BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Produktivitas Kerja Kondisi kesehatan yang baik merupakan potensi untuk meraih produktivitas kerja yang baik pula. Tenaga kerja yang sakit atau mengalami gangguan kesehatan menurun dalam kemampuan bekerja fisik, berfikir, atau melaksanakan pekerjaan sosial-kemasyarakatan
sehingga
hasil
kerjanya
berkurang.
Secara
teknis
produktivitas dinilai dari perbandingan antara keluaran (output) terhadap masukan (input) (Sumamur, 2009). Menurut Sagir (1990) dalam Aziiza (2008), produktivitas kerja merupakan ukuran keberhasilan pekerja menghasilkan suatu produk dalam satuan waktu tertentu. Seorang tenaga kerja dinilai produktif bila tenaga kerja tersebut mampu menghasilkan keluaran yang lebih banyak dibanding tenaga kerja lainnya dalam suatu waktu yang sama, atau apabila tenaga kerja tersebut menghasilkan keluaran yang sama dengan menggunakan sumberdaya yang sedikit. Pengukuran produktivitas tenaga kerja secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut: Produktivitas tenaga kerja = Jumlah Hasil Produksi Satuan waktu Menurut Ravianto (1985), produktivitas kerja dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan; nilai, sikap dan motivasi kerja serta tingkat upah yang diterima pekerja. Adityana (2013), melaporkan bahwa terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas pada tenaga kerja wanita bagian giling rokok di PT. Nojorono Kudus. Aziiza (2008), menemukan hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan 8
9
produktivitas kerja. Pandapotan (2013), juga mendapatkan bahwa pendidikan, upah, masa kerja dan usia memiliki pengaruh terhadap produktivitas karyawan di PT. Gandum Malang. Wisnoe (2005), menyatakan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yang mempunyai peranan sangat penting dan menentukan adalah kecukupan zat gizi. Faktor ini akan menentukan prestasi kerja tenaga kerja karena adanya kecukupan dan penyebar kalori yang seimbang selama bekerja. Sinungan (2005), membagi menjadi dua kelompok syarat bagi produktivitas perorangan yang tinggi: 1. Kelompok pertama a.) Tingkat pendidikan dan keahlian b.) Jenis teknologi dan hasil produksi c.) Kondisi kerja d.) Kesehatan, kemampuan fisik dan mental 2. Kelompok kedua a.) Sikap mental (terhadap tugas), teman sejawat dan pengawas b.) Keanekaragam tugas c.) Sistem insentif (sistem upah dan bonus) d.) Kepuasan kerja INACG (2004) dalam Briawan (2012), menyebutkan konsekuensi utama anemia adalah menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa. Defisit zat besi, baik anemia maupun non-anemia akan menurunkan produktivitas kerja pada orang dewasa (physical activity). Akibat dari defisiensi besi menyebabkan permasalahan kesehatan masyarakat yaitu menurunnya kemampuan fisik dan jiwa sehingga mengakibatkan penurunan produtivitas (Gandy et al, 2012).
10
Menurut hasil penelitian Widiastuti (2011), faktor –faktor determinan produktivitas kerja pada pekerja wanita adalah asupan energi, IMT, dan kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin (Hb) merupakan faktor yang paling berhubungan dengan produktivitas kerja.
