BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tinjauan Pustaka Pengelasan Al-Fe susah untuk dilakukan karena adanya perbedaan sifat
diantara keduanya dan terbentuknya lapisan intermetalik pada interface hasil lasan. Untuk mengurangi reaksi antara Al dan Fe pada interface lasan, banyak penilitian saat ini fokus pada solid state bonding, seperti friction stir welding (FSW), Resistance Spot Welding (RSW), magnetic pressure seam welding, dan diffusion bonding banyak digunakan dalam proses pengelasan manufaktur otomotif. Qiu et al (2008) melakukan pengelasan dissimillar metal Aluminum AA5052 dengan cold-rolled steel SPCC (Steel Plate Cold Commercial) dan austenitic stainless steel SUS304 dengan metode RSW, hal yang diteliti yaitu pengaruh dari cover plate pada distribusi temperatur pengelasan menggunakan finite element analisis. Hasil lasan AA5052/SPCC dan AA5052/SUS304 menunjukkan reaksi lapisan yang paling tebal yaitu pada sisi tengah lasan, dan ketebalannya turun menjauhi titik tengah lasan. Interface diambil pada daerah tengah lasan dan menunjukkan lapian polycrystalline berdekatan dengan A5052 dan lapisan mono-crystalline berdekatan dengan SPCC, selain itu pada interface terdapat intermetalik Fe2Al5 danFeAl3 yang mempengaruhi kekuatan tarik geser hasil lasan sambungan A5052/SUS304. Pengelasan dissimillar metal juga dilakukan oleh Coelho et al (2012) dengan menggunakan metode FSW. Las FSW didasarkan pada deformasi material dalam keadaan padat secara ekstrim, dimana tidak ada logam yang dicairkan. Proses FSW tersebut dipakai untuk meminimalkan terjadinya tegangan sisa, retak las, porositas dan penguapan material terlarut. Material high strengths steel (HSS) yaitu DP600 dan HC260LA dilas dengan AA6181-T4 untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari pengunaan kedua base metal HSS terhadap sambungan las yang efisien. Hasil patahan uji tarik kedua material diteliti dan didapatkan interface yang komplek dan tidak merata, terdiri dari α-Fe yang halus dan lapisan intermetalik Fe2Al5 yang tipis. Efisiensi sambungan yang diperoleh sekitar 80% dari kekuatan tarik base material aluminum, dimana semua deformasi yang terjadi
5
6
pada daerah aluminum. BM-HAZ-TMAZ dari aluminum merupakan daerah terlemah karena patahan selalu bermula dari daerah tersebut. Pengelasan dengan metode FSW juga dilakukan oleh Taban et al (2010) untuk menyambung material AA6061 dan AISI 1018 untuk meneliti sifat dan dan karakterisasi struktur mikro. Masalah dari kasus ini masih seputar lapisan intermetalik yang terbentuk karena menurunkan kekuatan sambungan. Jenis fasa intermetalik yang terbentuknya dipengaruhi oleh jenis interdifusi dan sangat tergantung pada suhu dan lama waktu proses pengelasan. Pengelasan dalam konsisi padat ditujukan untuk mengurangi terbentuknya fasa intermetalik. Permukaan patahan memiliki pola swirl, hal ini menunjukkan kegagalan pada daerah rekristalisasi aluminium. Intermetalik yang terbentuk dari pengelasan AA6061 dengan AISI 1018 ini yaitu Fe2Al5 dan FeAl. Pengelasan kondisi padat maupun cair pada sambungan aluminium dan sambungan beda jenis sering ditemukan fasa intermetalik Fe2Al5, namun intermetalik FeAl jarang ditemukan pada pengelasan kondisi padat, karena fasa intermetalik FeAl terbentuk pada suhu diatas 1200oC. Pengelasan dissimilar metal dengan penambahan interlayer banyak diaplikasikan dalam penelitian, tujuannya untuk mengurangi terbentuknya intermetallic compounds Fe/Al serta penambahan interlayer dapat meningkatkan kekuatan geser hasil sambungan Fe/Al. Interlayer yang sering digunakan dalam penyambungan Fe/Al yaitu Nikel (Ni), dipilihnya Ni karena memiliki kelarutan padat yang baik dan dapat membentuk ikatan