BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
BIODIESEL
Pada tahun 1895, Rudolf Diesel menemukan mesin baru yang dapat digerakkan dengan menggunakan berbagai jenis bahan bakar termasuk minyak dari tumbuhtumbuhan. Saat diperkenalkan kepada publik pada tahun 1900 di Festival Dunia di Paris, Rudolf Diesel menggunakan minyak kacang tanah sebagai bahan bakarnya. Penggunaan minyak nabati secara langsung di dalam mesin diesel umumnya memerlukan
modifikasi/tambahan
peralatan
khusus
pada
mesin,
misalnya
penambahan pemanas bahan bakar sebelum sistem pompa dan injektor bahan bakar untuk menurunkan harga viskositas. Viskositas (kekentalan) bahan bakar yang sangat tinggi akan menyulitkan pompa bahan bakar dalam mengalirkan bahan bakar ke ruang bakar. Aliran bahan bakar yang rendah akan menyulitkan terjadinya atomisasi bahan bakar yang baik. Buruknya atomisasi berkorelasi langsung dengan kualitas pembakaran, daya mesin, dan emisi gas buang. Pencampuran minyak dan udara yang tidak efisien turut menyumbang masalah terhadap pembakaran yang tidak sempurna. Tingginya titik nyala menyebabkannya mempunyai tingkat volatilitas yang rendah. Hal ini mendorong terbentuknya lebih banyak endapan, karbonisasi pada ujung alat injektor, munculnya potongan cincin dan pelumasan lelehan minyak dan degradasi. Perpaduan antara tingginya viskositas dan rendahnya volatilitas dari minyak nabati menyebabkan penyalaan mesin yang buruk, macet, dan terhambatnya pengapian (Wang, dkk, 2000; Pinto, dkk, 2005). Polimerisasi termal dan oksidatif dari minyak nabati menyebabkan timbulnya endapan pada injektor membentuk sebuah lapisan yang akan berlanjut untuk menjebak bahan bakar dan mengganggu pembakaran. Pengoperasian dalam jangka waktu yang lama dari minyak nabati akan menyebabkan endapan, pembentukan kokas pada injektor, dan batangan cincin. Masalah lainnya adalah ketidaksesuaiannya dengan mesin diesel konvensional. Oleh karena itu, sebuah mesin harus lebih dahulu
dimodifikasi sesuai dengan kondisi penggunaan minyak yang digunakan. Sebagai contoh, mesin yang telah dimodifikasi diciptakan oleh Elsbett di Jerman dan Malaysia dan Diesel Morten und Gerastebau Gm6H (DMS) di USA menunjukkan kinerja yang bagus ketika diisi bahan bakar minyak nabati dengan tingkat dan komposisi yang berbeda (Srivastava dan Prasad, 2000). Dalam perkembangan selanjutnya, lebih mudah dan lebih murah bila menggunakan solar sebagai bahan bakar mesin tersebut (Strong, dkk, 2004). Namun demikian seiring dengan semakin berkurangnya cadangan minyak bumi serta penggunaan solar sebagai bahan bakar mesin diesel yang menimbulkan pencemaran lingkungan membuat bahan bakar dari minyak nabati kembali dilirik penggunaannya. Bahan bakar dari minyak nabati (biodiesel) dikenal sebagai produk yang ramah lingkungan, tidak mencemari udara, mudah terbiodegradasi, dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui. Sifat biodiesel mirip dengan sifat minyak diesel, sehingga biodiesel menjadi bahan utama pengganti bahan bakar diesel. Konversi trigliserida menjadi metil atau etil ester melalui proses transesterifikasi mengurangi berat molekul trigliserida hingga sepertiganya, mengurangi viskositas hingga seperdelapannya, dan sedikit meningkatkan titik nyalanya. Viskositas biodiesel mendekati viskositas minyak diesel. Esternya mengandung 10-11% berat oksigen, yang mana mendorong pembakaran pada mesin lebih baik dibanding hidrokarbon dari minyak diesel (Fan, dkk, 2008). Pada umumnya biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6 - C22. Minyak kelapa sawit dan minyak jarak pagar yang kaya akan trigliserida merupakan sumber potensial untuk pembuatan biodiesel ini, dimana trigliseridanya memiliki viskositas dinamik yang sangat tinggi dibandingkan dengan solar. Rantai karbon biodiesel bersifat sederhana, berbentuk lurus dengan dua buah atom oksigen pada tiap cabangnya (mono alkil ester), sehingga lebih mudah didegradasi oleh bakteri dibandingkan dengan rantai karbon petrodiesel, yang bersifat lebih kompleks, dengan ikatan rangkap dan banyak cabang. Biodiesel merupakan bahan bakar yang berwarna kekuningan yang viskositasnya tidak jauh berbeda
dengan minyak solar, oleh karena itu campuran biodiesel dengan minyak solar dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan berbahan bakar minyak solar tanpa merusak atau memodifikasi mesin. Selain itu tenaga dan unjuk kerja mesin diesel dengan bahan bakar minyak solar juga tidak berubah. Standar internasional untuk biodiesel adalah ISO 14214, ASTM D 6751, dan DIN (standar biodiesel yang digunakan di Jerman), dan saat ini di Indonesia juga telah disusun standar bio-diesel. Standar biodiesel berdasarkan ASTM D6751 tercantum dalam Tabel 2.1 dibawah ini. Tabel 2.1 Standar Biodiesel ASTM (ASTM D6751). Parameter Kualitas Titik nyala Water and Sediment Viskositas Kinematik, 40°C Sulfated Ash Sulfur Copper Strip Corrosion Angka Setana Titik Kabut , °C Residu Karbon Bilangan Asam Gliserol Bebas Total Gliserol Kandungan Phosphorous Temperatur Destilasi Sumber: Leung, dkk, 2010
Metode Pengujian ASTM D93 ASTM D2709 ASTM D445 ASTM D874 ASTM D5453 ASTM D130 ASTM D613 ASTM D2500 ASTM D4530 ASTM D664 ASTM D6584 ASTM D6584 ASTM 4951 ASTM D1160
Spesifikasi 130°C (266oF), Min 0.050 Vol. % ,Max 1.9-6.0 mm2/s 0.020 Mass %, Max 0.0015 Mass %, Max No. 3, Max 47, Min Report to customer 0.050 Mass %, Max 0.80 mg KOH/g, Max 0.020 Mass %, Max 0.240 Mass %, Max 0.001 Mass %, Max 360°C (680oF), Max
Beberapa karakteristik dari biodiesel (B100) adalah sebagai berikut: •
Kandungan sulfur kurang dari 15 ppm
•
Bebas aromatik
•
Angka setana yang tinggi (lebih dari 50)
•
Lubrikasi yang tinggi (lebih dari 6000 gram BOCLE)
•
Bisa terdegradasi secara alami
•
Tidak bersifat karsinogen
•
Flash point yang tinggi (lebih dari 127oC)
•
Nilai kalor 8% lebih rendah dari solar.
