BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi Lahan Banyak pengertian lahan yang telah didefinisikan oleh para ahli, namun pada dasarnya mempunyai rumusan yang kurang lebih sama. Menurut Hardjowigeno, (2007) lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun masa sekarang, seperti reklamasi daerahdaerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini. Menurut FAO (1976), lahan (land) merupakan suatu daerah bentang permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi, meliputi atmosfer, tanah, geologi, hidrologi, tumbuhan, dan hewan serta hasil aktivitas manusia masa lampau dan sekarang. Evaluasi lahan adalah proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman (Djaenudin et al. 2000). Evaluasi sumberdaya lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk beberapa penggunaannya. Evaluasi sumberdaya lahan berfungsi untuk memberikan pengertian tentang hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana sebagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil (Sitorus 2004).
Prinsip utama yang digunakan dalam proses evaluasi lahan menurut FAO (1976) adalah sebagai berikut: 1.
Kesesuaian lahan dinilai berdasarkan jenis penggunaan lahan yang spesifik. Penggunaan lahan yang berbeda memerlukan syarat yang berbeda pula.
2.
Evaluasi lahan memerlukan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan masukan yang diperlukan.
3.
Memerlukan pendekatan multidisiplin dari para ahli ilmu-ilmu alam, teknologi penggunaan lahan, ekonomi, sosiologi dan lain-lain. Evaluasi hampir senantiasa memasukkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
4.
Evaluasi dilakukan sesuai dengan kondisi-kondisi fisik lahan, sosial ekonomi daerah yang dikaji serta kondisi nasional.
5.
Kesesuaian didasarkan atas penggunaan yang lestari. Aspek kerusakan atau degradasi lingkungan diperhitungkan pada saat menilai kesesuaiannya agar jangan sampai menyebabkan kerusakan lingkungan dikemudian hari meskipun dalam jangka pendek usaha tersebut sangat menguntungkan.
6.
Evaluasi melibatkan perbandingan lebih dari satu jenis penggunaan lahan. Apabila hanya satu jenis penggunaan yang dipertimbangkan, maka hal ini dapat menyebabkan kerugian, di mana beberapa jenis penggunaan lain yang lebih menguntungkan tidak teramati. Ada dua cara dalam mengevaluasi lahan yaitu secara langsung dan secara
tidak langsung. Pada evaluasi lahan secara langsung, lahan dievaluasi langsung melalui percobaan-percobaan, misalnya dengan menanam tanaman atau membangun jalan atau pipa-pipa minyak, untuk melihat apa yang akan terjadi. Hasil-hasil tersebut dapat digunakan hanya untuk lokasi percobaan tertentu atau untuk tujuan penggunaan tertentu lainnya (Sitorus 2004). Evaluasi lahan secara langsung mempunyai penggunaan yang sangat terbatas jika tidak disertai dengan pengumpulan data yang cukup banyak. Oleh karena itu sebagian besar pengevaluasian lahan dilakukan dengan secara tidak langsung. Proses evaluasi lahan secara tidak langsung dapat dibagi ke dalam beberapa tahap. Proses ini akan meliputi penentuan ciri lahan (land properties) yang ada hubungannya dan dapat diukur atau dianalisis tanpa memerlukan usaha-
usaha yang sangat besar. Ciri tersebut disebut karakteristik lahan (land characteristics) (Sitorus 2004). FAO (1976) memberi suatu penekanan tentang evaluasi lahan yang meliputi berbagai masalah, yaitu: 1.
Keadaan pengelolaan lahan sekarang dan yang akan terjadi, bila pengelolaan sekarang tetap ada atau tidak berubah.
2.
Kemungkinan perbaikan yang dapat dilakukan untuk tindakan pengelolaan, dalam rangka penggunaan lahan sekarang.
3.
Penggunaan lahan yang secara fisik memungkinkan, dan relevan, baik secara ekonomi maupun secara sosial.
4.
Penggunaan yang memungkinkan produksi yang lestari atau keuntungankeuntungan lainnya.
5.
Pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin timbul dari masing-masing penggunaan lahan, baik secara fisik, ekonomi dan sosial.
6.
Masukan yang diperlukan secara berulang untuk mempertahankan produksi yang diinginkan, dan meminimumkan pengaruh buruknya.
7.
Keuntungan-keuntungan dari masing-masing penggunaan lahan tersebut.