difusi antara material Al dengan yang lainnya (Zhang et al, 2013). Penambahan interlayer Ni pada proses pengelasan Fe/Al dilakukan oleh Chen and Huang (2012) yang melakukan penelitian pengaruh penambahan interlayer Ni pada proses pengelasan dissimilar metal antara aluminium dan baja dengan metode laser penetration welding. Penelitian ini membandingkan pengaruh penambahan interlayer dan tanpa interlayer pada sambungan lap joint. Struktur mikro sambungan hasil lasan diteliti menggunakan SEM, EDS, dan XRD, dimana bagian tersebut bagian fasa intermetalik Fe 2Al5 dan fasa intermetalik FeAl5 terbentuk yang merupakan titik kritis hasil lasan. Penambahan interlayer Ni merubah komposisi fasa intermetalik dibandingkan dengan tanpa
7
penambahan Ni foil. Kekuatan tarik hasil lasan dengan penambahan interlayer Ni memiliki kekuatan yang lebih baik dibandingkan hasil kekuatan tarik hasil lasan tanpa penambahan interlayer Ni seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Perbandingan pengelasan Fe/Al dengan menggunakan interlayer Ni dan tanpa menggunakan interlayer Ni. Fenomena ini menunjukkan bahwa Ni foil interlayer meningkatkan kekuatan tarik dengan meningkatkan reaksi metalurgi antara zona fusi dan Al alloy. Kekerasan lapisan reaksi, termasuk intermetalik, lebih tinggi dari bagian lainnya. Penambahan Ni foil interlayer juga menurunkan kekerasan lapisan reaksi dibandingkan tanpa penambahan Ni foil. Secara umum, penurunan kekerasan suatu material dapat meningkatkan ketangguhan dan penambahan Ni foil membentuk senyawa intermetalik baru Al0.9Ni1.1. Penambahan Ni sebagai interlayer banyak digunakan pada penyambungan berbagai jenis material diantaranya penyambungan Mg-Al dengan metode diffusion bonding oleh Zhang et al (2013), penyambungan Mo/Cu dengan metode diffusion welding oleh Zhang et al (2013), penyambungan tungsten/ferritic steel dengan metode diffusion oleh Zhong et al (2010), dan penyambungan stainless steel 410/cooper dengan metode diffusion bonding oleh Sabetghadam et al (2010). Pengelasan diffusion bonding dengan penambahan Ni interlayer merupakan sebuah metode untuk menyambung logam sejenis dan beda jenis, karena penambahan interlayer dapat diatur untuk mengurangi atau menghilangkan masalah yang disebabkan oleh reaksi kimia dan sifat metalurgi suatu paduan. Penyambungan logam Mg dan Al dengan interlayer Ni dilakukan oleh Zhang et al (2013). Pengelasan difusi Al/Mg divariasikan dengan variasi tanpa penambahan
8
Ni interlayer diproses pada suhu 460oC selama 60 menit, dengan penambahan Ni foil diantara kedua material diproses pada suhu 450oC selama 60 menit, penambahan Ni foil dan lapisan tipis Al diantara kedua material diproses pada suhu 430oC selama 60 menit. Hasil uji tarik geser menunjukkan kekuatan tarik geser meningkat dengan penambahan Ni foil, kegagalan patahan terjadi pada intermetalik Mg-Al, akan tetapi dengan penambahan Ni interlayer menghidarkan terbentuknya senyawa intermetalik Mg-Al. Apabila lapisan tipis Al ditambahkan pada sambungan, maka sifat yang dihasilkan yaitu terbentukknya senyawa intermetalik Mg-Ni. Temperatur pengelasan merupakan hal penting dalam pengelasan difusi. Hasil pengelasan difusi yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh temperatur dalam hasil kekuatan tarik hasil lasan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Peningkatan temperatur memberikan dampak peningkatan kekuatan tarik, tetapi seiring terus meningkatnya temperatur pengelasan menyebabkan penurunan nilai kekuatan tarik. B
C
Gambar 2.2. Pengaruh temperatur pengelasan difusi terhadap kekutan tarik sambungan difusi hasil penelitian dari (a) Zhang et al (2012), (b) Zhong et al (2010) dan (c) Sabetghadam et al (2010). 2.2.
