BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Corporate Social Responsibility 2.1.1 Sejarah Corporate Social Responsibility Literatur-literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950an menyebut CSR sebagai Social Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari. Buku karangan Howard R. Bowen yang diterbitkan pada tahun 1953, yang berjudul Social Responsibility of The Businessman dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen memberikan definisi awal dari CSR sebagai: “… obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society.” Sejarah tentang Corporate Social Responsibility penulis rangkum dari www.STAN.ac.id/blog Hangga surya prayoga: 1960-an Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki. Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang.
Kata corporate mulai dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan korporasi. 1970-an Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. 1980-an Era ini ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat apa sebenarnya corporate responsibility. Walaupun telah menyinggung masalah CSR pada 1954 , Empu teori manajemen Peter F. Drucker baru mulai membahas secara serius bidang CSR pada tahun 1984 , Drucker berpendapat: ”But the proper ‘social responsibility’ of business is to tame the dragon, that is to turn a social problem into economic opportunity and economic benefit, into productive capacity, into human competence, into well-paid jobs, and into wealth” (Drucker, 1984, hal. 62) Dalam hal ini Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi dapat mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian
rupa
sehingga
tetap
akan
menjadi
peluang
bisnis
yang
menguntungkan. 1990-an Earth Summit dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992. Dihadiri oleh 172 negara dengan
tema
utama
“Lingkungan
dan
Pembangunan
Berkelanjutan”.
Menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya ecoefficiency dijadikan prinsip utama berbisnis dan menjalankan pemerintahan. Corporate Social Responsibility mulai muncul ke permukaan akibat tekanan dari masyarakat terutama kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang
bergerak di bidang sosial maupun lingkungan. di Indonesia pemerintah kurang memberikan kontribusi dalam mewujudkan konsep CSR.
2.1.2 Pengertian Coporate Social Responsibility Sampai saat ini belum ada definisi CSR yang disepakati di seluruh dunia. Berikut penulis sampaikan beberapa pengertian CSR menurut beberapa ahli. Menurut Edi Suharto, PhD dalam seminar “CSR on Marketing, Society, and Regulation” (2008) mendefinisikan CSR sebagai: “Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional.” Dr. Sukarmi dalam jurnalnya mengutip World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai: “The commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life.” Komite Ahli Indonesian CSR Awards 2008 mendefinisikan CSR adalah komitmen perusahaan yang beroperasi secara legal, etis, dan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan guna meningkatkan kualitas hidup seluruh pemangku kepentingan. “The European Commission (Hamann and Kapelus 2004) mendefinisikan Corporate Social Responsibility sebagai “Essentially a concept where by companies decide voluntarily to contribute to a better society and a cleaner environment.” Ali Darwin, Ak, M.Sc Ketua Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen dalam Majalah Akuntan Indonesia edisi Oktober 2007 berpendapat CSR merupakan mekanisme yang dilaksanakan secara sukarela oleh perusahaan untuk memasukkan isu sosial dan lingkungan ke dalam operasi perusahaan dan mengkomunikasikannya dengan stakeholders. Kotler dan Lee (2005) yang dikutip Harry Surjadi (2007) berpendapat “Corporate social responsibility is a commitment to improve community well-
being through discretionary business practices and contribution of corporate resources” Ketua Badan Pelaksana Indonesia Business Link (2007) berpendapat bahwa: “CSR adalah suatu tindakan oleh perusahaan untuk bertanggung jawab atas dampak aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan alam dimana tindakan-tindakan tersebut mengandung unsur, pertama, konsisten dengan kebutuhuan masyarakat sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, namun tidak untuk menggantikan peran pemerintah sebagai penyelenggara utama pembangunan. Kedua, berdasarkan perilaku ber-etika, mematuhi hukum yang berlaku serta perangkat peraturan pemerintah lainnya. Ketiga, integrasi dengan aktifitas yang sedang berjalan dari perusahaan itu sendiri.” Dari berbagai definisi yang diungkapkan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa CSR merupakan suatu usaha yang diterapkan oleh suatu perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya demi mewujudkan sustainable development, dengan mengutamakan kepentingan stakeholders secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan setiap dampak sosial dan lingkungan yang mungkin terjadi dalam setiap pengambilan keputusan organisasi sebagai pemenuhan kewajiban perusahaan dengan stakeholders-nya dengan tidak menggantikan peran pemerintah sebagai penyelenggara utama pembangunan.
2.1.3 Ruang Lingkup Corporate Social Responsibility Ruang lingkup CSR menurut Perks dan Gray (1986;609) meliputi polusi, keselamatan produk dan pabrik, sosiologi, ekonomi, penggunaan sumber daya, dan kesejahteraan karyawan. Empat area sustainable development di Eropa, yaitu perlindungan lingkungan (climate and chemicals policies), pengelolaan sumber daya, persamaan gender, dan perlawanan terhadap korupsi (European Research Project), karena kontribusi CSR dalam mewujudkan empat area tersebut, dapat dikatakan bahwa empat area diatas termasuk ruang lingkup CSR. Di New Zealand, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hall (2002), pengungkapan CSR diklasifikasikan dalam beberapa kategori tanggung jawab,
lingkungan, energi, produk, komunitas, kesehatan dan keselamatan karyawan, dan masalah karyawan lainnya secara umum. Penulis menyimpulkan bahwa ruang lingkup CSR yang sesuai dengan kondisi Indonesia terdiri dari tanggung jawab akan karyawan, tanggung jawab akan produk, tanggung jawab akan pembinaan masyarakat, dan pengelolaan lingkungan.
2.1.4 Teori-teori Corporate Social Responsibility Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan teori-teori yang mendukung CSR cukup banyak. stakeholders theory dan legitimacy theory merupakan beberapa diantara teori-teori yang ada. Kedua teori tersebut merupakan perpanjangan dari teori Political Economy. Political Economy Theory ini memandang masyarakat, politik, dan ekonomi sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. “Economic issues cannot be considered without including the political, social and institutional framework in which the economic activity takes place” Gray (1995) dalam Meutia (2008) mendefinisikan Corporate Social Disclosure (CSRD) sebagai : “Proses mengkomunikasikan pengaruh sosial dan lingkungan dari suatu organisasi, tindakan ekonomi untuk kelompok yang mempunyai kepentingan dalam suatu masyarakat dan untuk masyarakat secara luas” Teori ekonomi politik secara eksplisit mengakui kekuatan konflik yang terdapat dalam masyarakat serta berbagai perebutan yang terjadi dalam berbagai kelompok dalam masyarakat. Teori ekonomi politik memberi penekanan pada hubungan fundamental antara dorongan ekonomi dan politik dalam masyarakat (Miller 1994) dan mengakui pengaruh daripada laporan akuntansi terhadap distribusi pendapatan, kekuasaan dan kekayaan.