•
Pelarut yang baik (melarutkan sedimen)
•
Berpengaruh pada selang dan gasket karet mobil yang dibuat sebelum tahun 1993.
•
Diperlukan pemanasan pada tangki penyimpanan bio-diesel pada musim dingin (Boedoyo, 2006). Biodiesel yang memenuhi standar akan bersifat sangat tidak beracun dengan
tingkat toksisitas (LD50) lebih kecil dari 50 ml/kg. Dari segi lingkungan pemakaian biodiesel mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan pemakaian minyak solar, yaitu: •
Pengurangan emisi CO sebesar 50%, emisi CO2 sebesar 78,45%;
•
Biodiesel mengandung lebih sedikit hidrokarbon aromatik: pengurangan benzofluoranthene 56%, benzopyrenes 71%;
•
Tidak menghasilkan emisi sulfur (SO2);
•
Pengurangan emisi partikulat sebesar 65%;
•
Pengapian yang lebih sempurna karena angka setana yang tinggi.
•
Menghasilkan emisi NOX lebih kecil dibanding dengan penggunaan minyak diesel biasa disebabkan angka setana yang tinggi. (Boedoyo, 2006) Peningkatan
penggunaan
biodiesel
akan
memberikan
lebih
banyak
keuntungan dibandingkan dengan penggunaan minyak nabati secara langsung sebagai bahan bakar. Biodiesel dari metil ester minyak nabati tidak mengandung senyawa organik volatil. Kandungan sulfur dari minyak nabati mendekati angka nol. Tidak adanya sulfur berarti mengurangi terjadinya hujan asam oleh emisi sulfat. Penurunan sulfur dalam campuran juga akan mengurangi tingkat korosif asam sulfat yang terkumpul pada mesin dalam satu rentang waktu tertentu. Berkurangnya sulfur dan aromatik yang karsinogenik (seperti benzena, toluena, dan xilena) dalam biodiesel juga berarti pembakaran campuran bahan bakar dengan gas akan mengurangi dampak pada kesehatan manusia dan lingkungan.
Tidak seperti bahan bakar lain dengan pembakaran yang sempurna seperti gas alam (LNG), biodiesel dan biofuel lain dihasilkan dari tanaman yang mengasimilasi karbondioksida (CO2) dari atmosfer untuk membentuk minyak nabati. CO2 yang dilepaskan tahun ini dari pembakaran biodiesel, akan tertangkap lagi tahun depan oleh tanaman untuk menghasilkan minyak nabati kembali, sehingga membentuk suatu siklus. Minyak nabati mengambil lebih banyak karbon dioksida dari atmosfer selama produksinya daripada sejumlah karbon dioksida yang dilepas pada pembakaran bahan bakar. Maka dari itu, hal ini akan mengurangi peningkatan kandungan karbon dioksida di atmosfer. Pembakaran yang lebih efisien pada campuran biodiesel dengan petrodiesel pada mesin kapal dapat mengurangi polusi air. Pengoperasian yang lebih halus juga memungkinkan terjadinya pembakaran yang lebih sempurna. Sejumlah kecil kecelakaan pada penyimpanan akan memberi dampak yang relatif kecil terhadap lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar diesel dari minyak bumi, yang mengandung lebih banyak komponen toksik dan aromatik. Biodiesel dapat dihasilkan melalui proses transesterifikasi ataupun esterifikasi minyak nabati dengan alkohol menggunakan katalis asam atau basa. Sodium metilat, NaOH atau KOH serta H2SO4 merupakan katalis yang umum digunakan. Esterifikasi dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka asam ≥ 5 mg KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester seperti Gambar 2.1 dibawah. Setelah selesai tahap esterifikasi diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu. Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna, alkohol yang digunakan harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisikondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Tiwari, dkk telah dapat menurunkan kadar asam lemak bebas yang terdapat pada minyak jarak menjadi
kurang dari 1% dengan menggunakan metanol sebanyak 0,28 v/v (berdasarkan volume minyak yang digunakan) dengan katalis asam sulfat pekat sebanyak 1,43% v/v dalam waktu 88 menit dengan suhu reaksi sebesar 600C (Tiwari, dkk, 2007). O
O +
H R
+
OH
Asam Lemak Bebas
H3C
OH
R
O
CH3
+
H
OH
Metil Ester Asam Lemak / Biodiesel
Metanol
Gambar 2.1 Reaksi Esterifikasi Asam Lemak Bebas Menjadi Biodiesel
Peneliti lainnya juga telah dapat menurunkan kadar asam lemak bebas yang terkandung dalam Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS) melalui reaksi esterifikasi. Reaksi esterifikasi menghasilkan penurunan asam lemak bebas paling optimum pada perbandingan molar minyak dan metanol 1 : 8 dengan menggunakan katalis asam sulfat pekat sebanyak 1,834% (berdasarkan berat minyak) serta pada suhu reaksi 700C selama 1 jam. Jumlah asam lemak bebasnya berkurang dari 93% menjadi kurang dari 2% pada akhir reaksi (Chongkong, dkk, 2007). Metode lainnya untuk mengurangi kadar asam lemak bebas adalah dengan cara penetralan menggunakan
larutan
Na2CO3
jenuh.
