BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Serviks Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal yaitu sel yang tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol dan tidak berirama yang dapat menyerang ke jaringan tubuh normal dan menekan jaringan tubuh normal sehingga memengaruhi fungsi tubuh. Pertumbuhan sel yang tidak normal ini dapat terjadi pada jaringan mana saja termasuk pada alat kelamin wanita, khususnya leher rahim (serviks) (Suryati dan Anna, 2012). Kanker serviks atau leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada leher rahim yang merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama (vagina). Sel kanker yang menyelimuti leher rahim berlangsung dalam waktu yang lama dan sebelum menjadi kanker, sel kanker mengalami perubahan di mana tanda perubahan mengidentifikasi kanker mungkin sedang berkembang (Kemenkes, 2010). 2.1.1 Penyebab Kanker Serviks Kanker serviks menyerang daerah leher rahim atau serviks yang hampir semua (99,7%) berkaitan dengan infeksi sebelumnya dari salah satu atau lebih Human Papilloma Virus (HPV). Dari 50 jenis HPV yang menginfeksi saluran reproduksi , 15 sampai 20 jenis terkait dengan kanker leher rahim. Empat dari jenis tersebut yaitu HPV 16, 18, 31, dan 45 adalah yang paling umum terdeteksi pada kasus kanker leher rahim, dan jenis ke 16 merupakan penyebab dari setengah jumlah kasus yang terjadi di seluruh dunia (Depkes, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Riwayat Alami Kanker Serviks Seorang wanita yang terinfeksi HPV bisa bersifat stabil lokal, bisa membaik secara spontan atau jika serviks terkena bisa berkembang menjadi lesi tingkat rendah (low-grade squamosi intraepithelial lession) yang disebut juga Neoplasia Intraepitelial Serviks Ringan (mild cervical intraepithelial neoplasia {CIN I}) atau displasia awal. Sebagian besar lesi derajat rendah (CIN I) dapat hilang tanpa pengobatan atau tidak berkembang, terutama pada wanita muda. Diperkirakan dari setiap 1 juta wanita yang terinfeksi, 10% (sekitar 100.000) akan berkembang menjadi prakanker leher rahim. Perubahan prakanker ini diamati seringkali terjadi pada wanita berusia 30 dan 40. Sekitar 8% wanita yang mengalami perubahan tersebut akan menjadi prakanker yang terbatas pada lapisan luar dari epitel leher rahim (carcinoma in situ {CIS}), dan sekitar 1,6% akan berkembang menjadi kanker ganas bila lesi prakanker atau CIS tersebut tidak terdeteksi dan diobati. Perkembangan menjadi kanker leher rahim dari lesi derajat tinggi (high-grade squamous intraepithelial lesions) biasanya terjadi setelah kurun waktu 10 sampai 20 tahun. Walaupun jarang terjadi, sebagian lesi prakanker bisa menjadi kanker dalam waktu yang lebih singkat yaitu dalam waktu satu atau dua tahun (Depkes, 2007). 2.1.3 Faktor Risiko Kanker Serviks Berdasarkan hasil penelitian mutakhir diketahui bahwa faktor risiko terjadinya kanker serviks adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) Lebih dari 90% kasus kondiloma serviks, semua NIS, dan kanker serviks mengandung DNA virus HPV. Virus ini ditularkan melalui hubungan seksual. Wanita yang berisiko terkena penyakit akibat hubungan seksual juga berisiko terinfeksi virus ini sehingga mempunyai risiko terkena kanker serviks. 2. Perilaku Seksual Berdasarkan penelitian, risiko kanker serviks meningkat lebih dari 10 kali bila berhubungan dengan 6 atau lebih mitra seks, atau bila hubungan seks pertama di bawah umur 15 tahun. Risiko juga meningkat bila berhubungan seks dengan laki-laki yang berisiko tinggi (laki-laki yang berhubungan seks dengan banyak wanita), atau laki-laki yang mengidap penyakit kondiloma akuminatum di zakarnya (penis). 3. Merokok Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lipat terhadap kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Rokok mengandung nikotin dan zat-zat lain yang dapat menurunkan daya tahan serviks dan menyebabkan kerusakan epitel serviks sehingga timbul kanker serviks, di samping merupakan kokarsinogen infeksi virus. 4. Trauma Kronis pada Serviks Trauma ini terjadi karena persalinan yang berulang kali (banyak anak), adanya infeksi dan iritasi menahun.