Stakehoders Theory Freeman dalam bukunya “Strategic Management: A Stakeholder Approach” yang dikutip Andi Syafrani (2008) berpendapat: “Stakeholders is any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organisation’ objectives.” Menurut Daniri (2005) yang mengutip pendapat para ekonom di Universitas Utah Amerika, yaitu: “Stakeholders is defined as individuals and groups with a multitude of interest, expectations, and demands as to what business should provide to society.” Menurut David Wheeler dan Maria Sinlanpaa (2005) dalam Daniri , stakeholders dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan prioritasnya: a. Primary stakeholders, yang memiliki kepentingan langsung terhadap organisasi dan keberhasilan suatu perusahaan. Antara lain, para pemegang saham, investor, karyawan, manajemen, supplier dan rekanan bisnis serta masyarakat setempat. b. Secondary stakeholders, memiliki kepentingan publik atau masyarakat dalam sebuah perusahaan. Antara lain, pemerintah, asosiasi bisnis, kelompok sosial dan lingkungan, lembaga kemasyarakatan, media, akademisi, dan pesaing. Dalam konteks perusahaan, pihak yang paling berperan mempengaruhi tercapainya tujuan pokok perusahaan tentunya dalam urutan hirarkis di posisi puncak adalah para pekerja (eksekutif dan non-eksekutif). Tanpa mereka, perusahaan sama sekali tak akan dapat melakukan fungsinya dan otomatis tujuan perusahaan tak akan dapat dioperasionalkan. Sacconi dalam Surjadi (2007) melihat stakeholders dalam dua jenis. Pertama stakeholders dalam cakupan yang sempit adalah mereka yang memiliki interest karena mereka telah berinvestasi dalam perusahaan itu (dalam bentuk kapital manusia, kapital finansial, kapital sosial atau kepercayaan, kapital fisik atau lingkungan, atau pengembangan teknologi khusus, dan lain-lain) sehingga meningkatkan nilai total yang dihasilkan oleh perusahaan. Stakeholders dalam makna lebih luas adalah individu-individu atau kelompok yang tertarik terlibat
karena mereka mengalami efek eksternal yang positif atau negatif, dari transaksi yang dilakukan perusahaan, meskipun mereka tidak secara langsung terlibat dalam transaksi itu, sehingga mereka tidak berkontribusi atau secara langsung merasakan nilai, dari perusahaan. Intinya, Sacconi melihat definisi CSR melebihi konsep kewajiban pada mono-stakeholder (stakeholder tunggal) menjadi multi-stakeholder di mana perusahaan berutang kewajiban pada semua stakeholders, termasuk pemilik perusahaan. Pambudi (2008) berpendapat “Kapitalisme kreatif adalah tentang memutar seluruh kapital tersebut secara kreatif agar masyarakat yang tertinggal lebih berdaya dan sejahtera.” Kalangan bisinis, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah bergandengan tangan untuk membuat program-program kreatif. Sejauh ini, setidaknya ada 7 jalan yang bisa ditempuh untuk memaksimalkan kapital yang ada, yakni persediaan infrastruktur, pelibatan stakeholders dalam rantai pasokan, pendidikan, kesehatan gratis, fasilitas kredit untuk UKM, pola inti-plasma, dan modal ventura. Daniri (2005), Menekankan konsep stakeholders theory pada pentingnya manajemen melakukan koordinasi dengan seluruh pihak yang terkait dalam perusahaan, untuk menghindari adanya conflict of interest antara stakeholders dan shareholders, maka manajemen dituntut untuk melakukan keseimbangan kepentingan antara stakeholders dan shareholders maupun antar stakeholders Stakehoders theory terdiri dari ethical branch dan managerial branch, ethical branch dari teori ini yaitu, perusahaan harus memperlakukan semua stakeholders-nya dengan adil dan wajar. Para organ perusahaan harus menjalankan perusahaan dengan tujuan memberikan keuntungan bagi semua stakeholders dan kesemuanya memilki hak untuk mendapatkan segala hak untuk mendapatkan segala sesuatu informasi mengenai perusahaan. Sedangkan
managerial
branch,
suatu
teori
organisasi
yang
mendeskripsikan sikap manajemen terhadap stakeholders tertentu. Teori ini melihat bahwa perusahaan merupakan suatu bagian dari komunitas sosial dan
mempertimbangkan bagaimana mengelola stakeholders yang berbeda-beda demi keberlangsungan perusahaan.
Legitimacy theory Lindblom (1993) dikutip Meutia (2008) mendefinisikan “Legitimacy is a condition or status which exist when an entity’s value system is congruent with the value system of the larger social system of which the entity is a part” Lindblom juga menyatakan teori legitimasi ini bertujuan agar perusahaan terus memastikan bahwa perusahaan beroperasi sesuai dengan norma sosial yang ada. Dan jika perusahaan menyimpang dari ekspektasi masyarakat, perusahaan akan mendapatkan sanksinya. Lindblom mendeskripsikan empat strategi legitimasi yang dianggap menjadi alasan pengungkapan informasi sosial: -
memberikan pengarahan dan informasi kepada masyarakat mengenai perubahan aktual pada aktivitas dan kinerja perusahaan
-
mengubah persepsi masyarakat tanpa mengubah perilakunya
-
memanipulasi persepsi dengan mengalihkan perhatian dari suatu isu ke isu lain yang berkaitan
-
mengubah ekspektasi pihak luar atas kinerja perusahaan Jika ekspetasi masyarakat akan kinerja perusahaan berbeda dengan
aktualisasinya, maka akan terjadi ‘legitimacy gap’, yang dapat mengancam legitimasi perusahaan. Banyak pendapat mengemukakan, hal ini kemudian, akan mendorong para manajer untuk mengungkapkan informasi sosial dengan tujuan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat dan mempertahankan legitimasi perusahaan. Beberapa berpendapat pengungkapan akan menjembatani gap diatas atau juga mempertahankan legitimasi perusahan. Teori legitimasi, sama seperti teori lain, yaitu teori politikal ekonomi dan teori stakeholder dipandang sebagai teori orientasi sistem. Menurut Gray et al (1996) dalam Meutia (2008):
