BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sampah Organik Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh
masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, melalui proses pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya. Sedangkan menurut Apriadji (2002), sampah atau dalam bahasa inggrisnya waste, adalah zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah merupakan bahan buangan yang tidak diperlukan lagi. Brata dan Nelistya (2008), mengartikan sampah sebagai sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Berdasarkan zat kimia yang dikandungnya, sampah dikelompokkan kedalam sampah anorganik dan sampah organik. Sampah organik adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk seperti sisa-sisa makanan, daun-daunan, dan buah-buahan (Brata dan Nelistya, 2008). Sampah organik ini biasanya merupakan bahan-bahan yang tidak dapat didaur ulang dan dipakai lagi, akan tetapi merupakan bahan yang terdekomposisi relatif cepat dan dapat dimanfaatkan dalam bentuk lain seperti kompos. Berdasarkan asalnya, yang tergolong sampah organik adalah bahan-bahan yang berasal dari mahluk hidup seperti sisa-sisa dari tumbuhan, hewan, ataupun manusia. Bila digolongkan kedalam asal tersebut, kertas ataupun karton termasuk kedalam sampah organik, namun karena barang tersebut bisa didaur ulang seperti kaleng, kaca, ataupun logam, maka digolongkan kedalam sampah anorganik. Sampah organik banyak jenisnya dan sangat beragam. Namun spesifik untuk kalangan rumah tangga yang sering disebut sampah rumah tangga, sampah organik ini terdiri dari sisa-sisa makanan (cangkang buah-buahan, sisa sayuran yang tidak terpakai), serta daun-daun yang berguguran baik di halaman rumah ataupun taman.
4
2.2
Lubang Resapan Biopori Biopori merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh
mahluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara dalam tanah. Liang pada biopori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman di dalam tanah serta meningkatnya aktifitas fauna tanah, seperti cacing tanah, rayap, dan semut yang menggali liang di dalam tanah. Jumlah dan ukuran biopori akan terus bertambah mengikuti pertumbuhan akar tanaman serta peningkatan populasi dan aktivitas organisme tanah (Brata dan Nelistya, 2008). Lubang resapan biopori (LRB) merupakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir berbentuk lubang silindris berdiameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah dan diberikan bahan organik ke dalam lubang untuk makanan fauna tanah sehingga terbentuk biopori. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Air tersebut meresap melalui biopori yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah (Brata dan Nelistya, 2008). Struktur biopori berupa liang memanjang bercabang-cabang sehingga dapat memperlancar peresapan air ke segala arah di sekitar LRB. Biopori diperkuat oleh senyawa organik yang berasal dari organisme tanah, sehingga cukup mantap dan tidak mudah rusak. Dengan demikian, akan selalu tersedia jalan untuk meresapnya air dan udara ke dalam tanah. Di dalam biopori tersedia cukup bahan organik, air, oksigen, dan unsur hara sehingga cocok bagi perkembangan akar tanaman dan organisme tanah, termasuk mikroorganisme yang membantu pelapukan sampah (Brata dan Nelistya, 2008). Manfaat-manfaat yang diperoleh dari penerapan Lubang Resapan Biopori berkaitan langsung dengan terciptanya lingkungan hidup yang nyaman dan lestari. Brata dan Nelistya (2008), menyebutkan manfaat-manfaat tersebut yaitu, memperbaiki ekosistem tanah, meresapkan air dalam mencegah banjir, menambah cadangan air tanah, mengatasi kekeringan, mempermudah penanganan sampah
5
serta menjaga kebersihan, mengubah sampah menjadi kompos, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mengatasi masalah akibat genangan. 2.3
Kaitan LRB dengan Sampah Organik Kulit Buah Kawasan pasar merupakan penyumbang terbesar sampah dari total sampah
yang dihasilkan setiap harinya. Hal ini sangat logis karena setiap pedagang buah baik yang menjual langsung buah ataupun membuat jus menghasilkan sampah, baik sampah organik maupun anorganik. Sampah organik yang dihasilkan pedagang jus buah atau makanan dari buah yaitu sampah organik kulit buah sisasisa buah. Menurut Brata dan Nelistya (2008), sampah rumah tangga, dalam hal ini termasuk kulit buah, terdiri dari 60-70% sampah organik. Sampah organik merupakan sumber makanan yang sangat dibutuhkan oleh organisme tanah. Oleh karena itu sampah organik setiap rumah tangga bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki ekosistem tanah. Lubang resapan biopori dapat mempermudah penanganan sampah organik, dengan memasukkannya ke dalam tanah untuk menghidupi biota tanah. Fauna tanah dapat memproses sampah tersebut dengan cara memperkecil ukuran dan mencampurkannya dengan mikroba tanah yang secara sinergi dapat mempercepat proses pengomposan secara alami. Dengan segera dimasukkannya sampah organik ke dalam LRB, maka tidak terjadi penumpukan sampah baik di TPS ataupun TPA. 2.4
Kompos dan Pengomposan Teknologi pengomposan telah dikenal sejak zaman dahulu, bahkan definisi
kompos serta pengomposan itu sendiri sangat beragam. Menurut Obeng dan Wright (1987), pengomposan bisa diartikan sebagai proses dekomposisi biologi dari unsur pokok sampah organik dengan kondisi yang diatur. Murbandono (1999), mengartikan kompos sebagai bahan organis yang telah menjadi lapuk, seperti daun-daun, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang, serta kotoran hewan. Sedangkan Sutanto (2002), mengartikan pengomposan sebagai proses biologi oleh mikroorganisme secara terpisah atau bersama-sama dalam menguraikan bahan organik menjadi bahan semacam humus. Proses pengomposan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai
6
macam faktor. Sutanto (2002) menyebutkan faktor-faktor tersebut yaitu kelembaban, aerasi, penghalusan dan pencampuran bahan, nisbah C/N, nilai pH, dan suhu. Proses mikrobiologi yang terjadi selama pengomposan dilakukan oleh bakteri, aktinomisetes, serta jamur. Ketiga mikroba ini mutlak memerlukan bahan organik yang digunakan untuk pertumbuhannya. Bakteri adalah organisme sederhana dan kecil yang sering disebut juga dengan hewan berklorofil. Bentuknya
bermacam-macam
dan
ukurannya
berkisar
0,5-20
mikron.