Universitas Sumatera Utara
5. Defisiensi Zat Gizi Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia (neoplasia intraepitel serviks/NIS 1 dan NIS 2), serta mungkin juga meningkatkan risiko terkena kanker serviks pada wanita yang rendah konsumsi beta karoten dan vitamin A, C, dan E (Yani dkk, 2011). 2.1.4 Gejala Kanker Serviks Gejala dini yang dapat ditunjukkan oleh adanya kanker serviks adalah: 1. Keputihan 2. Contact Bleeding (perdarahan sewaktu bersetubuh) 3. Sakit waktu koitus 4. Terjadi perdarahan walaupun telah memasuki masa menopause Tingkat kelainan akibat gangguan untuk terjadi kanker serviks dapat berupa displasia ringan, displasia sedang, displasia penuh, displasia insitu, dan displasia invasive. Dalam perjalanannya kanker leher rahim membutuhkan waktu yang cukup lama dari kondisi normal sampai menjadi kanker. Dalam pemantauan perjalanan penyakit, diagnosis displasia sering ditemukan pada usia 20 tahunan, karsinoma in situ pada usia 25-35 tahun dan kanker serviks invasif pada usia 40 tahun. Kondisi prakanker sampai karsinoma in situ (stadium 0) sering tidak menunjukkan gejala karena proses penyakitnya berada di dalam lapisan epitel dan belum menimbulkan perubahan yang nyata dari mulut rahim. Pada akhirnya gejala yang ditimbulkan adalah keputihan, perdarahan paska senggama dan
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran cairan encer dari vagina.lalu jika sudah menjadi invasif akan ditemukan gejala seperti perdarahan spontan, perdarahan paska senggama, keluarnya cairan (keputihan) dan rasa tidak nyaman saat melakukan hubungan seksual (Bustan, 2007) 2.1.5 Penapisan Ada beberapa metode yang dikenal untuk melakukan penapisan kanker serviks. Tujuan penapisan untuk menemukan lesi prakanker. Beberapa metode itu antara lain: a. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Pemeriksaan dengan cara mengamati menggunakan spekulum, melihat leher rahim yang telah dipulas dengan asam asetat atau asam cuka (3-5%). Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut acetowhite epitelium. b. Pemeriksaan Sitologi (Papanicolaou/ tes Pap) Merupakan suatu prosedur pemeriksaan sederhana melalui pemeriksaan sitopatologi yang dilakukan dengan tujuan untuk menemukan perubahan morfologis dari sel-sel epitel leher rahim yang ditemukan pada keadaan prakanker dan kanker (Kemenkes, 2010). 2.1.6
Upaya Pencegahan Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui pencegahan primer, sekunder,
dan tertier.
Universitas Sumatera Utara
1. Pencegahan Primer Pencegahan primer dimaksudkan untuk mengeliminasi dan meminimalisasi pajanan penyebab dan faktor risiko kanker, termasuk mengurangi kerentanan individu terhadap efek dari penyebab kanker. Selain faktor risiko, ada faktor protektif yang akan mengurangi kemungkinan seseorang terkena kanker. Pendekatan pencegahan ini memberikan peluang besar dan sangat cost-effective dalam pengendalian kanker tetapi membutuhkan waktu yang lama. Memberikan edukasi tentang perilaku gaya hidup sehat, mempromosikan anti rokok termasuk menurunkan risiko terpajan asap rokok, perilaku seksual yang aman, serta pemberian vaksin HPV, merupakan contoh kegiatan pencegahan (Kemenkes, 2010). 2. Pencegahan Sekunder Ada dua komponen deteksi dini yaitu penapisan (screening) dan edukasi tentang penemuan dini (early diagnosis). Penapisan atau skrining adalah upaya pemeriksaan atau tes yang sederhana dan mudah yang dilaksanakan pada populasi masyarakat sehat, yang bertujuan untuk membedakan masyarakat yang sakit atau berisiko terkena penyakit di antara masyarakat sehat. Penemuan dini (early diagnosis) adalah upaya pemeriksaan pada masyarakat yang telah merasakan adanya gejala. Oleh karena itu edukasi untuk meningkatkan kesadaran tentang tanda-tanda awal kemungkinan kanker di antara petugas kesehatan, kader masyarakat, maupun masyarakat secara umum merupakan kunci utama keberhasilannya (Kemenkes, 2010).
