BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Beton Serat
2.1.1 Deskripsi Beton Sifat dari bahan beton, yaitu sangat kuat untuk menahan tekan, tetapi tidak kuat (lemah) untuk menahan tarik. Oleh karena itu, beton dapat mengalami retak jika beban yang dipikulnya menimbulkan tegangan tarik yang melebihi kuat tariknya (Asroni, 2010). Jika sebuah balok beton (tanpa tulangan) ditumpu oleh tumpuan sederhana (sendi-rol) dan di atas balok tersebut bekerja beban terpusat P serta beban merata q, maka akan timbul momen luar, sehingga balok akan melengkung ke bawah. Pada balok yang melengkung ke bawah akibat beban luar ini pada dasarnya ditahan oleh kopel gaya-gaya dalam yang berupa tegangan tekan dan tarik. Jadi pada serat-serat balok bagian tepi atas akan menahan tegangan tekan dan semakin ke bawah tegangan tekan tersebut akan semakin kecil. Sebaliknya, pada seratserat bagian tepi bawah akan menahan tegangan tarik dan semakin ke atas tegangan tariknya akan semakin kecil. Pada bagian tengah, yaitu pada batas antara tegangan tekan dan tarik, serat-serat balok tidak mengalami tegangan sama sekali (tegangan tekan maupun tarik bernilai nol). Serat-serat yang tidak mengalami tegangan tersebut membentuk suatu garis yang disebut garis netral (Asroni, 2010).
(b)
(a)
(c) Gambar 2.1 Balok beton tanpa tulangan ((a) balok dengan beban P dan q, (b) balok melengkung, (c) diagram tegangan beton) Sumber : Asroni (2010)
5
2.1.2 Deskripsi Beton Serat Beton serat merupakan beton yang terdiri dari semen hidrolik, air, agregat halus, agregat kasar dan serat (serat baja, plastik, glass maupun serat alami) yang disebar secara diskontinu. Tjokrodimuljo (1996) mendefinisikan beton serat (fiber concrete) sebagai bahan komposit yang terdiri dari beton biasa dan bahan lain yang berupa serat (batang-batang dengan diameter antara 5 dan 500 µm dengan panjang sekitar 2,5 mm sampai 10 mm). Penambahan serat pada beton dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan sifat yang dimiliki oleh beton yaitu memiliki kuat tarik yang rendah.
2.1.3 Sifat-sifat Beton Serat Salah satu sifat penting dari beton adalah daktilitas. Daktilitas yaitu kemampuan struktur atau komponennya untuk melakukan deformasi inelastik bolak-balik berulang di luar batas titik leleh pertama, sambil mempertahankan sejumlah besar kemampuan daya dukung bebannya (SNI 03-1729-2002). Salah satu alasan penambahan serat pada beton adalah untuk menaikkan kapasitas penyerapan energi dari matrik campuran, yang berarti meningkatkan daktilitas beton. Penambahan daktilitas juga berarti penambahan perilaku beton terhadap lelah (fatigue) dan kejut (impact). Beton serat mempunyai kelebihan dibanding beton tanpa serat dalam beberapa sifat strukturnya antara lain keliatan (ductility), ketahanan terhadap beban kejut (impact resistance), kuat tarik dan lentur (tensile and flexural strength), kelelahan (fatigue life), ketahanan terhadap pengaruh susut (shrinkage) dan ketahanan terhadap keausan (abrasion) (Soroushian and Bayashi, 1987). Menurut As’ad (2008), beton serat memberi banyak keuntungan antara lain: a.
Serat terdistribusi secara acak di dalam volume beton pada jarak yang relatif dekat satu sama lain. Hal ini akan memberi tahanan berimbang ke segala arah dan memberi keuntungan material struktur yang dipersiapkan untuk menahan beban gempa dan angin.
b.
Perbaikan perilaku deformasi seperti ketahanan terhadap impak, daktilitas yang lebih besar, kuat lentur, dan kapasitas torsi yang lebih baik.
c.
Meningkatkan ketahanan beton terhadap formasi dan pembentukan retak. 6
d.
Peningkatan ketahanan pengelupasan (spalling) dan retak pada selimut beton akan membantu menghambat korosi besi tulangan dari serangan kondisi lingkungan yang berpotensi korosi. Untuk pemilihan jenis bahan serat perlu disesuaikan dengan sifat beton yang
diperbaiki. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pada beton fiber (Suhendro, 2000), adalah: 1.
Masalah fiber dispersion yang menyangkut teknik pencampuran fiber ke dalam adukan agar dapat tersebar merata dengan orientasi yang random.
2.
Masalah workability (kelecakan adukan), yang menyangkut kemudahan dalam proses pengerjaan/pemadatan, termasuk indikatornya.
3.
Masalah mix design/proportion untuk memperoleh mutu tertentu dengan kelecakan yang memadai. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penambahan fiber ke dalam
adukan beton akan menurunkan kelecakan adukan secara cepat sejalan dengan penambahan konsentrasi fiber dan aspek ratio fiber. Penurunan kelecakan adukan dapat dikurangi dengan penurunan diameter maksimal agregat, peninggian faktor air semen, penambahan semen ataupun pemakaian bahan tambah. Meskipun demikian jika konsentrasi fiber dan aspek ratio fiber (nilai banding panjang dan diameter fiber) melampaui suatu batas tertentu, tetap akan didapat suatu adukan dengan kelecakan yang sangat rendah yang sulit diaduk dan dicor dengan caracara biasa (Sudarmoko, 1989). Aspek ratio fiber yang tinggi akan menyebabkan fiber cenderung untuk menggumpal menjadi suatu bola yang sangat sulit disebar secara merata sebelum dan sesudah proses pengadukan. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3. Batas maksimal aspek ratio fiber yang masih memungkinkan pengadukan dilakukan dengan mudah adalah l/d < 100. Nilai l/d yang melampaui batas di atas akan menyebabkan kesulitan dalam pengadukan (Sudarmoko, 1989).
7
Gambar 2.2 Pengaruh aspek ratio fiber pada “Vebe Time” Sumber : Sudarmoko (1989)
Gambar 2.3 Pengaruh aspek ratio fiber pada “Compacting Factor” Sumber : Sudarmoko (1989)
Penelitian oleh Keer (1984), menunjukkan bahwa konsentrasi fiber akan dapat ditingkatkan dengan cara penurunan diameter maksimal agregat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4. Keer dengan memakai fiber beraspek ratio 100 mendapatkan hasil kelecakan adukan beton-fiber yang cukup meningkat 8
akibat penurunan diameter agregat dari 20 mm ke 10 mm. Penurunan diameter agregat dari 10 mm ke 5 mm juga menghasilkan peningkatan kelecakan adukan.
Gambar 2.4 Pengaruh diameter agregat pada konsentrasi fiber Sumber : Sudarmoko (1989)
Konsentrasi fiber yang masih memungkinkan pengadukan dilakukan dengan mudah adalah 2% volume. Jika konsentrasi fiber melampaui nilai ini, adukan beton menjadi sulit dikerjakan (Sudarmoko, 1989).
2.1.4 Perencanaan Campuran Beton Serat Penambahan serat banyak mengubah perilaku beton setelah retak misalnya terjadi peningkatan regangan tarik setelah beton runtuh, sehingga dihasilkan beton yang lebih keras dan lebih tahan benturan (Salain, 2008 dalam Jaya, 2010). Peningkatan kekerasan beton banyak dipengaruhi oleh konsentrasi serat dan ketahanan serat terhadap cabutan yang terutama ditentukan oleh perbandingan aspek serat (perbandingan panjang/diameter) dan faktor lain seperti bentuk dan tekstur permukaan. Perencanaan campuran beton serat ditentukan berdasarkan (Salain, 2008 dalam Jaya 2010): a.
Kandungan serat < 2% dari volume beton,
b.
Perbandingan aspek panjang dan diameter serat < 100,
c.
Diameter agregat < 19 mm
9
2.1.5 Toleransi dalam Kemudahan Pengerjaan Bila tidak ada toleransi lain dalam spesifikasi proyek, berikut ini aturan yang dapat digunakan untuk semua jenis beton berserat, kecuali beton semprot campuran kering. a.
Bila spesifikasi proyek untuk slump ditulis sebagai persyaratan maksimum atau tidak melampaui. Tabel 2.1 Slump yang ditetapkan 75 mm atau kurang toleransi plus 0,00 mm toleransi minus 40,00 mm
lebih dari 75 mm 0,00 mm 65,00 mm
Sumber : RSNI S-05-2002
b.
