BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Bintang Laut Asterias forbesii Bintang laut merupakan salah satu spesies dari kelas Asteroidaea, merupakan kelompok Echinodermata. Umumnya Echinodermata berukuran besar, yang terkecil berdiameter 1 cm.
Bintang laut mempunyai bentuk seperti bintang
pentamerous, kebanyakan spesies mempunyai 5 buah tangan. Beberapa spesies mempunyai tangan kelipatan 5. Diameter rata-rata antara 10-20 cm, terkecil 1 cm, dan terbesar 100 cm. Mulut terletak di pusat pisin (central disk). Seluruh permukaan pisin pusat dan tangan bagian bawah disebut oral, sedangkan bagian bawah disebut aboral. Dari mulut sampai ujung tangan terdapat lekukan memanjang. Pada tiap lekukan terdapat 2-4 deret kaki tabung. Tepi lekukan terdapat duri-duri yang dapat digerakkan untuk melindungi kaki tabung. Pada tiap ujung tangan terdapat tentakel dengan bintik pigmen merah. Anus terdapat di tengah pisin aboral, dimana juga terdapat madreporit (Suwignyo et al., 2005). Salah satu dari jenis bintang laut yang terdapat didaerah Pulau Poncan Pantai Gadang Sumatera Utara ialah A. forbesii. Spesies ini memiliki kelimpahan tertinggi dibandingkan dengan spesies lainnya didaerah tersebut (Alexander, 2012). Adapun klasifikasi bintang laut menurut Gosner (1971) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Echinodermata
Class
: Stelleroidea
Subclass
: Asteroidaea
Ordo
: Forcipulatida
Family
: Asteriidae
Genus
: Asterias
Spesies
: Asterias forbesii
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik A. forbesii tubuhnya terdiri atas keping utama (central disk) dengan lima buah lengan yang pipih, mulut A. forbesii terdapat pada bagin tengah. A. forbesii mampu bergerak dengan menggunakan kaki amburakral tetapi gerakannya sangat lambat. Sudah memiliki alat pencernaan yang sempurna yaitu terdiri dari mulut, faring, esophagus yang pendek, lambung, intestine dan anus. Respirasi dengan menggunakan dermal branchia dan kaki tabung. Sistem syaraf terdiri atas cincin syaraf dan tali-tali syaraf pada bagian lengan-lengannya. Sistem peredaran darahnya meliputi pembuluh darah yang mengelilingi bagian mulut dan dihubungkan dengan lima buah pembuluh radial ke setiap lengan (Gosner, 1971).
2.2 Senyawa Aktif Bintang Laut Penelitian tentang senyawa bioaktif dari bintang laut telah banyak dilakukan namun hanya terbatas pada penemuan kandungan senyawanya namun belum diketahui aktivitasnya. Menurut Maier et al., (2007) dan Guo et al., (2009), streroidal glikosid atau sulfated steroidaal oliglikosid (asterosaponin) merupakan metabolisme utama dari bintang laut dan umumnya mengandung racun. Bintang laut memiliki komponen aktif yang dibagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan strukturnya yaitu asterosaponin, siklis steroidaal glikosid dan glikosid dari steroida polyhidroxylated. Menurut Maier et al., (2007), asterosaponin yang diisolasi dari bintang laut Heliaster helianthus memiliki potensi aktivitas biologis yang berguna sebagai sitotoksik, hemolisis dan sitostatis hal ini ditandai adanya kandungan saponin dapat membunuh A. salina. Ekstrak Heliaster helianthus yang diekstraksi dengan n-BuOH dipurifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis, hasil KLT tersebut menghasilkan dua fraksi yaitu steroidaal oligoglicosides dan steroidaal monoglycosides. Ekstrak bintang laut sangat menarik untuk diteliti karena kaya kandungan senyawa aktif. Menurut Chludil et al., (2000), bintang laut memiliki komponen bioaktif berupa saponin. Saponin diperoleh dari bintang laut Anasterias minuta memiliki kemampuan sebagai sitotoksik, hemolisis, antifungi, dan antiviral. Isolasi dan purifikasi dari bintang laut ini menghasilkan steroidaal glikosid yang memiliki kemampuan sebagai antifungi. Hasil penelitian Maier et al., (2007), aktivitas antifungi diperoleh dari komponen dua sulfated hexaglycosides dan dua
Universitas Sumatera Utara
sulfated polyhidroxylated steroidaal xilosides yang diisolasi dari bintang laut Heliaster helianthus. Menurut Wang et al., (2003) menemukan komponen aktif saponin certonardosides yang diisolasi dari bintang laut Certonardoa semiregularis. Bintang laut ini diambil dari pantai di Pulau Komun Korea. Senyawa aktif dari bintang laut Certonardoa semiregularis memiliki aktivitas sebagai sitotoksik dan antimikrobial.