Aktinomisetes yang sering juga disebut aktinimisit merupakan mikroba yang berkembang membentuk filamen seperti jamur. Ukuran kecil dan struktur selnya yang rumit menyebabkan aktinomisetes dikelompokkan sebagai bakteri. Jamur merupakan organisme yang lebih besar namun tidak memiliki klorofil. Tubuh jamur terdiri dari helaian panjang yang disebut miselium (Djaja, 2008). Banyak kriteria sehingga suatu bahan organik telah layak disebut sebagai kompos. Murbandono (1999), menyebutkan bahwa bahan organik yang layak dikatakan kompos apabila C/N rasio nya telah mendekati C/N rasio tanah. Telah diketahui bahwa rata-rata C/N rasio tanah pertanian berkisar 10-12. Namun selain C/N rasio mendekati C/N rasio tanah banyak sumber yang mengatakan bahwa syarat kompos yaitu warna berubah menjadi gelap, sifatnya mudah hancur, dan beraroma seperti tanah. Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan
itu
sendiri.
Menurur
Rynk
(1992)
faktor-faktor
yang
memperngaruhi proses pengomposan antara lain: Rasio C/N: Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila
7
rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Ukuran Partikel: Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. Aerasi: Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Porositas: Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Kelembaban (Moisture content): Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Temperatur: Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan o
kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 - 60 C menunjukkan aktivitas o
pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60 C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan
8
hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma. pH: Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral. Kandungan hara: Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan. Kandungan bahan berbahaya: Beberapa bahan organik ada yang mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logamlogam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan. Berikut adalah Tabel C/N rasio beberapa bahan organik yang berguna untuk membandingkan C/N rasio sesama bahan organik termasuk kulit pisang dan kulit nanas.. Tabel 1. C/N rasio beberapa bahan organik Bahan
C/N Rasio
Sisa makanan
15
Dedaunan
50
Jerami
80
Sisa-sisa buah-buahan
35
Pupuk kandang kering
20
Sumber : Obeng and Wright (1987) 2.5
Pengomposan dalam Lubang Resapan Biopori Murbandono (1999), mengatakan pada lingkungan alam terbuka kompos
bisa terbentuk dengan sendirinya. Melalui proses yang alami, rumput, daun-
9
daunan, dan kotoran hewan lama-kelamaan membusuk karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Pengomposan dalam LRB menciptakan kondisi alami seperti disebutkan diatas, akan tetapi proses pengomposan dalam LRB bisa berlangsung lebih cepat dari kondisi biasa. Hal ini dikarenakan sampah organik dimasukkan langsung kedalam tanah dimana mikroorganisme berada. Hal tersebut dianalogikan sebagai makanan yang disodorkan langsung terhadap konsumennya sehingga proses yang terjadi bisa lebih cepat. Lubang resapan biopori dibuat dengan menggali lubang vertikal ke dalam tanah. Diameter lubang yang dianjurkan sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 100 cm atau tidak melebihi/mencapai kedalaman permukaan air tanah. Pemilihan dimensi yang dianjurkan tersebut untuk efisiensi penggunaan ruang horizontal yang semakin terbatas dan mengurangi beban pengomposan. LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm hanya menggunakan permukaan horizontal 79 cm2 menghasilkan permukaan vertikal dengan luas dinding lubang 0,314 m2, berarti memperluas permukaan tanah 40 kali yang dapat kontak langsung dengan bahan kompos. Volume sampah yang tertampung dalam lubang tidak lebih dari 7,9 liter dan menimbulkan beban pengomposan maksimum 25 liter/m2. Peningkatan diameter lubang akan mengakibatkan penurunan luas permukaan tanah, sehingga beban pengomposan akan meningkat. Untuk lebih jelas hubungan diameter LRB dengan pertambahan luas permukaan dan beban pengomposan bisa dilihat dalam Tabel 2 (Brata dan Nelistya, 2008). Tabel 2. Hubungan Diameter Lubang Resapan Biopori dengan Pertambahan Luas Permukaan dan Beban Pengomposan Diameter Lubang (cm)
Mulut Lubang (cm2)
Luas Dinding (m2)
Pertambahan Luas (kali)
Volume (liter)
10
79
0.314
40
7.857
25
100
7.857
3.143
4
785.714
250
Sumber : Brata dan Nelistya (2008)
Beban Pengomposan (liter/m2)