BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebisingan 2.1.1. Defenisi Kebisingan Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri, bising berarti bunyi yang sangat mengganggu dan menjengkelkan serta sangat membuang energi (Harrianto, 2008). Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I.. No. Per.13/MEN/X/2011). Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kerja, kebisingan diartikan sebagai semua suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Suma‟mur, 2013) Kebisingan adalah salah satu faktor fisik berupa bunyi yang dapat menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan keselamatan kerja. Sedangkan dalam keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia “Bising adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi dan atau alatalat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran”. Dari kedua defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah semua bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang dapat menggangu kesehatan dan keselamatan (Anizar, 2009). 6
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.2. Sumber Kebisingan Menurut Wisnu, sumber kebisingan dilihat dari sifatnya dibagi menjadi dua yaitu: (Subaris & Haryono, 2008) a. sumber kebisingan statis: pabrik, mesin, tape, dan lainnya. b. sumber kebisingan dinamis: mobil, pesawat terbang, kapal laut, dan lainnya. Sedangkan menurut Men.KLH, sumber bising yang dilihat dari bentuk sumber suara yang dikeluarkannya ada dua, yaitu: (Subaris & Haryono, 2008) a. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran. Contoh: sumber bising dari mesin-mesin industri/mesin yang tak bergerak b. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya kebisingan yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak. Di tempat kerja, disadari maupun tidak, cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa perusahaan beserta aktivitas-aktivitasnya ikut menciptakan dan menambah keparahan tingkat kebisingan di tempat kerja, misalnya: (Tambunan, 2005) a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua. b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi dalm periode operasi cukup panjang. c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya, misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.
Universitas Sumatera Utara
8
d. Melakukan modifikasi/perubahan/penggantian secara parsial pada komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidahkaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponenkomponen mesin tiruan. e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin (bad connection). f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya penggunaan palu (hammer)/alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut. 2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebisigan Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebisingan antara lain : a. Intensitas, intensitas bunyi yang dapat didengar telinga manusia berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Jadi, tingkat tekanan bunyi di ukur dengan logaritma dalam decibel (dB). b. Frekuensi, frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia terletak antara 16-20000 Hertz. Frekuensi bicara terdapat antara 250-4000 Hertz. c. Durasi, efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya paparan dan berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai telinga dalam.
Universitas Sumatera Utara
9
d. Sifat, mengacu pada distribusi energi bunyi terhadap waktu (stabil, berfluktuasi, intermiten). Bising impulsive (satu/lebih lonjakan energi bunyi, dengan durasi kurang dari 1 detik) sangat berbahaya. Menurut Anizar, bagian yang paling penting adalah: 1. intensitas kebisingan (tingkat tekanan suara) 2. jenis kebisingan (wide band, narrow band, impulse) 3. lamanya terpapar per hari 4. jumlah lamanya terpapar (dalam tahun) 5. usia yang terpapar 6. masalah pendengaran yang telah diderita sebelumnya 7. lingkungan yang bising 8. jarak pendengaran dengan sumber kebisingan 2.1.4. Jenis Kebisingan Menurut Suma‟mur, kebisingan yang sering ditemukan adalah: a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum frekuensi yang lebar (steady state,wide band noise), misalnya bising mesin, kipas angin dapur pijar dan lain-lain b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler, kutup gas, dan lain-lain. c. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise), misalnya bising lalu lintas, suara kapal terbang di bandara.