“...a systems-oriented view of the organisation and society ...permits us to focus on the role of information and disclosure in the relationship(s) between organisations, the State, individuals and groups”. Dalam perspektif orientasi sistem, suatu entitas dipengaruhi dan sebaliknya mempengaruhi komunitas dimana entitas itu melakukan kegiatannya. Kebijakan pengungkapan perusahaan dipandang sebagai suatu hal penting dimana manajer dapat mempengaruhi persepsi pihak lain atas organisasi tersebut. Pemerintah telah membuat peraturan yang tertuang dalam UndangUndang No.40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas, guna meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan yang nantinya diharapkan akan mendatangkan manfaat bagi perseroan sendiri, komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya. Pasal 74 pada UU tersebut antara lain menyebutkan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Seiring dengan perkembangan jaman, industrialisasi semakin bertambah pesat, dan meluas ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Masnellyarti Hilman, Deputi III bidang peningkatan konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan (2007), mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini terjadi peningkatan pembakaran energi yang menggunakan bahan bakar fosil dan mengahsilkan CO2 dan NH3. Peningkatan gas CO2 dan NH3 ini tidak diimbangi dengan penambahan jumlah pohon, namun justru sebaliknya, terjadi pengurangan jumlah hutan di dunia. Indutrialisasi yang pada mulanya hanya memberikan dampak lingkungan terhadap daerah sekitarnya, saat ini sudah menimbulkan dampak lingkungan yang dapat dirasakan di seluruh dunia. Oleh karena itu, tidaklah terlalu menyimpang apabila kita melihat kepada isu CSR yang muncul dalam pembuatan UU PT. di semua negara, industri mempunyai berbagai kewajiban yang harus dipenuhi. Misalnya, pada industri yang menghasilkan limbah cair harus dibuat fasilitas water treatment agar limbah cair tersebut tidak merusak lingkungan. Dalam kaitan dengan akuntansi, tentunya tidak terlalu sulit untuk mengidentifikasi hal itu. Khusus untuk menentukan apakah perusahaan sudah
comply dengan aturan-aturan yang ada adalah dengan melihat biaya-biaya yang dikeluarkan. Dari situ dapat dilihat dan diperkirakan apakah perusahaan tersebut sudah melakukan tindakan-tindakan pelestarian lingkungan seperti yang dipersyaratkan oleh peraturan. Apabila perusahaan tersebut sudah mengimplementasikan usahanya dalam pelestarian lingkungan, tentu saja biaya yang dikeluarkan tinggi. Namun, biaya tinggi itu tidak akan selamanya dianggap tinggi, karena dalam era perdagangan global, banyak negara maju yang mensyaratkan produk-produk yang masuk ke negaranya sudah ramah lingkungan. Salah satu kriteria yang populer adalah dengan mensyaratkan sertifikasi ISO 14000 dan eco-labelling bagi produk ekspor tertentu. Hal ini dapat diterjemahkan bahwa dengan biaya lebih untuk melakukan tindakan pelestarian lingkungan, akan dapat diciptakan pasar yang lebih besar. 2.1.5 Implementasi Corporate Sosial responsibility Berikut beberapa tahapan implementasi Corporate Social Responsibility yang biasa dilakukan oleh beberapa perusahaan yang penulis coba rangkum dari www.accionempresarial.cl: 1. Mission, Vision, and Values Statements Jika Corporate Social Responsibility merupakan bagian yang terintegrasi dalam pembuatan keputusan bisnis maka hal ini harus terdapat dalam misi dan visi perusahaan. Hal ini merupakan satu langkah dalam proses implementasi CSR dan merupakan awal yang sederhana tapi sangat penting dalam pencapaian tujuan perusahaan. Misi dan visi tanggung jawab sosial perusahaan sering kali menjadi referensi bagi perusahaan dalam memperhitungkan laba dan menjadi yang terbaik. 2. Cultural Values Banyak
perusahaan
yang
mengetahui
bahwa
Corporate
Social
Responsibility hanya bisa berkembang di suatu lingkungan yang memiliki inovasi tinggi dan kebebasan dalam berpikir. Hal ini wajar karena penerapan program CSR membutuhkan suatu dasar budaya perusahaan yang kuat. Akhirnya budaya perusahaan kadang bisa terlihat dari komitmen perusahaan
mengenai kesesuaian antara yang direncanakan dengan kinerja aktual di lapangan. 3. Corporate Governance Tata kelola perusahaan memang tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab sosial perusahaan. Agar mendapat tata kelola perusahaan yang baik biasanya perusahaan memiliki dewan komite yang mengulas rencana strategik dan panduan
mengenai
pentingnya
penerapan
program
Corporate
Social
Responsibility. 4. Managemnet Structures Tujuan dari sistem penerapan Corporate Social Responsibility adalah mengintegrasikan CSR ini pada nilai-nilai budaya, operasional, dan keputusan bisnis perusahaan pada semua level organisasi. 5. Strategy Planning Sejumlah perusahaan telah menjadikan Corporate Social Responsibility sebagai tujuan dari perusahaan. Corporate Social Responsibility telah terdapat dalam rencana startegis dan rencana jangka panjang perusahaan. 6. General Accountability Untuk turut menyukseskan rencana strategis dan panjang perusahaan maka harus ditunjang oleh unsur-unsur yang mendukung pula. Jika tujuan perusahaan telah mensyaratkan pula program pengembangan CSR maka hal ini harus didukung pula oleh unsur-unsur yang berkaitan. Seperti membuat job descripton yang berlandaskan pada CSR. Sehingga dengan adanya unsur CSR dalam job description, maka setiap orang yang bekerja dalam perusahaan tersebut mengetahui bagaimana cara untuk turut berkontribusi dalam menyukseskan tujuan perusahaan yang berlandaskan CSR. 7. Employee Recognition and Rewards. Buruh atau pekerja merupakan salah satu hal yang paling penting dalam perusahaan. Buruh merupakan salah satu sumber daya perusahaan yang turut menentukan tercapainya tujuan perusahaan. Namun terkadang perusahaan kurang memperhatikan kesejahteraan buruh mereka. Di Indonesia sendiri tak jarang terjadi demo buruh yang menuntut perusahaan yang mempekerjakan
mereka untuk lebih memperhatikan kesejahteraan kaum buruh. Sebenarnya kontribusi perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan merupakan salah satu contoh penerapan CSR. 8. Communications, Education, and Training Salah satu permasalahan dalam menerapkan CSR adalah bagaimana suatu perusahaan dapat mengkomunikasikan program tersebut kepada semua unsur yang ada dalam perusahaan. Hal ini merupakan tugas suatu perusahaan untuk memberikan suatu education dan training yang bisa menyampaikan tujuan perusahaan pada setiap unsur pembentuk perusahaan. Dengan pelatihan ini diharapkan setiap unsur (individu) dalam perusahaan dapat mengerti arah dan tujuan yang hendak dicapai perusahaan dan dapat membuat suatu keputusan usaha yang dapat dipertanggungjawabkan. 9. CSR Reporting Hal ini merupakan salah satu tahapan dalam implementasi CSR. Setelah beberapa hal tersebut diatas dilakukan, perusahaan perlu mengungkapkannya dalam laporan perusahaan. Meskipun terkadang tidak dapat dikuantifikasi menjadi angka-angka yang dapat dibaca oleh stakeholders, CSR biasanya dapat ditemukan dalam laporan ini diharapkan bisa memberikan kepercayaan kepada para stakeholders terutama investor dalam menanamkan modalnya. 10. Use of Influence Setelah perusahaan
pengungkapan harus
dalam laporan
memastikan
setiap
tahunan stakeholder
perusahaan membaca
maka dan
menerapkannya dalam kegiatan operasional perusahaan terutama pada pihak internal seperti buruh, manajer, dan dewan direksi. Hal ini akan lebih baik jika perusahaan terus
mempropagandakan program CSR. Sehingga CSR
diharapkan menjadi budaya dalam perusahaan tersebut.
