BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) de Wit. 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Sub Divisio
: Spermatophyta
Kelas
: Magnolipsida
Ordo
: Fabales
Suku
: Fabaceae
Genus
: Leucaena
Spesies
: Leucaenaleucocephala(Lam.) de Wit. (USDA,2013)
Gambar 2.1 (a) Tanaman Lamtoro (b) Daun Lamtoro (Meenaet al., 2013; USDA, 2013).
6
7
2.1.2Deskripsi Lamtoro merupakan tanaman perdu pohon yang pertumbuhannya mampu mencapai tinggi 5-15 m, bercabangbanyak dan kuat, dengan kulit batang abu-abu dan lenticel yang jelas. Tanaman ini tumbuh tegak dengan sudut pangkal antara batang dengan cabang 45°. Daunnya kecil, tulang daun menyirip ganda dua (bipeianantus) dengan 4-9 pasangan sirip yang berjumlah sampai 408 pasang, tiap sirip tangkai daun mempunyai 11-22 helai anak daun. Bunganya merupakan bunga bangkol atau membulat (eappitullum). Batangnya berwarna putih kecoklatan atau cokelat kemerah-merahan. Buah tipis dan datar, berwarna kecoklatan ketika masak. Tumbuh secara liar maupun ditanam pada ketinggian 1200 m (Purwanto,2007). 2.1.3 Kandungan Kimia Daun lamtoro mengandung senyawa berupa alkaloid, saponin, flavonoid, triterpenoid, mimosin, leukanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan vitamin B. Daun lamtoro memiliki kandungan asam amino yang dapat larut dalam air yang disebut leucinol (Hariana, 2008). 2.1.4 Kegunaan Daun lamtoro telah banyak digunakan untuk pakan ternak seperti babi yang memiliki efek yang baik pada kinerja tumbuh babi dalam proses penggemukan (Meena et al., 2013). Kandungan tanin yang terdapat pada daun lamtoro dapat digunakan untuk mengontrol nematoda
8
gastrointestinal
(Oliveiraet
al.,
2011),
sedangkan
kandungan
triterpenoidnya memiliki aktivitas sebagai obat cacing (Widiyati, 2006). Infusa daun lamtoro dapat digunakan sebagai antelmintik pada cacing Ascaridia galli secara in vitro (Amanullah, 2008).
2.2 Cacing Gelang Babi (Ascaris suum Goeze) 2.2.1 Taksonomi Kingdom
: Animalia
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Ordo
: Ascaridida
Famili
: Ascarididae
Genus
: Ascaris
Species
: Ascaris suum Goeze (Kusumamihardja, 1992).
2.2.2 Morfologi Ascaris suum Goezeatau cacing gelang babi memiliki panjang sekitar 10-15 cm dan terdapat pada usus halus. Cacing jantan dewasa memiliki panjang 15-25 cm dengan garis tengah 3 mm, sedangkan cacing betina dewasa memiliki panjang 41 cm dengan garis tengah 5 mm. Satu ekor cacing betina dewasa dapat mengeluarkan telur dalam jumlah yang sangat banyak, sampai 200.000 telur sehari yang dikeluarkan dalam tinja dan selama hidupnya diduga dapat bertelur 23 milyar butir. Telur cacing
9
Ascaris suum Goeze yang telah dibuahi mempunyai ciri-ciri berbentuk lonjong, mempunyai 3 lapis dinding yang tebal dengan ukuran panjang 45-75 µm. Penularan dapat terjadi melalui makanan yang terinfeksi oleh telur dan larva dengan panjang kira-kira 0,25 mm yang berkembang dalam usus halus sedangkan penularan cacingnya sendiri dapat melalui mulut atau langsung ke kulit (Soulsby, 1982; Tjay dan Rahardja, 2008). 2.2.3 Daur Hidup Cacing dewasa Ascaris suum Goeze memproduksi telur setelah 2-3 bulan. Telur ini kemudian tertelan sampai pada saluran cerna dan menetas menjadi larva.Larva cacing ini tidak melakukan penetrasi langsung setelah menempel pada dinding saluran cerna, tetapi hanya transit sebentar padausus halus dan melakukan penetrasi kolon bagian atas. Kemudian cacing ini terakumulasi di hati sampai 48 jam. Dari sini larva masuk ke pembuluh porta, bermigrasi mengikuti aliran darah sampai ke bronkus paru. Larva kemudian tertelan, menetap di usus halus dalam waktu 6 sampai 8 minggu selanjutnya dapat memulai siklus baru dengan penetasan telur oleh cacing dewasa yang dikeluarkan melalui feses (Loreille dan Bouchet, 2003).