Penetralan
CPO
dilakukan
dengan
menggunakan larutan Na2CO3 jenuh sebesar 2,35 M (dihitung berdasarkan nilai Ksp Na2CO3.10H2O pada suhu 26oC). Untuk menetralkan 200 gram CPO digunakan 40 ml Na2CO3 jenuh. Netralisasi dilakukan pada temperatur 90oC. Na2CO3 diteteskan ke dalam CPO dengan laju alir sekecil mungkin dan dilakukan pengadukan. Sabun yang terbentuk dipisahkan dari CPO netral (Nasikin, dkk, 2004). Reaksi transesterifikasi minyak nabati dengan metanol untuk menghasilkan biodiesel berlangsung seperti Gambar 2.2. di bawah ini.
O H 2C
O
C R
H2C
OH
HC
OH
O
O HC
O
C R
H 2C
O
C
+
3 H3C OH Metanol
Katalis
R
H2C
OH
+
3
R
O
Metil Ester Asam Lemak / Biodiesel
Gliserol
O Trigliserida
Keterangan : R = R1, R2, R3 Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi Minyak Menjadi Biodiesel Reaksi transesterifikasi minyak nabati menghasilkan biodiesel juga telah dikembangkan dengan memanfaatkan enzim lipase sebagai katalisnya. Penggunaan enzim lipase ini sangat menarik untuk dikembangkan karena gliserol sebagai hasil samping produksi dapat dipisahkan dengan mudah serta pemurnian biodieselnya juga sangat mudah dilakukan. Namun demikian dikarenakan biaya produksinya cukup tinggi maka perkembangannya kurang begitu cepat. Tetapi dengan menggunakan metode whole cell biocatalyst dengan dukungan partikel biomassa telah dapat dilakukan pembuatan biodiesel dengan harga yang jauh lebih murah (Fukuda, dkk, 2001). Jenis dan konsentrasi katalis mempengaruhi persentase hasil konversi dalam reaksi transesterifikasi. Untuk katalis basa, KOH lebih baik dibandingkan NaOH sebagai katalis dilihat dari jumlah biodiesel yang terbentuk. Disamping itu diperlukan waktu yang lebih lama untuk melarutkan NaOH dalam metanol dibandingkan KOH. Jumlah gliserol yang terbebaskan dari reaksi transesterifikasi sulit ditentukan bila digunakan NaOH sebagai katalisnya. Berdasarkan hal tersebut dinyatakan KOH lebih baik digunakan sebagai katalis dalam reaksi transesterifikasi (Sanli dan Canacki, 2008). Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis basa terjadi melalui beberapa tahapan seperti tercantum dalam Gambar 2.3 dibawah yakni: c abstraksi
proton
alkohol
oleh
katalis
basa
membentuk
CH3
anion
alkoksida;
dpenyerangan gugus karbonil trigliserida oleh anion alkoksida membentuk zat antara tetrahedral;e terjadi penataan ulang membentuk ion digliserida dan molekul alkil ester; dan f ion digliserida tersebut kemudian bereaksi dengan basa terprotonasi membentuk digliserida dan katalis basa. Tahapan reaksi ini berulang dua kali hingga terbentuk gliserol dan alkil ester asam lemak (Yan, dkk, 2010). 1)
R
+
H
O
:B
-
R
+
O
+
B
H O R
O
O
O
O
R1
O
+
O
2) R2
O
-
O
R3
R
-
O
O
R2
R1
O
R3 O
O O R O O 3)
O
R2
O
R3
R1
O R
O
O
O
-
OH
O R2
+
O
R3
O
4)
O
-
O
R1
O
R2
O
-
O
O O
R3 O
+
+ B
H
R2
O O
R3 O
Gambar 2.3 Mekanisme Reaksi Transesterifikasi Menggunakan Katalis Basa Jumlah katalis basa yang digunakan paling efektif sebanyak 1% dari total berat minyaknya. Peningkatan jumlah katalis yang digunakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah biodiesel yang dihasilkan. Apabila KOH digunakan sebanyak 1,5% akan timbul busa saat dilakukan pencucian sehingga mengganggu proses pemurnian biodiesel, bahkan terjadi pembentukan gel bila NaOH yang digunakan sebanyak 1,5% sehingga tidak terjadi reaksi transesterifikasi (Tomasevica dan Siler-Marinkovic, 2003).
