BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori 2.1.1. Retardasi Mental 2.1.1.1.
Definisi Retardasi mental adalah kondisi tidak lengkapnya
perkembangan jiwa, yang ditandai dengan adanya penurunan keterampilan selama masa perkembangan yang berkontribusi pada keseluruhan tingkat kecerdasan dan kemampuan kognitif yang terwujud dalam bahasa, motorik
serta
kemampuan
sosial
(WHO
2010).
Sementara itu ditilik dari American Association on Intellectual and Developmental Disability (AAIDD) tahun 2008 retardasi mental adalah disabilitas yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik dalam fungsi intellektual dan perilaku adaptif serta disabilitas ini terjadi sebelum
usia
18
tahun(http://www.aaidd.org/content_104.cfm?navID=22). Retardasi mental atau dapat disebut mental handicap, learning disability, mental deficiency merupakan sebuah disabilitas yang mana memiliki beberapa kriteria. Kriteria pertama yaitu adanya fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah 70. Kemudian yang kedua 9
adanya kekurangan dalam fungsi sosial adaptif seperti berkomunikasi, mengurus
diri sendiri,
keterampilan
interpersonal. Lalu hal lain yang perlu diperhatikan adalah terjadinya retardasi mental ini sebelum usia 18 tahun (Gerald, Neale, dan Kring., 2006; Halgin & Whitbourne 2011). Ditilik dari sumber lain, retardasi mental mengarah ke suatu pernyataan “terhentinya atau tidak lengkapnya perkembangan jiwa seseorang”. Ada tanda utama dalam retardasi mental yang perlu digaris bawahi yaitu adanya hendaya keterampilan selama masa perkembangan. Kemudian hendaya keterampilan tadi berpengaruh pada beberapa aspek dalam kehidupan seperti kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. (Maslim, 2003). Jadi dapat disimpulkan retardasi mental adalah kondisi tidak lengkapnya perkembangan jiwa seseorang ditandai dengan adanya keterbatasan baik dalam fungsi intellektual yang secara signifikan berada di bawah 70, dan perilaku adaptif serta disabilitas ini terjadi sebelum usia 18 tahun.
10
2.1.1.2.
Klasifikasi retardasi mental Retardasi mental dibagi menjadi empat klasifikasi yang berbeda, didalamnya terdapat ciri-ciri spesifik yang membuat perbedaan yang nyata antara kelompok satu dan kelompok yang lain (Gerald, Neale, dan Kring 2006) :
2.1.1.1.1.
Retardasi Mental Ringan (tingkat intelejensi 5055 hingga 70) Merupakan sebuah kelompok
yang memiliki
anggota terbanyak, yang mana disebutkan bahwa 85% dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70. Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak ini tidak selalu dapat dibedakan dengan anak-anak yang normal pada umumnya sebelum mulai bersekolah. Pada usia remaja akhir mereka dapat mempelajari keterampilan akademik di level kelas 6 SD. Saat dewasapun anak-anak retardasi mental ringan ini dapat melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan sebuah keterampilan yang khusus. Ditambah lagi mereka dapat menikah dan memiliki anak, walaupun mereka harus didukung dalam masalah sosial dan keuangan.