2.2 Pengungkapan Corporate Social Responsibility Praktik Pengungkapan sangat bermacam-macam tergantung dari bidang, bentuk, penggunaan penelitian kuantitatif dan keuangan serta pentingnya items yang diungkapkan. Seperti halnya akuntansi konvensional, akuntansi sosial pada
akhirnya akan bermuara pada satu mekanisme pelaporan. Pelaporan informasi akuntansi sosial adalah salah satu output dari implementasi akuntansi sosial (Rusiana Juniati, 2006). Dan yang mendasari adanya pengungkapan sosial adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Tahun Revisi 1998) yang berbunyi: “Perusahaan dapat juga menyajikan laporan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang laporan penting.” Menurut Ali Darwin dalam Economic Business & Acoounting Review (2006) Perusahaan yang sukses dalam menjalankan CSR memiliki tiga nilai dasar (core values) yang ditanam secara mengakar dalam perusahaan, yaitu: (1) Ketangguhan ekonomi, (2) tanggung jawab lingkungan, dan (3) akuntabilitas sosial. Jika kinerja keuangan suatu perusahaan tercermin dalam laporan keuangan, maka kinerja CSR akan dapat disimak melalui sebuah laporan yang disebut “laporan berkelanjutan” (sustainability report). Konsep CSR menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja tetapi juga terhadap para stakeholders yang terkait dan/atau terkena dampak dari keberadaan perusahaan. Dalam menetapkan
dan menjalankan strategi bisnisnya, perusahaan yang
menjalankan CSR akan memperhatikan dampaknya terhadap kondisi sosial dan lingkungan dan berupaya agar dampaknya positif. Perkembangan CSR juga terkait dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim. Berbagai fenomena ini menyadarkan masyarakat di dunia bahwa sumber daya alam adalah terbatas dan oleh karenanya pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara berkelanjutan (i.e., sustainable development), dengan konsekuensi bahwa perusahaan dalam menjalankan usahanya perlu menggunakan sumber daya seefisien mungkin dan memastikan bahwa sumber daya tersebut tidak habis, sehingga tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi di masa datang. Dengan konsep pembangunan
berkelanjutan, maka kegiatan CSR menjadi lebih terarah, paling tidak perusahaan perlu berupaya melaksanakan konsep tersebut. Sejalan dengan perkembangan tersebut, Undang-Undang No. 40 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Undang-Undang tersebut juga mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab tersebut di Laporan Tahunan. Hartanti (2003) meneliti pengungkapan sosial di laporan tahunan perusahaan terbuka di Indonesia untuk periode 1999 dan 2001. Peneliti menggunakan content analysis, yaitu membandingkan pengungkapan sosial di laporan tahunan dengan suatu daftar pengungkapan sosial sebagai acuan. Hasil penelitian menemukan bahwa rata-rata tingkat pengungkapan paling banyak adalah pada produk, ketenagakerjaan, diikuti dengan pengembangan masyarakat, kepatuhan peraturan, lingkungan, energi, dan terakhir sertifikasi produk.
2.2.1 Pengertian Pengungkapan Corporate Social Responsibility Saat ini, di negara-negara lain, khususnya negara-negara Eropa sudah mulai diperkenalkan Sustainability Reporting Guidelines, suatu standar pelaporan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dikeluarkan Global Reporting Initiative (GRI), organisasi yang tujuan utamanya mempromosikan sustainability development melalui sustainability reporting, atau yang dapat disebut juga dengan triple bottom line, yang mengedepankan pelaporan aspek-aspek ekonomi, dampak sosial, dan lingkungan, atau juga pengungkapan Corporate Social Responsibility. Definisi
pengungkapan
CSR
atau
sustanablity
reporting
yang
dikemukakan dalam Sustainability Reporting Guidelines, adalah: “ Sustainability Reporting is the practice of measuring, disclosing, and being accountable to internal and external stakeholders for organizational performance towards the oal of sustainable development. A sustainability report provides a balanced and reasonable representation of the sustainability performance of the reporting organization. Including both positive and negative contributions.”
2.2.2
Motivasi
Perusahaan
dalam
Pengungkapan
Corporate
Social
Responsibility Perusahaan saat ini semakin banyak yang mengungkapkan Corporate Social Responsibility. Ada berbagai alasan yang memotivasi perusahaanperusahaan tersebut untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial mereka. Selain dari ketentuan pemerintah setempat agar perusahaan mengungkapkan dan melaksanakan tanggung jawab sosial mereka, banyaknya usaha dari organisasiorganisasi di sekitar perusahaan yang meminta data perusahaan terutama mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan social concern juga menjadi salah satu motivasi perusahaan. Gray (2002) dalam O’Dwyer: demi terciptanya akuntabilitas, muncul permintaan akan tanggung jawab yang lebih besar terutama yang menyangkut masyarakat luas dan juga pengungkapan atas tanggung jawab yang sama besarnya Berbagai
kegiatan
CSR
perusahaan
umumnya
berdampak
pada
pengeluaran, yang akhirnya akan mengurangi laba perusahaan. Karena tujuan perusahaan adalah untuk memaksimumkan kekayaan pemegang saham, yang dioperasionalkan dengan memaksimumkan laba, maka kegiatan CSR sepertinya tidak konsisten dengan tujuan tersebut. Dengan demikian, perusahaan tidak akan termotivasi melaksanakan CSR. Ada
dua penjelasan yang merasionalkan
mengapa perusahaan mempunyai insentif melaksanakan CSR. Yang pertama adalah yang diajukan oleh teori Stakeholder. Teori ini berpandangan bahwa keberadaan perusahaan tidak hanya untuk memaksimumkan kekayaan pemilik perusahaan/pemegang
saham,
namun
juga
untuk
melayani
kepentingan
stakeholders perusahaan tersebut, seperti para karyawan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat. Penjelasan kedua adalah didasarkan pada teori ekonomi. Literatur di bidang ekonomi pada umumnya mendiskusikan CSR. Seiring dengan semakin banyaknya praktek CSR yang dilaksanakan berbagai perusahaan, berbagai studi ekonomi menunjukkan bahwa tindakan perusahaan menghasilkan laba dan pada saat yang sama melaksanakan CSR bukanlah tindakan yang bertentangan. Tsukamoto (2007) merevisi teori Friedman dengan menunjukkan bahwa
keberadaan modal etikal (ethical capital) memungkinkan perilaku moral (a.l melalui kegiatan CSR) tercermin di pasar, yang pada akhirnya mendorong perusahaan melaksanakan CSR. Konsisten dengan Tsukamoto, Besley dan Ghatak (2007) mengembangkan suatu model yang membuktikan bahwa perusahaan melaksanakan CSR sebagai tanggapan terhadap preferensi (sebagian) konsumen yang menginginkan perusahaan untuk juga menghasilkan barang/jasa publik. Dengan demikian, keputusan melaksanakan CSR adalah sejalan dengan strategi maksimalisasi laba, khususnya untuk perusahaan yang bisnisnya berdampak eksternal. Baron (2007) menunjukkan bahwa manajer akan menjalankan CSR jika kontrak kompensasinya mencakup kinerja di bidang sosial. Preferensi melaksanakan kegiatan sosial ini tidak hanya berasal dari konsumen, tetapi juga dari investor, yang antara lain tercermin dari harga saham yang lebih tinggi untuk perusahaan-perusahaan yang melaksanakan CSR. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan akan termotivasi melaksanakan CSR jika lingkungan perusahaan tersebut (konsumen, investor, dan stakeholders lainnya) memberikan reward (misal, dalam bentuk harga jual produk dan/atau harga saham yang lebih tinggi) atas pelaksanaan CSR tersebut.
