BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kesulitan Keuangan (Financial Distress) Kesulitan keuangan (financial distress) dimulai ketika perusahaan tidak
dapat
memenuhi
jadwal
pembayaran
atau
ketika
proyeksi
arus
kas
mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya (Brigham dan Daves,2003). Ada beberapa definisi kesulitan keuangan, sesuai tipenya, yaitu economic failure, business failure, technical insolvency, insolvency in bankruptcy, dan legal bankruptcy (Brigham dan Gapenski,1997). Berikut ini adalah penjelasannya: 1. Economic failure Economic failure atau kegagalan ekonomi adalah keadaan dimana pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi total biaya, termasuk cost of capitalnya. Bisnis ini dapat melanjutkan operasinya sepanjang kreditur mau menyediakan modal dan pemiliknya mau menerima tingkat pengembalian (rate of return) di bawah pasar. Meskipun tidak ada suntikan modal baru saat aset tua sudah harus diganti, perusahaan dapat juga menjadi sehat secara ekonomi. 2. Business failure Kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang menghentikan operasi dengan akibat kerugian kepada kreditur. 3. Technical insolvency Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan technical insolvency jika tidak dapat memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh tempo. Ketidakmampuan membayar hutang secara teknis menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, yang jika diberi waktu, perusahaan mungkin dapat membayar hutangnya dan survive. Di sisi lain, jika technical insolvency adalah gejala awal kegagalan ekonomi, ini mungkin menjadi perhentian pertama menuju bencana keuangan (financial disaster).
9
10
4. Insolvency in bankruptcy Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan Insolvent in bankruptcy jika nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset. Kondisi ini lebih serius daripada technical insolvency karena, umumnya, ini adalah tanda economic failure, dan bahkan mengarah kepada likuidasi bisnis. Perusahaan yang dalam keadaan insolvent in bankruptcy tidak perlu terlibat dalam tuntutan kebangkrutan secara hukum. 5. Legal bankruptcy Perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika telah diajukan tuntutan secara resmi dengan undang-undang (Brigham dan Gapenski,1997).
Irham Fahmi (2011) juga menggolongkan persoalan financial distress secara kajian umum ke dalam 4 (empat) kategori, yaitu : 1. Financial distress kategori A atau sangat tinggi dan benar-benar membahayakan. Kategori ini memungkinkan perusahaan dinyatakan untuk berada di posisi bangkrut atau pailit. Pada kategori ini memungkinkan pihak perusahaan melaporkan ke pihak terkait seperti pengadilan bahwa perusahaan telah berada dalam posisi bankruptcy (pailit). Dan menyerahkan berbagai urusan untuk ditangani oleh pihak luar perusahaan. 2. Financial distress kategori B atau tinggi dan dianggap berbahaya. Pada posisi ini
perusahaan
harus
memikirkan
berbagai
solusi
realistis
dalam
menyelamatkan berbagai aset yang dimiliki, seperti sumber-sumber aset yang ingin dijual dan tidak dijual/dipertahankan. Termasuk memikirkan berbagai dampak jika dilaksanakan keputusan merger (penggabungan) dan akuisisi (pengambilalihan). Salah satu dampak yang sangat nyata terlihat pada posisi ini adalah perusahaan mulai melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pension dini pada beberapa karyawannya yang dianggap tidak layak (infeasible) lagi untuk dipertahankan. 3. Financial distress kategori C atau sedang, dan ini dianggap perusahaan masih mampu/bisa menyelamatkan diri dengan tindakan tambahan dana yang bersumber dari internal dan eksternal. Namun disini perusahaan sudah harus
11
melakukan perombakan berbagai kebijakan dan konsep manajemen yang diterapkan selama ini, bahkan jika perlu melakukan perekrutan tenaga ahli baru yang dimiliki kompetensi yang tinggi untuk ditempatkan di posisi-posisi strategis yang bertugas mengendalikan dan menyelamatkan perusahaan, termasuk target dalam menggenjot perolehan laba kembali. 4. Financial distress kategori D atau rendah. Pada kategori ini perusahaan dianggap hanya mengalami fluktuasi finansial temporer yang disebabkan oleh berbagai kondisi kesternal dan internal, termasuk lahirnya dan dilaksanakan keputusan yang kurang begitu tepat. Selain itu, Plat dan Plat (dalam Luciana,2006) mendefinisikan financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Hofer (1980) dan Whitaker (1999) dalam Endri (2009) mengumpamakan kondisi financial distress sebagai suatu kondisi dari perusahaan yang mengalami laba bersih (net profit) negatif selama beberapa tahun. Suatu perusahaan berada dalam keadaan situasi yang tidak normal bila perusahaan tersebut menghadapi salah satu dari situasi-situasi ini, yaitu: laba bersih selama dua tahun terakhir negatif, nilai saham bersih kurang dari face value saham dalam tahun terakhir, auditor memberi opini adverse atau disclaimer pada laporan keuangan tahun terakhir, nilai kepemilikan ekuitas yang diakui auditor dan departemen terkait kurang dari nilai modal yang tercatat pada tahun terakhir, dan situasi tidak normal lain berdasarkan pertimbangan China Securities Regulation Comission (CSRC), atau SHSE dan SZSE. Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan umumnya mengalami penurunan dalam pertumbuhan, kemampulabaan, dan aset tetap, serta peningkatan dalam tingkatan persediaan relatif terhadap perusahaan yang sehat (Kahya dan Theodossiou, 1999). Di samping itu kesulitan keuangan dapat juga dilihat dari melemahnya kondisi keuangan, kreditur yang mulai mengambil tindakan, pemasok yang mungkin tak mengirim bahan baku secara kredit, investasi modal yang menguntungkan mungkin harus dilepas, dan pembayaran dividen yang terganggu.
12
2.1.1
Penyebab Kesulitan Keuangan Lizal
(2002)
mengelompokkan
penyebab-penyebab
kesulitan
dan
menamainya dengan Model Dasar Kebangkrutan atau Trinitas Penyebab Kesulitan Keuangan. Menurut beliau, ada tiga alasan yang mungkin mengapa perusahaan menjadi bangkrut, yaitu: 1. Neoclassical model Pada kasus ini kebangkrutan terjadi jika alokasi sumber daya tidak tepat. Kasus restrukturisasi ini terjadi ketika kebangkrutan mempunyai campuran aset yang salah. Mengestimasi kesulitan dilakukan dengan data neraca dan laporan laba
rugi.