11
2.1.1.1.2. Retardasi Mental Sedang (tingkat intelejensi 35-40 hingga 50-55) Dalam retardasi mental sedang kerusakan pada otak dan juga berbagai kelainan sering terjadi. Orangorang dengan kondisi ini pun terkadang memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang dapat menghambat keterampilan motorik yang ada. Mereka mampu hidup dengan banyak bimbingan dan latihan yang dilakukan. Orang dengan kondisi seperti ini sebagian besar hidup bergantung pada keluarga atau bahkan institusi-institusi penampungan yang ada. 2.1.1.1.3. Retardasi Mental Berat (tingkat intelejensi 20-25 hingga 35-40). Orang-orang retardasi mental berat umumnya lahir dengan abnormalitas fisik dan juga adanya keterbatasan pengendalian sensori motor. Sebagian besar dari mereka dimasukkan ke dalam institusi khusus yang membutuhkan supervisi terus menerus. Mereka relatif pasif karena adanya kerusakan pada otak serta dalam berkomunikasi mereka hanya mampu melakukannya secara singkat di level yang sangat konkret. Mereka dapat melakukan aktivitas
12
yang sangat sederhana dengan pantauan terus menerus. 2.1.1.1.4. Retardasi Mental Sangat Berat (tingkat intelejensi di bawah 20-25) Retardasi mental sangat berat memiliki jumlah anggota yang relatif sedikit, yaitu hanya 1 hingga 2 persen dari kelompok retardasi. Sejak lahir orangorang dari kelompok ini telah membawa abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri kemanapun. Dalam kehidupannya mereka memerlukan supervisi total dan tak jarang mereaka harus diasuh hingga akhir hayat. 2.1.2. Keluarga 2.1.2.1.
Definisi Definisi keluarga merupakan sebuah konteks yang cakupannya cukup luas. Dalam aplikasinya arti keluarga dapat mengacu pada sebuah pernyataan “keluarga adalah siapa yang disebut sebagai keluarga”. Hal ini dapat
dikatakan setiap
berpendapat
siapa
yang
orang
berhak
mereka
dan bebas
anggap
sebagai
keluarga dalam diri mereka seperti; teman dekat, tetangga (Harmon Hanson, Gedaly-Duff & Kaakinen 2005). 13
Keluarga juga dapat diartikan sesuai dengan sudut pandang pendefinisi tersebut. Sebagai contoh, bidang biologi menggambarkan keluarga sebagai pemenuhan fungsi biologis untuk berlangsung hidup spesies tertentu. Bidang psikologis menekankan aspek interpersonal keluarga
dan
tanggung
jawab
keluarga
terhadap
perkembangan kepribadian. Dalam pandangan ekonomi, keluarga
sebagai
unit
produksi
yang
memenuhi
kebutuhan materi, dan secara sosial menggambarkan suatu unit sosial yang bereaksi dengan masyarakat yang lebih besar (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2009) Dalam arti lain kata “keluarga” mengacu pada dua atau lebih individu yang saling mendukung satu dan yang lainnya baik secara psikis, fisik, finansial dan juga antara satu anggota dan anggota lainnya saling terhubung dan juga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari keluarga. (Friedman, Bowden & Jones, 2010) Pernyataan-pernyataan di atas mengenai keluarga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa keluarga merupakan
kumpulan
individu
yang
memenuhi
kebutuhan antar anggotanya baik dari segi biologi,
14
psikososial dan ekonomi dan menganggap diri mereka bagian dari keluarga tersebut. 2.1.2.2.
Dampak Retardasi Mental pada Keluarga Dalam
tahap
perkembangan
keluarga
tidak
dipungkiri bahwa munculnya anak retardasi mental mempengaruhi
tahap
tersebut
secara
signifikan.
Berbagai hal menjadi terganggu. Pada saat seorang anak harus mandiri, berubah menjadi ketergantungan dengan keluarga mereka, atau bahkan orang tua yang seharusnya dapat memberikan nafkah lebih kepada anak mereka menjadi terhalang atau bahkan berhenti dari pekerjaannya untuk merawat anak tersebut di rumah. Banyak tugas perkembangan dari sebuah keluarga menjadi tertunda di suatu titik (Friedman, Bowden & Jones, 2010). 2.1.2.3.
Makna Dukungan Keluarga Dukungan keluarga merujuk pada tindakan yang anggota keluarga lakukan ketika mereka memberikan bantuan kepada anggota keluarga yang lain (Robert dan Greene 2009). Dukungan keluarga juga dapat diartikan sebagai dukungan yang berasal dari anggota keluarga yang lain ketika suatu masalah muncul (Videbeck 2008).
15
2.1.2.4.