Universitas Sumatera Utara
3. Pencegahan Tertier Pencegahan tertier berupa diagnosis dan pengobatan yaitu untuk menentukan stadiumnya agar dapat mengevaluasi besaran penyakit dan melakukan terapi yang tepat. Tujuan dari pengobatan adalah menyembuhkan, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan kualitas hidup. Prioritas pengobatan ditujukan pada kanker dengan stadium awal dan lebih berpotensial untuk sembuh sedangkan kanker yang terdiagnosis pada stadium lanjut, pengobatan harus terpadu termasuk pendekatan psikososial, rehabilitasi, dan terkoordinasi dengan pelayanan paliatif untuk memastikan peningkatan kualitas hidup pasien kanker (kemenkes, 2010) 2.2
Program Penanggulangan Kanker Leher Rahim
2.2.1
Kebijakan Pengendalian Kanker Serviks Pengendalian penyakit kanker serviks di Indonesia berada di bawah
Kementerian Kesehatan RI yaitu Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PPTM) sub Direktorat Penyakit Kanker berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1575 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit kanker serviks yang secara umum bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat kanker serviks, memperpanjang umur harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup penderita (Depkes, 2007) Kanker serviks merupakan salah satu dari Penyakit Tidak Menular (PTM) yang menjadi perhatian pemerintah selain penyakit Jantung, Stroke, dan Diabetes. Pencegahan dan pengendalian penyakit PTM telah diatur di dalam UndangUndang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dari Pasal 158 sampai dengan Pasal
Universitas Sumatera Utara
161. Di dalam Pasal 161 secara tegas dikatakan bahwa manajemen pelayanan kesehatan baik berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dititik beratkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular (Dumesty, 2012). Secara teknis, peraturan yang digunakan mengenai pelaksanaan deteksi dini kanker serviks adalah Kepmenkes Nomor 430 tahun 2007 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Kanker yang menjabarkan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai, tujuan, kebjakan, strategi, pokok-pokok kegiatan dan pengorganisasian dalam pengendalian penyakit kanker termasuk kanker serviks. Selanjutnya digunakan juga Kepmenkes Nomor 796 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim yang ditujukan kepada pengelola program Pengendalian PTM Pusat, Daerah, dan Unit Pelayanan Teknis; Pemerintah Daerah, Lintas Program dan Lintas Sektor Terkait, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok berisiko (Dumesty, 2012). Pada tahun 2015 Kepmenkes Nomor 796 tahun 2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini terjadi seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan nomor 34 tahun 2015 tentang Penanggulangan Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim yang merupakan pedoman terbaru dalam upaya penanggulangan kanker serviks (Kemenkes, 2015). 2.2.2 Bentuk Kegiatan Program Pengendalian Kanker Serviks Kanker leher rahim merupakan salah satu kanker terbanyak di Indonesia yang memerlukan intevensi/tindakan kesehatan masyarakat dalam bentuk program penanggulangan nasional. Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki
Universitas Sumatera Utara
tanggungjawab dalam menyelenggarakan penanggulangan kanker serviks. Penanggulangan yang dimaksud diselenggarakan melalui pendekatan pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan (Kemenkes, 2015). Penanggulangan kanker leher rahim dalam bentuk pelayanan kesehatan masyarakat meliputi kegiatan yang bersiafat promotif dan preventif. Kegiatan yang bersifat promotif berupa penyuluhan kepada anggota masyarakat dan lembaga/kelompok masyarakat di fasilitas umum, jejaring/media dalam ruang maupun di luar ruang, media cetak, media elektronik, media sosial, perkumpulan sosial budaya, keagamaan dan kegiatan/lembaga publik lainnya (Kemenkes, 2015). Kegiatan
yang
bersifat
preventif
bertujuan
untuk
mencegah
berkembangnya faktor risiko di fasilitas umum dan di fasilitas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
berwenang. Kegiatan yang