2.2 Anemia 2.2.1 Pengertian Anemia Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) dan /atau massa hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (Bakta, 2007). Tabel 2.1 Nilai Cut of Points Kategori Anemia Kelompok Umur Nilai (g/dL) Anak usia 6 bulan – 5 tahun
11,0
Anak usia 5 – 11 tahun
11,5
Anak usia 12 – 13 tahun
12,0
Wanita dewasa
12,0
Wanita hamil
11,0
Laki – laki
13,0
Sumber: WHO, UNICEF (1998), dalam Fatmah (2012) Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat dan atau vitamin B12, semuanya berakar pada asupan yang tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk), dan kecacingan yang masih tinggi. Anemia gizi adalah keadaan kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah dibawah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan esensial yang dapat memengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (Arisman, 2010). Anemia ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit nilai ambang batas yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah
11
merah (eritrosit) dan Hb, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah yang berlebihan (Fatmah, 2012). Anemia yang paling sering terjadi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan asupan zat besi dan zat gizi lain serta rendahnya tingkat penyerapan penyerapan zat besi (MOST, 2004 dalam Briawan, 2012). Selain defisiensi zat besi, anemia juga terjadi karena defisiensi vitamin A, vitamin C, asam folat, vitamin B12, atau karena kekurangan zat gizi secara umum (Beard, 2000 dalam Briawan, 2012). Mineral besi, vitamin B12, dan asam folat merupakan nutrisi yang penting dalam pembentukan sel darah. Kekurangan ketiga unsur tersebut dapat menyebabkan anemia (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
2.2.2 Penyebab Anemia Anemia terjadi karena berbagai penyebab yang berbeda di setiap wilayah/ negara. Akan tetapi yang paling sering terjadi, anemia disebabkan oleh (Briawan, 2012): 1. Rendahnya asupan zat besi dan zat gizi lainnya, yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi pangan sumber zat besi. Zat gizi lain yang menyebabkan terjadinya anemia adalah kekurangan vitamin A, C, B12, folat, dan riboflavin. 2. Penyerapan zat besi yang rendah, disebabkan komponen penghambat di dalam makanan seperti fitat. Rendahnya zat besi pada pangan nabati, menyebabkan zat besi tidak dapat diserap dan digunakan oleh tubuh. 3. Malaria, terutama pada anak-anak dan wanita hamil. 4. Parasit, seperti cacing (hookworm) dan lainnya (skistosomiasis). 5. Infeksi, akibat penyakit kronis maupun sistemik (misalnya: HIV/AIDS). 6. Gangguan genetik, seperti hemoglobinopati dan sickle cell trait.
12
Menurut IDPAS (Iron Deficiency Project Advisory Services), penyebab anemia yang diadopsi dari Mayo Clinic dalam Briawan (2012), diantaranya: 1. Defisiensi zat besi (iron deficiency anemia). Sumsum tulang memerlukan zat besi untuk memproduksi hemoglobin darah. Sebenarnya, darah mengandung zat besi yang dapat didaur ulang. Akan tetapi kehilangan darah yang cukup banyak, seperti saat menstruasi, kecelakaan, dan donor darah berlebihan dapat menghilangkan zat besi dari dalam tubuh. Wanita yang menstruasi setiap bulan beresiko menderita anemia. Kehilangan darah secara pelan-pelan didalam tubuh, seperti ulserasi, polip kolon dan kanker kolon juga dapat menyebabkan anemia. Asupan diet yang rendah zat besi, atau rendahnya penyerapan zat besi di dalam usus karena gangguan usus atau operasi usus, juga dapat menyebabkan anemia. 2. Defisiensi vitamin (vitamin deficiency anemia). Selain zat besi, tubuh memerlukan asam folat dan vitamin B12 untuk memproduksi sel darah merah yang cukup. Rendahnya vitamin tersebut di dalam makanan dapat menyebabkan penurunan produksi sel darah merah. Seseorang yang mengalami gangguan penyerapan vitamin ini juga dapat menderita anemia jenis ini. Gangguan usus seperti Crohn diseases atau celiac disease akan menyebabkan gangguan penyerapan zat gizi di dalam usus halus. Beberapa orang yang mengalami gangguan penyerapan vitamin B12 akan menderita anemia akibat defisiensi vitamin B12 (pernicious anemia). Anemia akibat defisiensi vitamin ini termasuk di dalam anemia megaloblastik, yaitu sumsum tulang memproduksi sel darah yang besar dan abnormal. Menurut Fatmah (2012), penyebab utama anemia pada wanita adalah kurang memadainya asupan makanan sumber Fe, meningkatnya kebutuhan Fe saat hamil