Menurut
Samuel
(2011),
senyawa
imbricatine,
benzyltetrahydroisoquinolon, lysastrosides, dan certonardosides memiliki fungsi sebagai antiviral dan anti-HIV. Kumaran et al., (2011) menyatakan senyawa yang terdapat pada bintang laut Protoreaster lincki dan Pentaceraster regulus memiliki aktivitas antibakteri dan antifungal. Hal ini ditandai adanya zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak bintang laut Protoreaster lincki dan Pentaceraster regulus terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Pseudomonas auroginosa, dan Eschericia coli. Bintang laut Protoreaster lincki dan Pentaceraster regulus juga memiliki zona hambat terhadap khamir Candida albicans dan C. tropicalis.
2.3 Mikroorganisme Uji Mikroorganisme uji adalah sel prokariot yang khas, bersifat uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasma. Umumnya bakteri memiliki diameter 0,5-2,5 µm (Pelczar dan Chan, 2008). Bakteri dapat dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan Gram negatif, hal ini dapat dibedakan berdasarkan perbedaan komposisi dan dinding selnya. Bakteri Gram positif mempunyai struktur dinding sel tebal (15-80 nm) dan berlapis tunggal, dengan komposisi dinding sel terdiri dari lipid, peptidoglikan dan asam teikoat. Bakteri Gram positif rentan terhadap penicillin, namun lebih resisten terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan, 2008). Bakteri Gram positif cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri. Hal ini disebabkan oleh struktur dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal yang relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Sedangkan bakteri Gram negatif lebih resisten terhadap senyawa antibakteri
Universitas Sumatera Utara
karena struktur dinding sel Gram negatif terdiri dari tiga lapis dan lebih kompleks, yaitu terdiri dari lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa lipopolisakarida dan lapisan dalam berupa peptidoglikan (Pelczar dan Chan, 2008). Pada bakteri Gram negatif, struktur dinding selnya berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10-15 nm). Komposisi dinding sel terdiri dari lipid dan peptidoglikan yang berada di dalam lapisan kaku sebelah dalam dengan jumlah sekitar 10% dari berat kering. Kandungan lipid dari bakteri Gram negatif cukup tinggi yaitu 11-22 %. Bakteri Gram negatif ini umumnya rentan terhadap penisilin dan kurang rentan terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan, 2008).
2.3.1 Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus tergolong bakteri Gram positif bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini berbentuk bulat tunggal, berpasangan atau bergerombol dengan diameter 0,5-1,5 μm, tidak berkapsul dan tidak berspora, dan non motil. Bakteri ini bersifat kemoorganotropik dengan tipe metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 10 % dan suhu optimum antara 35-37°C dan pH 6-7, akan tetapi pada suhu 6,7-45,5 °C serta pH 4,0-9,8 bakteri ini masih dapat tumbuh dan berkembang biak. Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan kloramfenikol, tetapi resistan terhadap polimiksin (Pelczar dan Chan, 2008). Rahayu (1999) menyatakan bahwa S. aureus merupakan mikroflora normal pada permukaan tubuh, rambut, mulut, dan tenggorokan. Bakteri S. aureus yang mencemari makanan terjadi akibat kurangnya tingkat higienis dalam penanganan pangan. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab infeksi (membentuk nanah) dan bersifat toksik bagi manusia. Hal ini menyebabkan berbagai masalah pada kulit seperti bisul, hordeolum, bahkan masalah serius seperti pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran kemih. S. aureus merupakan penyebab utama infeksi di rumah sakit (nosokomial) yang berasal dari infeksi luka bedah dan infeksi yang terkait dengan perangkat medis yang digunakan. S. aureus penyebab keracunan makanan dengan melepaskan enterotoksin pada makanan dan menimbulkan efek yang disebut toxic shock syndrome (Todar, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Enterotoksin yang bersifat tahan panas ini dikeluarkan pada bahan pangan yang terkontaminasi S. aureus. Makanan yang mengandung toksin apabila masuk pencernaan manusia akan menimbulkan efek muntah-muntah, mual, dan diare setelah 1-6 jam
Pertumbuhan bakteri ini dalam makanan dapat terjadi jika
makanan disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang lama (Madigan et al., 2009).
