BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kelelahan
2.1.1 Pengertian Kelelahan Kelelahan secara sempit dapat diartikan sebatas lelah fisik yang dirasakan saja. Hal ini dikarenakan setiap orang yang merasakan kelelahan hanya terbatas pada keluhan-keluhan fisik yang mereka rasakan saja. Gejala yang ditimbulkan, perubahan fisik dan perasaan yang dirasakan memang berbeda pada masingmasing individu. Kelelahan juga dapat diartikan sebagai fenomena kompleks fisiologis maupun psikologis dimana ditandai dengan adanya gejala perasaan lelah dan perubahan fisiologis dalam tubuh (kelelahan). Kelelahan mudah ditiadakan dengan istirahat, tetapi jika dipaksakan kelelahan akan bertambah dan sangat mengganggu. Kelelahan dapat diartikan sebagai perubahan dari keadaan yang lebih kuat ke keadaan yang lebih lemah. Kelelahan merupakan kondisi yang ditandai dengan perasaan lelah dan penurunan kesiagaan serta berpengaruh terhadap produktivitas kerja (Grangjean dalam Putri 2008). Kelelahan adalah reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh 2 sistem antagonis yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivitas) tetapi semuanya bermuara kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Suma’mur 2009)
8
9
Dari beberapa pengertian kelelahan yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa kelelahan sebagai sinyal alamiah yang diberikan tubuh karena adanya penurunan fungsi tubuh akibat proses kerja yang membutuhkan keterpaduan pada seluruh sistem di dalam tubuh. Saat sistem tersebut mengalami perubahan dari kondisi baik ke kondisi buruk maka tubuh akan memberikan sinyal kelelahan yang memerlukan pemulihan untuk mengatasinya. Kondisi fisologis tubuh yang mengalami penurunan,akan menunjukkan penurunan daya kerja yang akhirnya dapat mempengaruhi produktivitas kerja seseorang.
2.1.2 Sistem Penggerak Kelelahan Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Terdapat struktur susunan syaraf pusat yang sangat penting yang mengontrol fungsi secara luas dan konsekuen yaitu reticular formation atau sistem penggerak pada medula yang dapat meningkatkan dan mengurangi sensitivitas dari cortex cerebri. Cortex cerebri merupakan pusat kesadaran meliputi persepsi,perasaan subjektif, refleks, dan kemauan ( Rodahl dalam Putri 2008). Keadaan dan perasaan lelah merupakan reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh sistem antagonistik yaitu sistem penghambat dan sistem penggerak yang saling bergantian. Sistem penghambat terdapat dalam thalamus yang mampu menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan kecenderungan untuk tidur, sedangkan sistem penggerak terdapat formatio retikularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan dalam tubuh untuk bekerja, berkelahi, melarikan diri dan lainnya.
10
Gambar 1 Sistem Penghambat dan Penggerak Aktifitas
Keadaan seseorang suatu saat tergantung kepada hasil kerja diantara dua sistem antagonis tersebut. Apabila sistem penghambat lebih kuat, seseorang akan berada pada kelelahan. Sebaliknya, manakala sistem aktivitas yang lebih kuat maka seseorang akan berada dalam keadaan segar untuk melakukan aktivitas. Kedua
sistem
harus
berada
dalam
keserasian
dan
keseimbangan.
(Grandjean,Rodahl dalam Putri, 2008).
2.1.3 Klasifikasi Kelelahan Silaban dalam Putri (2008) menerangkan mengenai jenis-jenis kelelahan dapat diklasifikasi menjadi 3 yaitu: proses dalam otot, waktu terjadi kelelahan, dan penyebabnya yaitu: 1. Berdasarkan waktu kejadian a. Kelelahan akut Kelelahan akut terjadi pada aktifitas tubuh terutama yang banyak menggunakan otot. Hal ini disebabkan karena suatu organ atau seluruh tubuh bekerja secara terus menerus dan berlebihan. Kelelahan dengan
11
jenis ini dapat hilang dengan beristirahat cukup dan menghilangkan gangguan-gangguannya. b. Kelelahan kronis Kelelahan kronis sebenarnya adalah kelelahan akut yang bertumpuktumpuk. Hal ini disebabkan oleh adanya tugas terus-menerus tanpa penggaturan jarak tugas yang baik dan teratur. Menurut Grandjean dalam bukunya yang berjudul Fitting The Task to The Human, kelelahan kronis berlangsung setiap hari dan berkepanjangan, dan bahkan telah terjadi sebelum memulai suatu pekerjaan. Kelelahan yang diperoleh dari tugas-tugas terdahulu belum hilang dan disusul lagi dengan tugas berikutnya. Kondisi ini terjadi secara berulang-ulang. Dengan beristirahat biasa belum bisa menghilangkan kelelahan jenis kronis ini. Pekerja yang mengalami kelelahan kronis ini sudah merasa lelah sebelum memulai pekerjaan, ketika bangun tidur perasaan lelah masih ada. Jika kondisi ini dibiarkan maka dapat membahayakan tugas yang sedang dilakukanya atau dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan kecelakaan. 2. Berdasarkan proses dalam otot a. Kelelahan otot Kelahan otot yaitu menurunya kinerja setelah mengalami stress tertentu yang ditandai dengan menurunya kekuatan dan kelambatan gerak.