+
:B
Selain jenis dan konsentrasi katalis, konsentrasi alkohol yang digunakan juga mempengaruhi jumlah biodiesel yang dihasilkan. Untuk pembentukan metil ester dengan perbandingan molar metanol yang digunakan stoikiometris hanya menghasilkan biodiesel sebesar 77,96%. Persentase biodiesel yang terbentuk meningkat sangat besar (97,85%) bila perbandingan molar metanol dengan minyak yang digunakan sebesar 1:6. Peningkatan perbandingan molar alkohol yang digunakan lebih dari 1:6 tidak menunjukkan peningkatan jumlah konversi biodiesel yang dihasilkan, bahkan cendrung hanya menyebabkan terjadinya peningkatan biaya dalam proses recovery alkoholnya. Namun demikian, untuk minyak / lemak yang memiliki viskositas dan densitas yang tinggi, penggunaan perbandingan molar alkohol lebih dari 1:6 diperlukan untuk meningkatkan kelarutan minyak / lemak-nya serta memperluas kontak antara molekul alkohol dengan minyak / lemak tersebut (Sanli dan Canacki, 2008). Biodiesel yang dihasilkan harus memenuhi standar minimal yang ditetapkan sebelum dapat digunakan. Adanya zat-zat pengotor akan menyebabkan unjuk kerja mesin menjadi tidak maksimal bahkan dapat merusakan mesin diesel tersebut. Tabel 2.2 berikut ini memperlihatkan pengaruh beberapa zat pengotor dalam biodiesel yang dapat merusakkan komponen mesin diesel. Tabel 2.2 Beberapa Zat Pengotor Dalam Biodiesel Yang Dapat Merusakkan Komponen Mesin Diesel Zat Pengotor
Efek
Komponen Mesin Terdampak
Asam lemak
Kecepatan korosi pada zink meningkat Membentuk garam
Sistem bahan bakar
Metil ester asam lemak
Efek pelarut
Elastomer sistem bahan bakar
Gliserol Mono, di, dan trigliserida
Merusak logam selain besi Menyumbat sistem penyaringan Membentuk endapan Merusak logam selain besi Menyumbat sistem penyaringan Membentuk endapan
Sistem bahan bakar Sistem bahan bakar
Methanol Alkali dan alkali tanah (Na, K, Ca, Mg) Pengotor dalam bentuk padatan Air Abu Residual coke
Korosi pada alumunium dan Zn Menurunkan titik nyala Kecepatan korosi logam selain besi meningkat Pembentukan deposit endapan meningkat Menimbulkan masalah dalam pelumasan Hidrolisis biodiesel Korosi Meningkatkan pertumbuhan bakteri Mencemari mesin dan saluran buangan gas Pengendapan pada pompa injeksi dan cincin piston
Sistem bahan bakar Sistem bahan bakar Meningkatkan emisi gas buang Sistem bahan bakar Mesin Sistem bahan bakar Mesin Emisi gas buang Mesin
Sumber: Goosen, 2007.
2.1.1. Angka Setana Angka setana adalah ukuran kecepatan bahan bakar diesel yang diinjeksikan ke ruang bakar bisa terbakar secara spontan setelah bercampur dengan udara. Angka setana pada bahan bakar mesin diesel memiliki pengertian yang berkebalikan dengan angka oktan pada bahan bakar mesin bensin. Semakin cepat suatu bahan bakar mesin diesel terbakar setelah diinjeksikan ke dalam ruang bakar, semakin baik (tinggi) angka setana bahan bakar tersebut. Cara pengukuran angka setana yang umum digunakan adalah menggunakan hexadecane (C16H34, yang memiliki nama lain setana) sebagai patokan tertinggi (angka setana, CN=100), dan 2,2,4,4,6,8,8 heptamethylnonane (HMN yang juga memiliki komposisi C16H34) sebagai patokan terendah (CN=15) (Knothe, 2003). Angka setana dalam standar biodiesel ASTM D613 minimum sebesar 47 sedangkan untuk standar Eropa (contoh di Jerman, E DIN 51606) minimum sebesar 49. Dari kedua senyawa standar tersebut terlihat bahwa angka setana menurun seiring dengan berkurangnya panjang rantai karbon dan meningkatnya percabangan. Dengan demikian hidrokarbon dengan rantai lurus lebih mudah terbakar dibandingkan dengan hidrokarbon yang memiliki banyak cabang.