2.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu tipe tanah untuk penggunaan tertentu (FAO 1983). Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup mencakup iklim, tanah, terrain mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman (Djaenudin et al. 2000). Sedangkan evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya berhubungan dengan evaluasi untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus 2004). Selanjutnya FAO (1976) menegaskan bahwa bagi keperluan evaluasi lahan di negara sedang berkembang maka sangat bermanfaat adanya pemisahan antara:
a)
Klasifikasi Kesesuaian Sekarang menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dalam keadaan sekarang, tanpa ada perbaikan yang berarti,
b)
Klasifikasi
Kesesuaian
Potensial
menunjukkan
kesesuaian
terhadap
penggunaan lahan yang ditentukan dari satuan lahan dalam keadaan yang akan datang setelah diadakan perbaikan utama tertentu yang diperlukan. Metode FAO dapat dipakai untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif, tergantung dari data yang tersedia. Penilaian kesesuaian lahan dibedakan menurut tingkatannya, yaitu sebagai berikut (FAO 1976): 1)
Ordo: menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu;
2)
Kelas: menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan;
3)
Sub-kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas;
4)
Satuan: menunjukkan tingkat dalam subkelas didasarkan pada perbedaan perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, subkelas
untuk pemetaan tanah semi detil, dan unit untuk pemetaan tanah detil. Ordo juga digunakan dalam pemetaan tanah pada skala yang lebih kasar (eksplorasi). 2.2.1 Kesesuaian Lahan pada Tingkat Ordo Pada tingkat ordo ditunjukkan, apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu: 1.
Ordo S (sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya.
2.
Ordo N (tidak sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan
sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). 2.2.2
Kesesuaian Lahan pada Tingkat Kelas Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan
menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya. Banyaknya kelas dalam setiap ordo sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima kelas dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N, maka pembagian serta definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut: 1.
Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.
2.
Kelas S2: cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembataspembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.
3.
Kelas S3: sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan
4.
Kelas N1: tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal.
Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 5.
Kelas N2: tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable). Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
2.2.3
Kesesuaian Lahan pada Tingkat Sub-kelas Sub-kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam
perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Misalnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kedalaman efektif (s) dapat menjadi sub-kelas S2s. Dalam satu sub-kelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Misalnya, dalam sub-kelas S2ts maka pembatas keadaan topografi (t) adalah pembatas yang paling dominan dan pembatas kedalaman efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan. 2.2.4
Kesesuaian Lahan pada Tingkat Satuan (Unit) Kesesuaian pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari
subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan atas besarnya faktor pembatas. Dengan demikian, semua unit dari subkelas yang sama memiliki tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan memiliki jenis pembatas yang sama pada tingkat subkelas. Perbedaan antara satu unit dengan unit yang lain merupakan perbedaan dalam sifat-sifat atau gatra tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan seringkali merupakan perbedaan detail dari pembatas-pembatasnya. Jumlah unit dalam sub-kelas tidak dibatasi. Pemberian simbol kesesuaian lahan pada tingkat unit dilakukan dengan angka setelah simbol subkelas yang dipisahkan oleh tanda penghubung, misalnya S2n-1, S2n-2.