Dasar Teori
9
2.2.1. Thermal Spray Thermal spray adalah suatu teknologi pelapisan (coating) material baik itu metal maupun non metal dimana material pelapis dalam keadaan lebur atau semi lebur disemprotkan hingga membeku dan melekat pada permukaan material dasar/substrat. Lapisan terbentuk ketika jutaan partikel menempel pada substrat secara tumpang tindih. Thermal spray begitu serbaguna, dengan aplikasi thermal spray ini permukaan substrat dapat dilapis dengan berbagai jenis dan bentuk material, di mana ketebalan lapisan dapat ditentukan dari film yang tipis hingga untuk lapisan yang tebal. Teknologi ini banyak digunakan di semua jenis bidang industri untuk meningkatkan kinerja pada permukaan substrat, dan pengembangan substrat dengan fungsi baru yang lebih baik. Thermal spray memiliki beberapa jenis diantaranya plasma arc, electric arc, flame dan kinetic (Davis, 2004)
Gambar 2.3. Penampang melintang lapisan thermal spray (Santosa, 2008) Prinsip dasar dari proses thermal spray adalah pembentukan lapisan yang permanen dengan meleburkan suatu material dalam suatu ruang pembakaran, kemudian dari ruang pembakaran ini material disemprotkan ke atas permukaan substrat dan kemudian menempelkannya di atas substrat seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3. Mekanime ikatan pada suatu permukaan dalam thermal spray adalah sama dengan platings (melapisi), yaitu mechanical intercloking dan interaksi antar atom, dengan penyebaran kekuatan sekitar 7 Mpa.
10
Ketebalan lapisan berkisar antara 25 µm sampai dengan 2,5 mm (Santosa, 2008). Twin wire arc spraying merupakan salah satu jenis thermal spray dengan bahan material coating berupa kawat yang dilebur oleh sumber listrik dan menyebabkan pembentukan busur yang menghasilkan panas. Suhu panas dari busur listrik tersebut dapat mencapai temperatur antara 4000-6000°C dengan mudah. Bahan kawat yang telah mencair dikabutkan menjadi pertikel kecil dan didorong ke depan dalam bentuk semprotan oleh kompresi udara kecepatan tinggi, yaitu sekitar 100-300 m/s. Selanjutnya bahan yang meleleh bertabrakan terhadap substrat, bahan cair akan segera membeku, terikat dan berubah sebagai pelapis. Skema proses twin wire arc spraying ditunjukkan pada Gambar 2.4. Proses ini akan memberikan keuntungan karena kombinasi dari suhu tinggi dan gerakan kecepatan partikel yang cepat mengakibatkan lapisan lebih padat (Malek et al, 2013).
