BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.2
Makna Hidup
2.2.1
Definisi Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hak khusus yang di rasakan penting dan di yakini sebagai
sesuatu yang benar serta layak di jadikan sebagai tujuan hidup yang harus di raih. Makna hidup ini bila berhasil di penuhi akan menyebabkan kehidupan seseorang di rasakan penting dan berharga yang pada gilirannya akan menimbulkan penghayatan bahagia (Bastaman, 2000). Frankl mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya satu kesempatan atau kemungkinan yang di latarbelakangi oleh realitas atau menyadari apa yang bisa dilakukan pada situasi tertentu (Frank, 2004) Adanya suatu dorongan fundamental yang dimiliki oleh manusia, yaitu kehendak untuk memaknai hidup. Pencariaan manusia mengenai makna hidup kekuatan utama dalam hidup dan bukan merupakan kekuatan utama dalam hidup dan bukan merupakan suatu “rasionalisasi sekunder” dari bentuk insting-insting. Makna tersebut bersifat unik dan spesifik yang hanya dapat di isikan oleh dirinya sendiri karena hanya dengan cara-cara tersebut seseorang akan mendapatkan sesuatu yang penting yang akan memuaskan ke inginan manusia untuk memaknai hidup ( Frankl, 2003) Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life) (dalam Bastaman, 2007). Bila hal itu berhasil dipenuhi akan menyebabkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness). Dan makna hidup ternyata ada dalam kehidupan itu sendiri, dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan. Ungkapan seperti “Makna dalam Derita” (meaning in suffering) atau “Hikmah dalam Musibah” (Blessing in Disguise) menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun hidup tetap dapat ditemukan. Pengertian mengenai makna hidup menunjukkan bahwa dalam makna hidup terkandung juga tujuan, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Mengingat antara makna hidup dan tujuan hidup tak dapat dipisahkan, maka keperluan praktis pengertian “makna hidup” dan “tujuan hidup disamakan”. Apakah sumber makna hidup? 2.3
Sumber - sumber Makna Hidup Menurut (Frankl dalam Bastaman, 2007) tiga sumber makna hidup adalah a). Nilai –nilai
kreatif (creative values) kegiatan berkarya, berkerja, menciptakan serta melaksanakan tugas – tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Nilai kreatif dapat diraih melalui berbagai kegiatan.pada dasarnya seseorang bisa mengalami stres jika terlalu banyak beban perkerjaan namun ternyata seseorang akan merasa hampa dan stress pula jika tidak ada kegiatan yang di lakukannya. Kegiatan yang di maksud tidaklah semata –mata kegiatan mencari uang tetapi perkerjaan yang membuat seseorang dapat merealisasikan potensi-potensi sebagai sesuatu yang bisa dinilainya berharga bagi dirinya sendiri atau orang lain maupun kepada Tuhan. b). Nilai –nilai penghayatan ( experiential values) keyakinan dan penghayatan akan nilai nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Nilai penghayatan menurut
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Frankl dapat di katakan berbeda dari nilai kreatif karena memperoleh nilai penghayatan adalah dengan menerima apa yang ada dengan penuh pemaknaan dan penghayatan yang mendalam. Realisasi penghayatan dapat dicapai dengan berbagai macam bentuk penghayatan terhadap keindahan,rasa cinta dan memahami suatu kebenaran. Makan hidup dapat di raih melalui berbagai momen maupun hanya dari sebuah momen tunggal yang sangat mengesankan bagi seseorang. c).Nilai –nilai bersikap (attitudinal values) menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin di elakan lagi seperti sakit yang tidak dapat di sembuhkan, kematiaan,dan menjelang kematiaan,setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal. Nilai terakhir adalah nilai bersikap, Nilai ini sering dianggap paling tinggi karena dalam menerima kehilangan kesempatan untuk menerima cinta kasih, manusia tetap bisa mencapai makna hidupnya melaui penyikapan terhadap apa yang terjadi bahkan dalam suatu musibah yang tak terelakan seseorang masih bisa menjadikannya suatu momen yang sangat bermakna dengan cara menyikapinya secara tepat. Dengan kata lain penderitaan yang di alami seseorang masih tetap dapat memberikan makna pada dirinya. 2.4.