2.3.2
Bacillus subtillis Bacillus subtilis merupakan bakteri Gram positif, uniseluler yang
berbentuk batang dan hidup secara aerob. Bakteri ini membentuk tipe khusus saat dorman yang disebut endospora. Endospora terbentuk dari sel vegetatif sebagai respon terhadap lingkungan yang ekstrim. B. subtilis tumbuh pada makanan dengan pH lebih dari 4 dengan kondisi aerob. Hal yang sering terjadi yaitu terbentuknya lendir pada makanan (Todar, 2011).
2.3.3 Pseudomonas auroginosa Pseudomonas
auroginosa
merupakan
bakteri
Gram-negatif,
kemoorganotrof, katalase positif, motil, metabolisme dengan respirasi, tidak pernah fermentatif. Bakteri ini memiliki sel tunggal, batang lurus atau melengkung namun tidak berbentuk heliks. Pada umumnya berukuran 0,5-1,0 μm x 1,5-4,0 μm. Beberapa merupakan kemolitotrof fakultatif, dapat menggunakan H2 atau CO sebagai sumber energi. Oksigen molekular merupakan penerima elektron universal, beberapa dapat melakukan denitrifikasi dengan menggunakan nitrat sebagai penerima pilihan. P. auroginosa merupakan aerobik sejati, kecuali spesies-spesies yang dapat menggunakan denitrifikasi sebagai cara respirasi aerobik (Pelczar dan Chan, 2008). Pseudomonas auroginosa dapat berada dalam orang sehat, bersifat saprofit. Bakteri ini menyebabkan penyakit pada manusia dengan ketahanan tubuh yang tidak normal. P. auroginosa dari bentuk koloni berbeda mungkin juga mempunyai aktivitas biokimia dan enzimatik yang berbeda, dan memberi kepekaan yang berbeda terhadap zat antimikroba. P. auroginosa tumbuh baik pada 37–42oC. P. auroginosa menjadi patogenik hanya jika berada pada tempat dengan daya tahan
Universitas Sumatera Utara
tidak normal, misalnya diselaput lendir dan kulit yang rusak akibat kerusakan jaringan (Brooks et al., 2005). Bakteri ini menyebabkan infeksi sekunder pada luka, luka bakar, juga merupakan penyebab diare pada bayi dan infeksi saluran kemih (Gupte, 1990).
2.3.4 Escherichia coli Escherichia coli termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan bakteri Gram-negatif, motil, tidak berspora, berbentuk batang, dan anaerob fakultatif. E. coli tumbuh pada temperatur 30-42 °C dan dapat tumbuh pada temperatur antara 44 - 45 °C, namun tidak dapat tumbuh pada suhu dibawah 10 °C (Ray dan Bhunia, 2008). E.coli merupakan penghuni normal saluran pencernaan (coliform fecal) manusia dan hewan, maka digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran. Bakteri ini juga mengakibatkan banyak infeksi pada saluran pencernaan (enterik) manusia dan hewan (Pelczar dan Chan, 2010). Beberapa penyakit pada manusia akibat E. coli terjadi karena adanya kontaminasi dari air yang digunakan, selain itu juga infeksi E. coli dapat terjadi karena memakan makanan yang belum matang, kontaminasi pada daging, maupun pada susu yang belum dipasturisasi (Belk dan Maier, 2010). Bakteri E. coli merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit diare, infeksi saluran kemih, dan juga infeksi saluran pencernaan. Penyakit saluran pencernaan (usus) disebabkan oleh bakteri E.coli yang terdiri dari beragam tipe yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), dan enteroaggregative E. coli (EAEC) (Todar, 2011).