Misalnya
profit/assets
(untuk
mengukur
profitabilitas),
dan
liabilities/assets. 2. Financial model Campuran aset benar tapi struktur keuangan salah dengan liquidity constraints (batasan likuiditas). Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan dapat bertahan hidup dalam jangka panjang tapi ia harus bangkrut juga dalam jangka pendek. Hubungan dengan pasar modal yang tidak sempurna dan struktur modal yang inherited menjadi pemicu utama kasus ini. Tidak dapat secara terang ditentukan apakah dalam kasus ini kebangkrutan baik atau buruk untuk direstrukturisasi. Model ini mengestimasi kesulitan dengan indikator keuangan atau indikator kinerja seperti turnover/total assets, revenues/turnover, ROA, ROE, profit margin, stock turnover, receivables turnover, cash flow/ total equity, debt ratio, cash flow/(liabilities-reserves), current ratio, acid test, current liquidity, short term assets/daily operating expenses, gearing ratio, turnover per employee, coverage of fixed assets, working capital, total equity per share, EPS ratio, dan sebagainya. 3. Corporate governance model Disini, kebangkrutan mempunyai campuran aset dan struktur keuangan yang benar tapi dikelola dengan buruk. Ketidakefisienan ini mendorong perusahaan menjadi out of the market sebagai konsekuensi dari masalah dalam tata kelola perusahaan yang tak terpecahkan. Model ini mengestimasi kesulitan dengan
13
informasi kepemilikan. Kepemilikan berhubungan dengan struktur tata kelola perusahaan dan goodwill perusahaan.
Wruck (1990) dalam Whittaker (1999) mengatakan bahwa kesulitan keuangan terjadi akibat economic distress, penurunan dalam industri perusahaan, dan manajemen yang buruk. Manajemen yang buruk didefinisikan sebagai kecenderungan penurunan persentase pendapatan operasi perusahaan terhadap pendapatan operasi industri dalam lima tahun terakhir.
2.1.2
Rasio Keuangan Rasio keuangan merupakan suatu perhitungan rasio dengan menggunakan
laporan keuangan yang dapat berfungsi sebagai alat ukur dalam menilai kinerja perusahaan. Menurut Harahap (1999) rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan atau berarti. Rasio keuangan dapat digunakan untuk mengetahui apakah telah terjadi penyimpangan dalam melaksanakan aktivitas operasional perusahaan. Menurut Wild, Subramanyam, dan Halsey (2005) rasio merupakan alat untuk menyediakan pandangan terhadap kondisi yang mendasari. Rasio merupakan salah satu titik awal,
bukan
titik
akhir.
Rasio
yang
diinterpretasikan
dengan
tepat
mengindikasikan area yang memerlukan investigasi lebih lanjut. Dari defenisi ini rasio dapat digunakan untuk mengetahui apakah terdapat penyimpanganpenyimpangan dengan cara membandingkan rasio keuangan dengan tahun-tahun sebelumnya. Rasio perbandingan
keuangan antara
menunjukkan
hubungan
perkiraan-perkiraan
sistematis
laporan
dalam
keuangan.
Agar
bentuk hasil
perhitungan rasio keuangan dapat diinterpretasikan, perkiraan-perkiraan yang dibandingkan harus mengarah pada hubungan ekonomis yang penting. Contoh perbandingan yang tidak dapat diinterpretasikan adalah perbandingan antara beban perlengkapan dengan harga saham karena beban perlengkapan tidak ada
14
kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham perusahaan tersebut. Untuk dapat menginterpretasikan hasil perhitungan rasio keuangan, maka diperlukan adanya pembanding. Ada dua metode pembandingan rasio keuangan perusahaan menurut Syamsuddin (2000) yaitu: a. Cross-sectional approach Cross-sectional approach adalah suatu cara mengevaluasi dengan jalan membandingkan rasio-rasio antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya yang sejenis pada saat yang bersamaan. b. Time series analysis Time series analysis dilakukan dengan jalan membandingkan rasio-rasio finansial perusahaan dari satu periode ke periode lainnya.
Rasio keuangan merupakan alat utama untuk melakukan analisis keuangan dan memiliki beberapa kegunaan. Menurut Keomn, Scott, Martin, dan Petty (2001)
Rasio keuangan dapat digunakan untuk menjawab setidaknya 4
pertanyaan: bagaimana tingkat likuiditas perusahaan, apakah manajemen efektif dalam menghasilkan laba operasi atas aktiva yang dimiliki perusahaan, bagaimana perusahaan
didanai,
apakah
pemegang
saham
biasa
mendapat
tingkat
pengembalian yang cukup. Terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan ketika melakukan perhitungan rasio keuangan agar diperoleh hasil perhitungan rasio lebih tepat. Sebagaimana dikemukakan oleh Simamora (2000). Pertama, untuk beberapa pengecualian, tidak ada ketentuan-ketentuan baku dan cepat untuk komputasi rasio. Kedua, dalam penghitungan banyak rasio, angka-angka laporan laba rugi dibandingkan dengan angka-angka neraca. Karena laporan laba rugi mengacu pada suatu periode waktu dan neraca mengacu pada suatu titik waktu, maka dalam penghitungan rasio-rasio adalah baik untuk menghitung rata-rata untuk angkaangka neraca. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan rasio keuangan sebagai alat analisis. Hal-hal tersebut akan membantu analis dalam
15
menginterpretasikan hasil perhitungan rasio keuangan sehingga dihasilkan kesimpulan yang lebih tepat. Syamsuddin (2000) mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan rasio keuangan sebagai alat analisis. a. Sebuah rasio saja tidak dapat digunakan untuk menilai keseluruhan operasi yang telah dilaksanakan. Untuk menilai keadaan perusahaan secara keseluruhan sejumlah rasio haruslah dinilai secara bersama-sama. Kalau sekiranya hanya satu aspek saja yang ingin dinilai, maka satu atau dua rasio saja sudah cukup digunakan. b. Pembandingan yang dilakukan haruslah dari perusahaan yang sejenis dan pada saat yang sama. Tidaklah tepat kita membandingkan rasio finansial perusahaan A pada tahun 19X0 dengan rasio finansial perusahaan B pada tahun 19X1. c. Sebaiknya perhitungan rasio finansial didasarkan pada data laporan keuangan yang telah diaudit (diperiksa). Laporan keuangan yang belum diaudit masih diragukan kebenarannya, sehingga rasio-rasio yang dihitung juga kurang akurat. d. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa pelaporan atau akuntansi yang digunakan haruslah sama.