2.3 Akuntansi Sosial 2.3.1 Pengertian Akuntansi Sosial Belkaoui (2004:349) mengutip Ramanathan dalam bukunya “Toward a Theory of Corporate Social Acoounting” mendefinisikan akuntansi sosial sebagai proses pemilihan variabel-variabel, ukuran, dan prosedur pengukuran dari kinerja sosial tingkat-perusahaan; yang secara sistematis mengembangkan informasi yang berguna untuk pengevaluasian kinerja sosial perusahaan, dan mengkomunikasikan informasi seperti itu kepada kelompok-kelompok sosial yang berkepentingan, baik di dalam maupun luar perusahaan. Akuntansi sosial dapat diartikan sebagai alat yang dapat menjelaskan kegiatan-kegiatan perusahaan, sebagai alat untuk mengantisipasi atau mencegah
tekanan dari suatu perubahan, sebagai alat untuk mengembangkan peningkatan image public, peningkatan respon konsumen, dan perbaikan laba dalam jangka panjang, atau bahkan sebagai alat untuk memuaskan bermacam-macam permintaan socio-political yang dibuat dalam bisnis, dengan tetap mendukung dan mengakui sejumlah konstituensi seperti serikat pekerja, kelompok-kelompok aktivis, business associations, dan pembuat peraturan.
2.3.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Akuntansi Sosial Hendriksen (1991:18) : teori akuntansi sosial mensyaratkan suatu pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya, struktur pelaporan, dan komunikasi informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Hendriksen juga menambahkan tujuan lain dari akuntansi sosial data terdiri dari, (1) membuat perbandingan sasaran perusahaan dan kegiatan yang berkaitan dengan prioritas sosial, dan (2) mempertanggungjawabkan sumbangan terhadap tujuan sosial kepada masyarakat umum. Informasi yang dilaporkan harus mencakup data pasar, data dari luar pasar, dan pengaruh sosial yang tidak dapat diukur secara langsung dalam nilai uang. Pendapat lain mengenai tujuan dari akuntansi sosial menurut Belkaoui (2000;73), yaitu: “The main objective of socio-economic accounting is to encourage the business entities that function in a free-market system to account for the impact of their private production activities on the social environment through measurement, internalization, and disclosure in their financial statements”. Belkaoui (2004;436) yang mengutip pernyataan The National Association of Accountants Committee on Accounting for Corporate Social Performance, menyebutkan klasifikasi lingkup pengungkapan dampak sosial perusahaan: a. Yang melibatkan masyarakat, mencakup aktivitas yang pada dasarnya menguntungkan masyarakat umum, seperti kedermawanan, pembuatan perumahan, pelayanan kesehatan, kegiatan sukarela para karyawan, program pemberian makanan, dan perencanaan serta perbaikan masyarakat.
b. Klasifikasi sumber daya manusia, yaitu program pendidikan dan latihan serta program perluasan kesempatan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan kenaikan pangkat, tunjangan karyawan. c. Klasifikasi sumber fisik dan sumbangan lingkungan, yaitu mengenai kualitas udara dan air, pengendalian polusi suara, dan pelestarian lingkungan hidup. d. Sumbangan produk atau jasa, memperhatikan pengaruh produk atau jasa perusahaan
terhadap
masyarakat,
dengan
memperhatikan
beberapa
pertimbangan seperti kualitas produk, pembungkus produk, periklanan, ketentuan garansi, dan keamanan produk.
2.3.3 Hubungan Akuntansi Sosial dan CSR Nilai-nilai
business
ethics,
sustainable
development,
corporate
governance, dan pertanggungjawaban lingkungan adalah tema-tema yang sering melekat dalam berbagai pembahasan tentang CSR. Hal ini disebabkan oleh relevansi antara tema-tema tersebut dengan prinsip-prinsip berbisinis yang socially responsible. Ilmu akuntansi memiliki kaitan yang sangat kuat dengan hal-hal tersebut. Namun cakupan ilmu akuntansi tidak seluas wacana seperti corporate governance, CSR¸dan lainnya. Oleh karena itu, posisi ilmu akuntansi merupakan bagian dari ‘hal besar’ tersebut. Seperti dalam hal pelaksanaan corporate governance, akuntansi berperan sebagai media untuk mendukung proses transparansi dan akuntabilitas khususnya yang bersifat finansial. Demikian pula dengan wacana CSR, implementasi ilmu akuntansi (yang dalam hal ini diwakili oleh akuntansi sosial) adalah bagain kecil dari keseluruhan pelaksanaan CSR. Sebab, hal ini tidak terlepas dari peranan ilmu akuntansi sendiri sebagai instrumen ‘measurement of qualty’. Akuntansi sosial adalah alat untuk mengukur dan melaporkan pertanggungjawaban sosial perusahaan.