2.4 Antimikroba Senyawa antimikroba merupakan senyawa alami maupun kimia sintetik yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa yang dapat membunuh organisme (bakteri) disebut bakterisidal. Bahan kimia yang
Universitas Sumatera Utara
tidak membunuh namun dapat menghambat pertumbuhan organisme (bakteri) disebut bakteriostatik (Madigan et al., 2009). Antimikroba dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolisis. Bakteriostatik secara berkala sebagai penghambat sintesis protein dan berfungsi sebagai pengikat ribosom. Bakteriosidal mengikat kuat pada sel target dan tidak hilang melalui pengenceran yang tetap akan membunuh sel. Sel yang mati tidak hancur dan tetap memiliki jumlah sel yang konstan. Beberapa bakteriosidal merupakan bakteriolisis, yakni membunuh sel dengan terjadi lisis pada sel dan mengeluarkan komponen sitoplasmanya. Lisis dapat menurunkan jumlah sel dan juga kepadatan kultur. Senyawa bakteriolitik termasuk dalam senyawa antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel, seperti penicillin, dan senyawa kimia seperti detergen yang dapat menghancurkan membran sitoplasma (Madigan et al., 2009). Menurut Pelczar dan Chan (2008), secara umum cara kerja zat antimikroba yaitu: 1) Menyebabkan kerusakan dinding sel Struktur di dinding sel dapat rusak dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk. 2) Terjadinya perubahan permeabilitas sel Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur aliran keluar masuknya bahan-bahan lain. Membran memelihara integritas komponen komponen selular. Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel. 3) Mengakibatkan perubahan molekul protein dan asam nukleat Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Suatu kondisi atau substansi yang mengubah keadaan ini, yaitu mendenaturasikan protein dan asam-asam nukleat dapat merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan konsentrasi pekat beberapa zat kimia mengakibatkan kaogulasi (denaturasi) ireversibel (tidak dapat balik) komponen-komponen selular yang vital ini. 4) Melakukan penghambatan terhadap kerja enzim Setiap enzim dari beratus-ratus enzim berbeda-beda yang ada di dalam sel merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu penghambat. Banyak zat
Universitas Sumatera Utara
kimia telah diketahui dapat mengganggu reaksi biokimiawi. Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel. 5) Melakukan penghambatan sintesis asam nukleat protein DNA, RNA dan protein memegang peranan amat penting di dalam proses kehidupan normal sel. Hal itu berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel. Respon tiap mikroorganisme terhadap antimikroba berbeda-beda. Bakteri memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda dimana umumnya bakteri Gram positif lebih rentan dibandingkan dengan bakteri Gram negatif yang secara alami lebih resisten. Target penting antibiotik terhadap bakteri yaitu ribosom, dinding sel, membran sitoplasma, enzim biosintesis lemak, serta replikasi, dan transkripsi DNA (Madigan et al., 2009). Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri jika pada konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Kriteria kekuatan antibakteri menurut Nazri et al., (2011) adalah sebagai berikut. 1. Diameter zona hambat 15-20 mm
: Daya hambat kuat
2. Diameter zona hambat 10-14 mm
: Daya hambat sedang
3. Diameter zona hambat 0-9 mm
: Daya hambat lemah
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nimah (2012) dihasilkan bahwa diameter daya hambat
ekstrak Holothuria
scabra setelah
diinkubasi selama 24 dan 48 jam terhadap bakteri Pseudomonas auroginosa dan Bacilus subtilis mengalami penurunan pada setiap perlakuan setelah diinkubasi selama 24 jam dan 48 jam. Hal ini dikarenakan pada saat inkubasi 48 jam bakteri mengalami fase logaritmik dimana pertumbuhan bakteri dua kali lipat dibanding fase lag (Pelczar dan Chan, 2008).
Resistensi oleh bakteri dengan cara
menurunkan permeabilitas sehingga antibakteri sulit masuk dalam sel, membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh antibakteri, dan meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antibakteri (Khunaifi, 2010). Ekstrak Holothuria scabra lebih efektif pada bakteri gram negatif daripada bakteri gram positif. Hal ini sesuai dengan penelitian Farouk et al., (2007), ekstrak antibakteri dari H. scabra lebih efektif menyerang bakteri Gram negatif daripada
Universitas Sumatera Utara
bakteri Gram positif. Hal ini disebabkan bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang lebih tipis daripada bakteri Gram positif. Menurut pendapat Pelczar dan Chan (2008), bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang lebih tipis yang terdiri dari 10% peptidoglikan, lipopolisakarida dan kandungan lipid tinggi (11-22%), sedangkan bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang lebih tebal yang terdiri dari 60-100% peptidoglikan dan lipid rendah (1-4%).