Ada banyak jenis-jenis rasio keuangan yang biasa digunakan dalam melakukan analisis keuangan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Horne dan Wachowicz (2005) .Rasio-rasio keuangan yang umumnya digunakan pada dasarnya terdiri atas dua jenis. Jenis pertama meringkas beberapa aspek dari kondisi keuangan perusahaan untuk suatu periode-periode dengan neraca yang telah dibuat. Rasio-rasio ini disebut rasio rasio neraca (balance sheet ratio), karena baik pembilang maupun penyebut dalam setiap rasio berasal langsung dari neraca. Jenis kedua dari rasio meringkas beberapa aspek kinerja perusahaan selama periode waktu tertentu, biasanya dalam setahun. Rasio-rasio ini disebut sebagai rasio laporan laba rugi (income statement ratio) atau rasio laba rugi/neraca (income statement/balance sheet ratio).
16
Secara umum rasio-rasio keuangan dapat diklasifikasi menjadi empat jenis kelompok rasio keuangan antara lain: 2.1.2.1 Rasio Likuiditas Rasio likuiditas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan membiayai operasi dan memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih. Harry Supangkat (2003) mengemukakan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio yang digunakan untuk mengetahui apakah perusahaan mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu. Rasio likuiditas biasa digunakan dalam melakukan analisis kredit karena likuiditas berkaitan dengan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam menilai tingkat likuiditas perusahaan adalah kreditor-kreditor jangka pendek seperti pemasok dan bankir. Rasio likuiditas menurut Van Horne dan Wachowicz (2005) adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya perusahaan memerlukan sejumlah kas yang cukup sebagaimana yang dikemukakan oleh Wild, Subramanyam dan Halsey (2005:9) bahwa likuiditas (liquiditty) merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kas dalam jangka pendek untuk memenuhi kewajibannya. Likuiditas bergantung pada arus kas perusahaan dan komponen aktiva lancar dan kewajiban lancarnya. Menurut Syamsuddin (2000) likuiditas tidak hanya berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkenaan dengan kemampuannya untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi uang kas. Perusahaan harus mengubah aktiva lancar tertentu menjadi kas untuk membayar kewajiban lancarnya, misalnya perusahaan perlu menagih piutang atau menjual persediaannya sehingga perusahaan memperoleh kas. Rasio likuiditas dapat dibagi lagi menjadi beberapa jenis. Masing-masing rasio likuiditas mencerminkan perspektif yang berbeda dalam mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Rasio likuiditas tersebut menurut Tampubolon (2005) antara lain current ratio, quick
17
ratio, absolute liquidity ratio. Menurut Darsono dan Ashari (2005) rasio likuiditas meliputi rasio lancar, quick test ratio, net working capital, defensive interval ratio. Menurut Van Horne dan Wachowicz, acid test ratio memberikan ukuran yang mendalam tentang likuiditas daripada rasio lancar. Current ratio menunjukkan hubungan antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar suatu perusahaan. Meskipun quick test ratio atau acid test ratio memberikan gambaran yang lebih baik dalam mengukur tingkat likuiditas dibandingkan current ratio karena hanya terdiri dari kas, surat-surat berharga, dan piutang usaha, tetapi acid test ratio memiliki kelemahan dalam mengukur tingkat likuiditas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syamsuddin (2000) acid test ratio ini akan memberikan gambaran likuiditas yang lebih tepat hanya apabila inventory untuk dijual dengan segera tanpa menurunkan nilainya. Dengan perkataan lain, apabila inventory dapat dijual dengan segera tanpa menurunkan nilainya, maka penggunaan current ratio lebih disukai sebagai pengukuran tingkat likuiditas perusahaan secara menyeluruh (overall liquidity of the firm). Rasio lancar menurut Simamora (2000)
menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya dari aktiva lancarnya. Pihak yang paling berkepentingan terhadap rasio lancar adalah kreditor jangka pendek seperti pemasok. Jumlah kas dan jumlah persediaan dan piutang yang akan dikonversi menjadi kas merupakan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan untuk membayar kewajiban kepada kreditor jangka pendek. Rumus untuk menghitung rasio lancar menurut Wild, Subramanyam, dan Halsey (2005)
current ratio =
current asset current liabilitie s
Rumus tersebut menunjukkan hubungan antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar. Semakin besar aktiva lancar, maka rasio semakin tinggi rasio lancarnya. Apabila dinyatakan bahwa rasio lancar suatu perusahaan adalah sebesar 2, artinya setiap satu rupiah kewajiban lancar akan dijamin oleh dua rupiah aktiva lancar.
18
Menurut Syamsuddin (2000)
tidak ada suatu ketentuan mutlak tentang
berapa tingkat current ratio yang dianggap baik atau yang harus dipertahankan oleh suatu perusahaan karena biasanya tingkat current ratio ini juga sangat tergantung pada jenis usaha dari masing-masing perusahaan perusahaan. Untuk mengetahui apakah rasio lancar perusahaan baik, hasil perhitungan rasio lancar harus dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya atau dengan industri sejenis. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisis rasio lancar menurut Simamora (2005) antara lain praktik yang berlaku dalam
industri,
lamanya siklus operasi dalam perusahaan, dan bauran aktiva lancar perusahaan. Rasio lancar yang tinggi belum tentu menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan
untuk
membayar
kewajiban
lancarnya
juga
tinggi.