2.4 Kredit 2.4.1 Pengertian Kredit Syamsu Iskandar (2008:93) mengemukakan asal kata kredit sesungguhnya berasal dari kata credere (Italia) yang berarti orang tersebut diberikan kepercayaan. Dengan kata lain, kredit dapat juga diartikan dengan kepercayaan yang diberikan seseorang atau badan kepada seseorang atau badan lainnya yaitu bahwa yang bersangkutan pada masa yang akan datang akan memenuhi segala sesuatu kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya. Pengertian kredit menurut ensiklopedi Indonesia adalah: “Pemberian uang, barang, atau jasa kepada seseorang yang memerlukan, dengan syarat bahwa uang, barang, atau jasa tersebut dibayarkan kembali kepada pemberi dalam waktu yang ditentukan.” Syamsu Iskandar (2008:93) mengartikan kredit sebagai piutang bagi bank, maka pelunasannya (repayment) merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh debitur terhadap utangnya, sehingga risiko kredit macet dapat dihindarkan. Kredit menurut Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Aktivitas pembiayaan ini tidak akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Beberapa pengertian kredit lainnya menurut para ahli yang dikutip oleh Rachmat Firdaus (2004:2) dalam Manajemen Perkreditan Bank Umum: “Credit is the personal reputation a person has, in consequence of which he can buy money or goods or labor, by giving in exchange for them, a promise to pay a future time” (Mac Leod) “The transfer of something valuable to another, whether money, goods or services in the confidence that he will be both willing and able, at a future day, to pay its equivalent” (Tucker) “In a general sense credit is based on confidence in the debitors ability to make a money payment at some future time” (Rollin G. Thomas)
2.4.2 Unsur-unsur Kredit Rachmat Firdaus (2004:3) berpendapat, pada dasarnya kredit itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya orang atau badan yang memiliki uang, barang, atau jasa dan bersedia untuk meminjamkannya kepada pihak lain, selanjutnya disebut kreditur. 2. Adanya pihak yang membutuhkan atau meminjam uang, barang, atau jasa, selanjutnya pihak ini disebut debitur. 3. Adanya kepercayaan dari kreditur terhadap debitur. 4. Adanya janji dan kesanggupan debitur untuk membayar kembali uang, barang, atau jasa yang dipinjam kepada kreditur. 5. Adanya perbedaan waktu yaitu perbedaan waktu perbedaan antara saat penyerahan uang, barang, atau jasa oleh kreditur dengan pada saat pembayaran kembali oleh debitur. 6. Adanya risiko yaitu sebagai akibat dari adanya unsur perbedaan waktu seperti di atas, dimana adanya ketidakpastian di masa yang akan datang, maka kredit pada dasarnya mengandung risiko. 7. Adanya bunga yang harus dibayar debitur kepada kreditur.
2.4.3 Tujuan Kredit Menurut Syamsu Iskandar (2008:94) yang dimaksudkan dengan tujuan kredit adalah tujuan ditinjau berbagai pihak. Bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur serta oleh pemerintah atau masyarakat umum, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Bagi Bank a. Aset bank yang dominan dan sumber utama pendapatan bank yang menjamim kelangsungan hidup bank. b. Sebagai instrumen bank dalam persaingan dan pemasaran produk-produk perbankan lainnya. c. Mendorong
pertumbuhan
menciptakan lapangan kerja.
dan
perkembangan
ekonomi
sehingga
d. Kredit yang sehat menjadi instrumen untuk memelihara likuiditas, rentabilitas, dan solvabilitas bank. 2. Bagi Pengusaha a. Kegiatan usaha bertambah lancar dan performance perusahaan bertambah baik. b. Dengan mendapatkan fasilitas kredit, maka akan meningkatkan volume usaha dan hasil usaha agar terjamin kelangsungan hidup perusahaan. c. Meningkatkan motivasi berusaha. 3. Bagi Masyarakat/ Pemerintah a. Berfungsi sebagai instrumen untuk kebijakan ekonomi dan moneter b. Meningkatkan arus dan daya guna uang serta menghidupkan ekonomi pasar. c. Meningkatkan kegiatan produksi, perdagangan, distribusi dan konsumsi secara nasional (makro) d. Membantu efisiensi penggunaan sumber alam
2.4.4 Fungsi Kredit Menurut Rahmat Firdaus (2004:5) fungsi kredit dewasa ini adalah sebagai jasa yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (to serve the society) dalam rangka mendorong dan melancarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi, yang pada intinya untuk menaikkan taraf hidup masyarakat. Jika dijabarkan lebih rinci, maka fungsi-fungsi kredit adalah: a. kredit dapat memajukan arus tukar menukar barang-barang dan jasa-jasa b. kredit dapat mengaktifkan alat pembayaran yang idle c. kredit dapat menciptakan alat pembayaran yang baru d. kredit sebagai alat pengendalian harga e. kredit dapat mengaktifkan dan meningkatkan potensi ekonomi yang ada
2.4.5 Risiko Kredit Menurut Rachmat Firdaus (2004:35) kredit mengandung beberapa risiko: a. Risiko dan Sifat Usaha Masyarakat secara umum memiliki jenis usaha yang berbeda sifat dan masing-masing memiliki karakteristik yang khusus dalam menjalankan aktivitasnya. Dan setiap aktivitas tersebut memiliki tingkat risiko yang berbeda pula. Misalnya, risiko di sekitar sektor industri manufaktur memiliki risiko yang lebih tinggi daripada perkebunan, karena usahanya lebih spesifik. b. Risiko Uncertainty Faktor ketidakpastian akan menimbulkan spekulasi, dan setiap usaha yang berupa spekulasi akan mengandung risiko yang tinggi karena segala sesuatunya tidak dapat direncanakan terlebih dahulu dengan baik. Risiko sosial dan lingkungan merupakan bagian dari risiko Uncertainty. Karena dampak sosial dan lingkungan perusahaan seringkali sulit diprediksi, atau jika sudah diprediksi dan dilakukan tindakan preventif, tetapi masih ada kemungkinan risiko sosial dan lingkungan itu tetap akan muncul. c. Risiko Inflasi Bentuk risiko lain yang bentuknya abstrak adalah risiko karena inflasi. Walaupun utang pokok dan bunganya telah dibayar lunas oleh nasabah, tetapi pada masa inflasi yang tinggi bank telah mengalami penurunan terhadap daya beli rupiah yang dipinjamkan kepada nasabahnya.
2.4.6 Jenis-jenis Kredit Syamsu Iskandar (2008:94) dalam bukunya, menjelaskan kredit dapat dikategorikan dalam berbagai aspek, antara lain sebagai berikut: 1. Berdasarkan sektor ekonomi:
kredit pertanian, kredit kehutanan dan kredit perkebunan
kredit pertambangan dan perindustrian
kredit perdagangan, hotel dan jasa
kredit sumber tenaga, gas, dan listrik
kredit konstruksi
kredit perumahan
2. Berdasarkan asal dana:
Kredit dengan dana dalam negeri yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank yang dananya berasal dari dalam negeri
Kredit dengan dana dari luar negeri yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank yang dananya berasal dari luar negeri
3. Dilihat dari segi jangka waktu lamanya fasilitas kredit:
Kredit jangka pendek, yaitu fasilitas kredit yang masa lakunya sampai dengan 1 tahun. Misalnya, KMK-Ekspor, KMK Umum, KMK KUK
Kredit jangka menengah, yaitu fasilitas kredit yang masa lakunya dari 1 tahun sampai dengan 3 tahun.