karakteristik Makna Hidup Makna hidup yang seperti yang di konsepkan (Bastaman,(2007) dalam Prasada 2007)
memiliki berberapa karakteristik, di antaranya: a) Makna hidup itu sifatnya unik dan personal sehingga tidak dapat di berikan oleh siapapun melainkan harus di temukan sendiri. b) Makna hidup itu spesifik dan kongkrit hanya dapat di temukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari serta tidak selalu di kaitakan dengan tujuaan idealistis maupun renungan filosofis. c) Makna hidup diakui sebagia sesuatu yang bersifat mutlak sempurna dan paripurna 2.5.
Proses Penemuaan Makna Hidup
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bastaman (1996) mengemukakan bahwa dalam proses perubahan diri dari penghayatan hidup tak bermakna dapat digambarkan tahapan-tahapan pengalaman tertentu. Hal ini hanya merupakan kontruksi teoritis yang dalam realita sebenarnya tidak selalu mengikuti urutan tersebut ( untuk mempermudah pemahaman secara menyeluruh). Tahapan tahapan ini dapat di golongkan menjadi lima tahapan sebagai berikut: a) Peristiwa tragis merupakan peristiwaperistiwa yang tak terelakan, baik yang bersumber dari dalam diri sendiri maupun berasal dari lingkungan. Peristiwa tersebut menimbulkan perasaan kecewa, sedih, marah, dan stress. b) Penghayatan tak bermakna merupakan penghayatan-penghayatan terhadap peristiwa tragis yang dihadapi dengan mengembangkan sikap mental dan citra negatif terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Hal ini yang akan menimbulkan gangguan penyakit organik dan psikis serta sebagai perilaku menyimpang lainnya. c) Pemahaman diri merupakan upaya dalam mengenali dan memahami diri dari peristiwa tragis yang dialami secara positif dengan mengurangi hal-hal yang bersifat negatif. Pengenalan dan pemahaman tersebut berupa penyadaran sikap sehingga bermanfaat untuk masa yang akan datang. d) Penemuan makna dan tujuan hidup merupakan usaha dalam mendapatkan atau mengatasi kesulitan-kesulitan dan perasaan yang tak menyenangkan akibat penderitaan. Hikmah dapat ditemukan dari penderitaan yang dihadapinya .e) Perubahan sikap merupakan perubahan atas diri seseorang atas hikmah yang didapatkan dengan menambah pengalaman baru dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan menyadari batasan-batasannya sehingga dapat menentukan sendiri sikap yang akan diambil.e) Keikatan diri merupakan sebuah komitmen terhadap sikap yang telah diambil terhadap makna hidup yang telah ditemukan, sehingga tujuan hidup dapat ditetapkan. f) Kegiatan terarah dan penemuan makna hidup merupakan upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi pribadi (bakat, keterampilan, kemampuan) yang positif serta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. g) Hidup bermakna merupakan kehidupan yang dapat mengubah hidup tanpa makna jadi bermakna, sehingga urutan pengalaman dan tahap-tahap yang dilalui seseorang dapat lebih berarti dalam menentukan tujuan hidup. h) Kebahagiaan merupakan perasaan bahagia yang muncul sebagai tujuan akhir mengubah hidup tanpa makna menjadi bermakna. Berdasarkan urutannya, menurut Bastaman (1996) maka skema diatas dapat dikategorikan kedalam lima kelompok tahapan: a) Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna). b) Tahap Penerimaan (Pemahaman diri, perubahan sikap). c) Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan tujuaan hidup). d) Tahap realisasi makna (Keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup). e) Tahap kehidupan bermakna (Penghayatan bermakna dan kebahagiaan). 2.6.