Dalam
menganalisis rasio lancar perlu diperhatikan apakah yang menyebabkan rasio lancar tersebut tinggi. Jika yang menyebabkan rasio lancar tersebut tinggi adalah piutang atau persediaan, maka untuk memenuhi kewajiban lancarnya perusahaan harus terlebih dahulu melakukan penagihan atas piutang atau menjual persediaan agar diperoleh kas untuk membayar kewajiban lancar tersebut. Kreditor harus menanggung risiko bahwa kemungkinan perusahaan tidak dapat membayar kewajiban lancarnya karena perusahaan tidak mampu menagih piutangnya atau tidak dapat menjual persediaannya. Bagi kreditor jangka pendek semakin tinggi rasio lancar, maka semakin besar kemungkinan bahwa perusahaan
mampu untuk membayar kewajiban
jangka pendeknya. Bagi kreditor jangka panjang rasio lancar yang rendah dapat menyebabkan perusahaan dipaksa pailit. Oleh karena perusahaan perlu menjaga tingkat likuiditas agar tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah.
2.1.2.2 Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dari berbagai kebijakan dan keputusan yang telah diambil. Rasio profitabilitas disebut juga rasio kinerja operasi. Rasio profitabilitas atau kinerja operasi digunakan untuk mengevaluasi margin laba dari aktivitas operasi yang dilakukan perusahaan. Menurut Brigham dan Houston (2006) rasio
19
profitabilitas akan menunjukkan efek dari likuiditas, manajemen aktiva, dan utang pada hasil operasi. Rasio profitabilitas menurut Van Horne dan Wachowicz (2005) adalah rasio yang menghubungkan laba dari penjualan dan investasi. Dari rasio profitabilitas dapat diketahui bagaimana tingkat profitabilitas perusahaan. Setiap perusahaan menginginkan tingkat profitabilitas yang tinggi. Untuk dapat melangsungkan hidupnya, perusahaan harus berada dalam keadaan yang menguntungkan (profitable).
Apabila
perusahaan
berada
dalam
kondisi
yang
tidak
menguntungkan, maka akan sulit bagi perusahaan untuk memperoleh pinjaman dari kreditor maupun investasi dari pihak luar. Dalam hubungannya dengan penjualan dan investasi, rasio profitabilitas dapat diklasifikasikan menjadi margin laba kotor (gross profit margin), margin laba operasi (operating profit margin), margin laba sebelum pajak (pretax profit margin), margin laba bersih (net profit margin), return on assets atau return on investment, dan return on equity. Berikut beberapa rasio profitabilitas : a. Return on Assets (ROA) Return on asset menurut Syamsudin (2000) merupakan pengukuran kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan. Dengan mengetahui ROA, kita dapat menilai apakah perusahaan telah efisien dalam menggunakan aktivanya dalam kegiatan operasi untuk menghasilkan keuntungan. Rumus untuk menghitung return on assets menurut Van Horne dan Wachowicz (2005)
ROA
=
EBIT Total asset
Rumus lalin yang dapat digunakan untuk menghitung ROA adalah dengan persamaan Du Pont. Dengan menggunakan persamaan Du Pont dapat dilihat lebih jelas bagaimana hubungan antara laba bersih dengan total aktiva. Adapun persamaan Du Pont menurut Brigham dan Houston (2006)
20
ROA = margin laba × perputaran total aktiva
=
laba bersih penjualan × penjualan total aktiva
Setiap perusahaan menginginkan tingkat pengembalian yang tinggi atas aktivanya. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan tingkat pengembalian yang rendah menurut Brigham dan Houston (2006) merupakan akibat dari kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba yang rendah ditambah dan biaya bunga yang tinggi yang dikarenakan oleh penggunaan utangnya yang di atas rata-rata di mana keduanya telah menyebabkan laba bersih relatif rendah. Jika hasil perhitungan ROA suatu perusahaan sebesar 0,15 atau 15 persen berarti setiap seratus rupiah aktiva yang dimiliki perusahaan, perusahaan tersebut akan memperoleh keuntungan sebesar 15 rupiah. Untuk mengetahui apakah perusahaan memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi atas aktivanya, maka hasil perhitungan ROA harus dibandingkan dengan rata-rata tingkat pengembalian industri atau rata-rata suku bunga pinjaman saat itu. Apabila hasil perhitungan menunjukkan bahwa ROA perusahaan tersebut lebih tinggi dari ROA rata-rata industri atau rata-rata suku bunga pinjaman berarti perusahaan memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi atas aktivanya.
b. Rasio Return earning to total asset (RETA) Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan merupakan laba yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham. Dengan kata lain, laba ditahan menunjukkan berapa banyak pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan dalam bentuk dividen kepada para pemegang saham. Laba ditahan menunjukkan klaim terhadap aktiva, bukan aktiva per ekuitas pemegang saham. Laba ditahan terjadi karena pemegang saham biasa mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan kembali laba yang tidak didistribusikan sebagai dividen. Dengan demikian, laba ditahan yang dilaporkan dalam neraca bukan merupakan kas dan tidak tersedia untuk pembayaran dividen atau yang lain.
21
2.1.2.3 Rasio Leverage Perusahaan memperoleh sumber pendanaan dari dua sumber yaitu kreditor dan pemegang saham. Rasio leverage menunjukkan berapa besar perusahaan didanai oleh kreditor dan pemegang saham. Rasio leverage (rasio utang) menurut Van Horne dan Wachowicz (2005) adalah rasio yang menunjukkan sejauh mana perusahaan dibiayai oleh utang. Rasio leverage disebut juga rasio solvabilitas. Menurut Darsono dan Ashari (2005) rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jika perusahaan tersebut dilikuidasi. Pihak yang paling berkepentingan terhadap rasio leverage perusahaan adalah kreditur dan pemegang saham. Semakin besar jumlah pendanaan yang berasal dari kreditor, semakin tinggi risiko perusahaan tidak dapat membayar seluruh kewajiban dan bunganya. Bagi pemegang saham, semakin tinggi rasio leverage, semakin rendah tingkat pengembalian yang akan diterima pemegang saham karena perusahaan harus melakukan pembayaran bunga sebelum laba dapat dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Rasio leverage menurut Brigham dan Houston (2006) memiliki tiga implikasi penting sebagai berikut: a. dengan memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham dapat mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut dengan sekaligus membatasi investasi yang mereka berikan, b. kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai suatu batasan keamanan sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal yang diberikan oleh pemegang saham, maka semakin kecil risiko yang harus dihadapi kreditor, c. jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka pengembalian dari modal pemilik akan diperbesar, atau “diungkit” (leveraged).