13
dan menyusui (perubahan fisiologi), dan kehilangan banyak darah. Anemia yang disebabkan oleh ketiga faktor itu terjadi secara cepat saat cadangan Fe tidak mencukupi peningkatan kebutuhan Fe. Wanita usia subur (WUS) adalah salah satu kelompok risiko tinggi terpapar anemia karena mereka tidak memiliki asupan atau cadangan Fe yang cukup terhadap kebutuhan dan kehilangan Fe. Adapun faktor – faktor yang memengaruhi kejadian anemia yaitu : 1. Asupan Fe yang tidak memadai Hanya sekitar 25% WUS memenuhi kebutuhan Fe sesuai AKG (26 mikogram/hari). Secara rata-rata, wanita mengonsumsi 6,5 µg Fe per hari melalui diet makanan. Kecukupan intake Fe tidak hanya dipenuhi dari konsumsi makanan sumber Fe (daging sapi, ayam, ikan, telur, dan lan – lain), tetapi dipengaruhi oleh variasi penyerapan Fe. Variasi ini disebabkan oleh perubahan
fisiologis
tubuh
seperti
hamil
dan
menyusui
sehingga
meningkatkan kebutuhan Fe bagi tubuh, tipe Fe yang dikonsumsi, dan faktor diet yang mempercepat (enhancer) dan menghambat (inhibitor) penyerapan Fe. Inhibitor utama penyerapan Fe adalah fitat dan polifenol. Fitat terutama ditemukan pada biji – bijian sereal, kacang, dan beberapa sayuran seperti bayam. Polifenol dijumpai dalam minuman kopi, teh, sayuran dan kacang – kacangan. Enhancer penyerapan Fe antara lain vitamin C dan protein hewani dalam daging sapi, ayam, ikan karena mengandung asam amino pengikat Fe untuk meningkatkan absorpsi Fe. 2. Kehilangan Banyak Darah Pada wanita, kehilangan darah terjadi melalui menstruasi. Efek samping atau akibat kehilangan darah ini tergantung pada jumlah darah yang keluar dan cadangan Fe dalam tubuh. Rata –rata seorang wanita mengeluarkan darah 27
14
ml setiap siklus menstruasi 28 hari. Diduga 10% wanita kehilangan darah lebih dari 80 ml per bulan. Banyaknya darah yang keluar berperan pada kejadian anemia karena wanita tidak mempunyai persediaan Fe yang cukup dan absorpsi Fe ke dalam tubuh tidak dapat menggantikan hilangnya Fe saat menstruasi. Perdarahan patologis akibat penyakit /infeksi parasit seperti cacingan dan saluran pencernaan berhubungan positif terhadap anemia. Transfusi darah adalah faktor nonpatologis timbulnya perdarahan karena orang yang menyumbangkan darahnya (umumnya wanita) memiliki konsentrasi Fe yang rendah. Menurut Suhardjo et al (1990), berikut adalah faktor – faktor tidak langsung yang mempengaruhi status anemia diantaranya: 1. Pengetahuan Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap perilaku dalam memilih makanan yang akan berdampak pada asupan gizinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan sangat penting peranannya dalam menentukan asupan makanan. Dengan adanya pengetahuan tentang gizi, masyarakat akan tahu bagaimana menyimpan dan menggunakan pangan. Memperbaiki konsumsi pangan merupakan salah satu bantuan terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu penghidupan. 2. Pendapatan Peningkatan pendapatan rumah tangga terutama bagi kelompok rumah tangga miskin dapat meningkatkan status gizi, karena peningkatan pendapatan tersebut memungkinkan mereka mampu membeli pangan berkualitas dan berkuantitas yang lebih baik. Keadaan ekonomi merupakan faktor yang penting dalam menentukan jumlah dan macam barang atau pangan yang
15