Kredit jangka panjang, yaitu fasilitas kredit yang masa berlakunya lebih dari 3 tahun, misalnya KPR
4. Dilihat dari segi kebijaksanaan kredit:
Kredit umum, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank umum semua golongan masyarakat atau perusahaan
Kredit prioritas, yaitu fasilitas kredit yang diberikan kepada golongan tertentu
5. Dilihat dari sifat kredit:
Kredit berulang (revolving), yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank yang dapat diperpanjang jangka waktunya sepanjang masih dibutuhkan.
Kredit Aflopend, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank yang pelunasannya sesuai dengan angsuran yang disepakati bersama, misalkan kredit investasi (KI).
Kredit Transaksional, (eenmalig), yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank sesuai dengan kebutuhan pembiayaannya dan apabila nasabah
masih membutuhkan lagi maka harus mengajukan permohonan kredit baru. 6. Dilihat dari segi tujuan fasilitas kredit
Kredit modal kerja, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank untuk menambah modal kerja usaha.
Kredit investasi, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank untuk pembelian barang modal usaha.
Kredit konsumtif, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank untuk dipakai memenuhi kebutuhan sendiri.
7. Dilihat dari segi non-cash fasilitas kredit:
Tender bond, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank untuk persyaratan pengajuan tender.
Performance bond, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank untuk jaminan pelaksanaan pekerjaan.
Advance payment bond, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank untuk selama masa pemeliharaan.
8. Dilihat dari segi dokumen fasilitas kredit:
Kredit dokumenter, yaitu fasilitas kredit yang dikeluarkan oleh bank untuk transaksi L/C dalam negeri maupun L/C perdagangan internasional.
2.5 Kredit Investasi 2.5.1 Pengertian Kredit Investasi Dalam situs resmi Bank Rakyat Indonesia, kredit investasi merupakan fasilitas kredit yang diberikan untuk membantu pembiayaan pemohon dalam memperoleh barang modal/ aktiva tetap perusahaan seperti untuk pengaduan mesin-mesin/ peralatan, pendirian bangunan untuk proyek baru atau rehabilitasi, dan modernisasi proyek yang sudah ada.
Thomas
Suyatno
(1992:29),
pengertian
lainnya,
kredit
investasi
merupakan kredit jangka menengah atau jangka panjang yang diberikan bank kepada perusahaan untuk melakukan investasi atau penanaman modal, yang dimaksud investasi yaitu untuk pembelian barang-barang modal atau jasa yang diperlukan untuk rehabilitasi/ modernisasi maupun ekspansi proyek yang sudah ada ataupun juga pendirian proyek baru, pembangunan pabrik, pembelian mesinmesin, yang semuanya ditujukan untuk meningkatkan produktivitas. Situs resmi Bank Mandiri mendefinisikan kredit investasi tidak jauh berbeda dari definisi lainnya, yaitu kredit jangka menengah/ panjang untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasan, pendirian proyek baru atau refinancing yang pelunasannya dari hasil usaha dengan barang modal yang dibiayai. Sesuai ketentuan Bank Indonesia, sebagaimana diatur untuk pertama kalinya dalam Surat Edaran Bank Indonesia kepada Bank-Bank Umum Pemerintah No.1/170/UPK/LPI tanggal 8 Maret 1969 beserta semua peraturanperaturan tambahan dan perubahannya seperti SE BI NO. 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989: “Kredit investasi adalah kredit jangka menengah/ panjang yang tujuan penggunaannya untuk pembelian dan atau pembiayaan barang-barang modal dalam rangka pembangunan proyek baru, modernisasi,rehabilitasi maupun ekspansi yang pelunasannya tidak dari hasil penjualan barang-barang tersebut akan tetapi dari hasil usaha dengan menggunakan barang-barang modal yang dibiayai”. 2.5.2 Karakteristik Kredit Investasi Berikut karakterisitk kredit investasi yang diungkapkan dalam situs Bank Rakyat Indonesia: Spesifikasi Kredit Investasi: -
jangka waktu relatif panjang, (jatuh tempo kredit) lebih dari 1 tahun
-
kegunaan untuk investasi
-
repayment dilakukan secara installment (angsuran)
-
periode angsuran dapat bulanan/ triwulanan/ semesteran
-
kemungkinan adanya grace period (masa tenggang)
Ketentuan umum kredit investasi dalam situs resmi Bank Mandiri: -
perorangan maupun perusahaan yang berbadan hukum /yang tidak berbadan hukum
-
kebutuhan pembiayaan di atas Rp.100 juta sampai dengan Rp. 5 Milyar
-
kredit dapat diberikan dalam valuta Rupiah atau valuta asing.
-
jangka waktu kredit maksimum 15 tahun.
2.6. Analisis Kredit 2.6.1 Pengertian Analisis Kredit Menurut Syamsu Iskandar (2008) analisis kredit adalah penilaian terhadap nasabah dan usahanya untuk diperoleh alternatif sebagian bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Tujuannya adalah untuk melihat kondisi dan potensi perusahaan nasabah melalui penilaian kualitatif dan kuantitatif mengenai “The Five C’S of The Credit” untuk mengetahui apakah usaha nasabah layak atau tidak dibiayai dengan diberikan kredit.
2.6.2 “5C” Dikatakan Rachmat Firdaus (2004:83-88), banyak konsep yang dikemukakan oleh beberapa pihak mengenai prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat, salah satunya adalah prinsip-prinsip “5C”: a. Character Prinsip ini merupakan salah satu pertimbangan yang terpenting dalam memutuskan pemberian kredit. Bank sebagai pemberi kredit harus memiliki keyakinan bahwa nasabah/ calon debitur mempunyai reputasi yang baik. Dengan kata lain, nasabah/ calon debitur tersebut termasuk orang yang selalu menepati janjinya, mau berusaha, dan bersedia melunasi utang-utangnya pada waktu yang telah ditetapkan. Nasabah/ calon debitur tersebut juga tidak boleh berpredikat penjudi, pemabuk, pemakai narkoba, atau penipu.