bersifat preventif meliputi perlindungan khusus massal, penapisan/skrining massal dan penemuan dini massal serta tindak lanjut dini. Kegiatan penapisan/skrining massal dan penemuan dini massal serta tindak lanjut dini yang dilakukan pada msyarakat sehat dapat dilaksanakan oleh dokter atau bidan terlatih di fasilitas kesehatan tingkat pertama atau fasilitas umum yang memadai (Kemenkes, 2015) Penanggulangan Kanker Leher Rahim dalam bentuk pelayanan kesehatan perorangan meliputi kegiatan yang bersifat kuratif, rehabilitatif dan paliatif dengan tidak mengabaikan tindakan promotif dan preventif perorangan sebagai bagian dari masyarakat (Kemenkes, 2015).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Perkembangan Program Penanggulangan Kanker Serviks Pelaksanaan penanggulangan kanker serviks salah satunya dilakukan dengan pemeriksaan IVA. Berdasarkan hasil pengumpulan data pada akhir tahun 2014 sasaran yang akan menjadi target adalah sebanyak 37.415.483 perempuuan dengan kondisi telah dilakukan pemeriksaan deteksi dini sebesar 904,099 perempuan (4,49%). Semua provinsi sudah mampu melakukan pemeriksaan deteksi dini tetapi baru di 298 kabupaten/kota dari 542 kabupaten/kota atau telah dilakukan di 2073 Puskesmas dari 9719 Puskesmas di Indonesia. Jumlah trainer baru ada sekitar 430 orang dengan jumlah provider yaitu dokter umum sebesar 1453 dan bidan 2675 orang dari kebutuhan ideal di mana setiap puskesmas memiliki 1 dokter dan 2 bidan terlatih (Kemenkes, 2015). 2.3 Inspeksi visual Asam Asetat (IVA) Pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam cuka (IVA) berarti melihat leher rahim dengan mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam asetat atau cuka (3-5%). Daerah yang tidak normal akan berubah warna dengan batas yang tegas menjadi putih (acetowhite) yang mengindikasikan bahwa leher rahim mungkin memiliki lesi prakanker (Depkes, 2007) 2.3.1
Keunggulan
IVA adalah praktik yang dianjurkan untuk fasilitas dengan sumberdaya sederhana dibandingkan dengan jenis penapisan lain karena:
Universitas Sumatera Utara
a. Aman, tidak mahal, dan mudah dilakukan b. Akurasi tes tersebut sama dengan tes-tes yang lain yang digunakan untuk penapisan kanker leher rahim c. Dapat dipelajari dan dilakukan oleh hampir semua tenaga kesehatan di semua jenjang sistem kesehatan d. Memberikan hasil segera sehingga dapat segera diambil keputusan mengenai penatalaksanaannya (pengobatan atau rujukan) e. Suplai sebagian besar peralatan dan bahan-bahan untuk pelayanan ini mudah didapat dan tersedia f. Pengobatan langsung dengan krioterapi berkaitan dengna penapisan yang tidak bersifat invasif dan dengan efektif dapat mengidentifikasi berbagai lesi prakanker (Kemenkes, 2010). 2.3.2
Kelompok Sasaran Kelompok sasaran penapisan kanker leher rahim adalah:
a. Perempuan berusia 30-50 tahun b. Perempuan yang menjadi pasien pada klinik infeksi menular seksual (IMS) dengan discharge (keluar cairan) dari vagina yang abnormal atau nyeri pada abdomen bawah c. Perempuan yang tidak hamil (walaupun bukan suatu hal yang rutin, perempuan yang sedang hamil dapat menjalani penapisan dengan aman, tetapi tidak boleh menjalani pengobatan dengan krioterapi). Oleh karena itu IVA belum dapat dimasukkan sebagai pelayanan rutin pada klinik antenatal
Universitas Sumatera Utara
d. Perempuan yang mendatangi puskesmas, kllinik IMS, dan klinik keluarga berencana (KB) yang secara khusus meminta penapisan kanker leher rahim (Kemenkes, 2010) 2.3.3 Frekuensi Penapisan Seorang perempuan yang mendapat hasil tes IVA-negatif harus menjalani penapisan minimal 5 tahun sekali. Mereka yang mempunyai hasil tes IVA-positif dan mendapat pengobatan, harus menjalani tes IVA berikutnya enam bulan kemudian (Kemenkes, 2010). 2.3.4
Kategori Klasifikasi Tes IVA Adapun hasil temuan IVA dapat diklasifikasikan sesuai dengan temuan