tersedia dalam rumah tangga. Bagi negara berkembang, pendapatan adalah faktor penentu yang penting terhadap status gizi. Rendahnya pendapatan (keadaan miskin) merupakan salah satu sebab rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi. Kurang gizi akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, menurunkan produktivitas kerja dan pendapatan. Akhirnya masalah pendapatan rendah, kurang konsumsi, kurang gizi dan rendahnya mutu hidup membentuk siklus yang berbahaya. Gejala anemia secara umum menurut University of North California (2002) dalam Briawan (2012) : 1. Cepat lelah 2. Pucat (kulit, bibir, gusi, mata, kulit kuku, dan telapak tangan) 3. Jantung berdenyut kencang saat melakukan aktivitas ringan 4. Nyeri dada 5. Pusing dan mata berkunang 6. Cepat marah 7. Tangan dan kaki dingin atau mati rasa
2.2.3 Anemia Pada Tenaga Kerja Wanita Prevalensi anemia masih digolongkan tinggi pada kelompok tenaga kerja terutama tenaga kerja wanita. Dibuktikan dari beberapa penelitian diantaranya hasil penelitian Widi et al (2013), terdapat 37,5% pekerja wanita yang menderita anemia pada unit garmen PT. Apac Inti Corpora Bawen Semarang. Sihombing dan Riyadina (2009), melaporkan prevalensi anemia pada pekerja wanita di tujuh Perusahaan Pulo Gadung sebesar 32,1%. Widiastuti (2011), melaporkan ditemukan sebanyak 37,5% pekerja wanita yang termasuk dalam katagori anemia. Penelitian terhadap pekerja
16
wanita di bagian ironing perusahaan garmen di Semarang menunjukkan prevalensi anemia sebesar 36,4% (Mardiana et al, 2012). Penderita anemia pada usia produktif tersebut akan berakibat pada menurunnya produktivitas kerja sebanyak 20 – 30% (BAPPENAS, 2011). Hasil penelitian Manurung (2014), menunjukkan bahwa wanita pekerja informal dengan kadar Hb normal mempunyai kemungkinan 9 kali akan memiliki produktivitas kerja yang baik, dibandingkan dengan wanita pekerja informal yang memiliki kadar Hb yang rendah. Masalah gizi pada tenaga kerja yang ditemui khususnya tenaga kerja golongan rendah, yaitu defisiensi gizi terutama defisiensi energi di samping defisiensi zat gizi mikro seperti vitamin dan zat besi. Keadaan khas yang mendorong terjadinya masalah gizi tersebut diantaranya adalah jam kerja yang panjang yaitu antara 8 – 9 jam sehari menyerap seluruh cadangan energi dalam tubuh mereka. Selain itu pengawasan kerja yang sangat ketat tidak memungkinkan mereka untuk sejenak berhenti bekerja untuk makan, sedang waktu istirahat baru tiba setelah mereka bekerja empat atau lima jam. Waktu istirahat yang disediakan sangat terbatas yaitu sekitar setengah sampai satu jam. Waktu yang singkat itu digunakan untuk istirahat, untuk makan dan lainnya. Para pekerja makan secara terburu – buru dengan makanan yang seadanya sekadar untuk menghilangkan lapar. Dalam keadaan demikian tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. Upah yang para pekerja terima juga sangat terbatas sehingga jauh kemungkinan bagi mereka untuk membeli makanan sesuai kebutuhan gizi mereka (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
2.2.4 Cara Mengukur Anemia Dilakukan pendekatan diagnostik secara bertahap untuk mengetahui penyebab anemia, dengan mengumpulkan data klinis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium.
17
Keadaan anemia bukan merupakan suatu penyakit tetapi suatu keadaan yang ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dibawah normal (Indriawati, 2002). Pada umumnya pemeriksaan kadar Hb dilapangan menggunakan 3 metode diantaranya adalah metode sahli, kertas saring (talquist) dan Hemocue. Tetapi metode umum yang direkomendasikan untuk digunakan dalam survei prevalensi anemia
pada
populasi
adalah
haemogloblinometri
dengan
metode
cyanmethemoglobin dilaboratorium dan sistem Hemocue (UNICEF, WHO, 2001 dalam Indriawati, 2002). 1. Pemeriksaan kadar Hb dengan metode talquist dilakukan dengan cara sebagai berikut: a.