Angka setana berkorelasi dengan tingkat kemudahan penyalaan pada temperatur rendah dan rendahnya kebisingan pada kondisi idle. Angka setana yang tinggi juga diketahui berhubungan dengan rendahnya polutan NOx. Secara umum, biodiesel memiliki angka setana yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Biodiesel pada umumnya memiliki rentang angka setana dari 46 - 70, sedangkan (bahan bakar) Diesel No. 2 memiliki angka setana 47 – 55. Panjangnya rantai hidrokarbon yang terdapat pada metil ester asam lemak juga menyebabkan tingginya angka setana biodiesel dibandingkan dengan solar (Knothe, 2005). Angka setana yang tinggi menyebabkan ignition delay yang pendek, sedangkan angka setana yang rendah menimbulkan knocking pada diesel. Karena keterbatasan peralatan angka setana bisa diperkirakan dengan menggunakan perhitungan cetane index. Angka setana juga dapat diperkirakan berdasarkan bilangan penyabunan dan bilangan iodium dari sampel biodiesel dengan menggunakan persamaan: CN = 46,3 + 5458/SN – 0,225 x IV Dimana: CN = Cetane Number (angka setana) SN = Saponification Number (bilangan penyabunan) IV = Iodine Value (bilangan iodium) Bilangan penyabunan dan bilangan iodium ini dapat ditentukan melalui titrasi analitis atau menggunakan persamaan berikut ini: SN = ∑ (560 x A1) / MW IV = ∑ (254 x D x A1) / MW Dimana: A1 D
= Persentase konsentrasi komponen asam lemak tidak jenuh = Jumlah ikatan rangkap yang terdapat pada minyak tersebut
MW = Berat molekul minyak Peneliti sebelumnya menemukan bahwa bilangan penyabunan dan bilangan iodium yang diperoleh melalui hasil perhitungan dan titrasi analitis memberikan hasil yang sama. Namun demikian untuk penentuan angka setana-nya antara hasil perhitungan menggunakan persamaan diatas dengan hasil eksperimen memberikan
hasil yang berbeda, dimana hasil perkiraan angka setana menggunakan persamaan diatas lebih kecil ± 2,5 dibandingkan angka setana hasil eksperimen (Azam, dkk, 2005). Geller dan Goodrum, menyatakan panjang rantai karbon asam lemak dan tingkat kejenuhannya mempengaruhi angka setana biodiesel. Semakin panjang rantai karbon asam lemaknya dan semakin jenuh rantainya maka semakin tinggi angka setana biodiesel tersebut (Geller dan Goodrum, 2004). Angka setana yang paling tinggi diperoleh dari biodiesel yang banyak mengandung asam palmitat dan stearat sedangkan biodiesel yang mengandung asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan rangkap tunggal memiliki kisaran angka setana medium. Hal ini disebabkan peningkatan jumlah ikatan rangkap dan adanya percabangan pada rantai karbonnya yang menyebabkan angka setana menjadi menurun. Tabel 2.3 berikut ini memperlihatkan angka setana, titik kabut dan stabilitas dari asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh tunggal dan asam lemak jenuh poli. Tabel 2.3 Beberapa Sifat Biodiesel Berdasarkan Perbedaan Asam Lemak yang Terkandung Didalamnya
SIFAT
ASAM LEMAK JENUH
C12:0; C14:0; C16:0; C18:0; C20:0; C22:0 Angka Setana Tinggi Titik Kabut Tinggi Stabilitas Tinggi Sumber: Tyson, 2006.
ASAM LEMAK TIDAK JENUH TUNGGAL
ASAM LEMAK TIDAK JENUH POLI
C16:1; C18:1; C20:1; C22:1
C18:2; C18:3
Sedang Sedang Sedang
Rendah Rendah Rendah
Tabel 2.4 berikut dibawah ini memperlihatkan angka setana biodiesel dari beberapa minyak nabati hasil penelitian dari beberapa peneliti (Bangboye dan Hansen, 2008).
Tabel 2.4 Angka Setana Biodiesel dari beberapa Minyak / Lemak SME
RME
SUNME
CME
PME
POME
TME
CAME
45,0 46,2 54,7 45,0 54,8 60,0 51,9 48,6 45,0 51,0 47,2 52,0 56,4 47,3 59,0
51,9 54,4 49,4 54,5 54 – 65 53,0 51 – 59 51,0 59,7 44 – 48 53,3 -
61,2 50,0 58,0 58,0 49,0 -
52,0 45 – 55 54,0 54,0 -
54,0 54,0 -
59 – 70 62,0 58,3 62,0 -
58,0 62,9 64,8 -
53,9 55,0 -
Keterangan: SME RME SUNME CME PME POME TME CAME
= = = = = = = =
Soybean Methyl Ester (Metil Ester Minyak Kedelai) Rapeseed Methyl Ester (Metil Ester Minyak Biji Rapa) Sunflower Methyl Ester (Metil Ester Minyak Biji Matahari) Cottonseed Methyl Ester (Metil Ester Minyak Biji Kapuk Randu) Peanut Methyl Ester (Metil Ester Minyak Biji Kacang) Palm Oil Methyl Ester (Metil Ester Minyak Sawit) Tallow Methyl Ester (Metil Ester Lemak Hewan) Canola Methyl Ester (Metil Ester Minyak Kanola)
2.1.2. Titik Kabut dan Titik Tuang Titik kabut adalah temperatur pada saat bahan bakar mulai tampak berawan (cloudy) yang biasanya disebabkan oleh karena munculnya kristal-kristal (padatan) didalam bahan bakar. Pada bahan bakar diesel yang berasal dari minyak nabati, kristal-kristal ini muncul disebabkan adanya rantai karbon jenuh yang cukup panjang (C16 – C18). Meski bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini, keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar di dalam filter, pompa, dan injektor. Sedangkan titik tuang adalah temperatur terendah yang masih memungkinkan terjadinya aliran bahan bakar; di bawah titik tuang bahan bakar tidak lagi bisa mengalir karena terbentuknya kristal/gel yang menyumbat aliran bahan bakar. Dilihat dari definisinya, titik kabut terjadi pada temperatur yang lebih tinggi