Bila spesifikasi proyek untuk slump tidak ditulis sebagai persyaratan maksimum atau tidak melampaui. Tabel 2.2 Toleransi untuk slump nominal untuk slump yang ditetapkan Toleransi < 50,00 mm + 15,00 mm 50,00 – 100,00 mm + 25,00 mm > 100,00 mm + 40,00 mm Sumber : RSNI S-05-2002
2.1.6 Interaksi antara Serat dan Matrik Beton Interaksi antara serat dan matrik beton merupakan sifat dasar yang memengaruhi kinerja dari material komposit beton serat. Pengetahuan tentang interaksi ini diperlukan untuk memperkirakan kontribusi serat dan meramalkan perilaku komposit. Menurut Balaguru (1992) dalam Jaya (2010), sifat karakteristik yang berpengaruh terhadap interaksi serat dan matrik beton adalah: a.
Kondisi matrik dalam keadaan retak atau tidak
b.
Komposisi matrik
c.
Bentuk geometri, jenis, dan karakteristik dari serat
d.
Kekakuan serat bila dibandingkan dengan kekakuan matrik beton
e.
Orientasi arah serat dalam pengertian distribusi secara random
10
f.
Volume fraksi dari serat
g.
Beban yang dikerjakan
h.
Keawetan serat dalam beton dan pengaruh umur beton
2.1.7 Penelitian Mengenai Beton Serat 1.
Penelitian oleh Adibroto (2014) Penelitian ini bertujuan untuk menguji kuat tekan paving block dengan
penambahan serat (ijuk, plastik, dan kawat). Mutu kuat tekan rancangan campuran paving block adalah K300 dengan mengoptimalkan penggunaan serat sebagai bahan tambahan
campuran. Untuk
mendapatkan gambaran optimalisasi
pemakaian serat sebagai bahan tambahan dilakukan variasi campuran dengan rentang 0% sampai 5% dari volume beton, dan variasi panjang serat 1 cm, 2 cm dan 3 cm dengan masing-masing variasi sebanyak 5 benda uji. Dari penelitian ini diharapkan memperoleh paving block dengan mutu kuat tekan yang tinggi. Berdasarkan hasil pengujian yang diperoleh ternyata secara prinsip penambahan serat (ijuk, plastik, kawat) sampai 5 % dari volume campuran paving block tidak memberikan nilai yang signifikan terhadap penambahan kuat tekan paving block. Sebagian campuran memberikan kecenderungan penurunan kuat tekan dibandingkan dengan kuat tekan paving block standar sebagai pembanding. Untuk penambahan serat ijuk kekuatan tekan rata-rata maksimum hanya diperoleh sebesar 323,98 kg/cm2 pada penambahan serat ijuk panjang 3 cm dengan persentase penambahan serat 2%. Untuk penambahan serat plastik kekuatan tekan rata-rata maksimum hanya diperoleh sebesar 325,10 kg/cm2 pada penambahan serat plastik panjang 2 cm dengan persentase penambahan serat 3 %. Sedangkan untuk penambahan serat kawat kekuatan tekan rata-rata maksimum hanya diperoleh sebesar 341,52 kg/cm2 pada penambahan serat kawat panjang 3 cm dengan persentase penambahan serat 3%.
2.
Penelitian oleh Kushartomo, dkk. (2013) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh volume serat lokal
dalam campuran reactive powder concrete (RPC) terhadap kuat tekan dan kuat lentur metode third point loading. Serat lokal yang digunakan terbuat dari 11
stainless steel berdiameter 0,2 mm, panjang 20,0 mm dan memiliki tensile strength 515 MPa. Variasi volume penggunaan serat sebesar 1,0%, 1,5% dan 2,0% terhadap volume beton. Dalam pembuatan RPC, material yang digunakan berupa semen, air, silica fume, quartz powder, pasir lokal dengan diameter maksimum 1,2 mm dan super plasticizer berbahan polycarboxilate. Teknik penguapan bertemperatur 90oC digunakan untuk perawatan benda uji. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa serat lokal dapat digunakan sebagai bahan pembuat RPC karena dapat meningkatkan kekuatan tekan, kekuatan lentur dan fracture energy. Dari hasil percobaan didapatkan bahwa kuat tekan tertinggi adalah beton yang mengandung volume serat 1%, mengalami peningkatan kuat tekan hingga 35,51%. Kuat lentur tertinggi adalah beton yang mengandung volume serat 2 %, mengalami peningkatan kuat lentur hingga 96,20%. Penyerapan energi terbesar saat retak pertama adalah balok beton yang mengandung serat 1,5%, mengalami peningkatan penyerapan energi hingga 79,6015%.
3.
Penelitian oleh Rusyanto, dkk. (2012) Penelitian ini membahas tentang kajian kuat tarik beton serat bambu. Beton
mempunyai kekurangan yang cukup signifikan, yaitu mempunyai kuat tarik yang rendah. Penambahan serat mikro merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kekurangan tersebut. Serat bambu adalah serat alami yang mudah didapat dan pertumbuhan bambu relatif cepat. Serat dibuat dari kulit bambu dari bagian tanpa buku yang telah dikeringkan. Penelitian bertujuan untuk mengkaji peningkatan kuat tarik beton akibat penambahan serat bambu. Penelitian berupa studi eksperimental dengan membuat benda uji silinder berdiameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Kadar serat yang digunakan adalah 1,5% dari berat semen dengan variasi panjang 15 mm (BS1), 20 mm (BS2), dan 25 mm (BS3). Beton tanpa serat (BN) juga dibuat sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan kuat tekan BN adalah 25,44 MPa, BS1 26,50 MPa (naik 4,1%), BS2 27,81 MPa (naik 9,3%), dan BS3 27,95 MPa (naik 9,9%). Kuat tarik BN adalah 1,88 MPa, BS1 2,27 MPa (naik 20,7%), BS2 2,46 MPa (naik 30,5%), dan BS3 2,43 MPa (naik 28,9%). Terlihat bahwa penambahan serat hanya sedikit menaikkan kuat tekan beton, yaitu kenaikan terbesar pada BS3 12
sebesar 9,9%. Tetapi penambahan serat menaikkan kuat tarik cukup signifikan, yaitu sebesar 30,5% pada BS2. Dapat disimpulkan ukuran serat terbaik adalah 20 mm.
4.
Penelitian oleh Jaya (2010) Penelitian ini adalah penelitian tentang pengaruh serat serabut kelapa
terhadap perilaku mekanis beton yang meliputi kuat tekan, kuat tarik belah, kuat tarik lentur, permeabilitas, dan modulus elastisitas beton. Penambahan serat serabut kelapa yang dilakukan sebesar 0% (tanpa serat); 0,5%; 1,0%; 1,5%; dan 2,0% terhadap volume beton. Benda uji yang digunakan berupa silinder dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm untuk uji kuat tekan, kuat tarik belah, permeabilitas, dan modulus elastisitas. Untuk uji kuat tarik lentur digunakan balok dengan ukuran 150x150x600 mm. Jumlah benda uji masing-masing perlakuan sebanyak 5 buah. Gradasi pasir dan kerikil dirancang menurut SNI 03-2834-2000. Pasir dirancang pada zona 2 dan kerikil dengan butiran maksimum 20 mm. Rancangan campuran beton direncanakan menurut SKSNI T-15-1990-03 untuk mutu f’c = 25 MPa, yang memberikan komposisi dalam perbandingan berat semen : pasir : batu pecah sebesar 1 : 1,94 : 2,19 dan fas 0,52. Pengujian terhadap sifat mekanis beton dilakukan pada umur 28 hari, dan hasilnya dibandingkan dengan benda uji standar (tanpa serabut kelapa). Uji regresi dilakukan untuk mendapatkan pengaruh penambahan serat serabut kelapa terhadap perilaku mekanis beton. Hasil pengujian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan nilai sifat mekanis beton. Pada uji tekan, nilai optimum diperoleh pada kadar serat 1,89%, dengan peningkatan kuat tekan maksimum sebesar 16,16% dari beton standar. Pada uji kuat tarik belah, hasil optimum diperoleh pada kadar serat 1,62%, dengan peningkatan kuat tarik belah maksimum sebesar 15,25% dari beton standar. Pada uji kuat tarik lentur, hasil optimum diperoleh pada kadar serat 1,95%, dengan peningkatan kuat tarik lentur maksimum sebesar 47,07%. Peningkatan nilai juga terjadi pada uji modulus elastisitas beton. Pada uji ini hasil optimum diperoleh pada kadar serat 1,82%, dengan peningkatan maksimum sebesar 16,99% dari beton standar. Sedangkan terhadap pengujian 13
permeabilitas, penambahan serat makin meningkatkan nilai permeabilitas beton dimana pada kadar serat 2% peningkatan koefisien permeabilitas mencapai 8,40 kali dari beton standar.
5.