12
b. Kelelahan umum Kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya keinginan untuk bekerja yang disebabkan oleh persyarafan ataupun psikis. Kelelahan umum ialah suatu perasaan yang menyebar dan disertai dengan penurunan kesiagaan dan kelambatan pada setiap aktivitas. Kelelahan umum pada dasarnya adalah gejala penyakit dan erat hubungannya dengan faktor psikologis seperti penurunan motivasi, dan kejenuhan yang mengakibatkan menurunya kapsitas kerja seseorang. Kelelahan umum dicirikan dengan menurunya perasaan ingin bekerja. Kelelahan umum disebut juga kelelahan fisik dan juga kelelahan syaraf. 3. Berdasarkan penyebabnya a. Faktor fisik dan psikologi di tempat kerja. b. Faktor fisiologis yaitu akumulasi dari substansi toksin (asam laktat) dalam darah dan faktor psikologis yaitu konflik yang menyebabkan stress emosional yang berkepanjangan. c. Kelelahan fisik (kelelahan karena kerja fisik); kelelahan patologis (kelelahan yang ada hubunganya dengan penyakit); dan kelelahan psikologis yang ditandai dengan menurunnya prestasi kerja, rasa lelah dan ada hubunganya dengan faktor psikososial. Kelelahan merupakan aspek yang penting pada beberapa kondisi tempat kerja, baik dinamis maupun statis. Berdasarkan tingkatan dari kelelahan yang terjadi pada pekerja
dapat
menyebabkan
ketidaknyamanan,
gangguan
kemungkinan berkurangnya kepuasan dan hasil dalam bekerja.
dan
13
Menurut Muchinsky dalam Putri (2008), menyatakan ada empat tipe kelelahan yakni: 1. Kelelahan otot (muscular fatigue), disebabkan oleh aktivitas yang membutuhkan tenaga fisik yang banyak dan berlangsung lama. Tipe ini berhubungan dengan perubahan biokimia tubuh dan dirasakan individu dalam bentuk sakit yang akut pada otot. Kelelahan ini dapat dikurangi dengan mendesain prosedur kerja baru yang melindungi individu dari pekerjaan yang terlalu berat, misalnya dengan mendesain ulang peralatan atau penemuan alat-alat baru serta melakukan sikap kerja yang lebih efisien. 2. Kelelahan mental (mental fatigue), berhubungan dengan aktivitas kerja yang monoton. Kelelahan ini dapat membuat individu kehilangan kendali akan pikiran dan perasaan, individu menjadi kurang ramah dalam berinteraksi dengan orang lain, pikiran dan perasaan yang seharusnya ditekan karena dapat menimbulkan konflik dengan individu lain menjadi lebih mudah diungkapkan. Kelelahan ini diatasi dengan mendesain ulang pekerjaan sehingga membuat karyawan lebih bersemangat dan tertantang untuk menyelesaikan pekerjaan. 3. Kelelahan emosional (emotional fatigue), dihasilkan dari stres yang hebat dan umumnya ditandai dengan kebosanan. Kelelahan ini berasal dari faktor-faktor luar di tempat kerja, perusahaan dapat mengatasi kelelahan ini dengan memberikan pelayanan konseling bagi karyawan
14
agar kelelahan emosional yang dirasakan karyawan dapat teratasi dan performansi kerja karyawan meningkat. 4. Kelelahan
keterampilan
(skills
fatigue),
berhubungan
dengan
menurunnya perhatian pada tugas-tugas tertentu seperti tugas pilot atau pengontrol lalu lintas udara. Pada kelelahan tipe ini standar akurasi dan penampilan kerja menurun secara progresif. Penurunan ini diperkirakan menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan mobil dan pesawat terbang, sehingga karyawan harus selalu diawasi dan diupayakan agar terhindar dari kelelahan ini dengan pemberian waktu istirahat yang cukup.
2.1.4 Faktor Penyebab Kelelahan Kelelahan dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam tubuh (internal) maupun dari luar tubuh (eksternal), dimana faktor-faktor tersebut,antara lain: a. Faktor dari dalam individu (internal): 1) Usia Kebutuhan zat tenaga terus meningkat sampai akhirnya menurun pada usia 40 tahun. Berkurangnya kebutuhan zat tenaga tersebut dikarenakan telah menurunnya kekuatan fisik sehingga kegiatan yang bisa dilakukan biasanya juga berkurang dan lebih lamban. Usia berkaitan dengan kinerja karena pada usia yang meningkat akan diikuti dengan proses degenerasi dari organ sehingga dalam hal ini kemampuan organ akan menurun. Dengan adanya penurunan
15
kemampuan organ, maka hal ini akan menyebabkan tenaga kerja akan semakin mudah mengalami kelelahan. 2) Jenis kelamin Pada tenaga kerja wanita akan terjadi siklus biologis setiap bulan di dalam mekanisme tubuhnya, sehingga akan mempengaruhi kondisi fisik maupun psikisnya dan hal ini akan menyebabkan tingkat kelelahan wanita akan lebih besar daripada tingkat kelelahan pria 3) Status gizi Semua orang dalam hidup membutuhkan zat gizi yang diperoleh dari bahan
makanan
yang
dikonsumsi
sehari-hari.