dibandingkan dengan titik tuang. Pada umumnya permasalahan pada aliran bahan bakar terjadi pada temperatur diantara titik kabut dan titik tuang; pada saat keberadaan kristal mulai mengganggu proses filtrasi bahan bakar. Oleh karena itu, digunakan metode pengukuran yang lain untuk mengukur performansi bahan bakar pada temperatur rendah, yakni Cold Filter Plugging Point (CFPP) di negara-negara Eropa (standard EN 116) dan Low-Temperature Flow Test (LTFT) di Amerika Utara (standard ASTM D4539) (Knothe, 2005). Pada umumnya, titik kabut dan titik tuang biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada penggunaan biodiesel, terutama di negara-negara yang mengalami musim dingin. Untuk mengatasi hal ini, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada temperatur rendah. Namun demikian penambahan aditif tersebut tidak menurunkan titik kabutnya. Selain menggunakan aditif, bisa juga dilakukan pencampuran antara biodiesel dan solar. Pencampuran antara biodiesel dan solar terbukti dapat menurunkan titik kabut dan titik tuang bahan bakar (Indartono, 2006). Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan titik kabut dan titik tuang bahan bakar adalah dengan melakukan "winterization" (Knothe, 2005). Pada metode ini, dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini terjadi karena asam lemak tak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Maka proses winterization sejatinya merupakan proses pengurangan asam lemak jenuh pada biodiesel. Di sisi lain, asam lemak jenuh berkaitan dengan angka setana. Oleh karena itu proses winterization dapat menurunkan angka setana bahan bakar diesel (Indartono, 2006). Metode lainnya untuk menurunkan titik kabut dan titik tuang biodiesel adalah dengan menggunakan alkohol bercabang sebagai pengganti metil atau etil dalam pembuatan biodiesel. Peneliti sebelumnya telah meneliti suhu kristalisasi biodiesel yang dibuat dari minyak kedelai dengan isopropil, 2-butil, t-butil dan neopentil alkohol serta membandingkannya dengan metanol dan etanol. Keseluruhan reaksi
dilakukan dengan menggunakan katalis basa yakni logam natrium. Suhu Titik tuang dan titik kabut semakin menurun seiring semakin bercabangnya alkohol yang digunakan (Lee, dkk, 1995). Peneliti lainnya juga telah mensintesa isopropil ester dari minyak kedelai dan lemak hewan (yellow grease). Hasil pengujian pada kendaraan bermesin diesel menunjukkan emisi gas buang yang dihasikan dari isopropil ester lebih baik dibandingkan bahan bakar solar (Wang, dkk, 2005). Tabel 2.5. Titik Tuang dan Titik Kabut (0C) Beberapa Biodiesel dari Minyak atau Lemak Hewani BIODIESEL Minyak Kanola Minyak Kedelai Lemak Hewan (non edible) Lemak Hewan (edible) Minyak Babi Gemuk Kuning 1 (Yellow Grease) Gemuk Kuning 1 (Yellow Grease) Sumber: Tyson, 2006.
2.2.
TITIK KABUT -3 2 20 23 14 42 8
TITIK TUANG -4 -1 13 8 11 12 8
MINYAK KELAPA SAWIT
Tanaman kelapa sawit berasal dari Nigeria (Afrika Barat). Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur diluar daerah asalnya seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Buah kelapa sawit terdiri dari 2 bagian yakni daging buah dan inti sawit (Gambar 2.4). Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah sedangkan bagian inti sawitnya menghasilkan minyak inti sawit. Minyak kelapa sawit terdiri atas berbagai trigliserida dengan rantai asam lemak yang berbeda-beda. Panjang rantai adalah antara 14 – 20 atom karbon. Dengan demikian sifat minyak sawit ditentukan oleh perbandingan dan komposisi trigliserida tersebut. Kelapa sawit yang banyak dibudidayakan di Indonesia
adalah kelapa sawit dari Afrika yang dikenal sebagai Elaeis guineensis J. Minyak kelapa sawit berasal dari sabut (mesocarp) dan minyak inti sawit dari inti (endocarp). Minyak kelapa sawit kaya akan kandungan palmitat dan oleat sedangkan minyak inti sawit kaya akan laurat. Komposisi asam lemak minyak inti sawit mirip dengan minyak kelapa dimana kedua jenis minyak ini disamping mengandung laurat juga mengandung kaprilat, kaprat, miristat, palmitat dan oleat. Perbedaan komposisi kedua minyak ini terletak pada kandungan oleatnya, dimana minyak inti sawit mengandung oleat 13 – 18% sedangkan minyak kelapa 5 – 10% (Brahmana, 1998).