2.5 Isolasi Komponen Aktif Antibakteri Komponen aktif antibakteri dapat diisolasi melalui proses ekstraksi. Berk (2009) menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen yang diinginkan dari suatu bahan. Isolasi komponen aktif dari suatu bahan dapat dibedakan menjadi dua kelas berdasarkan proses pemisahan komponen aktifnya, yaitu : 1. Ekstraksi padatan-cairan (Solid-liquid extraction) yaitu proses ekstraksi yang memisahkan komponen dari suatu bahan pada fase padat menggunakan bantuan pelarut. Contoh : ekstraksi garam dari bebatuan menggunakan air sebagai pelarut, ekstraksi larutan kopi dari gilingan biji kopi dalam produksi ekstrak biji kopi, ekstraksi minyak dari biji-bijian yang mengandung minyak, ekstraksi protein dari dari kedelai dalam produksi protein kedelai (isolated soybean protein), dan sebagainya. 2. Ekstraksi cairan-cairan (Liquid-liquid extraction) yaitu proses ekstraksi yang memisahkan komponen dari suatu campuran larutan tertentu menggunakan pelarut yang berbeda. Contoh : pemisahan penicillin dari larutan fermentasi pada butanol, ekstraksi terpenoida teroksigenasi dari minyak esensial jeruk menggunakan etanol sebagai pelarut, dan lain sebagainya. Isolasi komponen antibakteri dari bintang laut A. forbesii pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode ektraksi padatan-cairan (Solid-liquid extraction). Berk (2009) menyatakan bahwa ekstraksi padatan-cairan ini dapat dilakukan dengan cara bertingkat yakni menggunakan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, baik secara berkelanjutan (kontinu) maupun semi-kontinu. Ekstraksi bertingkat atau ekstraksi bertahap merupakan ekstraksi yang dilakukan beberapa kali dengan jenis pelarut berbeda. Ekstraksi ini
Universitas Sumatera Utara
menggunakan pelarut yang lebih sedikit dan hasilnya akan lebih efektif dibandingkan ekstraksi satu kali dengan semua pelarut sekaligus (Nur & Adijuwana, 1987). Menurut Andersen & Markham (2006), Proses ekstraksi bertingkat bertujuan untuk menentukan aktivitas antimikroba dan komponen bioaktif yang terdapat pada bintang laut berdasarkan kepolarannya. Ekstraksi bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya. Proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan pelarut non polar (n-heksana) terlebih dahulu untuk menghilangkan lemak yang terdapat pada sampel, dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat) untuk mendapatkan fenolat dan terakhir polar (metanol).
2.6 Komponen Bioaktif Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis. Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik seperti polifenol dan komponen asam (phenolic acid). Komponen bioaktif tidak terbatas pada hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang memberikan
aktivitas
biologis
fungsional,
seperti
protein
dan
peptida
(Kannan et al., 2009). Pengujian kualitatif terhadap komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan metode uji senyawa kimia. Menurut Farouk et al., (2007) metabolit sekunder Holothuria scabra yang berpotensi sebagai senyawa antibakteri adalah golongan atau turunan dari senyawa terpenoida, diantaranya saponin, steroida, dan triterpenoida. Golongan senyawa tersebut memiliki polisakarida sehingga dapat menembus membran sel bakteri, sehingga sel tersebut rusak. Senyawa alkaloida yang dihasilkan ekstrak Holothuria scabra dapat berpotensi sebagai antibakteri karena dapat merusak dinding sel. Lamothe (2009), mekanisme kerja alkaloida sebagai antibakteri diprediksi melalui penghambatan sintesis dinding sel yang akan menyebabkan lisis pada sel sehingga sel akan mati.
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Alkaloida Alkaloida adalah senyawa biologis heterosiklik aktif yang mengandung nitrogen (Kurnar dan Rawat, 2011) .
Alkaloida pada umumnya mencakup
senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai aktivitas fisiologis yang menonjol, jadi digunakan secara luas di bidang pengobatan (Harborne,1987). Menurut Kurnar dan Rawat (2011), alkaloida pada hewan laut dapat dikelompokkan menjadi pyridioacridine, indole, pyrole, pyridine, isoquinoline guanidine dan alkaloidaa streroidal. Sebagian besar dari alkaloida yang diisolasi dari hewan laut dapat berfungsi sebagai antiviral, antibakteri, anti-inflamatori, antimalaria, antioksidan dan antikanker. Biota laut yang memiliki kandungan alkaloida, yaitu spons, moluska, dan coelenterata.