Komponen-komponen yang Menentukan Keberhasilan Makna Hidup Bastaman (dalam Wibowo, 2007) menyusun komponen-komponen yang
menentukan
berhasilnya perubahan dan penghayatan hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna, diantaranya: a) Pemahaman diri (self insight), yakni kesadaran akan kondisi yang dinilai buruk saat ini dan keinginan untuk melakukan perbaikan. b) Makna hidup (meaning of life), yakni nilainilai yang penting bagi individu yang berperan sebagai pedoman dan tujuan hidup yang harus dipenuhi. c) Pengubahan sikap (changing attitude) yang semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah atau musibah yang tidak terelakan. d) Keikatan diri (self commitment) terhadap usaha pemenuhan makna hidup yang telah ditentukan. e) Kegiatan terarah (directed activities), yakni segala upaya yang secara sadar dilakukan berbagai pengembangan minat, potensi, dan kemauan positif. f) Dukungan social (social support), yakni adanya seorang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
atau sejumlah orang yang dipercaya dan bersedia mampu memberikan dukungan dan bantuan bilamana diperlukan. Keenam unsur tersebut merupakan proses integral dan dalam konteks mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, antara satu dengan yang lain tak dapat dipisahkan. Selanjutnya berdasarkan sumbernya, komponen-komponen tersebut masih dapat dikelompokkan jadi tiga (Bastaman, 1996), yaitu: a) Kelompok komponen personal (pemahaman diri, pengubahan sikap). b) Kelompok komponen sosial (dukungan sosial). c) Kelompok komponen nilai (makna hidup, keikatan diri, dan kegiatan terarah 2.7.
Bunuh Diri Perilaku percobaan bunuh diri definisi percobaan bunuh diri (Suicide Attempt) Secara
umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000). Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000). Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahulu misalnya untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mendapatkan perhatian, membalas dendam mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain: a) Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional. b) Bunuh diri dilakukan dengan intensi. c) Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri. d) Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah. Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri. Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada kematian. Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat pada kematian. Metode bunuh diri menurut Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu. Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu: a). obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
b). menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas) c). senjata api dan peledak d). menenggelamkan diri. e). melompat. f). memotong (menyayat dan menusuk) Faktor penyebab bunuh diri, bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, menurut Manu dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000). Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008): a) Major-depressive illness, affective disorder b). Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif) c). Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri d). Sejarah percobaan bunuh diri e) . Sejarah bunuh diri dalam keluarga. f). Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan. g) Hopelessness dan cognitive rigidity. h). Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal). I)
Kemarahan, agresi, dan impulsivitas. j). Rendahnya tingkat 5-HIAA. k). Key
http://digilib.mercubuana.ac.id/
symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global, halusinasi perintah) l). Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh diri). m). Akses pada media untuk melukai diri sendiri. n). Penyakit fisik dan komplikasinya. o). Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas Penjelasan Bunuh Diri Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang kompleks. Penjelasan Psikologis Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi. Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif. Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional (automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu beresiko melakukan bunuh diri. Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup dan mati. Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan. Penjelasan biologis banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak,
dimana serotonin diasosiasikan dengan perilaku agresif dan
kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sama. Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri. Penjelasan Sosiologis yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu: a) Egoistic Suicide Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, dimana individu mengalami
underinvolvement dan
underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih
beresiko melakukan perilaku bunuh diri. b) Altruistic
SuicideIndividu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan
bunuh diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal
didapatkan dari identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu tugas. c) Anomic Suicide Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya. d) Fatalistic Suicide Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
anomic suicide, dimana individu
mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak. Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation). Definisi pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”). Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi (Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris, dalam Maris dkk., 2000) Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris dkk., 2000). Jobes, Berman , dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Karakteristik pikiran bunuh diri Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa depan menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah. Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh diri antara lain: Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient Problem-Solving Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menyatakan bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit.Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya. Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving deficit) diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan masalah interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness, dan intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical memory
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidak berfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality Hopelessness. Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Alasan untuk hidup alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk menyatakan alasan untuk hidup.
Linehan telah
mengembangkan RFL (Reasons for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu suicidal dan
non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan
beberapa variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini mengakibatkan self-criticism.
Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis, diantaranya
self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri sendiri), other-oriented
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna). Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri. Konsep diri menurut Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian, kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell, Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut (self-verification) (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005). Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected diasosiasikan dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya. Ruminative Response Style Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan
depresi merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri
(Tanney, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(brooding) dan bentuk aktif (reflection) (Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi.