Gambar 2.4 Tanaman dan penampangan buah kelapa sawit Minyak kelapa sawit mengandung oleat dan palmitat sebagai komponen utamanya disamping ada linoleat, stearat dan arakhidat dalam jumlah kecil. Minyak kelapa sawit ini secara fraksinasi dapat dipisahkan dalam bentuk stearin dan olein. Stearin kaya akan kandungan asam palmitat dan berbentuk padat serta sulit untuk dipasarkan sebagai sumber minyak yang dapat dimakan seperti halnya olein yang kaya akan kandungan oleat. Stearin tersebut baru melebur pada suhu diatas 400C yaitu diatas suhu tubuh manusia, karena itu tidak dapat digunakan sebagai minyak yang dapat dimakan. Untuk itu stearin tersebut harus dicampurkan dengan minyak nabati cair lainnya secara reaksi interesterifikasi dengan bantuan katalis tertentu agar pada suhu tertentu padat tetapi pada suhu tubuh mencair. Untuk menentukan pada suhu berapa masih padat dan pada suhu tubuh mencair dapat dilakukan secara in vitro
dengan mengukur kandungan padat lemak (solid fat content) pada tingkat suhu tertentu dengan menggunakan pulsa NMR. Untuk mendapatkan minyak kelapa dari daging buah kelapa sawit dapat dilakukan dengan ekstraksi pelarut dan ekstraksi mekanik. Ekstraksi pelarut lebih baik dari pada ekstraksi mekanik karena kehilangan minyaknya relatif lebih sedikit. Dengan ekstraksi mekanik kehilangan minyak dapat mencapat 8%. Untuk menghasilkan minyak kelapa sawit dari kelapa sawit harus dilakukan beberapa proses sampai dihasilkan minyak kelapa sawit kasar (crude palm oil / CPO). Selanjutnya dilakukan proses penyulingan untuk penjernihan dan penghilangan bau menghasilkan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). RBDPO kemudian diuraikan lagi menjadi minyak sawit padat (RBD Stearin) dan minyak sawit cair (RBD Stearin). Secara keseluruhan proses penyulingan CPO ini akan menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% destilat asam lemak minyak sawit (Palm Fatty Acid Destilate / PFAD) dan 0,5% buangan. Gambar 2.5 berikut ini memperlihatkan proses penyulingan CPO menghasilkan RBD Stearin dan RBD Olein (Anonim 3).
CPO Pembuangan Getah dan Penjernihan Warna
Penyaringan dan Penghilangan Bau
RBDPO
RBD Olein
Pemisahan dan Penyaringan
DALMS (5%)
RBD Stearin
Gambar 2.5 Alur Proses Penyulingan Minyak Kelapa Sawit
Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses pemucatan, karena asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Warna orange atau kuning disebabkan adanya pigmen karotene yang larut dalam minyak. Bau dan flavor dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asamasam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaan beta iodine. Titik cair minyak kelapa sawit berada dalam kisaran suhu 21 – 400C karena mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang berbeda-beda (Ketaren, 1986). Tabel 2.6 berikut ini memperlihatkan sifat fisik dan kimia minyak kelapa sawit kasar dan murni. Tabel 2.6 Sifat Fisika dan Kimia Minyak Kelapa Sawit SIFAT FISIKA DAN KIMIA Titik Cair Awal (0C) Titik Cair Akhir (0C) Bobot Jenis (150C) Indeks Bias (D 400C) Bilangan Penyabunan Bilangan Iod Bilangan Reichert Meissl Bilangan Polenske Bilangan Krichner Bilangan Bartya Sumber: Ketaren, 1986.
MINYAK KELAPA SAWIT KASAR MURNI 21 – 24 29,4 26 – 29 40,0 0,859 – 0,870 36,0 – 37,5 46 – 49 224 – 249 196 – 206 14,5 – 19,0 46 – 52 5,2 – 6,5 9,7 – 10,7 0,8 – 1,2 33 -
Standar mutu merupakan hal yang penting untuk menentukan minyak yang bermutu baik. Ada beberapa faktor yang menentukan standar mutu yaitu: kandungan air, kotoran dalam minyak, kandungan asam lemak bebas, warna, serta bilangan peroksida. Faktor lain yang mempengaruhi standar mutu adalah titik cair dan kandungan gliserida, refining loss, plastisitas dan spreadability, kejernihan kandungan logam berat dan bilangan penyabunan. Mutu minyak kelapa sawit yang baik mempunyai kadar air kurang dari 0,1 persen dan kadar kotoran lebih kecil dari 0,01 persen, kandungan asam lemak bebas serendah mungkin (kurang lebih 2 persen
atau kurang), bilangan peroksida di bawah 2, bebas dari warna merah dan kuning (harus berwarna pucat) tidak berwarna hijau, jernih, dan kandungan logam berat serendah mungkin atau bebas dari ion logam (Ketaren, 1986). Minyak kelapa sawit bermutu prima mengandung asam lemak bebas tidak lebih dari 2% saat pengapalan. Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti, pertama, benar-benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain yang dapat ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisiknya, yaitu dengan mengukur titik lebur, angka penyabunan dan bilangan iodium. Kedua, pengertian mutu minyak kelapa sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini, syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar asam lemak bebas, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida dan ukuran pemucatan. Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk (Anonim 3, 2007).
2.3.
MINYAK JARAK PAGAR
Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan jenis tanaman dari keluarga Euphorbiceae yang banyak ditemukan di Afrika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan India. Tanaman ini mirip dengan tanaman jarak kepyar, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Castor Bean dengan nama species Ricinus communis L. Beberapa varietas dari minyak jarak pagar telah banyak dikenal, misalnya Cape Verde, Nicaragua, Nigeria, dan Mexico yang tak beracun. Tanaman jarak Castor Bean banyak digunakan untuk penelitian terapi penyakit kanker dan sebagai bahan pelumas, sedangkan tanaman jarak pagar lebih banyak terkait dengan sintesis biodiesel (Sopian, 2005). Struktur kimia dari minyak jarak pagar terdiri dari trigliserida dengan rantai asam lemak yang lurus (tidak bercabang), dengan atau tanpa rantai karbon tak jenuh, mirip dengan CPO. Struktur kimia dari minyak jarak pagar sangat berbeda dengan minyak jarak kepyar (Ricinnus communis Linn), yang mempunyai cabang hidroksil.