Universitas Sumatera Utara
10
d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan. e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan. Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (non-steady noise) (Tambunan, 2005). Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu: a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise) Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya. b. Broad band noise Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise samasama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan “nada” murni) Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagikan lagi menjadi: a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise) Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu b. Intermittent noise Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan
Universitas Sumatera Utara
11
yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas. c. Impulsive noise Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya. Sedangkan menurut Anizar (2009), kebisingan dapat dikelaskan kepada beberapa jenis yaitu: a. Bising secara terus menerus adalah bising yang mempunyai perbedaan tingkat intensitas bunyi di antara maksimum dan minimum yang kurang dari 3 dBA. Contohnya adalah bunyi yang dihasilkan oleh mesin penenun tekstil. b. Bising fluktuasi ialah bunyi bising yang mempunyai perbedaan tingkat di antara intensitas yang tinggi dengan yang rendah lebih dari 3 dBA. c. Bising impuls ialah bising yang mempunyai intensitas yang sangat tinggi dalam waktu yang singkat seperti tembakam senjata api, lagan besi dan sebagainya. d. Bising bersela ialah bunyi yang terjadi di dalam jangka waktu tertentu serta berulang. Contohnya bising ketika memotong besi akan berhenti apabila gergaji itu dihentikan. Terdapatnya kombinasi daripada jenis bunyi di atas, contohnya kebisingan berterusan dan bersela dapat terjadi secara serentak.
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.5. Nilai Ambang Batas Kebisingan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Soeripto, 2008). NAB kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan seharihari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari dan 5 (lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu (Suma‟mur, 2013) NAB kebisingan adalah 85 dB(A). NAB kebisingan tersebut merupakan ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : Kep-51/Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja dan merupakan standar dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-2004 Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja (Suma‟mur, 2013)
Universitas Sumatera Utara
13
Berikut ini adalah tabel Nilai Ambang Batas Kebisingan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun 2011: Tabel 1.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun 2011
2.1.6. Pengukuran Kebisingan Telinga manusia sama sekali tidak dapat dijadikan “referensi” tingkat kebisingan yang terdapat pada sebuah temapat. Berdasarkan hasil percobaan, pada intensitas kebisingan sesungguhnya berkurang 2 dB dari tingkat kebisingan awal, pengurangan kebisingan yang dirasakan oleh telinga manusia adalah sekitar 15%, sedangkan pada saat pengurangan (actual) sebesar 20% maka kebisingan yang dirasakan akan berkurang sebesar 81%. Untuk mendapatkan hasil pengukuran tingkat kebisingan yang akurat, diperlukan alat-alat khusus (Tambunan, 2005).
Universitas Sumatera Utara
14
Bunyi diukur dengan satuan yang disebut decibel. Dalam hal ini mengukur besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan decibel diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, dan C. Skala yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA (Anies, 2009). Dua suara atau lebih dengan intensitas sama, jika digabungkan akan menghasilkan intensitas kebisingan yang lebih tinggi. Untuk memperoleh hasil pengukuran kebisingan di tempat kerja yang teliti, maka kebisingan dari setiap sumber sebaiknya diukur secara terpisah atau satu per satu (Subaris dan Haryono, 2008). Menurut Suma‟mur (2013), maksud dilakukannya pengukuran kebisingan ada dua dua hal, yaitu: a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di perusahaan atau di mana saja b. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya. Anizar (2009) berpendapat bahwa pengukuran ada yang hanya bertujuan untuk pengendalian terhadap lingkungan kerja namun ada juga pengukuran yang