22
Ada dua rasio leverage menurut Van Horne dan Wachowicz (2005) yaitu rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity) dan rasio utang terhadap total aktiva (debt to total assets ratio). Menurut Darsono dan Ashari (2005) debt
ratio menekankan pada
pentingnya pendanaan hutang dengan jalan menunjukkan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh hutang. Rasio ini juga menyediakan informasi tentang kemampuan perusahaan dalam mengadaptasi kondisi pengurangan aktiva akibat kerugian tanpa mengurangi pembayaran bunga kepada kreditor. Rumus untuk menghitung debt ratio menurut Brigham dan Houston (2006)
debt ratio =
total liabilities total asset
Rumus tersebut menunjukkan hubungan antara total utang dengan total aktiva. Semakin tinggi total utang, maka akan semakin tinggi pula debt ratio, sebaliknya semakin tinggi total aktiva, maka akan semakin rendah debt ratio. Total utang mencakup, baik utang lancar maupun utang jangka panjang. Kreditur lebih menyukai rasio utang yang rendah karena semakin rendah rasio ini, maka semakin besar perlindungan terhadap kerugian kreditur dalam peristiwa likuidasi. Di sisi lain, pemegang saham akan menginginkan leverage yang lebih besar karena akan dapat meningkatkan laba yang diharapkan.
Apabila debt ratio perusahaan sebesar 0,4 atau 40 persen berarti sebesar 40 persen aktiva perusahaan tersebut didanai oleh utang dan sisanya sebesar 60 persen aktiva perusahaan didanai oleh pemegang saham. Apabila perusahaan akan dilikuidasi, perusahaan dapat menjual aktivanya dan kreditor akan menerima pembayaran minimal sebesar 40 persen sebelum kreditor mengalami kerugian. Hasil perhitungan rasio leverage harus dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya atau rata-rata industri sejenis untuk mengetahui bagaimana perusahaan memanajemen pendanaannya. Menurut Darsono dan Ashari (2005) untuk menilai rasio ini faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah stabilitas laba perusahaan. Pada perusahaan yang memiliki catatan laba yang stabil,
23
peningkatan dalam hutang lebih bisa ditoleransi daripada perusahaan yang memiliki catatan laba yang tidak stabil.
2.1.2.4 Rasio Aktivitas Rasio aktivitas sering juga disebut sebagai rasio efisiensi atau rasio pemanfaatan aktiva. Rasio aktivitas menurut Van Horne dan Wachowicz (2005) adalah “rasio yang mengukur seberapa efektif perusahaan menggunakan berbagai aktivanya”. Rasio aktivitas atau rasio pemanfaatan aktiva menurut Wild, Subramanyam, dan Halsey (2005) yang mengaitkan penjualan dengan berbagai kategori aktiva, merupakan penentu penting ROI. Rasio aktivitas dapat diklasifikasikan menjadi rasio perputaran kas, rasio perputaran piutang usaha, perputaran persediaan, perputaran modal kerja, perputaran aktiva tetap, dan perputaran total aktiva. Rasio aktivitas yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah total assets turnover (TATO). Total assets turnover menurut Syamsuddin (2000) mengukur berapa kali total aktiva perusahaan menghasilkan penjualan, sedangkan menurut Darsono dan Ashari (2005) kemampuan perusahaan dalam menggunakan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan penjualan digambarkan dalam rasio ini. Rumus untuk menghitung total asstes turnover menurut Van Horne dan Wachowicz (2005)
Total asset turnover =
sales total asset
Rumus tersebut menunjukkan hubungan antara penjualan bersih dengan total aktiva. Jika total assets turnover suatu perusahaan sebesar 2,5 berarti total aktiva perusahaan berputar 2,5 kali untuk menghasilkan penjualan bagi perusahaan. Untuk mengetahui apakah perusahaan cukup efektif dalam menggunakan aktivanya, hasil perhitungan harus dibandingkan dengan rata-rata industri atau hasil perhitungan tahun-tahun sebelumnya.
24
2.2
Kajian Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti financial distress
diantaranya oleh Almilia (2004) yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Financial Distress Suatu Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Variabel yang digunakan adalah rasio keuangan (SETA, RETA, TDTA, NITA, TRENDHRG); rasio relatif industri (AS_SETA, AS_RETA, AS_NITA, RI_TDTA); kumulatif return harian saham perusahaan selama 1 bulan dan 1 tahun; sensitifitas perusahaan terhadap IHSG, Money Supply (M2), indeks harga konsumen umum, dan tingkat suku bunga; serta reputasi auditor dan reputasi underwriter. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rasio relatif industri, sensitifitas perusahaan terhadap kondisi makro ekonomi dan reputasi auditor merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi delisted sebuah perusahaan. Sedangkan untuk rasio keuangannya yang berpengaruh terhadap financial distress adalah SETA, NITA, dan TDTA. Pada waktu yang berbeda Almilia (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan 31 rasio keuangan, judulnya “Prediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Go Public dengan Menggunakan Analisis Multinomial Logit”. Hasilnya rasio TLTA, CATA, NFATA, CFFOTA, CFFOCL, CFFOTS dan CFFOTL dapat digunakan untuk memprediksi untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan. Platt dan Platt (2002) berusaha menentukan rasio yang paling dominan dengan menggunakan model logit untuk memprediksi adanya financial distress. Hasil penelitiannya yaitu EBITDA/sales, current assets/current liabilities dan cash flow growth rate memiliki hubungan negatif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Variabel net fixed assets/total assets, long-term debt/equity dan notes payable/total assets memiliki hubungan positif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. Semakin besar rasio ini maka semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.