Penelitian oleh Yasa dan Wati (2015) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik serat nanas, proporsi
material yang digunakan untuk membuat beton serat dengan target kuat tekan 25 MPa, jumlah biaya bahan yang dikeluarkan, dan pengaplikasian beton serat dari serat nanas di lapangan. Serat nanas yang digunakan dalam penelitian ini disebut juga serat Bagu. Adapun metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian pustaka dan penelitian laboratorium, sedangkan batasan masalah dalam pengumpulan data laboratorium adalah hanya dicoba 1 kadar serat yaitu 2% (nilai maksimum sesuai persyaratan) terhadap volume beton. Beton yang dibuat merupakan beton normal dengan tambahan serat. Serat nanas yang digunakan memiliki karakteristik tahan lama dan cukup kuat. Proporsi material dalam kondisi SSD untuk 1 m3 campuran beton serat dari serat nanas adalah 205 kg air, 410 kg semen, 652 kg pasir, 918 kg batu pecah, dan 0,66 kg serat nanas. Biaya untuk membuat 1 m3 beton serat dari serat nanas sebesar Rp769.250,00. Kuat tarik belah beton serat rata-rata sebesar 3,28 Mpa, sedangkan kuat tarik belah beton yang ditargetkan adalah 2,5 MPa. Jadi kuat tarik belah beton yang diuji sudah melebihi kuat tarik belah beton yang ditargetkan. Beton serat dari serat nanas ini dapat diaplikasikan untuk elemen struktur yang tipis agar tidak mudah retak akibat benturan.
2.2
Beton Ringan Beton ringan adalah beton yang memiliki berat jenis (density) lebih ringan
daripada beton pada umumnya. Agregat yang digunakan untuk memproduksi beton ringan merupakan agregat ringan juga. Terminolog ASTM C.125 mendefinisikan bahwa agregat ringan adalah agregat yang digunakan untuk menghasilkan beton ringan, meliputi batu apung, scoria, vulkanik cinder, tuff,
14
expanded, atau hasil pembakaran lempung, shale, slte, shele, perlit, atau slag atau hasil batubara dan hasil residu pembakarannya (Mulyono, 2005). Tidak seperti beton biasa, berat beton ringan dapat diatur sesuai kebutuhan. Keunggulan beton ringan utamanya ada pada berat, sehingga apabila digunakan pada proyek bangunan tinggi akan dapat secara signifikan mengurangi berat sendiri bangunan, yang selanjutnya berdampak kepada perhitungan pondasi. Keuntungan dari beton ringan antara lain memiliki nilai tahanan panas (thermal insulator) yang baik, memiliki tahanan suara (peredam) yang baik, dan tahan api (fire resistant), sedangkan kelemahan beton ringan adalah nilai kuat tekannya (compressive strength) lebih kecil dibanding dengan beton normal sehingga tidak dianjurkan penggunaannya untuk struktural (Sumarno, 2010). Menurut SNI 03-2847-2013, beton ringan (lightweight concrete) adalah beton yang mengandung agregat ringan dan berat volume setimbang (equilibrium density), sebagaimana ditetapkan oleh ASTM C567, antara 1140-1840 kg/m3. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi berat jenis beton atau membuat beton lebih ringan antara lain sebagai berikut (Tjokrodimuljo, 1996) : 1.
Dengan membuat gelembung-gelembung gas/udara dalam adukan semen sehingga terjadi banyak pori-pori udara di dalam betonnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambah bubuk alumunium ke dalam campuran adukan beton.
2.
Dengan menggunakan agregat ringan, misalnya tanah liat bakar, batu apung atau agregat buatan sehingga beton yang dihasilkan akan lebih ringan dari pada beton biasa.
3.
Dengan cara membuat beton tanpa menggunakan butir-butir agregat halus atau pasir yang disebut beton non pasir.
2.3
Spesifikasi Agregat Ringan Untuk Beton Ringan Struktural (SNI 032461-2002) Beton ringan struktural adalah beton yang memakai agregat ringan atau
campuran agregat kasar ringan dan pasir sebagai pengganti agregat halus ringan 3
dengan ketentuan tidak boleh melampaui berat isi maksimum beton 1850 kg/m
15
kondisi kering permukaan jenuh dan harus memenuhi persyaratan kuat tekan dan kuat tarik belah beton ringan untuk tujuan struktural.
Tabel 2.3 Persyaratan kuat tekan dan kuat tarik belah rata-rata untuk beton ringan struktural Berat isi kering udara 28 Kuat tarik belah (tidak Kuat tekan rata-rata, 28 3 hari, maksimum (kg/m ) langsung) rata-rata (MPa) hari, minimum (MPa) Semua agregat ringan 1760
2,2
28
1680
2,1
21
1600
2,0
17
Agregat ringan dan pasir 1840
2,3
28
1760
2,1
21
1680
2,0
17
CATATAN 1 Nilai kuat tekan dan berat isi diambil dari rata-rata 3 buah benda uji sedangkan kuat tarik belah diambil rata-rata dari 6 benda uji, CATATAN 2 Nilai antara untuk kekuatan tekan dan nilai berat isi yang berkait dapat diperoleh dengan penambahan atau interpolasi, CATATAN 3 Bahan-bahan yang tidak memenuhi persyaratan kuat tarik ratarata minimum dapat digunakan bila rancangannya dimodifikasi untuk mengimbangi nilai yang lebih rendah, CATATAN 4 1 MPa ≈ 10 kg/cm2 Sumber : SNI 03-2461-2002
Ada dua jenis agregat ringan yang tercakup dalam spesifikasi ini adalah : 1.
Agregat hasil proses pengembangan, pemanasan atau sintering dari bahan terak tanur tinggi, lempung, diatome, abu terbang, batu sabak, dan batu obsidian,
2.
Agregat diperoleh dari bahan diproses secara alami, seperti batu apung dan skoria. Agregat ringan yang digunakan tidak mengandung bahan kimia yang
merusak dalam jumlah seperti yang ditentukan oleh batasan-batasan berikut : 1.
Kotoran organis hasil pengujian kadar zat organis pada agregat ringan tidak boleh memperlihatkan warna yang lebih gelap dari pada warna pembanding 16
(standar), kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa perubahan warna itu mengakibatkan turunnya kekuatan tekan beton (lebih dari 5 %); 2.
Noda warna kandungan besi oksida yang menyebabkan noda (Fe2O3) pada agregat boleh lebih dari 1,5 mg / 200 gr contoh.
3.
Hilang pijar pada pembakaran agregat ringan tidak boleh melebihi 5 %. Agregat ringan yang diuji harus memenuhi persyaratan gradasi seperti yang
tercantum dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Persyaratan susunan besar butir agregat ringan untuk beton ringan struktural Ukuran Agregat halus : (4,75-0) mm Agregat kasar : (25,0-4,75) mm (19,0-4,75) mm (12,5-4,75) mm (9,5-2,36) mm Kombinasi agregat halus & kasar : (12,5-8,0) mm (9,5-8) mm
Presentase yang lulus angka (% berat) 12,5 9,5 4,75 2,36 1,18
25,0
19,0
0,60
0,3
-
-
-
100
85-100
-
40-80
10-35
5-25
95-100 100 -
90-100 100 -
25-60 90-100 100
10-50 40-80 80-100
0-10 0-15 0-20 5-40
0-10 0-20
0-10
-
-
-
100 -
95-100 100
90-100
50-80 65-90
35-65
-
5-20 10-25
2-15 5-15
Sumber : SNI 03-2461-2002
Keseragaman gradasi butiran ditentukan berdasarkan besarnya modulus kehalusan yang harus diuji secara periodik dan setiap nilai modulus kehalusan tidak boleh berbeda lebih dari 7% terhadap nilai modulus kehalusan yang ditentukan. Agregat ringan yang diuji harus memenuhi persyaratan seperti yang tercantum dalam Tabel 2.5.