Universitas Sumatera Utara
15
bertujuan
untuk
mengetahui
pengaruhnya
terhadap
tenaga
kerja
yang
bersangkutan di mana: a. Pengukuran dilakukan di tempat kerja, tempat si pekerja berada dan menghabiskan waktu kerjanya. Pengukuran ini dilakukan pada pagi hari, siang dan sore hari. b. Pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan tingkat kebisingan ratarata yang diterima tenaga kerja selama 8 jam kerja berturut-turut, sehingga hasilnya dapat dihubungkan dengan penelitian terhadap tenaga kerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengukuran harus dilakukan selama jam kerja secara intensif dan bila tenaga kerja selalu berpindah tempat
maka
harus
dilakukan
pengukuran
tingkat
kebisingan pada tempat di mana tenaga kerja itu berada dan pencatatan waktu selama tenaga kerja berada di tempat-tempat tersebut, selanjutnya diperhitungkan tingkat kebisingan rata-rata yang diterima tenaga kerja selama 8 jam kerja. Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekuensi 20 -20.000 Hz. Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai alat kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur oleh amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi tersebut yang tergantung pada tekanan udara, sehingga perlu koreksi berdasarkan atas perbedaan tekanan barometer. Kalibrator dengan intensitas tinggi (125 dB) lebih disukai oleh
Universitas Sumatera Utara
16
karena alat pengukur intensitas kebisingan demikian mungkin dipakai untuk mengukur kebisingan yang intensitasnya tinggi (Suma‟mur, 2013). Adapun bagian-bagian yang terdapat pada Sound Level Meter adalah sebagai berikut (Subaris & Haryono, 2008): a. Tombol pengatur hidup/mati atau power on/off b. Tombol pengontrol battery c. Tombol pengatur penunjuk cepat lambat (slow/fast) d. Tombol pengukur skala angka puluhan e. Tombol pengatur penunjuk maksimum (max hold) f. Microphone g. Filter microphone h. Kalibrator i. Display Komponen dasar sebuah Sound Level Meter adalah sebuah microphone, penguat suara (amplifier) dengan pengatur frekuensi dan sebuah layar indikator. Sesuai namanya, fungsi dasar minimum yang harus ada pada sebuar Sound Level Meter adalah sebagai alat ukur tingkat suara (dB). Fungsi – fungsi tambahan lain cukup bervariasi, seperti fungsi pengukuran TWA (Time Weigted Average) secara otomatis dan pengukuran dosis kebisingan (Tambunan, 2005). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengukuran adalah sebagai berikut (Subaris & Haryono, 2008): a. Sebelum pengukuran dilaksanakan, battery harus diperiksa untuk mengetahui apakah masih berfungsi atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
17
b. Agar peralatan SLM yang akan digunakan benar-benar tepat, maka terlebih dahulu harus dicek dengan menggunakan kalibrator, yaitu dengan meletakkan/memasang alat tersebut di atas microphone dari SLM, kemudian dengan tombol pada alat tersebut dikeluarkan nada murni (pure tone) dengan intensitas tertentu, maka jarum penunjuk/display SLM tersebut harus menunjukkan sesuai dengan intensitas suara dari kalibrator. c. Meletakkan sejauh mungkin SLM sepanjang tangan (paling dekat 0,5 meter dari tubuh pengukur). Bila perlu gunakan tripod untuk meletakkannya. Hal ini dilakukan karena selain operator dapat merintangi suara yang datang dari salah satu arah operator tersebut juga dapat memantulkan suara sehingga menyebabkan kesalahan pengukuran. d. Pengukuran di luar gedung/lingkungan harus dilakukan pada ketinggian 1,2 – 1,5 meter di atas tanah dan bila mungkin tidak kurang dari 3,5 meter dari semua permukaan yang dapat memantulkan suara. Sebaliknya digunakan WindsScreen (terbuat dari karet busa berpori) yang dipasang pada microphone untuk mengurangi turbulensi aliran udara di sekitar diafragma microphone. e. Bila ingin diketahui dengan tepat sumber suara yang sedang diukur dapat digunakan headphone yang dihubungkan dengan output dari SLM f. Hindarkan pengukuran terlalu dekat dengan sumber bunyi, karena hasil pengukuran akan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada posisi SLM yang berubah-ubah.