Darah dihisap dengan kertas hisap sampai meresap betul dan ditunggu 12 menit dengan kertas hisap sampai Hb menjadi HBO2 secara optimal, yang warnanya lebih tua dibandingkan warna darah diawal penghisapan dikertas saring.
b. Kemudian bercak darah yang didapatkan, ditempatkan dibawah lubang dari skala berwarna untuk disamakan. Pembacaan hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinar matahari. Perincian pembacaan skala (dibandingkan dengan metode sahli) yaitu 100% = 16 gram / 100 ml. Pemeriksaan dengan metode talquist ini tidak begitu akurat dan hanya dilakukan untuk mengetahui kekurangan Hb secara kasar saja. 2. Pemeriksaan kadar Hb dengan menggunakan metode sahli adalah sebagai berikut: a. Tabung diisi dahulu dengan 0,1 N HCL sampai tanda 2, kemudian darah diserap dihisap dengan menggunakan pipet sampai tanda 20 dan sebelum menjedal segera dihembuskan kedalam tabung. Untuk membersihkan sisa
18
- sisa darah didalam pipet maka HCL didalam tabung dihisap dan dihembuskan lagi sampai tiga kali. b. Tunggu 1 – 2 menit, berturut – turut akan terjadi hemolisis eritrosit, dan Hb yang dipecah akan menjadi hem dan globin. Kemudian hem dengan HCL akan membentuk hematicin – HCL yang merupakan senyawa yang lebih stabil di udara dibandingkan dengan Hb yang berwarna coklat. c. Dengan pipet penetes, hematicin – HCL diencerkan sampai warnanya sesuai dengan warna standar. Kadar Hb dapat ditentukan dengan membaca skala pada tabung. Jadi pada prinsipnya metode sahli dilakukan dengan mengencerkan darah menggunakan larutan HCL sehingga Hb berubah menjadi hemanitin asam. Larutan campuran tersebut dilarutkan dengan akuades sampai warnanya sama dengan warna batang gelas standar, kadar Hb dapat ditentukan. Metode cyanmethemoglobin untuk menentukan kadar Hb adalah metode laboratorium terbaik untuk pemeriksaan kuantitatif Hb, sehingga dianjurkan oleh WHO. Metode ini merupakan rujukan untuk perbandingan dan standarisasi metode metode yang lainnya. Caranya adalah : sejumlah darah dilarutkan dengan reagen (larutan Drabkin) dan kadar Hb akan diketahui setelah beberapa waktu secara akurat, dengan bantuan fotometer. 3. Pemeriksaan kadar Hb dengan sistem Hemocue: Sistem Hemocue adalah metode kuantitatif yang reliabel untuk menentukan kadar
Hb
pada
survei
dilapangan,
yang
didasari
oleh
metode
cyanmethemoglobin. Sistem Hemocue terdiri dari perangkat yang portabel, fotometer yang diaktifkan dengan baterai, dan sejumlah cuvet untuk pengumpulan darah. Sistem ini unik untuk survei cepat dilapangan karena
19
tidak perlu menambahkan larutan reagen untuk satu kali pengumpulan darah dan pengukuran Hb. Staf survei lapangan yang bukan tenaga laboratorium pun bisa dengan mudah dilatih untuk menggunakan sistem ini. Cara cyanmethemoglobin pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosida menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianisida (CN2) membentuk ion sian-methemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Oleh karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Namun fotometer saat ini masih cukup mahal, sehingga belum semua laboratorium memilikinya.