2.3 Parameter-Parameter Klasifikasi Kesesuaian Lahan Faktor yang digunakan sebagai kriteria dalam klasifikasi lahan merupakan sifat-sifat yang berhubungan dengan sifat lahan secara umum. Sifat-sifat lahan ini dapat dibedakan antara karakteristik lahan dan kualitas lahan (FAO 1976). Karakteristik lahan adalah sifat-sifat lahan yang dapat diukur dan dianalisa serta berdiri sendiri dalam unsur klasifikasi lahan, sedangkan kualiatas lahan merupakan sifat kompleks dari lahan yang berpengaruh terhadap kemampuannya untuk penggunaan-penggunaan tertentu, yang mana ditentukan oleh seperangkat karakteristik lahan yang berinteraksi (Sitorus 2004). Parameter yang diperlukan dalam evaluasi lahan tingkat tinjau, menurut CSR/FAO Staff (1983) dibutuhkan lima belas karakteristik lahan yang dikelompokkan atas tujuh kualitas lahan, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 2. Kualitas dan Karakteristik Lahan dalam Evaluasi Lahan Tingkat Tinjau (reconnaissance) Kualitas Lahan Karakteristik Lahan 1. Regim temperatur (t)
1. Temperatur rata-rata tahunan (0oC)
2. Ketersediaan air (w)
1. Bulan kering (<75 mm) 2. Curah hujan rata-rata tahunan (mm)
3. Kondisi perakaran (r)
1. Kelas drainase tanah 2. Tekstur tanah (bagian permukaan) 3. Kedalaman perakaran (cm)
4. Retensi hara (f)
1. KTK (me/100 g tanah) sub soil 2. pH (lapisan permukaan)
5. Ketersediaan hara (n)
1. N-total 2. P2O5 tersedia 3. K2O2 tersedia
6. Keracunan (x)
1. Salinitas (mm hos/cm) lapisan bawah
7. Medan (s)
1. Kemiringan lereng (%) 2. Batuan permukaan (%) 3. Batuan yang muncul dipermukaan (%) rock out crops
Sumber: CSR/FAO Staff (1983)
2.4 Tipe Penggunaan Lahan (Land UtilizationType) Djaenuddin et al. (2000) mendefinisikan bahwa tipe penggunaan lahan adalah jenis-jenis penggunaan lahan yang diuraikan secara lebih detail karena menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan dan keluaran yang diharapkan secara spesifik. Sifat-sifat penggunaan lahan mencakup data dan/atau asumsi yang berkaitan dengan aspek hasil, orientasi pasar, intensitas modal, buruh, sumber tenaga, pengetahuan teknologi penggunaan lahan, kebutuhan infratstruktur, ukuran dan bentuk penggunaan lahan, pemilikan lahan dan tingkat pendapatan per unit produksi atau unit areal. Atribut dari tipe penggunaan lahan (land utilization type) meliputi data atau atribut sebagai berikut (FAO 1976): 1.
Produksi, meliputi benda (tanaman, ternak, kayu), fasilitas pelayanan (fasilitas rekreasi) atau keuntungan lain (suaka margasatwa).
2.
Orientasi pasar, untuk kebutuhan sendiri atau untuk dijual.
3.
Tingkat ketersediaan modal.
4.
Tingkat penggunaan tenaga kerja.
5.
Sumber tenaga (manusia, hewan atau mesin)
6.
Penguasaan teknis dan sikap penggunaan lahan.
7.
Teknologi yang diterapkan (penggunaan mesin, pupuk, pestisida, jenis ternak, metode penebangan kayu).
8.
Persyaratan infrastruktur (misalnya penggergajian, pabrik the, pelayanan penyuluhan).
9.
Ukuran dan konfigurasi kepemilikan lahan, tersebar dimana-mana atau mengumpul dalam suatu lokasi.
10.
Hak-hak atas lahan.
11.
Tingkat penghasilan yang dinyatakan dalam per kapita, per satuan produksi atau persatuan luas.
2.5 Tanaman Kopi Robusta (Coffea canephora) Kopi robusta (Coffea canephora) adalah spesies tanaman berbentuk pohon. Tanaman ini tumbuh tegak, bercabang dan bila dibiarkan akan mencapai tinggi 12 m. Kondisi lingkungan tumbuh tanaman kopi yang paling berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kopi adalah tinggi tempat dan tipe curah hujan. Sebab itu, jenis tanaman kopi yang ditanam harus disesuaikan dengan kondisi tinggi tempat dan curah hujan di daerah setempat (Muljana 2010). Lingkungan tempat tumbuh merupakan faktor utama
yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kopi. Antara jenis kopi satu dengan lainnya menghendaki lingkungan tumbuh yang berbeda-beda. Untuk itu, faktor-faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan tanaman kopi, seperti ketinggian tempat, curah hujan, kondisi tanah, intensitas cahaya dan angin harus disesuaikan agar pertumbuhannya bisa optimal. Anggara et al. (2011) menjelaskan bahwa tanaman kopi robusta biasanya tumbuh di dataran dengan ketinggian 400-700 m di atas permukaan laut dan masih toleran pada ketinggian di bawah 400 m di atas permukaan laut. Tanaman kopi robusta menghendaki curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun. Namun, dengan pemberian mulsa dan teknik pengairan yang baik, tanaman kopi masih dapat tumbuh baik di lingkungan dengan curah hujan 1.000-1.300 mm/tahun. Pada tanaman kopi, curah hujan sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman, terutama selama proses pembungaan dan pembentukan buah. Umumnya, tanaman kopi dapat tumbuh di area dengan kondisi tanah yang gembur dan subur (kaya akan bahan organik) serta memiliki pH sekitar 4,5-6,0. Untuk menunjang pertumbuhannya, tanaman kopi harus mendapatkan penyinaran yang teratur, tetapi kopi kita menyukai intensitas cahaya matahari yang terpapar langsung. Tanaman kopi termasuk yang tidak tahan terhadap goncangan angin kencang. Selain merusak percabangan dan membuat pohon rebah, angin kencang juga meningkatkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dan daun yang menyebabkan tanaman mengalami kekeringan (Anggara et al. 2011).