Gambar 2.4. Skema twin wire arc spraying (Tillman et al, 2014) 2.2.2. Difusi Difusi adalah peristiwa berpindahnya suatu atom atau partikel dari suatu tempat ke tempat lain. Difusi dapat ditingkatkan dengan memberikan perlakuan temperatur. Jika temperatur dinaikkan maka susunan atom akan berubah dan dengan demikian atom dapat berdifusi dengan mudah (Surjani, 2013). Beberapa proses difusi terjadi dengan memberikan perlakuan temperatur, tekanan dan tegangan listrik. Tipe difusi material solid yaitu self diffusion dan interdiffusion. Self diffusion merupakan perpindahan atom pada satu jenis
11
bahan sedangkan interdiffusion merupakan perpindahan atom antara dua atau lebih jenis bahan yang berbeda (Callister, 2007). Dalam hal pengelasan difusi merupakan proses penyambungan antara dua material dengan cara pemanasan dan penekanan, tanpa pencairan pada materialnya. Penyambungan yang terjadi karena adanya difusi atom antar material dengan temperatur dibawah titik cair material yaitu 0,5 – 0,8 Tm (Callister, 2007). 2.2.3. Mekanisme Pengelasan Difusi Pada proses pengelasan difusi penyambungan pada dasarnya merupakan penggabungan dua permukaan material padat secara atomic. Penyatuan permukaan terjadi karena adanya proses difusi atom antar permukaan material. Mekanisme penyambungan dapat dibagi menjadi 3 tahap. Setiap tahapan tidak berlangsung secara terpisah tetapi mulai dan berakhir secara berkesinambungan, sehingga mekanisme metalurginya saling melengkapi. Tahap demi tahap mempunyai kontribusi yang sama pentingnya selama proses penyambungan (Mahoney dan Bamton, 1995).
Gambar 2.5. Tahapan metalurgi diffusion bonding (Mahoney dan Bamton,1995) Pada tahap pertama, faktor kekasaran permukaan dan tekanan merupakan hal yang memiliki peran penting. Kondisi permukaan metal sebenarnya tidak pernah halus dan rata, sehingga pada daerah kontak antar permukaan logam akan
12
membentuk rongga-rongga dimana kekasaran pada logam permukaan akan berkurang. Secara ideal tahap pertama berjalan dengan baik, apabila kekasaran pada permukaan berkurang dan penyebaran rongga merata seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Pada tahap kedua, pada proses difusi terjadi pengurangan rongga-rongga permukaan kontak. Pengurangan rongga-rongga ini dikarenakan adanya proses perpindahan massa menuju rongga yang mengakibatkan ukuran rongga berubah mengecil. Dalam proses difusi perpindahan massa berlangsung secara bersamaan berupa aliran plastis, difusi dari interface menuju rongga melalui lattice, interface dan grain boundary. 3
(a)
2
1
(b)
(c)
4
6 5
7
Gambar 2.6. Skema bagian dari transfer material selama proses diffusion bonding (Mahoney dan Bamton, 1995) Lebih jelasnya bagian dari transfer massa dapat dilihat pada Gambar 2.6 yang meliputi: peluluhan plastis yang mendeformasi pada kontak permukaan, dimana difusi surface dari permukaan menuju leher, difusi volume yaitu penguapan di permukaan akan mengakibatkan pengembunan pada leher, dan difusi grain boundary dari antara setiap permukaan menuju leher. Pada tahap ketiga, bagian difusi yang dominan adalah difusi volume. Selama tahap ini rongga-rongga menyusut hingga menjadi sangat kecil dan akhirnya hilang. Batas butir bergerak menuju sebuah bentuk kesetimbangan, hingga menyatu dan secara struktur mikro tidak dapat dibedakan dari grain
13
boundary lainnya. Bidang kontak permukaan awal berubah karena adanya penetrasi pada lokal difusi atom. Tahap tiga berlanjut secara sempurna dengan hilangnya rongga-rongga hingga menyatunya permukaan kedua material yang disambung (Mahoney dan Bamton, 1995). 2.2.4. Pengelasan Difusi dengan Bantuan Interlayer Dalam
proses
pengelasan
difusi
dapat
dilakukan
dengan
cara