25
Penelitian lain untuk memprediksi financial distress dilakukan oleh Subagyo (2007) dengan menggunakan variabel financial ratios, industry relative ratios,sensitifitas terhadap indikator ekonomi makro sebagai prediktor dalam model financial distress. Hasil penelitian dapat membuktikan bahwa financial ratios, industry relative ratios, sensitifitas terhadap indikator ekonomi makro dapat digunakan sebagai prediktor dalam model financial distress dengan model prediksi terbaik adalah model prediksi yang mengintegrasikan faktor internal dan eksternal perusahaan. Untuk variabel dari rasio keuangan, EATEQ dan CFTA berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress, sedangkan rasio EATS, RETA, dan CFCA mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress. Penelitian Almilia dan Kristijadi (2003) yang menggunakan rasio keuangan berdasarkan penelitian Platt dan Platt (2002) mengambil sampel perusahaan manufaktur yang terdapat di BEJ pada tahun 1998-2001. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa variabel yang paling dominan dalam menentukan financial distress suatu perusahaan adalah NI/S, CL/TA, CA/CL yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress, serta GROWTH NI/TA berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress. Pasaribu (2008) melakukan penelitian dengan variabel independen yang digunakan adalah rasio keuangan dari laporan laba rugi, neraca, arus kas dan beta saham. Ada 6 model dengan indikator distress yang berbeda-beda digunakan dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa pada indikator current ratio dan indikator asset turnover yang memiliki tingkat daya klasifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan 4 model lainnya. Pada model 3 (indikator current ratio) rasio QATA dan WCTA berpengaruh positif dan signifikan pada financial distress. Untuk model 4 (indikator asset turnover) rasio WCTA, ITO, SALCA, dan CashTA berpengaruh positif dan signifikan pada financial distress, sedangkan rasio LDTA mempunyai hubungan negatif dan signifikan. Salehi (2009) dalam penelitiannya menggunakan variabel WC/TA, CA/CL, PBIT/TA, TE/TA, S/TA. Hasil yang didapatkan yaitu PBIT/TA, TETA, S/TA
26
berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress, sedangkan WCTA mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress. Almilia dan Silvy (2003) melakukan penelitian dengan variabel yang digunakan adalah rasio keuangan (SETA, RETA, TDTA, ROA); TRENDHRG; LNASSET; Industry market to book ratio (IMB); sensitifitas perusahaan diukur dengan kumulatif return harian saham perusahaan selama 1 bulan terhadap IHSG, Money Supply (M2), tingkat suku bunga, dan indeks harga konsumen umum; serta Ketetapan kepemilikan manajerial dan status underwriter. Dari penelitian tersebut hasilnya untuk rasio keuangan adalah SETA, RETA, dan NITA berpengaruh positif dan signifikan terhadap perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Pranowo, dkk (2010) dengan menganalisa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi financial distress perusahaan. Hasilnya bahwa rasio CA/CL, EBITDA/TA, EQ/TA berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress, sedangkan LPFA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress perusahaan. Jiming dan Weiwei (2011) dalam penelitiannya menggunakan variabel dengan indikator keuangan dan non-keuangan. Untuk indikator keuangan yaitu rasio Cash to Current Liability Ratio, Debt-Equity Ratio, Debt-asset Ratio, Inventory Turnover, Total Assets Turnover. Hasil penelitiannya menunjukkan Debt-asset Ratio berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress, sedangkan Inventory Turnover dan Total Assets Turnover berpengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress.
2.3
Kerangka Pemikiran Banyak para peneliti yang menggunakan rasio keuangan untuk meneliti
financial distress, namun diantaranya juga masih terdapat perbedaan-perbedaan dalam hasil rasio yang mempengaruhi financial distress. Penelitian ini menggunakan rasio keuangan Current assets to current liabilities (CACL, Net Income to total assets (NITA), Retained Earnings to total assets (RETA), Total liabilities to total assets (TLTA), Sales to total assets (STA), yang digunakan untuk menilai kinerja perusahaan yang mengalami financial distress.
27
Current assets to current liabilities (CACL) termasuk dalam rasio likuiditas yang sering disebut dengan rasio lancar (current ratio). Rasio lancar (current ratio) dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan kewajiban lancar (Brigham dan Houston, 2001). Beberapa komponen aktiva lancar yaitu kas, piutang, dan persediaan. Sedangkan kewajiban lancar sendiri merupakan kewajiban keuangan perusahaan yang pelunasannya atau pembayaran akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki oleh perusahaan (Munawir,2002). Rasio ini bertujuan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan aktiva lancarnya (Ang,1997). Rasio lancar untuk perusahaan yang normal berkisar pada angka 2, meskipun tidak ada standar yang pasti untuk penentuan rasio lancar yang seharusnya (Hanafi dan Halim, 2005). Perusahaan yang mempunyai aktiva lancar lebih besar dari kewajiban lancarnya dengan perbandingan 2:1 atau setidaknya rasio lancar lebih dari 1 (satu), maka bisa dikatakan perusahaan dalam kondisi yang likuid untuk menutup kewajiban lancarnya sehingga kecil kemungkinan terjadi financial distress. Namun, apabila jumlah aktiva lancar yang dimiliki perusahaan lebih rendah dari jumlah kewajiban lancarnya, maka tidak akan cukup untuk menutup kewajiban lancar yang dimiliki perusahaan. Akibatnya, perusahaan dapat mengalami kesulitan keuangan dimana pembayaran kewajiban menjadi lambat dan dapat memicu untuk melakukan pinjaman yang lebih banyak lagi. Brigham dan Houston (2001) mengatakan bahwa jika kewajiban lancar meningkat lebih cepat dibandingkan aktiva lancar, maka rasio lancar akan turun dan hal ini bisa menimbulkan permasalahan. Dengan demikian dapat dimungkinkan bahwa pola hubungan antara current ratio dengan financial distress adalah negatif. Ang (1997) menjelaskan bahwa ROA digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. ROA bisa dipecah ke dalam dua komponen : profit margin dan perputaran aktiva. Profit margin merupakan ukuran efisiensi perusahaan, sedangkan
perputaran
aktiva
mencerminkan
kemampuan
perusahaan
menghasilkan penjualan berdasarkan asset tertentu. Komposisi profit margin dan
28