Setiap
orang
membutuhkan makanan sebagai sumber energi. Semakin besar tenaga yang diperoleh dari makanan maka akan semakin besar pula produktivitas kerja yang dilakukan oleh seorang pekerja. Status gizi dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas kerja,dimana keadaan gizi buruk dengan beban kerja yang berat akan mengganggu kerja dan menurunkan efisiensi serta mengakibatkan kelelahan. 4) Kondisi fisik/ kesehatan Tingkat kesehatan terbagi menjadi, tingkat kesehatan fisik dan tingkat kesehatan psikologis. Kesehatan mental ataupun psikologis juga mempengaruhi kelelahan kerja. Salah satu pikiran yang selalu mengganggu adalah kekhawatiran dimana kekhawatiran ini meningkat
16
dan menjadi tegangan pikiran yang mengakibatkan pekerja yang bersangkutan menjadi sakit. Kelelahan secara fisiologis dan psikologis dapat terjadi jika tubuh dalam kondisi tidak fit/sakit atau seseorang mempunyai keluhan terhadap penyakit tertentu. Semakin besar kondisi kesehatan yang dirasakan kurang sehat oleh pekerja maka kelelahan akan semakin cepat timbul ( Grandjean dalam Putri 2008). Kondisi tubuh yang tidak sehat akan diikuti dengan kenaikan suhu di dalam tubuh. Menurut penelitian, setiap terjadinya kenaikan suhu 10 C diperlukan peningkatan energi basal sekitar 13%, oleh karena itu kelelahan akan semakin cepat dirasakan (Marsetyo dalam Putri 2008). b. Faktor dari luar tubuh (eksternal) 1) Beban kerja dan masa kerja Beban kerja dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja kuantitatif adalah seseorang bekerja dalam jumlah banyak sesuai dengan waktu yang telah diberikan. Beban kerja kualitatif seseorang bekerja dengan tugas-tugas yang repetitive (berulang-ulang),berbagai jenis pekerjaan, dan memiliki tantangan. Faktor internal yang mempengaruhi beban kerja merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh sendiri. Reaksi tubuh tersebut dikenal dengan strain. Berat ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis, sedangkan penilaian subjektif dapat dilakukan melalui perubahan reaksi
17
psikologis dan perubahan prilaku. Penilaian subjektif strain berkaitan erat dengan harapan, keinginan dan penilaian subjektif lainnya (Putri,2008). Beban kerja menentukan berapa lama seseorang dapat bekerja tanpa mengakibatkan kelelahan. Pada pekerjaan yang terlalu berat dan berlebihan akan mempercepat pula kelelahan kerja seseorang. Masa kerja dapat berpengaruh pada kelelahan kerja khususnya kelelahan kronis, semakin lama seseorang bekerja pada lingkungan kerja yang kurang nyaman dan menyenangkan maka kelelahan pada orang tersebut akan menumpuk terus dari waktu ke waktu. 2) Lingkungan kerja fisik Lingkungan kerja fisik yang mempengaruhi kelelahan antara lain: penerangan, kebisingan dan iklim kerja. a. Penerangan/pencahayaan Penerangan yang kurang baik di lingkungan kerja bukan saja akan menambah beban kerja, karena mengganggu pelaksana pekerjaan, tetapi menimbulkan kesan yang kotor. Akibat dari kurangnya penerangan di lingkungan kerja akan memyebabkan kelelahan fisik dan mental bagi para pekerja, gejala fisik dan mental antara lain: sakit kepala, menurunnya kemampuan intelektual, menurunnya konsentrasi dan kecepatan fikir. Untuk mengurangi kelelahan akibat dari penerangan yang tidak cukup dikaitkan dengan faktor obyek dan umur pekerja dapat
18
dilakukan antara lain: perbaikan kontras, meningkatkan penerangan dan pengaturan jam kerja yang sesuai dengan umur tenaga kerja. b. Kebisingan Kebisingan akan mempengaruhi faal tubuh seperti gangguan psikomotor, syaraf otonom, efek pada syaraf otonom terlihat sebagai bertambahnya metabolisme, bertambahnya tegangan otot yang mempercepat kelelahan c. Iklim kerja Iklim
kerja
merupakan
interaksi
berbagai
variabel
seperti:
temperatur, kelembaban udara, kecepatan gerak angin dan suhu radiasi. Iklim kerja adalah keadaan udara di tempat kerja. Pengaruh suhu panas pada manusia berakibat menurunya prestasi kerja fikir. Suhu panas dapat dapat mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otot, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motorik. 3) Faktor ergonomi Ergonomi dapat mengurangi beban kerja dan kelelahan kerja. Dengan bekerja menggunakan prinsip ergonomi, dapat berperan dalam memaksimalkan pekerjaan.