2.6.2 Steroida/Triterpenoida Menurut Heras dan Hortelano (2009), terpenoida merupakan metabolit sekunder paling banyak dihasilkan oleh tumbuhan namun pada invertebrata dihasilkan dalam jumlah yang sedikit. Senyawa terpenoida ini dapat ditemukan pada tumbuhan tinggi, lumut, alga, liken, insekta, mikroba dan biota laut. Tholl (2006) menyatakan, terpenoida merupakan turunan dari senyawa biosintetik induk mevalonate. Nama lain dari terpenoida ada dua yaitu terpenoida sebenarnya dan terpen atau isoprenoid yang merupakan golongan dari steroida. Terpen biasanya digunakan untuk menandai senyawa turunan dari C5 dan secara kimiawi semua terpenoida dapat diperoleh dari turunan C5 isoprene (2-methyl-1,3butadiene). Terpen berguna sekali untuk menggolongkan terpenoida sesuai dengan angka yang terdapat pada molekul C5. Penggolongan terpenoida dibagi menjadi 7 yaitu, hemi-, mono-, sesqui-, di-, sester-, tri dan tetraterpenoida (karotenoid).
Diterpenoida merupakan turunan dari terpenoida. Berdasarkan
struktur kimianya, diterpenoida digolongkan menjadi labdane, pimarane, abietane, kauranes, marine dan lain-lain. Diterpenoida memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, anti-inflamasi, antileishmanial, sitotoksik, dan antitumor. Diterpenoida yang terdapat pada biota laut yaitu tipe labdane dan tipe marine. Tipe labdane merupakan metabolit sekunder dari fungi, biota laut, insekta, dan
Universitas Sumatera Utara
tumbuhan tinggi yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, cytotoxic, antiviral, anti-inflamasi, dan antiprotozoa. Selain tipe labdane, tipe marine diterpenoida merupakan salah satu diterpenoida alami dari biota laut yang pontensial untuk obat anti-inflamasi. Biota laut yang menghasilkan marine diterpenoida adalah spons Axinella sp. Hasil penelitian Jia et al, (2006) menunjukkan bahwa hasil ekstrak karang lunak jenis
Sinularia sp. yang mempunyai kandungan senyawa terpenoida
diantaranya diterpen dan steroida yang juga mempunyai aktivitas sebagai antikanker, antiinflamatori, dan antialergi. Aktivitas antibakteri, antifungi, antitumor, dan neurotoksik ditunjukkan oleh hasil penelitian Sawant et al., (2006) bahwa hasil ekstrak karang lunak jenis Sarcophyton sp. banyak mengandung senyawa bioaktif steroida dan terpenoida. Menurut Heras dan Hortelano (2009), tipe labdane dari golongan tepenoid yang diisolasi dari spons merupakan metabolit sekunder dari biota laut yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, sitotoksik, antiviral, anti-inflamasi, dan antiprotozoa. Maier et al., (2007) dan Guo et al., (2009) juga menjelaskan bahwa, streroidal glikosid atau sulfated steroidaal oliglikosid (asterosaponin) merupakan metabolit utama dari bintang laut yang memiliki potensi aktivitas biologis yang berguna sebagai sitotoksik, hemolisis, sitostatis, antikanker, antibakterial, antiviral dan antifungi. Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol mungkin terdapat pada setiap tumbuhan tingkat tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol (Sirait, 2007). Menurut Santalova et al., (2004), sterol yang diisolasi dari spons Rhizochalina incrustata memiliki aktivitas sebagai sitotoksik dan hemolisis.
2.6.3 Flavonoida Flavonoida adalah senyawa yang terdiri atas C6-C3-C6 (Sirait, 2007). Flavonoida terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoida tunggal dalam jaringan tumbuhan. Flavonoida umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoida diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, flavan-3,4-diol (Harborne, 1987). Flavonoida dapat berguna bagi kehidupan manusia. Flavon dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulant pada
Universitas Sumatera Utara
jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diurematik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait, 2007). Flavonoida yang terkandung dalam biota laut memiliki banyak manfaat. Menurut Gavin dan Durako (2012), biota laut seperti lamun Halophila johnsonii yang telah diisolasi memiliki senyawa aktif sitosolik flavonoida yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Menurut Cushnie dan Lamb (2005) flavonoida merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang berasal dari produk alami untuk dijadikan obat. Flavonoida juga memiliki aktivitas sebagai antifungi dan antiviral.