perputaran aktiva akan mempengaruhi ROA. Perusahaan yang menghadapi pembatasan kapasitas, sehingga perputaran aktiva sulit dinaikkan, bisa menerapkan strategi meningkatkan profit margin-nya. Sebaliknya, perusahaan yang menghadapi pembatasan karena adanya kompetisi yang tajam, sehingga sulit menaikkan profit margin-nya, bisa menerapkan strategi meningkatkan perputaran aktivanya. Perusahaan yang berada pada dua titik ekstrem tersebut mempunyai fleksibilitas yang lebih besar, bisa memilih meningkatkan profit margin ataupun perputaran aktivanya (Hanafi dan Halim, 2005). ROA yang positif menunjukkan keseluruhan aktiva yang dipergunakan untuk operasi perusahaan mampu memberikan laba bagi perusahaan dan sebaliknya ROA negatif menunjukkan aktiva yang digunakan untuk operasi perusahaan tidak mampu memberikan keuntungan bagi perusahaan. ROA menggunakan laba sebagai salah satu cara untuk menilai efektivitas dalam penggunaan aktiva perusahaan dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi laba yang dihasilkan, maka semakin tinggi pula ROA, hal itu berarti bahwa perusahaan semakin efektif dalam penggunaan aktiva untuk menghasilkan keuntungan. Husnan (1998) mengatakan bahwa semakin besar Return on Asset menunjukkan kinerja keuangan yang semakin baik, karena tingkat kembalian (return) semakin besar. Apabila Return on Asset meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang saham. Dengan demikian, semakin tinggi rasio ROA (NITA) maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan. Sebaliknya semakin rendah rasio ROA (NI/TA) menunjukkan kinerja keuangan yang tidak baik dimana perusahaan tidak mampu mengoptimalkan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan sehingga profitabilitas menurun dan kemungkinan terjadinya financial distress semakin besar. Rasio return earning to total asset (RETA) menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan merupakan laba yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham. Riyanto (2001) menjelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh suatu perusahaan dapat sebagian dibayarkan sebagai deviden dan sebagian ditahan oleh
29
perusahaan. Apabila perusahaan belum mempunyai tujuan tertentu mengenai penggunaan keuntungan tersebut, maka keuntungan tersebut merupakan “ keuntungan yang ditahan(retained earning)”. Laba ditahan ini nantinya menjadi sumber dana internal perusahaan untuk digunakan sebagai sumber pendanaan perusahaan dalam melakukan pengeluaran modal atau investasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Adanya keuntungan akan memperbesar “retained earning” yang ini berarti akan memperbesar modal sendiri. Sebaliknya adanya kerugian yang diderita akan memperkecil “retained earning” yang ini berarti akan memperkecil modal sendiri (Riyanto, 2001). Dengan kata lain apabila rasio RETA rendah menunjukkan kemampuan aktiva perusahaan tidak produktif dan semakin mempersulit keuangan perusahaan dalam pendanaan ataupun investasi sehingga dapat menyebabkan terjadinya financial distress. Jadi, dapat dimungkinkan bahwa rasio RETA mempunyai pola hubungan negatif terhadap financial distress. Rasio total hutang terhadap total aktiva, yang pada umumnya disebut rasio hutang (debt ratio), mengukur persentase dana yang disediakan oleh kreditur (Brigham dan Houston, 2001). Rasio ini memperlihatkan proporsi seluruh aktiva yang didanai oleh hutang (Fraser dan Ormiston, 2008). Dengan kata lain, menunjukkan seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang atau seberapa besar hutang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva. Biasanya pihak pemberi pinjaman berkepentingan terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar hutang, sebab semakin banyak hutang perusahaan maka semakin tinggi kemungkinan perusahan tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Rasio ini menekankan pada peran penting pendanaan hutang bagi perusahaan dengan menunjukkan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh pendanaan hutang (Horne dan Wachowicz, Jr, 2005). Rasio yang tinggi berarti perusahaan menggunakan leverage keuangan (financial leverage) yang tinggi. Penggunaan leverage yang tinggi akan meningkatkan rentabilitas modal saham (Return On Equity atau ROE) dengan cepat, tetapi sebaliknya apabila penjualan menurun, rentabilitas modal saham
30
(ROE) akan menurun cepat pula. Risiko perusahaan dengan financial leverage yang tinggi akan semakin tinggi pula (Hanafi dan Halim, 2005). Menurut Horne dan Wachowicz, Jr (2005), semakin tinggi rasio hutang, semakin besar risiko keuangannya. Yang dimaksudkan dengan terjadinya peningkatan risiko adalah kemungkinan terjadinya default karena perusahaan terlalu banyak melakukan pendanaan aktiva dari hutang. Jadi, apabila rasio hutang (TLTA) semakin besar dapat membahayakan perusahaan karena dengan hutang yang semakin banyak akan menyulitkan perusahaan untuk memperoleh tambahan dana. Brigham dan Houston (2001) menjelaskan bahwa kreditur akan enggan meminjamkan tambahan dana kepada perusahaan, dan manajemen mungkin menghadapi risiko kebangkrutan jika perusahaan meningkatkan rasio hutang dengan meminjam tambahan dana. Hal ini menunjukkan pola hubungan rasio total liabilities to total assets terhadap financial distress adalah positif. Rasio STA juga disebut rasio perputaran total aktiva (total assets turnover ratio), yang dihitung dengan membagi penjualan dengan total aktiva. Besar kecilnya penjualan dan total aktiva akan mempengaruhi rasio perputaran total aktiva ini. Dimana peningkatan penjualan yang relatif lebih besar dari peningkatan aktiva membuat rasio ini semakin tinggi, sebaliknya peningkatan penjualan yang relatif lebih kecil dari peningkatan aktivanya membuat rasio ini semakin rendah. Harahap (2002) mengatakan bahwa rasio ini menunjukkan perputaran total aktiva diukur dari volume penjualan dengan kata lain seberapa jauh kemampuan semua aktiva menciptakan penjualan, semakin besar rasio ini semakin baik. Rasio perputaran total aktiva (STA) yang tinggi menunjukkan semakin efektif perusahaan dalam penggunaan aktivanya untuk menghasilkan penjualan. Semakin efektif perusahaan menggunakan aktivanya untuk menghasilkan penjualan diharapkan dapat memberikan keuntungan yang semakin besar bagi perusahaan. Hal itu akan menunjukkan semakin baik kinerja keuangan yang dicapai oleh perusahaan sehingga kemungkinan terjadinya financial distress semakin kecil. Hanafi dan Halim (2005) menjelaskan bahwa rasio yang tinggi biasanya menunjukkan manajemen yang baik, sebaliknya rasio yang rendah harus membuat manajemen mengevaluasi strategi, pemasarannya, dan pengeluaran
31
modalnya. Apabila rasio ini rendah maka perusahaan tidak menghasilkan volume penjualan yang cukup dibanding dengan investasi dalam aktivanya, hal ini menunjukkan kinerja yang tidak baik sehingga dapat mempengaruhi keuangan perusahaan dan memicu terjadinya financial distress. Jadi, dapat dimungkinkan bahwa pola hubungan antara rasio total assets turnover (Sales/TA) dengan financial distress adalah negatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jiming dan Weiwei (2011) juga menunjukkan rasio total assets turnover berpengaruh negatif, berarti semakin tinggi rasio total assets turnover (Sales/TA) semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress.