kenyamanan,
keamanan
dan
efisiensi
dalam
19
2.1.5 Tanda dan Gejala Kelelahan Kelelahan dapat digambarkan dengan gejala yang diawali perasaan lelah dengan pengurangan dan ketidakinginan seseorang dalam melakukan aktivitasnya. Kelelahan seseorang dapat ditandai dengan berbagai gejala seperti lemah, lesu, jenuh, menurunnya perhatian, konsentrasi berkurang dan lainnya. Adapun beberapa tanda dan gejala dari kelelahan antara lain: 1. Kelelahan otot mempunyai gejala: antara stimulus dengan kontraksi awal jaraknya semakin lama atau lamban, kontraksi dan relaksasi melambat 2. Kelelahan umum mempunyai gejala,antara lain: a. Perasaan subyektif kelelahan, mengantuk, pusing, tidak suka bekerja b. Pikiran lamban/loyo c. Berkurangnya kewaspadaan d. Persepsi lamban e. Ketidakinginan untuk bekerja f. Kemunduran dalam performa kerja baik fisik maupun mental 3. Kelelahan kronis mempunyai gejala: a. Sakit kepala b. Menggigil c. Kehilangan waktu tidur d. Kehilangan nafsu makan (Grandjean dalam Putri, 2008).
20
2.1.6 Pengukuran Kelelahan Salah satu pengukuran tingkat kelelahan menggunakan pengukuran gejalagejala atau perasaan-perasaan.
Pengukuran
kelelahan dilakukan
dengan
mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala-gejala atau perasaan yang secara subyektif dirasakan oleh responden. Adapun gejala- gejala yang berhubungan dengan kelelahan adalah: 1. Perasaan berat di kepala
15. Kurang kepercayaan
2. Menjadi lelah seluruh badan
16. Cemas terhadap sesuatu
3. Kaki merasa berat
17. Tidak dapat mengontrol sikap
4. Menguap
18. Tidak tekun dalam bekerja
5. Merasakan ada beban di mata
19. Sakit kepala
6. Kaku
20. Kaku di bahu
dan
canggung
dalam
gerakan
21. Merasa kacau pikiran
7. Tidak seimbang dalam berdiri
22. Merasa nyeri di punggung
8. Merasa ingin berbaring
23. Menjadi mengantuk
9. Merasa sulit untuk berpikir
24. Merasa pernafasan tertekan
10. Lelah berbicara
25. Haus
11. Menjadi gugup
26. Suara serak
12. Tidak dapat berkonsentrasi
27. Merasa pening
13. Tidak
28. Ketegangan pada kelopak mata
dapat
mempunyai
perhatian
terhadap
sesuatu/memusatkan perhatian 14. Cenderung untuk lupa
29. Gemetar pada anggota badan 30. Merasa kurang sehat
21
Metode
pengukuran
menggunakan
skala
yang
dikeluarkan
oleh
international fatigue research conference (IFRC) atau disebut subjective self rating test (SSRT) dimana berisi sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan gejala kelelahan. Di dalam skala IFRC terdapat 30 gejala kelelahan yang disusun dalam bentuk pertanyaan. Jawaban untuk kuisioner IFRC tersebut terbagi menjdi empat kategori besar yaitu: sangat sering (SS) dengan diberi nilai empat, sering (S) dengan diberi nilai tiga, kadang-kadang (K) dengan diberi nilai dua, dan tidak pernah (TP) dengan diberi nilai satu. Untuk menentukan tingkatan kelelahan, jawaban tiap pertanyaan dijumlahkan kemudian disesuaikan dengan kategori tertentu. Kategori yang diberikan antara lain: Nilai 30
= tidak kelelahan
Nilai 31-60
= kelelahan ringan
Nilai 61-90
= kelelahan menengah
Nilai 91-120
= kelelahan berat
(Manuaba dalam wirasati, 2003). Dalam penelitian ini, pengukuran tingkat kelelahan menggunakan kuisioner 16 item gejala tingkat kelelahan yang dimodifikasi dari kuisioner skala IFRC menjadi skala guttman,dilakukan penilaian nilai satu untuk jawaban ya dan nilai 0 untuk jawaban tidak. Kemudian digolongkan menjadi tiga kategori yaitu kelelahan berat, sedang, ringan. Dikatakan berat (>80%), sedang (60-80%), dan ringan (<60%) (Khomsan, 2000).