Jarak pagar merupakan tanaman semak yang tumbuh cepat dengan ketinggian mencapai 3-5 meter. Tanaman ini tahan kekeringan dan dapat tumbuh di tempat dengan curah hujan 200-1.500 milimeter per tahun. Di Indonesia, tanaman ini dapat ditemukan tumbuh secara liar di propinsi Nusa Tenggara Timur dan di area yang tidak subur lainnya. Sedangkan di daerah Jawa, tanaman jarak banyak digunakan sebagai pagar pembatas lahan. Buahnya berbentuk elips dengan panjang satu inci (sekitar 2,5 cm), memiliki 2 hingga 3 biji (Gambar 2.6) dengan kadar minyak dalam inti biji 54,2% atau sekitar 31,5% dari total berat biji.
Gambar 2.6 Tanaman Jarak Pagar dan buahnya Sebagai tanaman pagar dengan jarak tanam 20-40 cm dan pencahayaan matahari yang terbatas, produktivitas biji jarak pagar berkisar antara 1-2 Kg/pohon/tahun.
Namun
jika
jarak
pagar
ditanam
dengan
pencahayaan,
pengomposan, dan pengairan yang baik maka produktivitas bijinya dapat mencapai 510 pohon/tahun. Setelah 5 tahun dapat dihasilkan 5 sampai 25 ton benih per tahun dalam setiap hektarnya. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 2 m, sehingga pada 1 hektar lahan dapat ditanam 2500 pohon Umumnya seluruh bagian dari pohon jarak beracun, sehingga tanaman ini hampir tidak mempunyai hama serta merupakan tanaman non pangan dengan nilai ekonomi rendah yang akan menguntungkan proses
pembuatan biodiesel jika ditinjau dari harga bahan mentahnya. Tanaman jarak pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 m di atas permukaan air laut. Temperatur tahunan yang dibutuhkan jarak pagar adalah 20-280C. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, antara lain tanah berbatu, tanah liat, dan bahkan di tanah yang kurang subur. Hal ini akan menguntungkan pembudidayaan tanaman jarak pagar di daerah yang kurang subur. Semua bagian tanaman ini berguna. Daunnya untuk makanan ulat sutera, antiseptik, dan antiradang, sedangkan getahnya untuk penyembuh luka dan pengobatan lain serta yang paling tinggi manfaatnya adalah buahnya. Daging buahnya dapat digunakan untuk pupuk hijau dan produksi gas, sementara bijinya untuk pakan ternak (dari varietas tak beracun). Minyak jarak pagar mempunyai warna kuning terang dan mempunyai bilangan iodin yang tinggi (sekitar 105,2 mg iodin/g), yang menunjukkan tingginya hidrokarbon tak jenuh. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil uji komposisi asam lemak minyak jarak pagar. Jenis asam lemak minyak jarak pagar mirip dengan jenis minyak lainnya, namun kandungan asam oleat dan linoleatnya berkisar 90%. Struktur dan komposisi kimianya menyebabkan minyak jarak pagar lebih disukai sebagai pengganti CPO pada aplikasi non pangan. Komposisi asam lemak yang terkandung dalam minyak jarak pagar seperti yang tercantum dalam Tabel 2.7 dibawah ini. Jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tabel. 2.7 Komposisi Asam Lemak Minyak Jarak Pagar ASAM LEMAK Oleat Linoleat Palmitat Stearat Palmitoleat Linolenat Arakidat Miristat Sumber: Ketaren, 1986
KADAR (%) 34,3 – 45,8 29 – 44,2 14,1 – 15,3 3,7 – 9,8 0 – 1,3 0 – 0,3 0 – 0,3 0 – 0,1
RUMUS KIMIA C18H34O2 C18H32O2 C16H32O2 C18H36O2 C18H30O2 C20H40O2 C14H28O2
Hampir semua bagian tanaman jarak pagar dan limbah yang dihasilkan, baik pada saat pengepresan biji jarak pagar maupun gliserin yang dihasilkan pada pembuatan biodiesel dapat dimanfaatkan dengan mengolahnya lebih lanjut menjadi produk-produk turunan lainnya. Pemanfaatan minyak jarak menjadi produk sabun merupakan upaya yang ekonomis. Sebagaimana minyak nabati lainnya, minyak jarak dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan sabun karena mampu memberikan efek pembusaan yang sangat baik dan memberikan efek positif terhadap kulit, terutama bila ditambahkan gliserin pada formula sabun tersebut. Teknologi pembuatan tersebut sangat sederhana, yaitu hanya berupa proses pencampuran (blending), pengadukan, dan pencetakan. Disamping sabun, pemanfaatan bungkil (sisa pengepresan) sebagai bahan baku arang briket dapat meningkatkan nilai tambah jarak pagar. Namun pemanfaatannya sebagai sumber protein pakan ternak terkendala oleh adanya senyawa toksin phorbol ester dan curcin. Oleh karena itu, sebagai salah satu alternatif hal tersebut, bungkil jarak dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan pupuk organik dan arang briket sebagai bahan bakar alternatif lainnya.