10
6
4
7
5
1
3 1
2
Gambar 2.2 Daur hidup Ascaris suum Goeze dalam tubuh babi (Loreille dan Bouchet, 2003). Keterangan: 1 :telur cacing keluar dari tubuh babi penderita bersama tinja 2 :perkembangan awal telur cacing (terbentuk L1) 3 :telur yang mengandung L2 (bersifat infektif) 4 :telur yang mengandung L2 ditelan oleh babi 5 :L2 terlepas dari usus babi, menembus dinding usus, kemudian bermigrasi ke paru-paru melalui hati 6 :L3 menuju alveolus, bronkiolus, bronkus hingga ke faring kemudian L3 tertelan dan kembali lagi ke usus halus 7 :L3 berkembang menjadi L4 dan L5 kemudian menjadi cacing dewasa di usus halus. 2.3 Antelmintik Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Mekanisme kerja antelmintik yaitu dengan menghambat proses penerusan impuls neuromuskuler sehingga cacing dilumpuhkan. Mekanisme lainnya dengan menghambat masuknya glukosa
11
dan mempercepat penggunaan (glikogen) pada cacing. Antelmintik mencangkup semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran pencernaan maupun obat-obat sistemis yang membasmi cacing maupun larva cacing yang berada dalam organ dan jaringan tubuh (Tjay dan Rahardja, 2008). Antelmintik yang ideal yaitu efektif dan aman, lebih disukai pemberian oral dengan dosis tunggal dan stabil pada keadaan tertentu dalam waktu yang cukup lama (Rahardjo, 2004).
2.4 Albendazole World Health Organization (WHO) merekomendasikan 4 antelmintik yang digunakan untuk mengatasi infeksi akibat Soil Transmitted Helminths yaitu mebendazole, albendazole, levamisole dan pirantel pamoat. Salah satu antelmintik yang umum digunakan yaitu albendazole karena merupakan jenis antelmintik modern yang bersifat larvasidal, ovisidal dan vermisidal. Albendazole memiliki spektrum luas dengan pemakian secara oral. Setelah pemberian oral, albendazol diabsorpsi secara tidak teratur dan kemudian dengan cepat mengalami metabolisme lintas pertama di hati menjadi metabolit aktifnya yakni albendazole sulfoksida (Katzung, 2007). Pengobatan babi dengan berat 30 kg diperlukan dosis albendazole sebesar 0,2 mL/kg berat badan yang dicampur dengan 1 liter akuades (volume lambung babi berat 30 kg). Albendazole memiliki mekanisme kerja menghambat pengambilan glukosa oleh cacing sehingga produksi ATP sebagai sumber energi untuk mempertahankan hidup cacing berkurang, hal
12
ini dapat mengakibatkan kematian cacing karena kurangnya energi untuk mempertahankan hidup (Sweetman, 2009).
2.5 Uji Aktivitas Vermisidal secara in vitro Uji aktivitas secara in vitro merupakan metode pengujian yang dilakukan pada lingkungan terkontrol seperti dengan menggunakan tabung reaksi atau cawan petri. Uji aktivitas vermisidal secara in vitro dilakukan dengan menyiapkan beberapa cawan petri yang dibagi kedalam kelompok kontrol positif, kontrol negatif dan kelompok perlakuan. Kelompok-kelompok perlakuan tersebut diinkubasi pada suhu 37oC yang masing-masing sudah dimasukkan sampel uji berupa cacing. Selanjutnya diamati apakah cacing tersebut masih hidup, paralisis atau mati setelah diinkubasi. Cacing dikatakan masih hidup jika masih aktif bergerak dan untuk cacing yang tidak bergerak maka cacing tersebut direndam dalam akuades bersuhu 50oC. Cacing dikatakan paralisis apabila setelah direndam dan kemudian diusik kembali cacing akan bergerak dan cacing dikatakan mati apabila setelah diusik dan saat dimasukkan kedalam akuades bersuhu 50oC tetap tidak terdapat adanya pergerakan pada cacing tersebut (Tjokropranoto et al., 2011). 2.6 Ekstraksi 2.6.1 Definisi Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
13
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2000). 2.6.2 Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000). Secara umum ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi dan sokletasi (Depkes RI, 1986). Maserasi merupakan suatu proses ekstraksi padat cairmenggunakan suatu pelarut selama waktu tertentu dengan sesekali diaduk atau dikocok pada suhu kamar (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesinambungan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, campuran air etanol atau pelarut lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah. Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir
14
serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan, adanya derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel tetap terjaga (Depkes RI, 1986).