22
2.2 Konsep Ergonomi
2.2.1 Pengertian Ergonomi Ergonomi dapat juga dikatakan sebagai suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyeserasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, Bakri,Sudiajeng, 2004). Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010), mendefinisikan ergonomi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan dan dapat dikatakan sebagai ergonomik yaitu penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh untuk menurunkan stress yang akan dihadapi. Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Ergonomi merupakan praktek dalam mendesain peralatan dan rincian pekerjaan sesuai dengan kemampuan pekerja yang bertujuan untuk mencegah cidera pada pekerja (OSHA, 2004). Dapat disimpulkan ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungan kerja sehingga manusia tersebut dapat merasa nyaman saat bekerja.
23
2.2.2 Ruang Lingkup Ergonomi Ergonomi mempunyai ruang lingkup yang memberi batasan area sehingga dalam penerapannya ergonomi dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, seperti: ergonomi fisik yang berkaitan dengan anatomi tubuh manusia, ergonomi kognitif yang berkaitan dengan proses mental manusia, ergonomi organisasi yang berkaitan dengan kebijakan, struktur organisasi dan proses organisasi, ergonomi lingkungan yang berkaitan dengan pencahayaan, temperatur, kebisingan dan getaran.
2.2.3 Tujuan Dan Manfaat Ergonomi Ilmu ergonomi belum banyak dipahami dan diterapkan oleh pekerja. Hal tersebut terjadi akibat kurangnya pengetahuan dan informasi yang diberikan oleh para pengelola tempat kerja. Secara umum tujuan dan manfaat dari penerapan ergonomi adalah upaya untuk mencegah cedera akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengurangi kelelahan setelah bekerja, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja sehingga tercipta kualitas kerja yang tinggi.
2.2.4 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Ergonomi Penampilan kerja membutuhkan keseimbangan yang dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan yang dimiliki sehingga tercapai kondisi lingkungan yang sehat, aman, nyaman. Apabila tuntutan tugas lebih besar daripada
kemampuan
atau
kapasitas
kerjanya,
maka
akan
terjadi
ketidaknyamanan, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak produktif.
24
a. Kapasitas atau kemampuan kerja Kemampuan seorang pekerja sangat mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan kerja. Kemampuan kerja ditentukan oleh: karakteristik pribadi seperti faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan pengalaman, status sosial,status kesehatan. Kapasitas kerja juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerja fisik. Kemampuan kerja fisik merupakan suatu kemampuan seseorang untuk mampu melakukan suatu pekerjaan dengan menggunakan aktivitas otot pada periode waktu tertentu. kemampuan kerja fisik seseorang ditentukan oleh kekuatan otot dan ketahanan otot b. Tuntutan tugas Pekerja melakukan pekerjaannya untuk memenuhi tuntutan tugas yang diberikan. Tuntutan tugas pekerjaan tergantung pada task and material characteristics yang ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan, dan irama kerja. Organization characteristics, yang berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti, dan libur, manajemen. Environment characteristics, yang berkaitan dengan manusia: teman setugas, suhu, dan kelembaban, bising, dan getaran, penerangan, sosio budaya, norma, adat dan kebiasaan, bahanbahan pencemar (Elyas, 2012).
2.2.5 Aplikasi Pelaksanaan Ergonomi Kerja Ergonomi harus dilaksanakan agar kelelahan dalam bekerja dapat dikurangi sehingga tidak terjadi cedera dalam bekerja. Menurut International
25
Labour Organisation (ILO) mengeluarkan panduan bagi pekerja dalam melakukan aktivitasnya. Panduan tersebut ditujukan untuk pekerja dengan posisi duduk dan berdiri. Berikut adalah panduan ergonomis untuk bekerja dalam posisi duduk menurut International Labour Organisation (ILO): a) Pekerja dapat menjangkau seluruh area kerja tanpa adanya peregangan atau tidak memutar b) Posisi duduk yang baik adalah dengan duduk lurus dan dekat dengan pekerjaan c) Meja dan kursi harus dirancang sehingga permukaan tempat kerja kira-kira pada tingkat yang sama dengan siku d) Bagian belakang harus lurus dan bahu rileks e) Jika memungkinkan, harus ada beberapa bentuk topangan yang sesuai untuk lengan bawah siku atau tangan. Sedangkan panduan ergonomis dalam posisi berdiri menurut International Labour Organisation (ILO) adalah: a) Menurut tinggi kepala 1) Sediakan tempat yang memadai untuk pekerja yang paling tinggi. 2) Posisi kepala pada atau dibawah level mata karena orang secara alami melihat sedikit ke bawah b) Tinggi bahu 1) Pusat control harus ditempatkan antara bahu dan setinggi pinggang. 2) Hindari menempatkan benda di atas ketinggian bahu, tempatka sesuatu yang sering digunakan dan dapat dijangkau oleh lengan.