menambahkan lapisan antara (interlayer) pada permukaan kontak material yang akan disambung. Penambahan interlayer ini bertujuan untuk membantu meningkatkan aktivitas proses difusi pada material yang disambung. Dalam hal ini biasanya dipilih interlayer dari material yang memiliki kelarutan yang baik pada material yang disambung. Interlayer dapat pula dipilih dari material yang dapat menangkap unsur kotoran pada interface dan menghasilkan permukaan yang bersih. Untuk tujuan tersebut material yang dipilih adalah material yang memiliki solusibilitas yang tinggi yang mengandung unsur interstisi. Pada interlayer dapat juga menggunakan material lunak dengan tujuan memaksimalkan bidang kontak selama tahap pertama penyambungan. Material yang sering digunakan sebagai interlayer seperti tembaga, perak dan nikel (Mahoney dan Bamton,1995). 2.2.5. Aluminium Paduan 5083 (AA5083) Aluminium adalah logam yang ringan dan cukup penting dalam kehidupan manusia. Aluminium merupakan unsur kimia golongan IIIA dalam sistim periodik unsur, mempunyai massa atom 27 (hanya ada satu isotop natural), nomor atom 13, densitas 2,79 g/cm, titik lebur 660,4oC dan titik didih 2467oC Memiliki potensi redoks -1,66 V, bilangan oksidasi +3 dan jari- jari atom yang kecil yaitu 57 pm untuk stabilitas dari senyawa aluminium. Di dalam udara bebas aluminium mudah teroksidasi membentuk lapisan tipis oksida (Al2O3) yang tahan terhadap korosi. Aluminium juga bersifat amfoter yang mampu bereaksi dengan larutan asam maupun basa (Hartono, 1992, Seiler,1994). Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai ketahanan korosi yang baik dan hantaran listrik yang baik dan sifat–sifat yang baik lainnya sebagai sifat logam (Surdia, 2005).
14
Pemakaian aluminium dalam dunia otomotif yang semakin tinggi, menyebabkan pengembangan sifat dan karakteristik aluminium terus menerus ditingkatkan. Aluminium dalam bentuk murni memiliki kekuatan yang rendah dan tidak cukup baik digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan ketahanan deformasi dan patahan, maka dari itu perlu ditambahkan unsur seperti tembaga, silisium, magnesium, mangan, dan nikel untuk meningkatkan kekuatannya.. Aluminium dalam bentuk paduan yang sering dikenal dengan istilah aluminium alloy merupakan jenis aluminium yang digunakan cukup besar saat ini. Aluminium paduan adalah paduan yang mana aluminium sebagai logam yang paling dominan. Unsur paduan paling umum adalah tembaga, magnesium, mangan, silikon dan seng (Surdia, 2005). AA5083 adalah jenis aluminium paduan Al-Mg dengan sifat mampu las dan daya tahan korosi yang baik sehingga sering di aplikasikan di industri perkapalan. Komposisi kimia dari AA5083 adalah (berat %) 4,73% Mg; 0,7% Mn; 0,14% Si; 0,19% Fe; 0,08% Fr; Al bal, dengan bentuk struktur mikro seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7. Pada diagaram fasa Al-Mg yang di tunjukkan melalui Gambar 2.8 terlihat bahwa untuk titik eutektiknya adalah 450o C, 35 % Mg dan batas kelarutan padatnya pada temperatur eutektik adalah 17,4 % Mg, yang menurun pada temperatur biasa kira – kira 1,9 % Mg. Secara praktis penambahan Mg tidaklah banyak, namun cukup dapat untuk menaikkan kekuatan alumunium dan menurunkan nilai ductility-nya. Ketahanan korosi dan weldability juga baik
Gambar 2.7. Struktur mikro AA5083 (Totten, 2003)
15
Gambar 2.8 Diagram Fasa Al-Mg (Totten, 2003) 2.2.6. Baja SS 400 Baja SS 400 adalah jenis baja karbon rendah karena jumlah kadar karbonnya 0,2%, baja ini banyak digunakan untuk proses pembentukan logam lembaran, misalnya untuk badan dan rangka kendaraan serta komponenkomponen otomotif lainnya. Baja jenis ini dibuat dan diaplikasikan dengan mengeksploitasi sifat-sifat ferrite. Ferrite adalah salah satu fasa penting di dalam baja yang bersifat lunak dan ulet. Baja karbon rendah umumnya memiliki kadar karbon di bawah komposisi eutectoid dan memiliki struktur mikro hampir seluruhnya ferrite. Pada lembaran baja kadar karbon sangat rendah atau ultra rendah, jumlah atom karbonnya bahkan masih berada dalam batas kelarutannya pada larutan padat sehingga struktur mikronya adalah ferrite seluruhnya.