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran
Rasio keuangan : 1. CACL 2. RETA 3. NITA (ROA) 4. STA
(-)
Financial Distress
(+)
5. TLTA
2.4
Pengembangan Hipotesis
2.4.1
Pengaruh rasio CACL terhadap financial distress Rasio lancar yang rendah menunjukkan likuiditas jangka pendek yang
rendah, sedangkan rasio lancar yang tinggi menunjukkan kelebihan aktiva lancar yang berarti likuiditas tinggi dan risiko rendah (Hanafi, 2004). Semakin besar tingkat likuiditas perusahaan, dalam hal ini aktiva lancarnya, memperlihatkan semakin baik kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya financial distress. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dinyatakan hipotesis pertama yaitu :
32
H1:
Rasio Current assets to current liabilities (CACL) berpengaruh negatif
terhadap financial distress.
2.4.2
Pengaruh rasio NITA terhadap financial distress Rasio ini dikenal dengan Return on Assets (ROA). Husnan (1998)
mengatakan bahwa semakin besar Return on Asset menunjukkan kinerja keuangan yang semakin baik, karena tingkat kembalian (return) semakin besar. Apabila Return on Asset meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang saham. Penelitian yang dilakukan oleh Almilia dan Silvy (2003) yang menunjukkan bahwa rasio NITA berpengaruh positif signifikan terhadap financial distress, sedangkan menurut Almilia (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa rasio NITA berpengaruh negative dan signifikan terhadap kondisi financial distress suatu perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis keempat yaitu: H2:
Rasio Net Income to total assets (NITA) berpengaruh negatif terhadap
financial distress.
2.4.3
Pengaruh rasio RETA terhadap financial distress Rasio RETA rendah menunjukkan kemampuan aktiva perusahaan tidak
produktif dan semakin mempersulit keuangan perusahaan dalam pendanaan ataupun investasi sehingga dapat menyebabkan terjadinya financial distress. Jadi, dapat dimungkinkan bahwa rasio RETA mempunyai pola hubungan negatif terhadap financial distress. Rasio RETA menurut Almilia dan Silvy (2003) berpengaruh positif signifikan terhadap kondisi financial distress perusahaan, akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Subagyo (2007) mengatakan yang sebaliknya, yaitu rasio RETA berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap financial
distress.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis kelima yaitu :
33
H3: Rasio Retained Earnings to total assets (RETA) berpengaruh negatif terhadap financial distress.
2.4.4
Pengaruh rasio STA terhadap financial distress Rasio STA juga disebut rasio perputaran total aktiva (total assets turnover
ratio), yang dihitung dengan membagi penjualan dengan total aktiva. Hanafi dan Halim (2005) menjelaskan bahwa rasio yang tinggi biasanya menunjukkan manajemen yang baik, sebaliknya rasio yang rendah harus membuat manajemen mengevaluasi strategi, pemasarannya, dan pengeluaran modalnya. Apabila rasio ini rendah maka perusahaan tidak menghasilkan volume penjualan yang cukup dibanding dengan investasi dalam aktivanya, hal ini menunjukkan kinerja yang tidak baik sehingga dapat mempengaruhi keuangan perusahaan dan memicu terjadinya financial distress. Jadi, dapat dimungkinkan bahwa pola hubungan antara rasio total assets turnover (Sales/TA) dengan financial distress adalah negatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jiming dan Weiwei (2011) juga menunjukkan rasio total assets turnover berpengaruh negatif, berarti semakin tinggi rasio total assets turnover (Sales/TA) semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis kedelapan yaitu: H4:
Rasio Sales to total assets (S/TA) berpengaruh negatif terhadap financial
distress.
2.4.5
Pengaruh rasio TLTA te rhadap financial distress Rasio total hutang terhadap total aktiva, yang pada umumnya disebut rasio
hutang (debt ratio), mengukur persentase dana yang disediakan oleh kreditur (Brigham dan Houston, 2001). Rasio ini memperlihatkan proporsi seluruh aktiva yang didanai oleh hutang (Fraser dan Ormiston, 2008). Brigham dan Houston (2001) menjelaskan bahwa kreditur akan enggan meminjamkan tambahan dana kepada perusahaan, dan manajemen mungkin menghadapi risiko kebangkrutan jika perusahaan meningkatkan rasio hutang dengan meminjam tambahan dana. Hal ini menunjukkan pola hubungan rasio total
34
liabilities to total assets terhadap financial distress adalah positif. Berdasarkan penelitian Jiming dan Weiwei (2011), rasio TLTA berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Almilia (2006) menunjukkan bahwa rasio TLTA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis ketujuh yaitu: H5:
Rasio Total liabilities to total assets (TLTA) berpengaruh positif terhadap
financial distress.