Pentingnya Dukungan Keluarga Menghadapi masalah perkembangan keluarga yang terkadang terhambat akibat munculnya anak retardasi mental, dukungan keluarga memegang peranan penting dalam peningkatan kecepatan saat keluarga akan melanjutkan tugas perkembangannya yang tertunda. Dukungan keluarga dapat diberikan dalam bentuk rasa tenang atau rasa nyaman yang diberikan oleh masingmasing anggota keluarga disetiap saat (Friedman, Bowden & Jones, 2010). Menurut pandangan beberapa ahli Psikologi Sosial dukungan
keluarga
dapat
menurunkan
kecemasan
selama menghadapai masalah yang muncul dalam keluarga (coping yang berpusat pada emosi) atau bahkan dukungan keluarga akan memberikan jalan keluar yang memungkinkan keluarga untuk meringankan beban selama merawat anak dengan retardasi mental (coping yang berpusat pada masalah)(Baron & Byrne, 2003). Dukungan keluarga sebenarnya dapat diberikan dalam beberapa bentuk. Bentuk pertama yaitu berupa dukungan emosional yang di dalamnya menyatakan keinginan dari seseorang terhadap orang lain seperti 16
cinta-kasih, dan juga rasa empati. Dukungan lain yang dapat
diberikan
adalah
dukungan
dalam
bentuk
instrumental atau dapat disebut penyediaan barang dan jasa. Ada pula pemberian informasi baik itu secara lisan, tulisan maupun dalam bentuk simbolik-simbolik lain yang ada. Penjelasan terakhir mengenai penilaian diri atau dapat pula kita menyebutkan evaluasi diri (Taylor, Peplau & Sears., 2006). 2.2.
Penelitian Terkait
2.2.1. Pandangan Keluarga Mengenai Anak Retardasi Mental Dalam hal pandangan keluarga mengenai anak dengan retardasi mental ada beberapa pandangan yang sama antara satu kelompok keluarga dan juga kelompok keluarga yang lain (kelompok ibu dan kelompok kakek-nenek). Seperti
adanya
perasaan
yang
menyakitkan
ketika
mengetahui bahwa ada salah satu anggota keluarga mereka yang mengalami retardasi mental, resah, sedih, marah,
malu
dan
juga
pergolakan
batin
mengenai
penerimaan mereka akan anak retardasi mental. Selain itu pertanyaan yang sangat sering muncul dan selalu dipikirkan oleh anggota keluarga lain adalah mengenai masa depan anak retardasi mental yang belum pasti masa depannya, apakah sepeninggal keluarga yang mengasuhnya dia dapat 17
hidup dengan baik atau malah terlantar (Miller, Buys, dan Woodbridge,
2012;
Kermanshahi,
Vanaki,
Ahmadi,
Kazemnejad, Mordoch, Azadfalahiranian 2008). Pandangan
lainnya
muncul
dari
studi
mengenai
saudara penyandang retardasi mental. Studi ini membahas tentang bagaimana kualitas hidup dari seorang anak yang memiliki saudara dengan kondisi retardasi mental.
Ada
kajian menarik dari studi ini, mulai dari adanya rasa saling percaya, saling menghargai, dan juga saling mendukung serta adanya rasa kekawatiran antar saudara walaupun saudaranya yang satu mengalami retardasi mental. Selain hal-hal tersebut ada pula hal lain yang diungkap seperti butuhnya seorang saudara memiliki waktu untuk menyendiri tanpa saudaranya yang lain, dan juga adanya rasa sabar yang sudah mereka kenal sejak usia belia akan kekurangan dari saudaranya. (Moyson dan Roeyers., 2012). Walaupun begitu anak yang memiliki saudara retardasi mental juga mengalami masalah-masalah bukan hanya dalam hubungan dirinya dengan saudaranya, namun ada juga masalah antara dirinya dengan temannya, seperti ketika ada suatu obrolan mengenai “hal-hal menarik apa saja yang bisa kamu lakukan bersama dengan saudaramu”
18
itu pertanyaan yang sangat sensitif didengar, karena ada anak yang lebih baik menghindarinya dari pada akan ditanya oleh temannya yang lain tentang masalah ini. Kemudian masalah lain pun muncul ketika mereka sedang berjalan bersama keluar rumah, memang ada beberapa anak yang menganggap itu hal yang sangat membuat mereka tidak merasa nyaman (Moyson dan Roeyers., 2012). 2.2.2. Dukungan Keluarga Dukungan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam setiap kondisi, tak ayal ada statement yang mengatakan bahwa dukungan merupakan salah satu faktor penting dalam masa rehabilitasi seseorang.