klinis yang diperoleh, sebagai berikut: 1. Tes negatif dengan kriteria klinis; halus, berwarna merah muda, seragam, tidak berfitur, ectropion, cervicitis, kista Nabothy, dan lesi acetowhite tidak signifikan. 2. Tes positif dengan kriteria klinis; bercak putih (acetowhite epithelium sangat jelas terlihat) dengan batas yang tegas dan meninggi, tidak mengilap yang terhubung, atau meluas dari squamocolumnar junction. 3. Dicurigai kanker dengan kriteria klinis; pertumbuhan massa seperti kembang kol yang mudah berdarah atau luka bernanah (ulcer) (Kemenkes, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.4 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Menurut Levey dan Loomba (1973) seperti dikutip oleh Azwar (2010) yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya untuk dilaksanakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku pencarian pengobatan adalah perilaku individu maupun kelompok atau penduduk untuk melakukan atau mencari pengobatan. Perilaku pencarian pengobatan di masyarakat terutama di negara sedang berkembang sangat bervariasi. Andersen (1975) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010) mendeskripsikan model sistem kesehatan yaitu suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut sebagai model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan (behavior model of health service utilization). Andersen mengelompokkan faktor determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan ke dalam 3 kategori utama, yaitu: 1. Karakteristik Predisposisi (Predisposing characteristics) Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu, yang digolongkan ke dalam 3 kelompok:
Universitas Sumatera Utara
a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin, umur, dan status perkawinan b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras, dan sebagainya c. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit. Selanjutnya Anderson percaya bahwa: 1. Setiap individu atau orang mempunyai perbedaan karakteristik , mempunyai perbedaan tipe dan frekuensi penyakit, dan mempunyai perbedaan pola penggunaan pelayanan kesehatan 2. Setiap individu mempunyai perbedaan struktur sosial, mempunyai perbedaan gaya hidup, dan akhirnya mempunyai perbedaan pola penggunaan pelayanan kesehatan 3. Individu percaya adanya kemanjuran dalam penggunaan pelayanan kesehatan. 2. Karakteristik Kemampuan (Enabling characteristic) Karakteristik kemampuan adalah keadaan atau kondisi yang membuat seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan. Anderson (1975) membaginya ke dalam 2 golongan, yaitu: a. Sumber daya keluarga, seperti: penghasilan keluarga, keikutsertaan dalam asuransi kesehatan, kemampuan membeli jasa, dan pengetahuan tentang informasi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
Universitas Sumatera Utara
b. Sumber daya masyarakat, seperti: jumlah sarana pelayanan kesehatan yang ada, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia salam wilayah tersebut, rasio
penduduk
terhadap
tenaga
kesehatan,
dan
lokasi
pemukimanpenduduk. Menurut Anderson semakin banyak sarana dan jumlah tenaga kesehatan maka tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan suatu masyarakat akan semakin bertambah (Notoatmodjo, 2010). 3. Karakteristik kebutuhan (Need characteristic) Karakteristik kebutuhan merupakan komponen yang paling langsung berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, Andersen (1975) menggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakit merupakan bagian dari kebutuhan. Penilaian individu ini dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu: a. Penilaian individu (perceived need), merupakan penilaian keadaan kesehatan yang paling dirasakan oleh individu, besarnya ketakutan terhadap penyakit dan hebatnya rasa sakit yang diderita. b. Penilaian klinik (Evaluated need), merupakan penilaian beratnya penyakit dari dokter yang merawatnya, yang tercermin antara lain dari hasil pemeriksaan
dan
penentuan
diagnosis
penyakit
oleh
dokter
(Notoadmodjo, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Secara skematis konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson digambarkan sebagai berikut: Faktor predisposisi
Faktor Pemungkin
Demografi: Umur, jenis kelamin, status perkawinan, penyakit masa lalu
Keluarga: pendapatan, dukungan, asuransi kesehatan
Struktur sosial: Pendidikan, ras, pekerjaan, besar keluarga, agama
Komunitas/masyarakat: Informasi, tersedianya fasilitas dan petugas kesehatan, lokasi/jarak, biaya transportasi
Faktor Kebutuhan Tingkat rasa sakit: ketidakmampuan, gejala penyakit, diagnosis, keadaan umum Evaluasi: Gejalagejala, diagnosisdiagnosis
Keyakinan: Persepsi, sikap, pengetahuan Gambar 2.1 Skema Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan 2.5
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan
antara lain sebagai berikut: 1.
Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Suatu penelitian mengatakan bahwa tindakan
Universitas Sumatera Utara
yang didasari oleh pengetahuan akan mampu bertahan lebih lama dibanding tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2010). 2. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, melainkan merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoadmodjo, 2010). Menurut Wirawan (2009) seperti dikutip oleh Yuliwati (2012) sikap (attitude) adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak senang, atau perasaan biasabiasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. Sesuatu itu bisa benda, kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok. Jika yang timbul adalah perasaan senang, maka disebut sikap positif, sedang jika tak senang disebut sikap negatif. Jika tidak timbul apa-apa berarti bersikap netral. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup (Azwar, 2010). 3.
Pendidikan Pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk
sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di
Universitas Sumatera Utara
sekolah) sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan kepribadiannya (Good, Carter V dalam Yuliwati, 2012). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya, dan jika tingkat pendidikan rendah maka akan menghambat perkembangan perilaku seseorang terhadap penerimaan informasi, dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Nursalam dan Pariani, 2000). 4. Pekerjaan Pekerjaan adalah kegiatan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan diri dan kehidupan keluarganya (Nursalam dan Pariani, 2000). Menurut Ananta (1993) yang dikutip oleh Manning dan Efendi (1985), statistik pekerjaan mengelompokkan status pekerjaan menjadi 2 yaitu sektor formal dan informal. Istilah yang pertama kali dilontarkan oleh Hart (1971) ini yakni mengandung pengertian bahwa sektor formal adalah pekerjaan bergaji atau harian permanen, seperti pekerjaan dalam perusahaan industri, kantor pemerintah dan perusahaan besar lainnya, dimana struktur pekerjaan terjalin amat teroganisir, biasanya ditandai dengan gaji yang tetap; sedangkan pekerjaan sektor informal sering kali tercakup dalam istilah umum usaha sendiri ini merupakan jenis kesempatan kerja yang kurang teroganisir, biasanya ditandai dengan gaji yang tidak tetap. Pekerjaan akan memengaruhi tingkat ekonomi seseorang. Tingkat sosial ekonomi yang terlalu rendah akan memengaruhi individu menjadi tidak begitu
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih mendesak (Manning dan Efendi, 1985). 5.
Informasi Pernah diterima atau tidaknya informasi tentang kesehatan olehh masyarakat
akan menentukan perilaku kesehatan masyarakat tersebut (Green, 2005). Informasi dapat diterima melalui petugas langsung dalam bentuk penyuluhan, pendidikan kesehatan, dan perangkat desa melalui siaran dikelompok-kelompok dasawisma atau yang lain, melalui media massa, leaflet, siaran televisi dan lainlain (Yuliwati, 2012) 6.
Dukungan keluarga Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan berpendapat bahwa keluarga
adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, enak dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing anggotanya (Susanto dan Eko dalam Yuliwati 2012). Menurut Susanti (2002) yang mengutip pendapat Friedman (1961) bahwa sebelum seorang individu mencari pelayanan kesehatan yang profesional, ia biasanya mencari nasihat dari keluarga dan teman-temannya. Selanjutnya Friedman (1968) mengatakan tentang peran keluarga sebagai kelompok kecil yang terdiri dari individu-individu yang mempunyai hubungan satu sama lain, saling tergantung merupakan sebuah lingkungan sosial, dimana secara efektif keluarga memberi perasaan aman, secara ekonomi keluarga berfungsi untuk mengadakan sumber-sumber ekonomi yang memadai untuk menunjang proses
Universitas Sumatera Utara
perawatan, secara sosial keluarga menumbuhkan rasa percaya diri, memberi umpan balik, membantu memecahkan masalah, sehingga tampak bahwa peran dari keluarga sangat penting untuk setiap aspek perawatan kesehatan. 7.
Kebutuhan yang dirasakan Faktor predisposisi dan faktor pemungkin untuk mencoba pelayanan
kesehatan dapat terwujud didalam tindakan bila dirasakan sebagai kebutuhan. Faktor kebutuhan akan pelayanan kesehatan adalah orang akan melakukan atau mencari upaya pelayanan kesehatan tersebut. Keadaan status kesehatan seseorang menimbulkan suatu kebutuhan
yang dirasakan dan membuat seseorang
mengambil keputusan untuk mencari pertolongan atau tidak.
2.6 Kerangka Konsep Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Predisposisi: 1. Pendidikan 2. Pengetahuan 3. Pekerjaan 4. sikap Faktor Pemungkin 1. Informasi 2. Dukungan Suami/Keluarga
Pemanfaatan Pelayanan IVA
Kebutuhan 1. Kebutuhan yang dirasakan Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara