 1999). Sebagai konsekuensi dari topografi wilayah yang bervariasi tersebut, dari sisi sosiologi berdampak pada keberadaan kelompok-kelompok masyarakat dengan karakter perilaku komunalnya yang khas. Kekhasan kelompok yang terjadi pada komunitas masyarakat Lampung secara eksplisit diwujudkan dengan terbentuknya susunan marga-marga teriforial berdasarkan keturunan kerabat dengan penentuan batas-batas kewilayahannya masing-masing (Sitorus dan Hamilton, 1996). Pemerintahan
Belanda
pada
tahun
1928,
menetapkan marga
temtorial-genealogis
masyarakat di Karesidenan Lampung termasuk Bengkulu, menjadi 84 (delapan puluh empat) marga, 13 (tiga belas) macam adat, dan 2 (dua) kelompok subdialek (Hadikusuma et a/, 1996). Ketiga belas subdialek tersebut, diklasifikasikan ke dalam dua ragam dialek, yaitu Dialek Abung dan Dialek Pesisir, dengan deskripsi dan sebarannya masing-masing sebagai berikut (Eliana et a/, 1983):
2.7.1 Dialek Abung Ragam Dialek Abung adalah ragam dialek topografi yang ditandai dengan dominasi fonem 101 pada akhir setiap kata (morfem bebas). Bahasa Lampung ragam Dialek 0 disebut juga sebagai Dialek Nyou 'logat apa: Dialek Abung (0) terdiri atas 6 subdialek yaitu : Subdialek Abung, Sungkai, Tulang Bawang, Kota Bumi, Jabung, Menggala (Aliana et a/, 1983; Udin et al, 1992).
2.7.2 Dialek Pesisir Dialek Pesisir adalah ragam dialek yang ditandai dengan dominasi fonem la1 pada akhir setiap kata (morfem bebas). Bahasa Lampung ragam dialek A disebut juga sebagai dialek Api', terdiri atas 7 subdialek topogrfi, yaitu: Subdialek Krui, Way Lima, Kota Agung, Talang Padang, Kalianda, Pubian, dan Melinting (Aliana et a/, 1983). Analisis dialektometri yang diidentifikasikan oleh Aliana et a1 (1996), untuk mengkaji besaran persentase perbedaan, persamaan, dan variasi dialek
dalarn kornunitas linguistik dialek topografi bahasa Larnpung rnenyimpulkan, bahwa
subdialek
Jabung.
Abung,
serta
Menggala
besaran
nilai
dialektornetrinya berdekatan. Hal ini rnengindikasikan klen rnasyarakat bahasa yang rnerniliki kedekatan kekerabatan kebahasaan. Sernentara besaran nilai yang rentangannya paling jauh, adalah antara subdialek Jabung dengan Talang Padang, besaran rentangan di antara keduanya terpaut sebesar 35%. Hal in1 rnengindikasikan bahwa kedua rnasyarakat bahasa kedua topografi dialek tersebut, secara sinkronis rnenunjukkan perbedaan subdialek yang signifikan. Jurnlah kornunitas penutur asli setiap topografi dialek bahasa Larnpung sarnpai pada tahun 1996 rnasih sulit dipastikan, narnun berdasarkan perkiraan, bahwa kornunitas rnasyarakat Larnpung diperkirakan hanya rnencapai 25% dari jurnlah total penduduk Propinsi Larnpung, rnaka berdasarkan kuantitas tersebut rnaksirnal penutur asli
bahasa Larnpung dengan berbagai subdialek
topografinya diperkirakan juga hanya rnencapai 25% dari jurnlah penduduk Larnpung tersebut (Aliana, 1983). Dalarn kornunitas rnasyarakat Larnpung, dikenal adanya tiga belas rnacarn adat yang terhirnpun dalarn dua kornunitas adat dorninan, yaitu: Kornunitas Masyarakat Beradat Papadun dan Kornunitas Masyarakat Beradat Perninggir (Hadikusurna et a/, 1996). Pada rnasyarakat beradat Papadun, suku rnerupakan gabungan sejurnlah keluarga luas (cangk,) yang rnasih saling rnengenal dan rnenyadari bahwa mereka berasal dari satu nenek rnoyang. Anggota klen kecil ini dipirnpin oleh penyimbang suku. Gabungan beberapa
klen kecil mernbentuk kebuayan, dirnana anggotanya sudah sangat banyak sehingga rnungkin tidak lagi saling rnengenal. Dalam kelornpok beradat Papadun setiap bilik atau kelompok menyanak dipirnpin oleh seorang punyimbang suku. Setiap tiyuh (karnpung) dipimpin oleh seorang punyimbang bum;, setiap rnarga dipirnpin oleh seorang punyimbang marga. Setiap kepemimpinan itu mernbentuk pula dewandewannya sendiri. Setiap kampung rnerniliki pula lahan pertanian kaum yang mereka sebut ubul (Hidayah, 1996) Pada rnasyarakat beradat Peminggir pengelornpokan kekerabatan dalarn satu kampung (pekon) mernbentuk sebuah klen kecil yang disebut sebatin. Kelompok ini terbentuk atas dasar keturunan atau perkawinan, dirnana dalarn setiap pekon biasanya terdapat satu kelornpok sebatin. Setiap karnpung dipirnpin oleh seorang batin (bandar), selain itu, setiap kampung selalu terdapat sebuah masjid dan sebuah balai adat yang rnereka sebut sesat. Keluarga inti oleh orang Lampung disebut Segayoh atau Gayohsai (satu per~uk) yang biasanya berdiam bersarna-sarna dalam sebuah keluarga batih patrilineal Dalam setiap sistem kernasyarakatan, sebagairnana realitas histori komunitas rnasyarakat Larnpung tersebut, dipastikan terdapat interaksi sosial yang terjadi secara intens, yang berupa hubungan antarpribadi, antarkelompok, maupun antarpribadi dengan kelornpok, dan sebaliknya (Soekanto, 2000). Fenomea ini, secara episternologis dapat dipersepsikan rnerupakan embriyo muncul dan berkernbangnya dialect topography dalam setiap temloriaC
genealogis untuk menandai identitas kornunitas dan budayanya. Kernunculan dialect topography pada lingkup ini sekaligus merupakan kriteria yang rnengindikasikan adanya sikap linguistik bersarna suatu kelompok sosial masyarakat secara spasial di Lampung, sebagai akibat dari variasi sosialkornunikasi yang disebabkan keberadaan bentanglahan yang dipertegas oleh tenitorial-genealogis. Secara faktual dialect topography juga rnerupakan watas keanggotaan kelompok kornunitas masyarakat bahasa, yang rnernbedakan individu anggotanya dari kelompok lain. lrnplikasi perilaku kebahasaan dalarn bentuk interaksi sosial yang rnuncul dari fenomena kemasyarakatan ini penting untuk dideskripsikan. Fenomena tersebut, dapat diasumsikan untuk rnernprediksikan rnunculnya sikap, persepsi, dan perilaku dari penutur setiap dialek topografi di setiap kawasan lingkungan daerah pakainya masing-masing. Melalui kajian dialek topografi kornunitas bahasa di Lampung ini, diharapkan dapat diungkap keterhubungan sikap berbahasa dengan perilaku atau kebiasaan aktual yang muncul dari kornunitas penuturnya, khususnya perilaku kornunitas dialek topografi terhadap surnberdaya alarn yang berada di bentanglahan sekitarnya, termasuk kawasan surnberdaya alam pesisir dengan komponen integral rnanajernennya yang berupa kawasan pantai dan daerah aliran sungai.