Sebagai salah satu komoditas perkebunan andalan, kopi memegang peranan penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai sumber pendapatan para petani dan sumber devisa negara. Saat ini, Indonesia menjadi negara produsen kopi terbesar keempat setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam. Dari total komoditas kopi yang diproduksi di Indonesia, sekitar 67% digunakan untuk keperluan ekspor dan sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menurut hasil survei LPEM UI pada tahun 1989, konsumsi kopi di Indonesia adalah sebesar 500g/kapita/tahun. Dalam kurun waktu 20 tahun dari tahun 2000 – 2011, angka tersebut mengalami peningkatan. Sebagai negara produsen, ekspor menjadi sasaran utama pemasaran produk-produk kopi yang dihasilkan Indonesia, di antaranya ke negara-negara tujuan ekspor seperti USA, negara-negara Eropa dan Jepang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kopi Indonesia (2000 – 2011) Luas Area (Ha)
Produksi (ton)
PR/ Small
PBN/
PBS/
Jumlah/
Holders
Government
Private
Total
2000
1,192,322
40,645
27,720
1,260,687
2001
1,258,628
26,954
27,801
2002
1,318,020
26,954
2003
1,240,222
2004
PR/
PBN/
PBS/
Jumlah/
Government
Private
Total
514,896
29,754
9,924
554,574
1,313,383
541,476
18,111
9,647
569,234
27,210
1,372,184
654,281
18,128
9,610
682,019
26,597
25,091
1,291,910
644,657
17,007
9,591
671,255
1,251,326
26,597
26,020
1,303,943
618,227
17,025
12,1344
647,386
2005
1,202,392
26,641
26,239
1,255,272
615,556
17,034
7,775
640,365
2006
1,255,104
26,644
26,983
1,308,731
653,261
17,017
11,880
682,158
2007
1,243,429
23,721
28,761
1,295,911
652,336
13,642
10,498
676,476
2008
1,236,842
22,442
35,826
1,295,110
669,942
17,332
10,742
698,016
2009
1,217,506
22,794
25,935
1,266,235
653,918
14,387
14,285
682,590
2010
1,219,802
22,738
25,936
1,268,476
655,399
14,391
14,286
684,076
2011
1,254,921
23,167
29,912
1,308,000
679,366
14,493
15,141
709,000
Tahun
Small Holders
Sumber: http://ditjenbun.deptan.go.id dalam Anggara et al. 2011
Salah satu kunci keberhasilan budidaya kopi yaitu digunakannya bahan tanam unggul sesuai dengan kondisi agroklimat tempat penanaman. Kondisi lingkungan perkebunan kopi di Indonesia sangat beragam dan setiap lingkungan tersebut memerlukan adaptabilitas spesifik dari bahan tanam yang dianjurkan. Pada tanaman kopi, iklim dan tanah sangat berpengaruh terhadap perubahan morfologi, pertumbuhan dan daya hasil. Tabel 4. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kopi di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2008 s/d Maret 2012 Luas Areal (Ha)
Produksi (Ton)
Kecamatan 2008
2009
2010
2011
2012
2008
Tapa
11,40
11,40
11,40
11,40
11,40
6,00
Bulango Utara
2009
2010
2011
2012
3.00
*
*
0,20
32,00
32,00
32,00
32,00
32,00
17,00
8.00
*
*
0,40
Bulango Selatan
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0.00
*
0,00
0,00
Bulango Timur
0,00
0,00
6,20
6,20
6,20
0,00
0.00
*
*
0,50
30,40
30,40
30,40
30,40
30,40
14,00
5.00
*
*
0,40
1,00
0.60
*
*
0,30
Bulango Ulu Suwawa
1,20
1,20
1,20
1,20
1,20
Suwawa Tengah
10,70
10,70
10,70
10,70
10,70
6,00
2.50
*
*
0,20
Suwawa Timur
306,2
306,2
307,0
307,0
307,0
177,00
120.00
*
*
15,00
Suwawa Selatan
19,03
19,03
19,03
19,03
19,03
7,00
3.00
*
*
0,30
Kabila
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0.00
*
0,00
0,00
Tilongkabila
30,45
30,45
30,45
30,45
30,45
11,00
7.00
*
*
0,00
Botupingge
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0.00
*
0,00
0,00
Kabila Bone
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0.00
*
0,00
0,00
Bone Pantai
10,00
10,00
30,00
30,00
30,00
5,00
3.50
*
1,20
*
Bulawa
0,00
7,00
36,00
36,00
36,00
0,00
2.00
*
1,60
*
Bone Raya
15,00
15,00
15,00
15,00
15,00
7,00
3.00
*
1,20
*
Bone
20,00
20,00
20,00
20,00
20,00
9,00
6.50
*
2,00
*
486,38
493,38
549,38
549,38
549,38
260,00
164.10
*
6,00
17,30
Jumlah
Sumber:
Dinas Pertanian, Perkebunan, Ketahanan Pangan, dan Peternakan Kabupaten Bone Bolango (2012)
Ket: * Tidak ada data
2.6 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra 2000). Sedangkan menurut menurut Anon dalam Sastrohartono (2011) Sistem Informasi geografi adalah suatu sistem informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Sistem Informasi Geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem manual (analog), dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem Informasi manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan laporan survei lapangan. Semua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa komputer. Sedangkan Sistem Informasi Geografis otomatis telah menggunakan komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi dan data lain dapat berupa peta dasar terdigitasi. Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi Geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau objek. Ciri utama yang bisa dimanfaatkan dalam Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat dengan lokasi dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta. Sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial. Penyajian data spasial mempunyai tiga cara
dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang koordinat x, y yang menunjukkan lokasi suatu objek berupa ketinggian, lokasi kota, lokasi pengambilan sampel dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan titik-titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur dan lain-lain. Sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya: batas daerah, batas penggunaan lahan, pulau dan lain sebagainya Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat (grid)/sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau area (polygon) (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Anon (2003) ada beberapa alasan mengapa perlu menggunakan SIG, diantaranya adalah: 1.
SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi;
2.
SIG dapat digunakan sebagai alat bantu interaktif yang menarik dalam usaha meningkatkan pemahaman mengenai konsep lokasi, ruang, kependudukan, dan unsur-unsur geografi yang ada dipermukaan bumi;
3.
SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data;
4.
SIG memiliki kemampuan menguraikan unsur-unsur yang ada dipermukaan bumi kedalam beberapa layer atau coverage data spasial;
5.
SIG memiliki kemapuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atributnya;
6.
Semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif;
7.
SIG dengan mudah menghasilkan peta-peta tematik;
8.
Semua operasi SIG dapat di costumize dengan menggunakan perintahperintah dalam bahasa script;
9.
Peragkat lunak SIG menyediakan fasilitas untuk berkomunikasi dengan perangkat lunak lain;
10.
SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang spasial dan geoinformatika;
11.
Meng-customize aplikasi dengan menggunakan bahasa script atau bahasa pemrograman sederhana;
12.
Melakukan fungsi-fungsi SIG khusus lainnya (dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak SIG ArcView). Barus dan Wiradisastra (2000) juga mengungkapkan bahwa SIG adalah alat
yang handal untuk menangani data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan. Sarana utama untuk penanganan data spasial adalah SIG. SIG didesain untuk menerima data spasial dalam jumlah besar dari berbagai sumber dan mengintergrasikannya menjadi sebuah informasi, salah satu jenis data ini adalah data pengindraan jauh. Pengindraan jauh mempunyai kemampuan menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah besar. Barus dan Wiradisastra (2000) mengatakan bahwa SIG akan memberi nilai tambah pada kemampuan pengindraan jauh dalam menghasilkan data spasial yang besar dimana pemanfaatan data pengindraan jauh tersebut tergantung pada cara penanganan dan pengolahan data yang akan mengubahnya menjadi informasi yang berguna.