17
Tabel 2.5 Persyaratan sifat fisis agregat ringan untuk beton ringan struktural No. Sifat fisis Persyaratan 1 2 3
Berat jenis Penyerapan air maksimum (%), setelah direndam 24 jam Berat isi maksimum : - gembur kering (kg/cm) - agregat halus - agregat kasar - campuran agregat kasar dan halus 4 Nilai presentase volume padat (%) 5 Nilai 10% kehalusan (ton) 6 Kadar bagian yang terapung setelah direndam dalam air 10 menit maksimum (%) 7 Kadar bahan yang mentah (clay dump) (%) 8 Nilai keawetan, jika dalam larutan magnesium sulfat selama 16-18 jam, bagian yang larut maksimum (%) CATATAN :
1,0-1,8 20 1120 880 1040 60 9-14
5 <1 12
Nilai keremukan ditentukan sebagai hasil bagi banyaknya fraksi yang lolos pada ayakan 2,4 mm dengan banyaknya bahan agregat kering oven semula dikalikan 100% Sumber : SNI 03-2461-2002
2.4
Serat Bagu Serat alami yaitu serat yang berasal dari alam (bukan buatan ataupun
rekayasa manusia). Serat alami ini biasanya didapat dari serat tumbuhan (pepohonan). Penelitian dan penggunaan serat alami berkembang dengan sangat pesat dewasa ini karena serat alami banyak memiliki keunggulan dibandingkan dengan serat buatan. Keunggulan dari serat alami, yaitu beban lebih ringan, mudah didapat, harga relatif murah, dan yang paling penting ramah lingkungan. Salah satu serat alami adalah serat Bagu. Serat Bagu berasal dari tumbuhan seperti pandan yang dapat dilihat pada Gambar 2.5. Ciri-ciri tumbuhan ini adalah seperti pandan yang memiliki ruas-ruas daun sejajar, daunnya tebal seperti daun nanas, dan terdapat duri di pinggir daun. Tumbuhan ini biasanya tumbuh di dataran tinggi. Tumbuhan ini memiliki banyak sebutan di Bali yaitu gebang dan manas perau (Kecamatan Kubu, Karangasem), serta pandan (Kabupaten Singaraja). Serat Bagu yang berkualitas baik dapat dihasilkan jika umur tumbuhan yang daunnya diolah menjadi serat sudah mencapai + 1,5 tahun. 18
Gambar 2.5 Tumbuhan yang menghasilkan serat Bagu
Di Bali, serat Bagu ini biasanya digunakan untuk rambut ogoh-ogoh dan barong. Kebutuhan akan serat Bagu ini bersifat kontinuitas. Serat Bagu yang sudah siap digunakan memiliki harga yang terjangkau (Yasa dan Wati, 2015).
Gambar 2.6 Serat Bagu
Serat Bagu merupakan serat alami yang kuat dan awet. Tanda serat Bagu sudah rusak adalah timbulnya warna merah pada serat. Untuk memperoleh serat Bagu tersebut memerlukan waktu + 1 bulan. Adapun tahapan untuk memperoleh serat Bagu adalah sebagai berikut:
19
1.
Daun dipilih dan dipotong
2.
Setelah dipotong, direndam selama + 20 hari di air yang mengalir, biasanya di sungai. Air tempat merendam daun tersebut memiliki bau yang tidak sedap dan dapat membuat gatal, tetapi tidak menimbulkan rasa sakit. Selama perendaman daun akan mulai melunak dan bagian daun selain serat akan meluruh.
3.
Kemudian daun yang telah selesai direndam, ditiriskan dengan cara dibanting-banting atau dipukul-pukul. Dengan cara ini serat akan terpisah dari daunnya. Tetapi jika belum terpisah, biasanya dilakukan pemisahan khusus dengan mesin. Dari tahapan ini akan diperoleh serat Bagu.
4.
Serat yang telah terpisah dijemur sampai kering. Hal ini dilakukan agar serat awet untuk disimpan dalam waktu yang lama. Menurut hasil uji kuat tarik sederhana yang dilakukan oleh Yasa dan Wati
(2015), beban yang mampu ditahan serat Bagu (dalam judul penelitian disebut serat nanas) sampai kondisi putus tercapai adalah + 250 gr atau + 0,25 kg. Diameter serat Bagu yang digunakan dalam uji kuat tarik sederhana adalah 0,03 cm atau 0,3 mm. Berdasarkan nilai tersebut, jadi serat Bagu memiliki kuat tarik sebesar 35,4 MPa.
2.5
Lightweight Expanded Clay Aggregate (LECA) Lightweight Expanded Clay Aggregate (LECA) adalah agregat ringan yang
dibuat dari campuran mineral vulkanik yang ringan dan dibuat berpori dengan pembakaran di atas 1000oC dan lapisan luar tanah lempung tembikar. LECA memiliki bentuk dan ukuran yang random seperti batuan alami yang tidak dipecahkan (Rudy, 2016). LECA biasanya diproduksi dalam berbagai ukuran dan kepadatan dari 0,1 milimeter (0,0039 in) hingga 25 milimeter (0,98 in), umumnya 0-4 mm, 4-10 mm, dan 10-25 mm. LECA bisa digunakan untuk membuat produk beton ringan. Keuntungan menggunakan LECA, yaitu dapat melakukan pengurangan beban mati dan beban gempa lateral konstruksi. Penggunaan umum LECA lainnya adalah untuk blok beton, beton, tambalan geoteknik, beton ringan, pengolahan air, hidroponik, aquaponics dan hydroculture (Anonim, 2015).
20
Gambar 2.7 Lightweight Expanded Clay Aggregate (LECA) LECA memiliki berat jenis bulk 0,48-0,51 kilogram/liter dan daya serap air 40% berat terhadap air. Daya simpan air bisa bertahan lebih dari 4 hari (Rudy, 2016). Konduktivitas termal perkiraan dari bahan kering longgar 0,113 w/mk. Keofisien ekspansi termal adalah 6.8 x 10.6oC. Agregat tidak terpengaruh oleh embun beku dan dapat menahan suhu hingga 1000oC dan tidak mudah terbakar. Nilai pH kira-kira adalah 7 (Sinclair, 2008). Tabel 2.6 Pemanfaatan LECA sesuai dengan ukuran Ukuran Pemanfaatan Isolasi, menghilangkan kapilaritas, pengisi drainase ringan, produksi beton Besar (10-20 mm) dan infrastruktur Produksi beton, infrastruktur dan Sedang (3-10 mm) pengisi yang ringan Kecil (0-3 mm) Produksi beton, mortar dan pelapisan Sumber : Koohdaragh and Azar (2012)
Tabel 2.7 Rata-rata penyerapan air LECA Campuran Kecil Agregat (0-25 mm) (0-3 mm) Penyerapan air 18 + 2 15 + 2 setelah 30 menit (%) Penyerapan air 30 + 2 30 + 2 setelah 24 jam (%)
Sedang (3-10 mm)
Besar (10-20 mm)
17 + 2
19 + 2
30 + 2
30 + 2
Sumber : Koohdaragh and Azar (2012)
21
Expanded Clay Aggregate (ECA) adalah agregat ringan dengan kekuatan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan agregat alam ringan lainnya dan dapat memproduksi beton ringan dengan kekuatan tinggi yang dapat digunakan dalam sistem struktural bangunan. Dengan menggunakan ECA, memungkinkan untuk menghasilkan kekuatan beton ringan yang tinggi dengan kepadatan 1,71 g/cm3 dan kekuatan sekitar 45 MPa. Penggunaan ECAC dalam sistem struktural memungkinkan untuk membangun bangunan yang lebih ringan dengan ukuran beton bertulang lebih kecil dan mengurangi kerusakan akibat gempa bumi (Subasi, 2009).
2.6
Penelitian Beton dengan Expanded Clay Aggregate
1.
Penelitian oleh Moravia et al. (2010) Penelitian oleh Moravia et al. (2010), membahas tentang faktor efisiensi dan
modulus elastisitas beton ringan dengan expanded clay aggregate. Pada penelitian ini, expanded clay digunakan sebagai agregat kasar dalam membuat Lightweight Aggregate Concrete (LWAC). Kapur dengan ukuran partikel yang sesuai dengan expanded clay digunakan sebagai agregat kasar dalam membuat Normalweight Concrete (NWC). Proporsi campuran beton ditentukan sesuai dengan metode IPT/USP. Metode ini digunakan untuk memperoleh proporsi campuran beton yang memberikan konsistensi yang diinginkan dan kuat tekan rata-rata (fcj) pada umur j hari. Kuat tekan perkiraan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20, 25, 30, dan 40 MPa pada umur 28 hari. Benda uji berbentuk silinder dengan diameter 10 cm dan tinggi 20 cm. Benda uji dirawat di ruang lembab dan diuji pada umur 3, 7, dan 28 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan berbanding lurus antara ketahanan mekanik dan kepadatan. Meskipun lebih rendah dalam kuat tekan, LWAC menunjukkan faktor efisiensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan NWC. Faktor efisiensi ditentukan dari rasio antara kekuatan mekanik dengan kepadatan masing-masing beton. Faktor efisiensi LWAC pada usia 3, 7 dan 28 hari adalah 20%, 15% dan 8% lebih tinggi dibandingkan dengan NWC. Perbedaan faktor efisiensi beton ditemukan menurun dengan bertambahnya usia. Kuat tekan NWC menunjukkan peningkatan 10% pada 7 hari dan 38% pada 28 hari jika 22
dibandingkan dengan rata-rata kekuatan diperoleh pada usia 3 hari. Kuat tekan LWAC menunjukkan peningkatan 6% pada 7 hari dan 23% pada 28 hari jika dibandingkan dengan kekuatannya pada usia 3 hari. Pada kuat tekan rencana 40 MPa, saat umur 28 hari, LWAC memiliki kuat tekan rata-rata 26% lebih rendah dibandingkan
NWC.