26
3) Posisikan alat atau fasilitas sesuai dengan kondisi pekerja sehingga pekerja yang paling tinggi tidak perlu membungkuk. c) Tinggi siku Sesuaikan tinggi permukaan pekerjaan sesuai dengan tinggi siku atau di bawah tinggi siku untuk tugas-tugas pekerjaan yang paling sering dilakukan. d) Panjang kaki 1) sesuaikan tinggi kursi sesuai dengan panjang kaki dan tinggi permukaan kerja. 2) Sediakan tempat sehingga kaki bisa terentang, dengan cukup ruang untuk kaki panjang. 3) Memberikan pijakan kaki disesuaikan sehingga kaki tidak menggantung dan untuk membantu posisi pekerja perubahan tubuh.
2.2.6 Posisi Kerja Saat Tindakan Memandikan Pasien Tindakan memandikan merupakan kegiatan membersihkan tubuh pasien dengan menggunakan air dan sabun, yang dilakukan pada pasien yang tidak mampu mandi secara mandiri atau memerlukan bantuan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membersihkan diri dari kotoran dan bau badan, memberikan kesegaran fisik sehingga memberikan rasa nyaman bagi pasien, untuk memelihara integritas kulit dan mencegah infeksi, serta merangsang peredaran darah dan merelaksasikan otot-otot pasien. Dalam melakukan tindakan ini perawat melaksanakan tindakan manual handling. Manual handling adalah segala aktivitas yang membutuhkan tenaga dan
27
dilakukan oleh perawat untuk mengangkat, menurunkan, mendorong, menarik, memindahkan, memegang dan menahan pasien (Nurses Association and Workcover dalam Adi W, 2008). Perawat harus memperhatikan posisi ergonomis tubuh saat melakukan tindakan agar tidak mudah lelah. Saat melakukan tindakan memandikan perawat banyak melakukannya dengan posisi berdiri. Pada posisi berdiri, tinggi optimum area kerja adalah 5-10 cm dibawah siku. Agar tinggi optimum dapat diterapkan, maka perlu diukur tinggi siku yaitu jarak vertikal dari lantai ke siku dengan keadaan lengan bawah mendatar dan lengan atas vertikal. Berdiri harus dengan posisi yang benar, dengan tulang punggung yang lurus dan bobot badan terbagi rata pada kedua kaki (Elyas, 2012). Postur normal yaitu postur dalam proses kerja yang sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan pada bagian penting tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon, dan tulang sehingga keadaan menjadi relaks dan tidak menyebabkan keluhan Musculoskeletal Disorders (Baird dalam Merulalia, 2010). Adapun postur normal yang dapat diterapkan saat memandikan pasien: a. Pada tangan dan lengan : postur normal pada bagian tangan dan pergelangan tangan adalah berada dalam keadaan garis lurus dengan jari tengah, tidak miring ataupun mengalami fleksi/ekstensi. b. Pada leher: posisi normal leher lurus dan tidak miring/memutar ke samping kiri atau kanan. Posisi miring pada leher tidak melebihi 200 sehingga tidak terjadi penekanan pada discus tulang cervical (Bridger, 1995).
28
c. Pada bahu: posisi normal pada bahu adalah tidak dalam keadaan mengangkat dan siku berada dekat dengan tubuh sehingga bahu kiri dan kanan dalam keadaan lurus dan proporsional. d. Pada punggung: posisi normal dari tulang belakang untuk bagian toraks adalah kiposis dan untuk bagian lumbal adalah lordosis serta tidak miring ke kiri atau ke kanan. Postur tubuh membungkuk tidak boleh lebih dari 20°. Posisi Kerja Tidak Alamiah atau Postur Janggal Posisi kerja tidak alamiah atau postur janggal adalah pergeseran dari gerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas dari postur atau posisi normal secara berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama. Gerakan dan postur janggal ini adalah suatu faktor resiko untuk terjadinya gangguan, penyakit dan cedera pada sistem muskuloskeletal. Beberapa postur janggal saat memandikan,sebagai berikut: a. Postur janggal pada tulang belakang: 1) Membungkuk, yaitu punggung dan dada lebih condong ke depan membentuk >20o terhadap garis vertikal. 2) Berputar, yaitu posisi tubuh yang berputar ke kanan dan kiri dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan. 3) Miring, yaitu setiap deviasi bidang median tubuh dari garis vertikal tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk. Terjadi fleksi pada bagian tubuh, biasanya ke depan atau ke samping.