Gambar 2.9. Struktur Mikro Baja Karbon Rendah (Song, et al. 2012) Struktur mikro baja SS 400 ditunjukkan pada Gambar 2.9. Pada kadar karbon lebih dari 0,05% akan terbentuk endapan karbon dalam bentuk hard
16
intermetallic stoichiometric compound (Fe3C) yang dikenal sebagai cementite atau carbide. Selain larutan padat alpha ferrite yang dalam kesetimbangan dapat ditemukan pada temperatur ruang terdapat fase-fase penting lainnya, yaitu delta ferrite dan gamma austenite. Logam Fe bersifat polymorphism yaitu memiliki struktur kristal berbeda pada temperatur berbeda. Pada Fe murni, misalnya, alpha ferrite akan berubah menjadi gamma austenite saat dipanaskan melewati temperature 910°C. Pada temperatur yang lebih tinggi, yaitu mendekati 1400 °C gamma austenite akan kembali berubah menjadi delta ferrite. (Alpha dan Delta) Ferrite dalam hal ini memiliki struktur kristal BCC sedangkan (Gamma) Austenite memiliki struktur kristal FCC. 2.2.7. Intermetallic Compound (IMC) Proses pengelasan difusi akan menghasilkan reaksi pada daerah interface yaitu terbentuknya senyawa dari gabungan dua logam tesebut. Reaksi antara dua material tersebut terjadi akan terbentuk suatu senyawa yang disebut dengan senyawa IMC. Senyawa intermetalik ini merupakan struktur kompleks di mana atom terlarut hadir di antara atom pelarut dalam proporsi tertentu. IMC adalah senyawa logam yang terbentuk pada antarmuka antara logam yang berbeda, dan biasanya memiliki sifat yang berbeda secara signifikan. IMC ini merupakan paduan logam Nikel dan alumunium berbentuk padat dan terdiri dari beberapa senyawa intermetalik antara lain Al3Ni, Al3Ni2, AlNi, Al3Ni5 dan AlNi3 (Adabi dan Amadeh,
2015).
Intermetalik
Ni-Al
memiliki
banyak
sifat
yang
menguntungkan seperti kekuatan mekanik yang tinggi, kepadatan rendah, titik leleh tinggi dan ketahanan oksidasi yang baik pada suhu lingkungan yang tinggi. Namun, dalam kondisi suhu kamar, Nial memiliki ductility yang rendah. Sementara itu, intermetalik Ni-Al memiliki ketahanan mulur dan kekuatan yang rendah pada temperatur yang tinggi (Chen dan Wu, 2016).
17
Gambar 2.10. Diagram fasa Ni-Al (Singleton et al, 1990) Gambar 2.10 menunjukkan tentang diagram fasa Ni-Al dari beberapa jenis senyawa intermetalik yang terbentuk pada temperature dan kandungan persentase komposisi tertentu dari aluminium dan nikel. Interaksi antara nikel dengan aluminium memiliki beberapa bentuk umum, kedua material tersebut berbentuk lapisan senyawa intermetalik antara nikel dan aluminium. Lapisan IMC ini biasanya terdiri dari salah satu fase atau beberapa fase, tergantung pada temperatur difusi dan kondisi reaksinya, jika fase-fasenya berbeda akan membentuk zona yang terdiri dari berturut-turut lapisan senyawa intermetalik. Lapisan yang berdekatan substrat nikel terbentuk kandungan Ni tinggi, sedangkan lapisan sebelah aluminium selalu mengandung aluminium yang banyak (Adabi dan Amadeh, 2015). 2.3.