Berdasarkan
hal
tersebut,
dapat
diketahui
NWC
menunjukkan keuntungan yang lebih tinggi dalam kekuatan. Untuk kepadatan, NWC menunjukkan peningkatan dari 0,9% pada 7 hari dan dari 2,73% pada 28 hari jika dibandingkan dengan pada usia 3 hari. Di sisi lain, kepadatan LWAC meningkat 1,67% dan 1,92% pada usia yang sama. Rendahnya kuat tekan LWAC dapat dijelaskan karena kekuatan expanded clay lebih rendah dibandingkan dengan kekuatan batu kapur. Tetapi, dari sudut pandang kerapatan dan kuat tekan, dalam penelitian ini, LWAC dianalisis dapat diklasifikasikan sebagai beton struktural. Faktor efisiensi LWAC yang lebih tinggi daripada NWC menunjukkan LWAC memiliki sifat yang lebih tinggi dalam menanggapi fenomena fisik dan kimia yang terjadi di dalam beton. Fenomena kimia merupakan aktivitas bubuk pozzolan pada expanded clay, sedangkan fenomena fisik adalah interlocking mekanis antara expanded clay dengan hasil hidrasi dalam pasta semen. LWAC memiliki nilai modulus elastisitas statis ratarata sepertiga (+36%) lebih kecil dari nilai yang diperoleh NWC, menunjukkan kapasitas yang lebih besar dari LWAC untuk menyerap deformasi yang disebabkan oleh penyusutan, yang dapat mengurangi tekanan internal dan pembentukan microcrack bila dibandingkan dengan NWC.
2.
Penelitian oleh Bogas and Nogueria (2014) Dalam penelitian ini diproduksi Lightweight Aggregate Concrete (LWAC)
dengan jenis expanded clay aggregates yang berbeda. Studi eksperimental yang komprehensif dilakukan pada komposisi beton yang berbeda dengan kekuatan tekan rata-rata 30-70 MPa dan kelas densitas dari D1.6-D2.0. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi perawatan dan pembasahan awal agregat ringan pada kekuatan tarik belah dan modulus of rupture.
23
Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui kekuatan tarik dipengaruhi oleh jenis agregat, meskipun pengaruh ini lebih rendah daripada kekuatan tekan. Kekuatan tarik LWAC sekitar 0,8-0,85 dari Normal Weight Concrete (NWC) pada kekuatan tekan yang sama. Efisiensi struktural tarik beton dengan moistcured sedikit dipengaruhi oleh volume dan kondisi pembasahan agregat. Modulus of rupture dari LWAC dengan air-cured hanya dapat sekitar 0,5-0,8 dari NWC dengan kekuatan yang sama.
3.
Penelitian oleh Subasi (2009) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh menggunakan fly ash
terhadap sifat fisik dan mekanik beton agregat ringan kekuatan tinggi yang diproduksi dengan expanded clay aggregate. Untuk tujuan ini, campuran beton ringan dengan kadar semen 350, 400, dan 450 kg/m3 disiapkan dan campuran beton tersebut menggunakan expanded clay aggregate. Selain itu, beton dengan fly ash 0, 10, 20 dan 30% diproduksi dari campuran dengan kadar semen yang berbeda. Pengujian densitas beton, porositas, kecepatan ultrasonik, kuat tekan dan kuat tarik belah dilakukan pada sampel yang disiapkan. Selain itu, terdapat sampel diambil dari beton yang dibuat untuk diperiksa di bawah mikroskop optik. Dalam pemeriksaan mikroskopis ikatan yang kuat ditemukan antara pasta semen dan antarmuka Expanded Clay Aggregate (ECA) dari Expanded Clay Aggregate Concrete (ECAC) yang diproduksi. Dari hasil penelitian ini diketahui kadar semen 450 kg/m3 memiliki nilai kekuatan tertinggi dan sifat mekanik beton dapat ditingkatkan dengan menggunakan 10% fly ash. Ketika 10% fly ash digunakan dalam ECAC, ditetapkan bahwa kepadatan meningkat dengan rasio rata-rata 3%, porositas menurun 24%, kecepatan ultrasonik meningkat 3%, kuat tekan meningkat 8%, dan kekuatan tarik belah meningkat 9% untuk beton dengan berbagai kadar semen.
24
2.7
Material Penyusun Beton
2.7.1 Agregat Halus Menurut SNI 03-2834-2000, agregat halus adalah pasir alam sebagai hasil desintegrasi secara alami dari batu atau pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir terbesar 5,0 mm. Kadar lumpur atau bagian yang lebih kecil dari 70 mikron (0,074 mm) maksimum 5% (SII.0052 dalam Mulyono, 2005). Kegunaan agregat halus adalah untuk mengisi ruangan antara butir agregat kasar dan memberikan kelecakan. Pasir memiliki 4 jenis gradasi, yaitu gradasi pasir kasar, sedang, agak halus dan halus. Berikut ini adalah batas gradasi pasir sedang.
Ukuran mata ayakan Gambar 2.8 Grafik batas gradasi pasir (sedang) No. 2 (Sumber : SNI 03-2834-2000)
2.7.2 Agregat Kasar Menurut SNI 03-2834-2000, agregat kasar adalah kerikil sebagai hasil desintegrasi alami dari batu atau berupa batu pecah yang diperoleh dari industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir antara 5 mm-40 mm. Agregat kasar harus terdiri dari butir-butiran yang keras, permukaan yang kasar, dan kekal. Kadar lumpur atau bagian yang lebih kecil dari 70 mikron (0,074 mm) maksimum 25
1 % (SII.0052 dalam Mulyono, 2005). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan agregat untuk campuran beton antara lain: bentuk agregat, tekstur permukaan butir, berat jenis, berat satuan dan kepadatan, gradasi, kadar air, dan kekuatan agregat.
Tabel 2.8 Persyaratan batas-batas susunan besar butir agregat kasar Ukuran mata ayakan (mm)
38,1 19,0 9,52 4,76
Persentase berat bagian yang lewat ayakan Ukuran nominal agregat (mm) 38-4,76 19,0-4,76 9,6-4,76 95-100 100 37-70 95-100 100 10-40 30-60 50-85 0-5 0-10 0-10
Sumber : SNI 03-2834-2000
2.7.3 Semen Portland Pozolan Semen Portland Pozolan atau Portland Pozzolana Cement (PPC) adalah suatu semen hidrolis yang terdiri dari campuran yang homogen antara semen portland dengan pozolan halus, yang diproduksi dengan menggiling klinker semen portland dan pozolan bersama-sama, atau mencampur secara merata bubuk semen portland dengan bubuk pozolan, atau gabungan antara menggiling dan mencampur, dimana kadar pozolan 6% sampai dengan 40% massa semen portland pozolan (SNI 15-0302-2004). Fungsi semen adalah untuk merekatkan butir-butir agregat agar terjadi suatu massa yang kompak atau padat, selain itu juga untuk mengisi rongga di antara butiran-butiran agregat. Menurut SNI 15-0302-2004, Semen Portland Pozolan diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: 1.
Jenis IP-U yaitu semen portland pozolan yang dapat dipergunakan untuk semua tujuan pembuatan adukan beton.
2.
Jenis IP-K yaitu semen portland pozolan yang dapat dipergunakan untuk semua tujuan pembuatan adukan beton, semen untuk tahan sulfat sedang dan panas hidrasi sedang.
3.
Jenis P-U yaitu semen portland pozolan yang dapat dipergunakan untuk pembuatan beton dimana tidak disyaratkan kekuatan awal yang tinggi. 26
4.
Jenis P-K yaitu semen porland pozolan yang dapat dipergunakan untuk pembuatan beton dimana tidak disyaratkan kekuatan awal yang tinggi, serta untuk tahan sulfat sedang dan panas hidrasi rendah.
2.7.4 Air Air diperlukan pada pembuatan beton untuk memicu proses kimiawi semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan (workability) dalam pekerjaan beton. Tujuan utama penggunaan air adalah agar terjadi reaksi hidrasi pada semen. Air yang digunakan adalah air tawar yang dapat diminum, baik yang telah diolah di perusahaan air minum maupun tanpa diolah (Mulyono, 2004).