2.6.4 Saponin Saponin adalah glikosida dan sterol yang telah terdeteksi pada lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin juga merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan terhadap sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah dalam laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (Harborne, 1987). Saponin sebagian besar bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi dengan asam (sukar larut dalam air), sebagian besar ada yang bereaksi dengan basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin dapat bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Saponin yang beracun disebut sapotoksin. Saponin dapat menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika (Sirait, 2007). Menurut Chludil et al., (2000), bintang laut memiliki komponen bioaktif berupa saponin. Saponin yang diisolasi dari bintang laut Anasterias minuta memiliki kemampuan sebagai sitotoksik, hemolisis, antifungi, dan antiviral. Isolasi dan purifikasi dari ekstrak bintang laut ini menghasilkan steroidaal glikosid yang memiliki kemampuan sebagai antifungi. Wang et al., (2003) menyatakan, isolasi bintang laut Certonardoa semiregularis memiliki senyawa aktif saponin certonardosides yang memiliki aktivitas sebagai sitotoksik dan antimikrobial.
Universitas Sumatera Utara
2.6.5 Fenol Hidrokarbon Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berkaitan dengan satu gugus atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan oleh gugus metal atau glikosil. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon. Kuinon terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok untuk tujuan identifikasi yaitu, benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid (Harborne, 1987).
2.7 Bioassay Bioassay merupakan salah satu uji yang menggunakan organisme hidup untuk mengetahui efektifitas suatu bahan hidup ataupun bahan organik dan bahan anorganik terhadap suatu organisme hidup. Senyawa bioaktif hampir
semua
bersifat toksik pada dosis tinggi, oleh karena itu daya bunuh in vivo terhadap organisme hewan uji dapat digunakan untuk menapis ekstrak biota yang mempunyai bioaktifitas dan juga memonitor fraksi bioaktif selama fraksinasi dan pemurnian (Munifah et al., 2008) Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode bioassay yang menggunakan larva udang A. salina Leach sebagai hewan uji. Metode tersebut merupakan metode yang banyak digunakan sebagai langkah awal pencarian senyawa anti kanker baru. Hasil uji toksisitas dengan metode tersebut telah terbukti memiliki korelasi dengan daya sitoksis senyawa anti kanker. Keuntungan dari metode tersebut diantaranya mudah dilakukan, cepat, mudah diperbanyak, dan dapat menunjukkan adanya korelasi terhadap suatu spesifik anti kanker (Nurhayati et al., 2006) Artemia salina adalah udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton. Udang ini digunakan dalam metode BSLT. Secara taksonomi A. salina diklasifikasikan sebagai berikut : Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Ordo
: Anostracea
Universitas Sumatera Utara
Famili
: Artemiidae
Genus
: Artemia
Species
: Artemia salina
Dalam membiakkan udang A. salina ada beberapa variabel penting yang harus diperhatikan seperti pH, cahaya dan oksigen. pH optimum yang dibutuhkan untuk pembiakan udang A. salina adalah 8-9, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari
10 dapat membunuh A.salina. Cahaya diperlukan dalam proses
penetasan dan sangat menguntungkan bagi pertumbuhannya hanya cahaya minimal sehingga lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup udang A.salina (Fox, 2004; Harefa, 1997). Penggunaan udang A.salina dalam uji toksisitas pada metode BSLT mempunyai beberapa keuntungan, antara lain mudah didapat, murah dan mudah disimpan beberapa tahun ditempat yang kering dan tidak memerlukan kondisi aseptis yang khusus, serta udang ini memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap senyawa toksik bila dibandingkan dengan organisme lainnya (Fox, 2004; Harefa, 1997). Pertumbuhan udang A.salina yang cepat ini dapat dikorelasikan dengan pertumbuhan sel kanker yang cepat, sehingga metode ini dapat digunakan sebagai penapisan awal senyawa yang bersifat toksik. LC50 adalah konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan percobaan, selama waktu tertentu. Pada metode BSLT, sampel uji dikatakan aktif jika LC50 kecil dari 1000 ppm. Sejauh ini metode penentuan LC50 ada 3 macam, yaitu metode Kurva, metode Farmakope Indonesia dan metode Finney. Ketiga metode ini berdasarkan pengukuran persentase individu yang responsitif pada kisaran dosis atau konsentrasi tertentu (Meyer et al., 1982).
Universitas Sumatera Utara