Dasar-Dasar Pengujian Spesimen
2.3.1. Pengujian Tarik Proses pengujian tarik geser bertujuan untuk mengetahui kekuatan tarik benda uji. Pengujian tarik untuk kekuatan tarik geser sambungan difusi dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan sambungan dari tiap variasi ketebalan interlayer dan variasi temperatur pengelasan difusi. Pengujian tarik geser
18
dimaksudkan untuk mengetahui berapa nilai kekuatannya dan dimanakah letak kegagalan suatu sambungan difusi (Mahendran et al, 2010). Pembebanan tarik geser adalah pembebanan yang diberikan pada benda dengan memberikan gaya tarik berlawanan arah pada salah satu ujung benda. Pada pengujian tarik beban diberikan secara kontinu dan pelan–pelan bertambah besar, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan mengenai perpanjangan yang dialami benda uji dan dihasilkan kurva tegangan-regangan. Kekuatan sambungan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : kekuatan sambungan=
beban maksimum luasanarea difusi
(2.1)
2.3.2. Pengujian Kekerasan Uji vickers ini didasarkan kepada penekanan oleh suatu gaya tekan tertentu oleh sebuah indentor berupa pyramid diamond terbalik yang memiliki sudut puncak 136o kepermukaan logam yang diuji kekerasannya seperti terlihat pada Gambar 2.11, dimana permukaan logam yang diuji ini harus rata dan bersih. Setelah gaya tekan secara statis ini kemudian ditiadakan dan pyramid diamond dikeluarkan dari bekas yang terjadi (permukaan bekas merupakan segi empat karena piramid merupakan piramid sama sisi), maka diagonal segi empat bekas teratas diukur secara teliti untuk kemudian digunakan sebagi kekerasan logam yang diuji (ASTM, 2003).
Gambar 2.11. Vickers Hardness test, (ASTM, 2003).
19
Nilai kekerasan yang diperoleh sedemikian itu disebut kekerasan vickers yang biasa disingkat denga Hv atau HVN (Vicker Hardness Number) yang ditentukan dengan persamaan berikut : 2 P sin VHN =
L
θ 2
2
=
1,854 P L2
(2.2)
Keterangan : P = Beban yang digunakan (kg) L = Panjang diagonal rata-rata (mm) Θ = sudut antara permukaan intan yang berlawanan = 136o (ASTM E 92 – 82) 2.3.3. Pengujian Metalografi Ilmu logam dibagi menjadi dua bagian khusus, yaitu metalurgi dan metalografi. Metalurgi adalah ilmu yang menguraikan tantang cara pemisahan logam dari ikatan unsur-unsur lain. Atau cara pengolahan logam secara teknis untuk memperoleh jenis logam atau logam paduan yang memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan metalografi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pemeriksaan logam untuk mengetahui sifat, struktur, temperatur dan prosentase campuran logam tersebut. Metalografi merupakan suatu pengetahuan yang khusus mempelajari struktur logam dan mekanisnya. Dalam
metalografi
dikenal
pengujian makro (makroscope test) dan pengujian mikro (mikroscope test). Pengujian
makro
(makroscope test)
ialah proses pengujian bahan yang
menggunakan mata terbuka dengan tujuan dapat memeriksa celah dan lubang dalam permukaan bahan. Angka kevalidan pengujian makro berkisar antara 0,5 sampai 50 kali. Pengujian cara demikian biasanya digunakan untuk bahan-bahan yang memiliki struktur kristal yang tergolong besar atau kasar. Misalnya, logam hasil coran (tuangan) dan bahan yang termasuk non-metal (bukan logam). pengujian mikro (mikroscope test) ialah proses pengujian terhadap bahan logam yang bentuk kristal logamnya tergolong sangat halus. Mengingat demikian halusnya, sehingga pengujiannya menggunakan suatu alat yaitu mikroskop optis 12 bahkan mikroskop elektron yang memiliki kualitas pembesaran antara 50 hingga 3000 kali (ASM Handbook Volume 9, 2004).
20
2.3.4. Pengujian SEM - EDS Scanning Electron Microscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggambar spesimen dengan memindainya menggunakan sinar elektron berenergi tinggi dalam scan pola raster. Elektron berinteraksi dengan atom-atom sehingga spesimen menghasilkan sinyal yang mengandung informasi tentang topografi permukaan spesimen, komposisi, dan karakteristik lainnya. Detektor elektron sekunder biasanya terdapat di semua SEM, tetapi jarang di sebuah mesin memiliki detektor yang dapat membaca semua sinyal. Sinyal ini adalah hasil interaksi dari sinar elektron dengan atom yang dekat permukaan specimen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Skema alat uji SEM (ASM Handbook Volume 9, 2004) SEM dapat menghasilkan gambar resolusi sangat tinggi dari permukaan spesimen, menghasilkan ukuran yang detailnya kurang dari 1 nm. Hasil berkas elektron sangat kecil sehingga gambar SEM memiliki kedalaman yang dapat menghasilkan tampilan karakteristik tiga dimensi yang berguna untuk mengetahui struktur permukaan spesimen. SEM memungkinkan beberapa perbesaran, dari sekitar 10 kali sampai lebih dari 500.000 kali perbesaran, atau sekitar 250 kali kemampuan perbesaran mikroskop optik. Karakteristik sinar-X dipancarkan
21
ketika sinar elektron menghilangkan elektron kulit bagian dalam dari spesimen, menyebabkan elektron yang energinya lebih tinggi untuk mengisi kulit dan melepaskan energi. Karakteristik sinar-X ini digunakan untuk mengidentifikasi komposisi dan mengukur banyaknya kandungan unsur-unsur dalam specimen (ASM Handbook Volume 9, 2004) EDX (Energy Dispersive X-ray Spectroscopy) sama istilahnya dengan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) atau EDAX adalah salah satu teknik analisis untuk menganalisis unsur atau karakteristik kimia dari spesimen. Karakterisasi ini tergantung pada penelitian dari interaksi beberapa eksistensi sinar X dengan spesimen. Kemampuan untuk mengkarakterisasi sejalan dengan sebagian besar prinsip dasar yang menyatakan bahwa setiap elemen memiliki struktur atom yang unik dan merupakan ciri khas dari struktur atom suatu unsur, sehingga memungkinkan sinar-X untuk mengidentifikasinya. Karakteristik sinarX dari sebuah spesimen berguna untuk menghasilkan emisi, sinar energi tinggi yang bermuatan partikel seperti elektron atau proton, atau berkas sinar X, difokuskan ke spesimen yang yang akan diteliti. Selanjutnya sebuah atom dalam spesimen yang mengandung elektron dasar di masing-masing tingkat energi atau kulit elektron terikat pada inti. Sinar yang dihasilkan dapat mengeksistasi elektron di kulit dalam dan mengeluarkannya dari kulit, sehingga terdapat lubang elektron di mana elektron itu berada sebelumnya. Sebuah elektron dari luar kulit yang berenergi lebih tinggi kemudian mengisi lubang, dan perbedaan energi antara kulit yang berenergi lebih tinggi dengan kulit yang berenergi lebih rendah dapat dirilis dalam bentuk sinar-X. Jumlah dan energi dari sinar-X yang dipancarkan dari spesimen dapat diukur oleh spektrometer energi-dispersif. Energi dari sinar X yang dihasilkan merupakan karakteristik dari perbedaan energi antara dua kulit, dan juga karakterisrtik struktur atom dari unsur yang terpancar, sehingga memungkinkan komposisi unsur dari spesimen dapat diukur (ASM Handbook Volume 9, 2004).