2.8
Tata Cara Penentuan Proporsi Campuran Beton dengan Semen Portland Biasa, Semen Portland Pozzolan, dan Semen Portland Komposit (Berdasarkan SNI 7656 : 2012 dan ACI 211.1-91) Adapun prosedur menentukan proporsi campuran beton dengan semen
portland biasa, semen portland pozzolan, dan semen portland komposit berdasarkan SNI 7656 : 2012 dan ACI 211.1-91 pada Tavio dan Lasino (2015) adalah sebagai berikut. 1. Pemilihan nilai slump 2. Pemilihan ukuran besar butir agregat maksimum 3. Perkiraan air pencampur dan kandungan udara Tabel 2.9 Perkiraan kebutuhan air pencampur dan kadar udara untuk berbagai slump dan ukuran nominal agregat maksimum batu pecah Air (kg/m3) untuk ukuran nominal agregat maksimum batu pecah Slump (mm)
9,5 mm*
12,7 mm*
19 mm*
25 mm*
37,5 mm*
50 mm+*
75 mm+T
150 mm+T
Semen Portland Biasa atau Ordinary Portland Cement (OPC) Beton tanpa tambahan udara 25-50
207
199
190
179
166
154
130
113
75-100
228
216
205
193
181
169
145
124
150-175
243
228
216
202
190
178
160
-
>175*
-
-
-
-
-
-
-
-
Banyaknya udara dalam beton (%)
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0,3
0,2
27
Beton dengan tambahan udara 25-50
181
175
168
160
150
142
122
107
75-100
202
193
184
175
165
157
133
119
150-175
216
205
197
184
174
166
154
-
>175*
-
-
-
-
-
-
-
-
ringan (%)
4,5
4,0
3,5
3,0
2,5
2,0
1,5**++
1,0**++
sedang (%)
6,0
5,5
5,0
4,5
4,5
4,0
3,5**++
3,0**++
beratTT (%)
7,5
7,0
6,0
6,0
5,5
5,0
4,5**++
4,0**++
Jumlah kadar udara yang disarankan untuk tingkat paparan sebagai berikut :
Semen Portland Pozzolan atau Portland Pozzolan Cement (PPC) Beton tanpa tambahan udara 25-50
202
194
185
174
161
149
125
108
75-100
223
211
200
188
176
164
140
119
150-175
238
223
211
197
185
173
155
-
>175*
-
-
-
-
-
-
-
-
Banyaknya udara dalam beton (%)
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0,3
0,2
Beton dengan tambahan udara 25-50
176
170
163
155
145
137
117
102
75-100
197
188
179
170
160
152
128
114
150-175
211
200
192
179
169
161
149
-
>175*
-
-
-
-
-
-
-
-
ringan (%)
4,5
4,0
3,5
3,0
2,5
2,0
1,5**++
1,0**++
sedang (%)
6,0
5,5
5,0
4,5
4,5
4,0
3,5**++
3,0**++
Jumlah kadar udara yang disarankan untuk tingkat paparan sebagai berikut :
28
beratTT (%)
7,5
7,0
6,0
6,0
5,5
4,5**++
5,0
4,0**++
Semen Portland Komposit atau Portland Composite Cement (PCC) Beton tanpa tambahan udara 25-50
205
197
188
177
164
152
128
111
75-100
226
214
203
191
179
167
143
122
150-175
241
226
214
200
188
176
158
-
>175*
-
-
-
-
-
-
-
-
Banyaknya udara dalam beton (%)
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0,3
0,2
Beton dengan tambahan udara 25-50
179
173
166
158
148
140
120
105
75-100
200
191
182
173
163
155
131
117
150-175
214
203
195
182
172
164
152
-
>175*
-
-
-
-
-
-
-
-
ringan (%)
4,5
4,0
3,5
3,0
2,5
2,0
1,5**++
1,0**++
sedang (%)
6,0
5,5
5,0
4,5
4,5
4,0
3,5**++
3,0**++
beratTT (%)
7,5
7,0
6,0
6,0
5,5
5,0
4,5**++
4,0**++
Jumlah kadar udara yang disarankan untuk tingkat paparan sebagai berikut :
Sumber : Tavio dan Lasino (2015)
4. Pemilihan rasio air-semen atau rasio air-bahan sementisius Tabel 2.10 Hubungan antara rasio air semen atau air bahan sementisius dan kekuatan tekan beton Kekuatan beton umur 28 hari, MPa*
Rasio air semen (dalam berat atau massa) Beton tanpa tambahan udara
Beton dengan tambahan udara
Semen Portland Biasa atau Ordinary Portland Cement (OPC) 60
0,28
-
55
0,32
0,30
50
0,36
0,32
29
45
0,40
0,36
40
0,44
0,40
35
0,49
0,44
30
0,56
0,50
25
0,63
0,56
20
0,70
0,62
15
0,80
0,70
10
0,90
0,80
Semen Portland Pozzolan atau Portland Pozzolan Cement (PPC) 60
0,26
-
55
0,30
0,28
50
0,34
0,30
45
0,38
0,32
40
0,42
0,36
35
0,47
0,40
30
0,54
0,46
25
0,61
0,52
20
0,68
0,58
15
0,76
0,66
10
0,86
0,76
Semen Portland Komposit atau Portland Composite Cement (PCC) 60
0,26
-
55
0,30
0,28
50
0,34
0,30
45
0,38
0,32
40
0,42
0,36
35
0,47
0,40
30
0,54
0,46
25
0,61
0,52
20
0,68
0,58
15
0,76
0,66
10
0,86
0,76
Sumber : Tavio dan Lasino (2015)
5. Perhitungan kadar semen 6. Perkiraan kadar agregat kasar
30
Tabel 2.11 Volume agregat kasar per satuan volume beton Ukuran nominal agregat maksimum (mm)
Volume agregat kasar kering oven* per satuan volume beton untuk berbagai modulus kehalusan+ dari agregat halus 2,40
2,60
2,80
3,00
Semen Portland Biasa atau Ordinary Portland Cement (OPC) 9,5
0,500
0,480
0,460
0,440
12,5
0,590
0,570
0,550
0,530
19,0
0,660
0,640
0,620
0,600
25,0
0,710
0,690
0,670
0,650
37,5
0,750
0,730
0,710
0,690
50,0
0,780
0,760
0,740
0,720
75,0
0,820
0,800
0,780
0,760
150,0
0,870
0,850
0,830
0,810
Semen Portland Pozzolan atau Portland Pozzolan Cement (PPC) 9,5
0,495
0,475
0,455
0,435
12,5
0,584
0,564
0,544
0,524
19,0
0,653
0,633
0,613
0,594
25,0
0,703
0,683
0,663
0,643
37,5
0,742
0,722
0,702
0,683
50,0
0,772
0,752
0,732
0,712
75,0
0,812
0,792
0,772
0,752
150,0
0,861
0,841
0,821
0,802
Semen Portland Komposit atau Portland Composite Cement (PCC) 9,5
0,493
0,473
0,453
0,433
12,5
0,580
0,562
0,542
0,522
19,0
0,651
0,631
0,611
0,592
25,0
0,700
0,680
0,661
0,641
37,5
0,740
0,720
0,700
0,681
50,0
0,769
0,750
0,730
0,710
75,0
0,809
0,790
0,770
0,750
150,0
0,858
0,838
0,819
0,800
Sumber : Tavio dan Lasino (2015)
31
7. Perkiraan kadar agregat halus Berat agregat halus yang diperlukan adalah perbedaan dari berat beton segar dan berat total dari bahan-bahan lainnya. Tabel 2.12 Perkiraan awal berat beton segar Ukuran nominal agregat maksimum (mm)
Perkiraan awal berat beton, kg/m3* Beton tanpa tambahan udara
Beton dengan tambahan udara
Semen Portland Biasa atau Ordinary Portland Cement (OPC) 9,5
2280
2200
12,5
2310
2230
19,0
2345
2275
25,0
2380
2290
37,5
2410
2350
50,0
2445
2345
75,0
2490
2405
150,0
2530
2435
Semen Portland Pozzolan atau Portland Pozzolan Cement (PPC) 9,5
2277
2197
12,5
2307
2227
19,0
2342
2272
25,0
2376
2287
37,5
2407
2346
50,0
2442
2342
75,0
2486
2402
150,0
2526
2432
Semen Portland Komposit atau Portland Composite Cement (PCC) 9,5
2270
2190
12,5
2300
2220
19,0
2335
2265
25,0
2370
2280
37,5
2400
2340
50,0
2435
2335
75,0
2480
2395
150,0
2519
2425
*Nilai yang dihitung memakai Persamaan (2.1) untuk beton dengan jumlah semen cukup banyak (330 kg semen per m3), dan dengan slump sedang dan berat jenis agregat 2,7. Untuk slump sebesar 75 mm sampai dengan 100 mm menurut Tabel 2.9. Bila informasi yang diperlukan cukup, maka berat perkiraan dapat diperhalus 32
lagi dengan cara sebagai berikut: untuk setiap perbedaan air pencampur 5 kg dengan slump sebesar 75 mm sampai dengan 100 mm (Tabel 2.9), koreksi berat tiap m3 sebanyak 8 kg dalam arah yang berlawanan; untuk setiap perbedaan 20 kg kadar semen dari 330 kg, koreksi berat per m3 sebesar 3 kg dalam arah yang sama; untuk setiap perbedaan berat jenis agregat 0,1 terhadap nilai 2,7 koreksi berat beton sebesar 60 kg dalam arah yang sama; untuk beton dengan tambahan udara, kadar udara untuk paparan berat gunakan Tabel 2.9. Berat dapat ditambah 1 persen untuk setiap 1 persen berkurangnya kadar udara dari jumlah tersebut. Sumber : Tavio dan Lasino (2015)
Bila diinginkan perhitungan berat beton yang eksak secara teoritis per m3, formula berikut dapat digunakan. U = 10Ga (100 - A) + c (1 - Ga/Gc) - w (Ga - 1)
(2.1)
Keterangan : U
adalah berat beton segar dalam kg per m3
Ga
adalah berat jenis rata-rata terbobot dari gabungan agregat halus dan kasar, kering permukaan jenuh (SSD adalah saturated surface dry)
Gc
adalah berat jenis semen (umumnya 3,15)
A
adalah kadar udara, persen
w
adalah persyaratan air pencampur, kg/m3
c
adalah persyaratan semen, kg/m3
2.9
Kelecakan (Workability) Komposisi dan sifat bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan beton
secara bersama-sama akan memengaruhi tingkat kemudahan pengerjaan (kelecakan) beton segar. Menurut Widodo (2009), unsur-unsur yang berpengaruh terhadap tingkat kelecakan beton, antara lain adalah: 1.