Pada penilaian watak ini, bank harus mengumpulkan data-data dan informasi-informasi relevan dari sumber yang dapat dipercaya. Jika dari semua informasi yang terkumpul, dari segi watak, nasabah/ calon debitur yang bersangkutan memenuhi syarat, maka harus dilanjutkan dengan penilaian dari segi prinsip berikutnya. Sebaliknya, jika tidak, maka permohonan kredit harus segera ditolak. b. Capacity Pihak bank harus mengetahui secara pasti sejauh mana kemampuan nasabah/ calon debitur dalam menjalankan usahanya. Kemampuan inilah yang menentukan besar atau kecilnya pendapatan suatu perusahaan di masa yang akan datang. Jika perusahaan dijalankan oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya,
maka
pendapatan
perusahaan
tersebut
diharapkan
akan
meningkatkan sehingga pembayaran kredit pun akan terjamin. Bank dapat menilai kemampuan nasabah/ calon debiturnya dari arsiparsip atau dokumen tentang pengalaman kredit sebelumnya, jika nasabah/ calon debitur tersebut sebelumnya pernah mengajukan kredit. Jika baru pertama kali, maka bank harus melihat riwayat hidup dari manajemen perusahaan nasabah tersebut. Selain itu, rekomendasi dari pihak-pihak yang pernah berhubungan dengan nasabah juga dapat dijadikan bahan pertimbangan. c. Capital Prinsip capital ini menyangkut mengenai banyaknya modal dan bagaimana struktur modal perusahaan nasabah yang mengajukan kredit. Dari informasi jumlah modal, bank dapat menilai tingkat debt to equity ratio yang selanjutnya berkaitan dengan tingkat rentabilitas dan solvabilitas serta jangka waktu pembayaran kembali kredit yang akan diterima. Sedangkan, struktur modal perusahaan menunjukkan tingkat likuiditas modal perusahaan. Bank dapat mengetahui informasi-informasi yang ada dari laporan keuangan perusahaan nasabah yang bersangkutan, catatan-catatatn yang relevan lainnya,
atau jika perlu pihak bank dapat melakukan observasi ke lokasi perusahaan calon debitur. d.Condition of Eonomy Bank juga harus mengetahui keadaan ekonomi pada saat itu terutama yang berhubungan dan berpengaruh secara langsung dengan usaha calon debitur dan bagaimana prospek usaha debitur di masa yang akan datang. e. Collateral Jaminan menunjukkan besarnya aktiva yang diberikan penerima kredit sebagai jaminan atas kredit yang diberikan oleh bank. Jaminan tersebut mempunyai dua fungsi, yaitu untuk pembayaran utang seandainya debitur tidak mampu membayar dengan menguangkan jaminan tersebut. Sedangkan fungsi yang kedua, sebagai akibat dari fungsi pertama yaitu salah satu faktor penentu jumlah kredit yang diberikan. Dalam hal ini, biasanya bank tidak akan memberikan kredit lebih besar dari nilai jaminan, kecuali dalam hal-hal khusus atau program-program kredit khusus, misalnya karena kepercayaan bank terhadap debitur yang sangat besar berdasarkan pengalaman sebelumnya yang telah berjalan lama dan selalu menunjukkan hal-hal yang baik pula. Dalam
menilai
barang
jaminan,
ada
tiga
faktor
yang
harus
dipertimbangkan, yaitu: -
jaminan dapat diuangkan segera
-
jaminan dapat dipindahtangankan segera
-
jaminan memiliki margin yang cukup
2.6.3 The Equator Principles Munculnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan risiko sosial dan lingkungan dalam industri perbankan terutama mengenai proses pemberian kreditnya, menyebabkan beberapa pelaku perbankan dunia melakukan sesuatu
perubahan dengan menciptakan suatu standar dalam menilai dan mengelola risiko sosial dan lingkungan pada proses pemberian kedit terutama kredit investasi dan bukan hanya dengan bases of credit diatas. Equator Principles (EPs) muncul sebagai reaksi atas praktik greenwash (perusahaan mendapat predikat ramah lingkungan tanpa verifikasi lebih jauh) yang berpotensi merugikan para pihak (stakeholders) khususnya yang terkait dan menyangkut kepentingan sosial dan lingkungan. EPs adalah bagian dari standar lingkungan dan sosial yang dirintis oleh IFC (The International Finance Corporation) dan Bank Dunia sebagai acuan bagi lembaga-lembaga keuangan lain untuk mengambil tanggung jawab terhadap isu-isu lingkungan dan sosial dalam kebijakan finansial bisnis mereka. EPs hendak memastikan bahwa persoalan sosial dan lingkungan mendapat perhatian yang memadai, khususnya dalam program pembiayaan bisnis. Dengan kata lain, EPs adalah acuan kerangka kerja bagi lembaga keuangan, khususnya bank dalam mengatur isu-isu lingkungan dan sosial dalam proyek yang mereka biayai. EPs diterapkan secara global dalam pembiayaan proyek pembangunan di semua sektor industri dan karenanya menjadi perangkat untuk mempromosikan tanggung jawab sosial dan lingkungan di sektor finansial, khususnya pasar modal. EPs lahir dari konferensi lembaga keuangan yang diadakan IFC di London, pada bulan Oktober 2002. Dalam konferensi ini muncul gagasan untuk mencoba memasukkan isu-isu lingkungan dan sosial dalam proyek finansial (pembiayaan).
Lembaga-lembaga
keuangan
tersebut
kemudian
mencoba
membangun sebuah ‘kerangka kerja’ industri perbankan untuk menangani risikorisiko lingkungan dan sosial yang terjadi dalam proyek yang mereka biayai. Maka, dibuatlah draft Equator Principles untuk menghindari dampak-dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh praktik- praktik bisnis yang tidak sehat. Adopsi EPs ini dipercaya memberikan keuntungan (profit) dan manfaat (benefit) yang signifikan tak hanya bagi perusahaan namun juga para pihak (stakeholders): konsumen, pekerja, masyarakat lokal. Prinsip-prinsip yang dicakup dalam EPs memungkinkan para pelaku bisnis finansial untuk melakukan
pengelolaan risiko (risk management) yang berkaitan dengan persoalan lingkungan dan sosial dalam proyek mereka. EPs juga membantu perusahaan dan para pihak untuk lebih proaktif terhadap isu-isu kebijakan lingkungan dan sosial. Prinsip-prinsip ini digunakan sebagai dasar umum dan kerangka kerja (framework) bagi implementasi program dari lembaga keuangan; implementasi prosedur internal, lingkungan, dan sosial; serta menjadi standar bagi aktivitas proyek finansial lintas sektor industri secara global. EPs dijadikan acuan bagi para pelaku bisnis keuangan (misalnya bank) saat hendak memberikan pinjaman atau melakukan pembiayaan kepada perusahaan. Proses pelaksanaan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan sosial menjadi kriteria paling mendasar bagi pihak bank untuk mengucurkan pinjamannya atau melakukan pembiayaannya . Bank-bank yang mengadopsi EPs ini menyediakan bantuan dana pinjaman proyek sebesar US$ 50 Milyar atau lebih, lalu direvisi menjadi US$ 10 Milyar.
2.6.4 Keputusan Pemberian Kredit Investasi Syamsu Iskandar (2008:148) mengungkapkan yang dimaksud dengan keputusan adalah setiap tindakan pejabat bank yang berdasarkan analisis kreditnya: -
Mendukung permohonan nasabah dan mengusulkan ke kantor pusat (karena kredit dengan jumlah besar bukan wewenang kantor cabang) disertai dengan berkas-berkas permohonan dan analisis kredit.
-
Menolak permohonan nasabah dan melaporkan penolakan tersebut ke kantor pusat.