Universitas Sumatera Utara
18
g. SLM ini dapat digunakan pada suasana kelembapan sampai dengan 90% dan pada suhu antara 100 – 500C. Dalam merencanakan pengukuran, perlu untuk menginvestigasi: a. Titik-titik pengukuran b. Personalia c. Peralatan pengukuran d. Proses pengukuran e. Metode komunikasi, dan sebagainya Waktu memilih alat-alat pengukuran, perlu untuk mengingat tujuan dari hasil-hasil pengukuran. Terutama, bila pengukuran adalah bagian dari investigasi untuk langkah-langkah penanggulangan, maka perlu diadakan pengukuranpengukuran pada titik-titik di mana suara-suara mudah bocor seperti jendelajendela, pintu-pintu, kipas angin, dan sebagainya. 2.2. Stres Kerja 2.2.1. Defenisi Menurut Morgan dan King ”..as an internal state can be caused by physical demand on the body (disease condition, exercise, extremes of temperature, and the like) or by environmental and cosial situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping”. Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Waluyo, 2009). Stres dapat diartikan sebagai suatu persepsi akan adanya ancaman atau tantangan yang menggerakkan, menyiagakan, atau membuat aktif dirinya. Tenaga
Universitas Sumatera Utara
19
kerja dapat merasakan lingkungan kerjanya sebagai suatu ancaman atau suatu tantangan, di mana ia merasa belum pasti dapat menghadapi dengan berhasil (Anies, 2009). Menurut Dr. Hans Selye, guru besar emeritus (purnawirawan) dari Universitas Montreal, stres adalah suatu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor), yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres (Munandar, 2001). Stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik
kepribadian
karyawan
dengan
karakteristik
aspek-aspek
pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan ( Agung, 2008). Menurut Rice (1992), seseorang dapat dikategorikan mengalami stres kerja adalah apabila stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi perusahaan tempat orang yang bersangkutan bekerja. Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja (Anies, 2014). “Work stress is an individual‟s response to work related environtmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioral reaction” Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja.
Universitas Sumatera Utara
20
Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang di persepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja (Waluyo, 2009). Kemudian stres kerja dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi dari hasil penghayatan subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis, fisiologis dan sikap individu (Sutarto Wijono, 2011). 2.2.2. Sumber Stres Kerja Sumber stres kerja (stressors) adalah suatu kondisi, situasi atau peristiwa yang dapat menyebabkan stres. Ada berbagai sumber stres yang dapat menyebabkan stres di perusahaan di antaranya adalah faktor perkerjaan itu sendiri dan di luar pekerjaan itu. Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi dan transaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya (Sutarto Wijono, 2011). Menurut Cooper (1983), ada beberapa sumber stres kerja, antara lain (Anies, 2014): a. Lingkungan kerja Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas kerja. Lingkungan yang kurang nyaman, misalnya panas, berisik, sirkulasi udara kurang, membuat pekerja mudah menderita stres. b. Overload Overload dapat dibedakan menjdai kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan
Universitas Sumatera Utara
21
pekerja yang bersangkutan, akibatnya mudah lelah dan berada dalam ketegangan tinggi. Sementara overload kualitatif, bila pekerjaan memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi. c. Deprivational stres Istilah deprivational stres diperkenalkan oleh George Every dan Daniel Girdano (1980), yaitu pekerjaan yang tidak lagi menantang atau menarik bagi pekerja. Akibatnya, timbul berbagai keluhan seperti kebosanan, ketidakpuasan, dan sebagainya. d. Pekerjaan berisiko tinggi Ada pekerjaan yang berisiko tingi dan berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan di lepas pantai, pekerja cleaning service pada gedung-gedung pencakar langit, dan sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut berpotensi menimbulkan stres. Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni (Waluyo, 2009): a. Kondisi dan situasi pekerjaan b. Pekerjaannya c. Job Requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas d. Hubungan interpersonal Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni:
Universitas Sumatera Utara
22
a. Extra
Organization
Stressor,
yang
terdiri
dari
perubahan
social/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dam keadaan komunitas/tempat tinggal. b. Organization Stressor, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi. c. Group Stressor, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan social, serta adanya konflik antar individu, interpersonal, dan intergroup. d. Individual Stressor, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, control personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis. Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjdai dua, yakni: a. Group Stressor, adalah penyebab stres yang bersal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara individu dalam kelompok, maupun kurangnya dukungan social dari sesama karyawan di dalam perusahaan. b. Individual Stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan
Universitas Sumatera Utara
23
tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran. 2.2.3. Faktor Penyebab Stres Kerja Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stres kerja pada individu dalam penelitian Mirza (2011), antara lain: a. Usia Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan 20an dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia b. Masa kerja Masa kerja dapat diartikan sebagai jangka waktu seseorang bekerja, dihitung dari mulai bekerja sampai dia masih bekerja. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. c. Pendidikan Secara umum pendidikan bertujuan mengembangkan dan memperluas pengetahuan, pengalaman serta pengertian individu. Semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah seseorang berpikir secara luas, makin tinggi daya inisiatifnya dan makin mudah pula untuk menemukan cara-cara yang efisien guna menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. d. Riwayat Penyakit Penyakit akan menyebabkan hipo atau hipertensi suatu organ, akibatnya akan merangsang syaraf tertentu. Dengan perangsangan
Universitas Sumatera Utara
24
yang terjadi akan menyebabkan pusat syaraf otak akan terganggu atau terpengaruh yang dapat menurunkan kondisi fisik seseorang. e. Hubungan sosial Hubungan tidak baik antara karyawan di tempat kerja adalah faktor yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya stres di tempat kerja. Kecurigaan antar pekerja, kurangnya komunikasi, ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan merupakan tanda-tanda stres akibat kerja. 2.2.4. Gejala Stres Kerja Gejala ringan sampai sedang akibat stres meliputi: (Pandji Anogara, 2011) a. Gejala badan: sakit kepala, sakit maag, mudah kaget, banyak keluar keringat dingin, gangguan pola tidur, lesu, letih, kaku leher belakang, nafsu makan menurun, dan sejumlah gejala lain. b. Gejala emosional: pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil keputusan, cemas, was-was, kuatir, mimpi-mimpi buruk, murung, mudah marah/jengkel, gelisah dan sebagainya. c. Gejala sosial: makin banyak merokok/minum/makan, menarik diri dari pergaulan social, mudah bertengkar dan sebagainya. Menurut Terry Beehr dan John Newman mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu (Waluyo, 2009): a. Gejala Psikologis Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres pekerjaan :
Universitas Sumatera Utara
25
1. Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung 2. Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian) 3. Sensitif dan hyperreactivity 4. Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi 5. Komunikasi yang tidak efektif 6. Perasaan terkucil dan terasing 7. Kebosanan dan ketidakpuasan kerja 8. Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi 9. Kehilangan spontanitas dan kreativitas 10. Menurunnya rasa percaya diri b. Gejala Fisiologis Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah: 1. Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular. 2. Meningkatnya sekresi dari hormone stres, contoh: adrenalin dan nonadrenalin. 3. Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung). 4. Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan. 5. Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome). 6. Gangguan pernafasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada. 7. Gangguan pada kulit
Universitas Sumatera Utara
26
8. Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot. 9. Gangguan tidur 10. Rusaknya fungsi imun, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker c. Gejala Perilaku Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah: 1. Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan 2. Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas 3. Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan 4. Perilaku sabotase dalam pekerjaan 5. Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan, mengarah ke obesitas 6. Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan), sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi. 7. Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi. 8. Meningkatnya agresivitas, vandalism, dan kriminalitas, 9. Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman. 10. Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Universitas Sumatera Utara
27
2.2.5. Dampak Stres Kerja Menurut Rice (1999), pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mapu berkonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan (Waluyo, 2009). Reaksi tubuh terhadap stressor pada seseorang sangat bervariasi dan berbeda dari masing-masing orang yang menerimanya. Perbedaan reaksi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor psikologis dan faktor socialbudaya seseorang. Mathews (1989) menjelaskan secara spesifik tentang reaksi stres akibat kerja yaitu: a. Reaksi Psikologis Stres biasanya merupakan perasaan subjektif seseorang sebagai bentuk kelelahan, kegelisahan dan depresi. Reaksi psikologis kepada stres dapat dievaluasi dalam bentuk beban mental, kelelahan dan perilaku.
Universitas Sumatera Utara
28
b. Respon Sosial Setelah beberapa lama mengalami kegelisahan, depresi, konflik dan stres di tempat kerja, maka pengaruhnya akan dibawa ke dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. c. Respon stres kepada gangguan kesehatan atau reaksi fisiologis Bila tubuh mengalami stres maka akan terjadi perubahan fisiologis sebagai jawaban atas stres. d. Respon Individu Pengaruhnya tergantung dari sifat dan kepribadian seseorang. Dalam menghadapi stres, individu dengan kepribadian introvert akan bereaksi akan bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian ekstrovert. 2.3.