Jumlah air yang digunakan dalam campuran adukan beton, sampai batas faktor air semen tertentu. Semakin banyak air yang digunakan, semakin mudah beton segar untuk dikerjakan.
2.
Jumlah semen yang digunakan. Penambahan semen sampai batas tertentu juga dapat meningkatkan tingkat kelecakan beton. Untuk mempertahankan nilai faktor air semen, penambahan semen ke dalam campuran harus diikuti dengan penambahan air. 33
3.
Gradasi campuran pasir dan kerikil. Jika gradasi agregat yang digunakan berada dalam daerah gradasi yang disarankan dalam peraturan, maka campuran adukan beton akan mudah dikerjakan.
4.
Bentuk butiran agregat yang digunakan. Jika batuan yang digunakan berbentuk bulat, maka campuran akan semakin mudah dikerjakan.
5.
Ukuran maksimum agregat. Semakin besar ukuran agregat, semakin sedikit jumlah air yang diperlukan untuk memperoleh tingkat kelecakan yang baik. Hal ini dikarenakan semakin kecil ukuran agregat, semakin besar luas permukaan yang harus dibasahi. Terdapat tiga macam kemungkinan bentuk penurunan (slump) yang ditemui
saat pelaksanaan uji slump, yaitu : 1.
Slump ideal, terjadi apabila kerucut beton mengalami penurunan yang seimbang di setiap sisinya.
2.
Slump geser, terjadi apabila sebagian kerucut beton meluncur ke bawah di sepanjang bidang miring. Apabila bentuk ini ditemui, maka pengujian slump harus diulang, dan jika bentuk penurunan ini tetap terjadi, maka kohesifitas campuran beton kurang baik.
3.
Slump runtuh, dapat terjadi pada campuran beton normal yang kurang kohesif.
Ketiga jenis bentuk penurunan (slump) beton segar dapat dilihat pada Gambar 2.9.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.9 Bentuk-bentuk slump (a) ideal, (b) geser, (c) runtuh (Sumber : Widodo, 2009)
34
Tabel 2.13 Slump yang disyaratkan untuk berbagai konstruksi Slump (mm) Jenis konstruksi Maksimum* Minimum Dinding penahan dan pondasi
76,2
25,4
Pondasi sederhana, sumuran, dan dinding sub struktur Balok dan dinding beton
76,2
25,4
101,6
25,4
Kolom struktural
101,6
25,4
Perkerasan dan slab
76,2
25,4
Beton massal 50,8 25,4 *Dapat ditambahkan sebesar 25,4 mm untuk pekerjaan beton yang tidak menggunakan vibrator, tetapi menggunakan metode konsolidasi Sumber : ACI 211.1-91
2.10 Kuat Tekan Kuat tekan beton didefinisikan sebagai kemampuan penampang beton untuk menerima gaya tekan persatuan luas. Kuat tekan beton ini biasanya digunakan sebagai kriteria untuk menentukan mutu beton, walaupun sebenarnya beton mampu menahan gaya tarik, hanya saja kemampuan ini relatif kecil sehingga sering diabaikan (Mulyono, 2004). Kuat tekan beton diwakili oleh tegangan tekan maksimum f’c dengan satuan N/mm2 atau MPa. Kuat tekan beton umur 28 hari berkisar antara nilai + 10-65 MPa. Umumnya kuat tekan maksimum tercapai pada saat nilai satuan regangan (ε’) mencapai + 0,002. Selanjutnya nilai tegangan f’c akan turun dengan bertambahnya nilai regangan sampai benda uji hancur pada nilai ε’ mencapai 0,003-0,005. Beton kuat tekan tinggi lebih getas dan akan hancur pada nilai regangan maksimum yang lebih rendah dibandingkan dengan beton kuat tekan rendah. Pada SK SNI T-15-1991-03 pasal 3.3.2 menerangkan bahwa regangan kerja maksimum yang diperhitungkan di serat tepi beton tekan luar adalah 0,003 sebagai batas hancur. (Dipohusodo, 1994).
35
Gambar 2.10 Hubungan antara tegangan dan regangan tekan beton (Sumber : Asroni, 2010)
Gambar 2.11 Berbagai kuat tekan benda uji beton (Sumber : Dipohusodo, 1994)
Gambar 2.12 Diagram kuat beton versus umur beton (Sumber : Dipohusodo, 1994)
36
Nilai kuat tekan beton didapatkan melalui tata cara pengujian standar menggunakan mesin uji dengan cara memberikan beban tekan (P) bertingkat dengan kecepatan peningkatan beban tertentu atas benda uji silinder beton (diameter 150 mm, tinggi 300 mm) sampai hancur. Tata cara pengujian yang umumnya dipakai adalah standar ASTM (American Society for Testing Materials) C39-86 (Dipohusodo, 1994). Kuat tekan beton dinyatakan dengan persamaan : (2.2) dimana : f’c
= kuat tekan beton (MPa)
P
= beban hancur (N)
A
= luas penampang beton tertekan (mm2)
Kuat tekan rata-rata beton : (2.3) dimana : f’c rata-rata
= kuat tekan rata-rata (MPa)
N
= jumlah benda uji
Beban P tersebut juga mengakibatkan bentuk fisik silinder beton berubah menjadi lebih pendek, sehingga timbul regangan tekan pada beton (ɛc’) sebesar perpendekan beton (ΔL) dibagi dengan tinggi awal silinder beton (L0), ditulis dengan rumus (Asroni, 2010):
ɛ
(2.4)
dengan: ɛc ’
= regangan tekan beton
ΔL
= perpendekan beton (mm)
L0
= tinggi awal silinder beton (mm)
37
2.11 Kuat Tarik Belah Kuat tarik belah (ft) adalah kuat tarik beton yang ditentukan berdasarkan kuat tekan belah dari silinder beton yang ditekan pada sisi panjangnya (SKSNI-T15-1991-03). Setiap usaha perbaikan mutu kekuatan tekan hanya disertai peningkatan kecil kuat tariknya. Suatu perkiraan kasar dapat dipakai, bahwa nilai kuat tarik bahan beton normal hanya berkisar antara 9-15% dari kuat tekannya. Kuat tarik bahan beton yang tepat sulit untuk diukur. Suatu pendekatan yang umum dilakukan dengan menggunakan modulus of rupture, yaitu tegangan tarik lentur beton yang timbul pada pengujian hancur balok beton polos (tanpa tulangan) sebagai pengukur kuat tarik sesuai dengan teori elastisitas (Dipohusodo, 1994). Kuat tarik bahan beton juga ditentukan melalui pengujian split cylinder yang umumnya memberikan hasil yang lebih baik dan lebih mencerminkan kuat tarik yang sebenarnya. Nilai pendekatan yang diperoleh dari beberapa pengujian mencapai kekuatan √
nilai
√
-
√
, sehingga untuk beton normal digunakan
. Apabila kuat tarik terlampaui, benda uji terbelah menjadi dua
bagian dari ujung ke ujung. Tegangan tarik yang timbul sewaktu benda uji terbelah disebut sebagai split cylinder strength (ASTM C 496), dan dihitung menurut persamaan berikut (Dipohusodo, 1994) : (2.5) dimana : ft
= kuat tarik belah (MPa)
P
= beban pada waktu belah (N)
L
= panjang benda uji silinder (mm)
D
= diameter benda uji silinder (mm)
38
2.12 Modulus Elastisitas Modulus elastisitas adalah rasio tegangan normal terhadap regangan terkait untuk tegangan tarik atau tekan di bawah batas proporsional material (SNI 28472013). Modulus elastisitas beton merupakan koefisien pembanding antara tegangan dan regangan pada keadaan elastik, seperti terlihat dalam Gambar 2.13.