Brooding dapat
memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflectionhingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh diri. Autobiographical Memory, Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William & Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh diri dalam 3 hal berikut:
autobiographical memory yang terlalu umum
menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri pada individu.
2.8.
Skema Pemikiran Makna Hidup terdapat tahapan-tahapan dalam pencarian makna hidup, Bastaman (1996)
berpendapat, berdasarkan urutannya , terdapat lima kelompok tahapan. Tahap pertama adalah a) tahap derita. Seseorang yang berada pada tahap ini mengalami peristiwa-peristiwa tragis, seperti
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang dialami oleh pelaku percobaan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh diri dengan kehidupannya yang cukup memperihatinkan dan dalam kehidupan keseharian penuh dengan derita ini tahap yang di ungkap oleh Bastaman (1996) serta adanya berbagai macam hinaan dan pandangan negatif mengenai dirinya seperti di lecehkan,di hinakan,di abaikan serta pengucilan dari orang sekitar dalam kehidupanya . Penghayatan tanpa makna juga terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa tragis tersebut. Seseorang mengembangkan sikap mental dan citra negative terhadap diri dan lingkungannya. Tahap selanjutnya adalah b) tahap penerimaan. Seseorang mulai berupaya mengenali dan memahami diri dari peristiwa tragis tersebut secara positif dengan mengurangi hal-hal yang bersifat negatif. Seseorang juga mulai melakukan pengubahan sikap dengan menambah pengalaman baru yang didapatnya dan mulai menyesuaikan diri terhadap lingkungannya sehingga bisa menentukan sikap yang akan diambilnya. Seseorang yang telah melalui tahap tersebut, maka akan berusaha mendapatkan atau mengatasi kesulitan-kesulitan dan perasaan yang tak menyenangkan akibat peristiwa tragis tersebut. Hikmah dapat ditemukan dari peristiwa tersebut. Tahap ini disebut c) tahap penemuan makna hidup. Makna hidup yang telah ditemukan tersebut, membuat seseorang membangun sebuah komitmen terhadap sikap yang telah diambil terhadap makna hidup yang ditemukan, dan mulai menentukan tujuan hidup. Seseorang melakukan upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka mencapai tujuan hidup yang telah dipilihnya tersebut. Upaya yang dilakukan berupa pengembangan potesnipotensi positif yang dimiliki oleh seseorang. Tahap-tahap diatas juga dipengaruhi oleh beberapa komponen dari makna hidup. Bastaman (1996) membagi komponen tersebut menjadi tiga kelompok berdasarkan sumbernya. Kelompok pertama adalah d) komponen personal. Komponen ini terdiri atas pemahaman diri dan pengubahan sikap. Seseorang harus memiliki pemahaman postif mengenai dirinya dan mulai menentukan sikap yang akan diambilnya dalam menghadapi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
peristiwa tragis yang dialaminya. Komponen selanjutnya adalah e) komponen sosial. Komponen ini berisikan adanya dukungan sosial, yakni adanya seseorang atau sejumlah orang yang dipercaya dan bersedia mampu memberikan dukungan bilamana dibutuhkan. Komponen yang ketiga adalah f) komponen nilai. Seseorang harus mempunyai nilai-nilai penting bagi dirinya sebagai pedoman hidup, dan mempunyai tujuan hidup, serta komitmen dan upaya yang dilakukannya demi tercapainya tujuan tersebut.
Kerangka Pemikiran
2.9.
Skema Pemikiran Prilaku Percobaaan Bunuh Diri
Komponen-komponen keberhasilan makna hidup (Wibowo, 2007)
• • •
Komponen Personal Komponen Sosial Komponen Nilai
Proses Pencarian Makna Hidup (Bastaman, 1996)
• • • • •
Tahap Derita Tahap Penerimaan Tahap Penemuan Makna Hidup Tahap Realisasi Makna Tahap Kehidupan Bermakna
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Makna Hidup
Tidak Bermakna
http://digilib.mercubuana.ac.id/
.
http://digilib.mercubuana.ac.id/