29
b. Postur janggal pada tangan dan pergelangan tangan adalah melakukan pekerjaan dengan posisi memegang benda dengan cara mencubit, tekanan pada jari terhadap objek, menggenggam dengan kuat,posisi pergelangan tangan yang fleksi dan ekstensi dengan sudt >45o, serta posisi pergelangan tangan yang deviasi selama >10 detik dan frekuensi > 30/menit. c. Postur janggal pada bahu adalah melakukan pekerjaan lengan atas membentuk sudut >45o ke arah samping atau ke arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari atau sama dengan 2 kali/menit dan beban > 4,5 kg. d. Postur janggal pada lengan bawah adalah posisi siku sebesar 135o dan jika menggunakan gerakan penuh dalam bekerja. e. Postur janggal pada leher yang menjadi faktor risiko adalah melakukan pekerjaan (membengkokkan leher >20o terhadap vertikal), menekukkan kepala atau menoleh ke samping kiri atau kanan, serta menengadah. f. Postur janggal pada kaki: 1) Jongkok (squatting), yaitu posisi tubuh dimana perut menempel pada paha dimana terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut, pangkal paha, dan tulang lumbal. 2) Berlutut (kneeling) yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk, permukaan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada lutut dan jari-jari kaki. 3) Berdiri pada satu kaki (stand on one leg), yaitu posisi tubuh dimana tubuh bertumpu pada satu kaki (Humantech, 1995).
30
4) Posisi menjinjit merupakan posisi penumpuan berat badan yang tertuju pada daerah jari-jari kaki. Pada posisi menjinjit yang dilakukan dalam waktu lama, akan menyebabkan rasa pegal dan nyeri. Posisi ini akan menyebabkan nyeri didaerah betis, sebagai akibat dari posisi kaki yang menjinjit, sehingga otot betis (gastrocnemius) akan berkontraksi. Bila otot ini berkontraksi secara terus menerus, akan menyebabkan terjadinya penumpukan asam laktat sehingga akan menyebabkan kelelahan pada otot betis anda.
2.2.7 Penilaian Ergonomi Menurut Rapid Entire Body Assessment (REBA) REBA (Highment and McA tamney, 2000) dikembangkan untuk mengkaji postur bekerja yang dapat ditemukan pada industri pelayanan kesehatan dan industri pelayanan lainnya. Data yang dikumpulkan termasuk postur badan, kekuatan yang digunakan, tipe dari pergerakan, gerakan berulang, dan gerakan berangkai. Skor akhir REBA diberikan untuk memberi sebuah indikasi pada tingkat risiko mana dan pada bagian mana yang harus dilakukan penanggulangan. Metode REBA digunakan untuk menilai postur pekerjaan berisiko yang berhubungan dengan musculoskeletal disorder/ work related musculoskeletal disorder (WRMSDS). REBA bukan merupakan desain spesifik untuk memenuhi standart khusus. Meskipun demikian, ini telah digunakan di Inggris untuk pengkajian yang berhubungan dengan Manual Handling Operation Regulation (HSE, 1998). REBA ini juga digunakan secara luas di dunia internasional termasuk dalam US Ergonomi Program Standar (OSHA, 2004).
31
Kelebihan REBA antara lain: a. Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi. b. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja, pekerjaan statis atau berulang-ulang). c. Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil. d. Skor akhir dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan. e. Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari analisa yang telah dilakukan Kelemahan metode REBA antara lain: a. Hanya menilai aspek postur dari pkerja. b. Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama yang berkaitan dengan faktor psikososial. c. Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi, temperature dan jarak pandang. Langkah- langkah penilaian metode REBA: 1). Melakukan pengamatan aktivitas kerja dan mengambil data gambar posisi tubuh ketika bekerja. 2). Menentukan postur kerja yang akan diamati, antara lain batang tubuh, pergelangan tangan, leher, kaki,lengan atas, dan lengan bawah.
32
3). Menentukan nilai untuk masing-masing postur tubuh serta penentuan skor aktivitas. Secara garis besar penilaian dilakukan untuk menilai dua kelompok besar yaitu kelompok A untuk punggung, leher dan kaki, serta kelompok B untuk penilaian lengan bagian atas, lengan bagian bawah dan pergelangan tangan. 1. Kriteria penilaian postur grup A: a. Kriteria penilaian area leher: a) Skor 1 = posisi leher 0o-20o ke depan b) Skor 2 = posisi leher > 20o ke depan dan ke belakang c) Skor + 1, jika leher berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah b. Kriteria penilaian area punggung: a) Skor 1 = posisi punggung lurus atau o b) Skor 2 = posisi 0o- 20o ke depan dan ke belakang c) Skor 3 = posisi 20o-600 ke depan dan > 20o ke belakang d) Skor 4 = posisi > 60o ke depan e) Skor + 1 , jika punggung berputar atau miring ke kanan, dan atau ke kiri serta ke atas dan atau ke bawah. c. Kriteria penilaian area kaki: a) Skor 1 = tubuh bertumpu pada kedua kaki, berjalan,duduk b) Skor 2 = berdiri dengan satu kaki,tidak stabil c) Skor + 1, jika lutut di tekuk 30o – 60o ke depan, dan skor + 2, jika lutut di tekuk > 60o ke depan.