Menurut
analisis dari hasil sintetis Kyzar, Turnbu, Summers, dan Gómez (2012), ada beberapa jenis dan arti dari dukungan yang biasanya diberikan oleh keluarga: 2.1.1.2.
Dukungan emosional: dukungan ini difungsikan dalam hal psikososial yang berarti punya andil dalam pengurangan stress pada seseorang dan juga peningkatan perasaan positif dalam hal ini dapat dicontohkan seperti pemberian semangat pada pertandingan sepak bola, pemberian cinta dan kasih sayang. 19
2.1.1.3.
Dukungan fisik: dalam telaahnya dukungan ini berkaitan dengan aktivitas dan juga peningkatan kesehatan fisik anggota keluarga lainnya; seperti misal
membantu
anggota
keluarga
dalam
mobilisasi, membantu ke toilet dan lain sebagainya. 2.1.1.4.
Dukungan
instrumental:
dukungan
jenis
ini
berkaitan dengan akses sumber daya keuangan yang memadai dan penyelesaian tugas–tugas kesehatan keluaraga misalnya (memberi bantuan akan akses keluarga ke rumah sakit terdekat, ke klinik ataupun mendapatkan rekreasi. 2.1.1.5.
Dukungan informasi: dukungan ini berkaitan dengan peningkatan pengetahuan baik diberikan melalui lisan, melaui tulisan media cetak, internet dan media-media lain yang ada.
Seperti yang diungkap pada latar belakang ada wilayah di dunia ini yang memperlihatkan bahwa orang-orang dengan retardasi mental lebih membutuhkan dukungan dari keluarga di rumah karena orang-orang dengan retardasi mental
ini
lebih
tidak
dapat
hidup
secara
mandiri
dibandingkan dengan orang-orang dengan disabilitas lain seperti misal orang-orang dengan gangguan jiwa (UmbCarlsson dan Jansson., 2009). 20
Dalam berbagai sudut pandang, masalah anak dengan retardasi mental ini menjadi kajian yang menarik. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang mengungkapkan sudut pandang keluarga akan kaitannya dengan anak retardasi
mental.
Rasa
sedih,
cemas,
dan
malu
memunculkan berbagai hal yang negatif tentang munculnya anak retardasi mental. Namun selain itu, ada pula paparan mengenai hal positif yang dilakukan keluarga seperti menerima keadaan dan juga selalu berpikiran positif dalam perjalanannya mendukung anak dengan retardasi mental. Gambaran yang mencengangkan terjadi ketika kita menilik
penelitian
mengenai
kemandirian
orang-orang
dengan retardasi mental ini. Dapat dilihat di bagian sebelumnya bahwa orang-orang dengan keadaan retardasi mental lebih tidak dapat hidup secara mandiri dibandingkan dengan kondisi disabilitas yang lain. Peneliti memahami berbagai keadaan dan kondisi yang ada kaitannya dengan anak-anak retardasi mental baik penerimaannya dalam keluarga dan juga kondisi anak dengan retardasi mental dalam kehidupannya dari berbagai penelitian yang ada. Oleh karena itu peneliti mencoba menguak sebuah gambaran pengalaman dukungan yang
21
dilakukan keluarga selama ini dalam mendukung anak dengan retardasi mental terkhusus pada retardasi mental ringan dan sedang. Gambaran ini pun dirasa peneliti akan lebih dalam ketika mengungkapkannya dalam sebuah studi fenomenologi kaitannya dengan pengalaman yang dialami anggota keluarga.
22