Tegangan (f’c)
(2.6)
Regangan beton (ɛ) Gambar 2.13 Hubungan antara tegangan dan regangan beton
Menurut Dipohusodo (1994), nilai modulus elastisitas beton sangat beragam tergantung pada nilai kuat tekan betonnya, sesuai dengan teori elastisitas. Sesuai dengan teori elastisitas, secara umum kemiringan kurva pada tahap awal menggambarkan nilai modulus elastisitas suatu bahan. Karena kurva pada beton berbentuk lengkung maka nilai regangan tidak berbanding lurus dengan nilai tegangannya berarti bahan beton tidak sepenuhnya bersifat elastis, sedangkan nilai modulus elastisitas berubah-ubah sesuai dengan kekuatannya dan tidak dapat ditetapkan melalui kemiringan kurva. Bahan beton bersifat elasto plastis dimana akibat dari beban tetap yang sangat kecil sekalipun, disamping memperlihatkan kemampuan elastis, bahan beton juga menunjukkan deformasi permanen. SNI 2847-2013 pasal 8.5.1 menyebutkan rumus nilai modulus elastisitas beton sebagai berikut: √
(2.7) 39
dimana : Ec = modulus elastisitas beton (MPa) wc = berat volume beton (kg/m3) f’c = kuat tekan beton (MPa) Rumus empiris tersebut hanya berlaku untuk beton dengan berat isi berkisar antara 1440 dan 2560 kg/m3. Untuk beton normal, Ec diizinkan diambil sebesar 4700√
. Modulus elastisitas yang ditentukan berdasarkan rekomendasi ASTM C-
469 disebut modulus chord. Adapun perhitungan modulus elastisitas chord (chord modul) Ec adalah: (2.8) dimana : Ec = modulus elastisitas beton (MPa) S2 = tegangan beton mencapai 40% tegangan maksimum (MPa) S1 = tegangan beton yang bersesuaian dengan regangan arah longitudinal sebesar 0,00005 (MPa) = regangan arah longitudinal akibat S2
2.13 Analisis Regresi Analisis regresi adalah suatu metode analisis untuk menentukan hubungan antara beberapa variabel (variabel bebas dan variabel tidak bebas) yang berpengaruh terhadap data. Variabel yang mudah didapat dan bersifat memengaruhi variabel lain digolongkan dalam variabel bebas, sedangkan variabel yang terjadi atau dipengaruhi oleh variabel bebas disebut variabel tidak bebas. Untuk mendapatkan persamaan antara dua variabel, misalnya X dan Y, maka ditetapkan X sebagai variabel bebas dan Y sebagai variabel tidak bebas. Semua titik-titik hasil pengukuran tersebut dapat digambarkan pada sistem koordinat tegak lurus, sehingga didapat suatu diagram pencar (scatter plot). Diagram ini menunjukkan hubungan secara kasar antara kedua variabel tersebut. Dari diagram ini dapat dilihat apakah hubungan kedua variabel tersebut bersifat linear atau non linear. Untuk mengukur kuat lemahnya hubungan antara dua 40
variabel tanpa melihat bentuk hubungannya apakah linear atau non linear digunakan koefisien korelasi r (Sugiyono, 2006 dalam Jaya, 2010).
2.13.1
Regresi Linear Sederhana Persamaan umum regresi linear sederhana adalah (Stanislaus, 2006
dalam Jaya, 2010):
Y a bX
(2.9)
dimana : Y
= subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan
a
= harga Y bila X = 0 (harga konstan)
b
= angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan atau penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel independen. Bila b (+) maka naik, dan bila (-) maka terjadi penurunan
X
= subyek pada variabel independen yang mempunyai nilai tertentu
Harga b dan a dapat dicari dengan rumus berikut: n w w n XiYi Xi Yi i 1 i 1 b i 1 2 n w 2 n Xi Xi i 1 i 1
(2.10)
n
a Y b X sehingga a
Yi i 1
n
n
b
Xi i 1
n
(2.11)
dimana : n
= banyak pasangan data
Yi = nilai peubah tak bebas Y ke-i Xi = nilai peubah bebas X ke-i
41
2.13.2
Regresi Polinomial Orde 2 Fungsi pendekatan untuk fungsi polinomial berderajat dua (orde dua),
yaitu (Nugroho, 2009): y = a0 + a1x + a2x2
(2.12)
Dari persamaan polinomial orde 2 didapatkan hubungan: n
n
n
i 1
i 1
i 1
na0 a1 xi a 2 xi 2 yi , n
n
n
n
i 1
i 1
i 1
i 1
n
n
n
n
i 1
i 1
i 1
i 1
a0 xi a1 xi 2 a 2 xi 3 xiyi , a0 xi 2 a1 xi 3 a 2 xi 4 xi 2 yi ,
(2.13)
atau dalam bentuk perkalian matriks, seperti ini: n
n
xi
xi
i 1
n
xi i 1
n
[
xi 2 i 1
2.13.3
i 1
n
xi
n
yi
2
i 1
n
2
i 1
xi
[
3
xi 3 i 1
xiyi
(2.14)
i 1
i 1
n
]=
n
n
xi 4 i 1
n
]
xi [ i 1
2
yi
]
Koefisien Determinasi Koefisien determinasi adalah salah satu alat utama untuk mengukur
ketepatan/kesesuaian garis regresi terhadap sebaran datanya (Wirawan, 2002). Koefisien determinasi (R2) didefinisikan sebagai berikut:
^ Yi Y i 1 n
R2
2
Yi Y n
2
(2.15)
i 1
Keterangan : ^
Y = nilai Y berdasarkan hasil persamaan regresi Koefisien determinasi menunjukkan porsi variabel terikat Y yang dapat dijelaskan oleh persamaan regresinya atau oleh variasi variabel bebas X. Misalkan, nilai R2 = 96%, maka nilai variabel terikat yang dapat diterangkan oleh variabel bebas 42
adalah sebesar 96%, sedangkan 4% sisanya diterangkan oleh galat (error) atau pengaruh variabel yang lain. Nilai R2 tidak pernah negatif dan besarnya antara 0 dan 1 (0 < R2 < 1). Jika semua titik terletak tepat pada garis regresi sampel, maka R2 = 1, dalam hal ini dikatakan sesuai secara sempurna (perfect fit). Itu juga berarti 100% total variasi variabel terikat dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Jika R2 = 0, berarti tidak ada total variasi variabel terikat Y yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel bebas X.
2.13.4
Koefisien Korelasi (r) Analisis korelasi adalah alat statistik yang dapat digunakan untuk
mengetahui derajat hubungan linier antara satu variabel dengan variabel lainnya. Sandaran nilainya adalah, -1 < r < 1. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi (semakin mendekati nilai 1), maka hubungan antara dua variabel tersebut semakin kuat, jika nilai koefisiennya mendekati nilai 0, maka hubungannya semakin lemah. Adapun jika nilainya bertanda negatif, maka terjadi hubungan yang berlawanan arah, artinya jika suatu nilai variabel naik, maka nilai variabel lain akan turun. a.
Korelasi Positif Jika suatu korelasi bertanda positif r > 0, maka gambar grafiknya seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.14 berikut:
Gambar 2.14 Korelasi positif 43
Korelasi positif terjadi apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti dengan perubahan variabel yang lain dengan arah yang sama (berbanding lurus). b.
Korelasi Negatif Jika suatu korelasi bertanda negatif r < 0, maka gambar grafiknya seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.15 berikut:
Gambar 2.15 Korelasi negatif Korelasi negatif terjadi apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti dengan perubahan variabel yang lain dengan arah yang berlawanan (berbanding terbalik). c.
Korelasi nol Jika suatu korelasi tidak menunjukkan adanya hubungan r = 0, maka gambar grafiknya seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.16 berikut:
44
Gambar 2.16 Korelasi nol Korelasi nihil terjadi apabila perubahan pada variabel yang satu diikuti dengan perubahan variabel yang lain dengan arah yang tidak teratur (acak).
Berikut ini adalah persamaan untuk menentukan nilai koefisien korelasi: n
r
( Xi X ).(Yi Y ) i 1
n
(2.16)
n
( Xi X ) . (Yi Y ) 2
i 1
2
i 1
atau n
r
n
n
i 1
i 1
n XiYi Xi. Yi i 1
n n n. Xi 2 Xi i 1 i 1
2
n 2 n .n. Yi Yi i 1 i 1
(2.17) 2
Untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, maka tingkat keeratan korelasinya dapat diukur dengan menggunakan pedoman interpretasi koefisien korelasi sebagai berikut:
45
Tabel 2.14 Pedoman interpretasi koefisien korelasi Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 – 0,199
Sangat rendah
0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,000
Sangat kuat
Sumber : Sugiyono (2008)
46