33
Setelah didapat skor postur punggung,leher dan kaki kemudian diperoleh skor tabel A. Nilai dari tabel A kemudian di jumlahkan dengan berat beban yang diangkat. a) Skor 0 = berat beban < 5 kg b) Skor 1 = berat beban 5-10 kg c) Skor 2 = berat beban > 10 kg d) Skor + 1, jika disertai dengan pergerakan yang cepat. 2. Kriteria penilaian postur grup B: a. Kriteria penilaian area lengan atas: a. Skor 1 = posisi lengan atas 0o-20o ke depan dan ke belakang b. Skor 2 = posisi lengan atas > 20o ke belakang, dan 20o – 40o ke depan c. Skor 3 = posisi lengan atas antara 45o – 90o d. Skor 4 = posisi lengan atas > 90o ke atas e. Skor + 1, jika bahu berputar atau bahu dinaikan atau diberi penahan f. Skor – 1 , jika lengan dibantu oleh alat penopang atau terdapat orang yang membantu. b. Kriteria penilaian area lengan bawah: a) Skor 1 = posisi lengan 60o – 100o ke depan b) Skor 2 = posisi lengan antara 0o – 60o ke bawah, dan > 100o ke atas c. Kriteria penilaian area pergelangan tangan: a) Skor 1 = posisi pergelangan tangan 0o – 15o ke depan dan ke belakang b) Skor 2 = posisi pergelangan tangan > 15o ke depan dan ke belakang c) Skor +1, jika terdapat penyimpangan pada pergelangan tangan.
34
Setelah skor area lengan atas,lengan bawah dan pergelangan tangan dimasukan ke dalam tabel skor B. tahap selanjutnya dijumlahkan dengan nilai genggaman tangan. Kriteria penilaian cara memegang: a) Skor 0 = memegang beban dengan dibantu oleh alat pembantu b) Skor 1 = memegang beban dengan mendekatkan beban ke anggota tubuh yang dapat menopang c) Skor 3 = memegang beban tidak pada tempat pegangan yang disediakan 3) Setelah nilai dari grup A dan grup B didapat, maka dimasukkan ke tabel C 4) Kemudian diperoleh nilai C dan dijumlah dengan nilai aktivitas. Kriteria nilai aktifitas yaitu: a) Skor + 1, jika salah satu atau lebih dari anggota tubuh statis > 1 menit b) Skor + 1, jika melakukan gerakan berulang > 4 kali dalam waktu 1 menit c) Skor + 1, jika perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil. Setelah nilai C di jumlahkan dengan nilai aktivitas, maka di peroleh nilai REBA atau skor akhir REBA serta level perubahan yang harus dilakukan. Dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Skor Akhir REBA Level
Skor
Level
Aksi (termasuk tindakan penilaian)
aksi
REBA
Risiko
0
1
Sangat rendah
Risiko masih dapat diterima dan tidak perlu dirubah
1
2-3
Rendah
Mungkin diperlukan perubahan
2
4-7
Sedang
Butuh pemeriksaan dan perubahan
3
8-10
Tinggi
Kondisi berbahaya, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dan perubahan dengan segera
4
11-15
Sangat tinggi
Perubahan dilakukan saat itu juga
35
2.3 Hubungan Posisi Kerja Dengan Kelelahan Kelelahan dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor ergonomi. Dalam melakukan pekerjaan diperlukan posisi kerja yang tepat untuk mengurangi kelelahan dan mencegah terjadinya cedera di dalam bekerja. Salah satu kelelahan yang dapat muncul adalah kelelahan otot, dimana kelelahan otot merupakan kelelahan yang disebabkan akibat aktivitas fisik yang terlalu lama dan banyak (Muchinsky dalam Putri, 2008). Bekerja dalam postur tubuh yang janggal dapat menjadi suatu kebiasaan yang dapat berdampak pada pergerakan atau pemendekan jaringan lunak dan otot (Pheasant,1991 dalam Kurniawati, 2009). Postur janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan (Department of EH&S, 2002). Bekerja dengan posisi janggal meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk bekerja. Posisi janggal menyebabkan kondisi dimana transfer tenaga dari otot ke jaringan rangka tidak efisien sehingga mudah menimbulkan lelah (Octarisya, 2009). Sikap kerja yang salah, canggung dan diluar kebiasaan akan menambah resiko cidera pada bagian muskuloskeletal (Andy Wijaya, 2008). Melihat hal itu kita dapat lihat pentingnya memahami prinsip-prinsip ergonomi dalam bekerja. Dimana bisa kita lihat dari tujuan dan manfaat dari penerapan ergonomi adalah upaya untuk mencegah cedera akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengurangi kelelahan setelah bekerja, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja sehingga tercipta kualitas kerja yang tinggi. Dengan menerapkan ergonomi di dalam melakukan tindakan khususnya tindakan memandikan pasien
36
diatas tempat tidur dapat mengurangi tingkat kelelahan yang dirasakan oleh perawat. Semakin tubuh kita dapat menyesuaikan antara posisi kerja dengan proses kerja yang tepat maka kelelahan itu dapat diturunkan.