Pengaruh Paparan Kebisingan terhadap Stres Kerja Kebisingan mempunyai pengaruh terhadap tenaga kerja, mulai gangguan
ringan berupa gangguan terhadap konsentrasi kerja, pengaruh dalam komunikasi dan kenikmatan kerja sampai pada cacat yang berat karena kehilangan daya pendengaran (Anizar, 2009). a. Gangguan terhadap konsentrasi kerja dapat mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas kerja. Hal ini pernah dibuktikan pada sebuah perusahaan film di mana penurunan intensitas kebisingan berhasil mengurangi jumlah film yang rusak, sehingga dapat menghemat bahan baku.
Universitas Sumatera Utara
29
b. Gangguan dalam kenikmatan kerja berbeda-beda untuk tiap orang. Untuk beberapa orang yang rentan, kebisingan dapat menyebabkan rasa pusing, kantuk, sakit, tekanan darah tinggi, tegang dan stres yang diikuti dengan sakit maag, kesulitan tidur. Gangguan konsentrasi dan kehilangan semangat kerja. c. Gangguan terhadap komunikasi akan mengganggu kerjasama antara pekerja dan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian yang secara tidak langsung menurunkan kuantitas dan kualitas kerja. Kebisingan mempengaruhi daya kerja seseorang dan efek tersebut merugikan baik ditinjau dari pelaksanaan kerja maupun dari hasil kerja boleh dikatakan telah merupakan pendapat masyarakat pada umumnya (Suma‟mur, 2013). Pengaruh negatif demikian adalah sebagai berikut: a. Gangguan secara umum Selain gangguan terhadap kemampuan memusatkan perhatian atau mengalihkan perhatian atau melemahkan motivasi, kebisingan dapat menyebabkan rasa terganggu yang merupakan reaksi psikologis seseorang; perasaan terganggu demikian bervariasi dalam besar dan coraknya atas dasar sifat-sifat suatu kebisingan yang ditentukan oleh jenis kebisingan itu sendiri, frekuensi dan intensitasnya. b. Gangguan komunikasi dengan pembicaraan Sebagai pegangan, gangguan komunikasi oleh kebisingan telah terjadi, apabila komunikasi pembicaraan dalam pekerjaan harus dijalankan dengan suara yang kekuatannya tinggi dan lebih nyata lagi apabila dilakukan
Universitas Sumatera Utara
30
dengan cara berteriak. Gangguan komunikasi seperti itu menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin mengakibatkan kesalahan atau kecelakaan, terutama pada penggunaan tenaga kerja baru oleh karena timbulnya salah faham dan salam pengertian. Intensitas kebisingan yang masih dibawah NAB secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan karena pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan dan depresi (Tarwaka, 2004). Secara spesifik stres karena kebisingan tersebut dapat menyebabkan antara lain: a. Stres menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur b. Ganguan reaksi psikomotor c. Kehilangan konsentrasi d. Gangguan komunikasi antara lawan bicara e. Penurunan performansi kerja yang kesemuanya itu akan bermuara pada kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja Kebisingan yang diterima manusia dan berlangsung dalam waktu lama harus dilakukan pengendalian atau pencegahan. Kebisingan dengan level yang cukup tinggi di atas 70 dB dapat menimbulkan kegelisahan, kurang enak badan, masalah pendengaran dan penyempitan pembuluh darah (Leslie L. Doelle, 1993). Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja. Tergantung dari persepsi tenaga kerja terhadap lingkungannya,
Universitas Sumatera Utara
31
apakah ia merasakan adanya stres ataukah tidak. Hal ini berarti bahwa pada situasi kerja yang sama, seorang tenaga kerja dapat mengalami stres sedangkan lainnya tidak (Anies, 2014). 2.4.
Kerangka Konsep
Stres Kerja
Kebisingan
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Keterangan: Berdasarkan kerangka konsep di atas variabel yang diukur adalah variabel bebas yaitu kebisingan yang terdapat pada pabrik tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti dan variabel terikat yaitu stres kerja pada pekerja pabrik.
Universitas Sumatera Utara