2.3 Kecukupan Zat Gizi Zat gizi adalah bahan dasar yang menyusun bahan makanan. Zat gizi yang dikenal ada lima, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Makanan setelah dikonsumsi mengalami proses pencernaan di dalam alat pencernaan. Bahan makanan diuraikan menjadi zat gizi atau nutrien (Sudiarti dan Indrawani, 2012). Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif . Parameter kualitatif meliputi nilai sosial, ragam jenis bahan makanan, dan cita rasa, sedangkan parameter kuantitatif adalah komposisi zat gizi. Berbagai zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak maupun kelompok zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral merupakan komponen bahan makanan (Muhilal et al, 1998). Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan adalah Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ FFQ). Secara umum survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan, gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi seseorang. Metode SQ FFQ selain menanyakan
20
frekuensi konsumsi juga menanyakan jumlah yang biasa dikonsumsi. Langkahlangkah dalam wawancara SQ FFQ sama seperti dalam FFQ kualitatif namun dinyatakan lebih lanjut kepada responden mengenai jumlah yang dikonsumsi dari setiap item bahan makanan. SQ FFQ dapat digunakan untuk menghitung rata-rata konsumsi zat gizi dari subyek yang diteliti (Supariasa et al, 2013). Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) adalah banyaknya masingmasing zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, genetika, dan keadaan fisiologis, seperti hamil atau menyusui. AKG didasarkan pada patokan berat badan menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Patokan berat badan didasarkan pada berat badan yang mewakili sebagian penduduk yang sehat. Dalam penggunaannya bila terdapat penyimpangan berat badan dapat dilakukan koreksi dengan berat badan nyata individu/perorangan tersebut (Sudiarti dan Utari, 2012). Berbagai zat gizi dapat saling berinteraksi. Oleh karena itu, perlu upaya suatu keseimbangan zat gizi yang dikonsumsi. Semakin bervariasi hidangan yang dikonsumsi, maka semakin mudah tercapai keseimbangan. Pedoman yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI (1995) dikenal sebagai PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang) dapat digunakan sebagai panduan dalam memenuhi kecukupan zat gizi.
2.3.1 Energi Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup guna menunjang proses pertumbuhan dan melakukan aktivitas harian. Makanan yang mengandung karbohidrat, lemak, dan protein digunakan sebagai sumber energi untuk kegiatan
21
tersebut. Kebutuhan energi untuk setiap orang berbeda-beda. Energi yang masuk melalui makanan harus seimbang dengan kebutuhan energi seseorang. Satuan energi biasa dinyatakan dalam unit panas dengan satuan kilokalori (Kkal) (Sudiarti dan Indrawani, 2012). Kebutuhan energi pada usia dewasa menurun sesuai dengan bertambahnya usia, yang disebabkan oleh menurunnya metabolisme basal dan berkurangnya aktivitas fisik. Usia dewasa muda berkisar 19-49 tahun merupakan usia produktif, banyak kegiatan fisik yang dilakukan sehingga kebutuhan energi kelompok ini lebih tinggi dibandingkan usia 50-64 tahun (Manurung, 2014). Berdasarkan AKG 2013, energi pada perempuan berturut – turut adalah 2250 Kkal pada usia 19-29 tahun, 2150 Kkal pada usia 30-49 tahun dan 1900 Kkal pada usia 50-64 tahun. Menurut hasil penelitian Widiastuti (2011) dan Manurung (2014), terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan produktivitas kerja pekerja wanita.
2.3.2 Protein Protein merupakan faktor penting untuk menjalankan fungsi – fungsi tubuh. Selain sebagai sumber energi, protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh dan zat pengatur di dalam tubuh. Selain zat pembangun, fungsi utamanya bagi tubuh adalah membentuk jaringan baru, disamping untuk memelihara jaringan yang telah ada (Muchtadi, 2009). Unit pembangunan dalam semua jenis protein adalah asam amino (AA). Berbagai jenis asam amino membangun sel dan jaringan tubuh yang sangat spesifik diantaranya adalah hemoglobin dalam sel darah merah (Sudiarti dan Indrawani, 2012).
22
Ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian anemia. Konsumsi protein yang cukup terutama yang berasal dari hewan akan meningkatkan absorbsi dan ketersediaan zat besi dalam tubuh (Raharjo, 2003). Berdasarkan hasil penelitian Manurung (2014), juga menemukan hubungan yang bermakna anatara konsumsi zat gizi protein dengan produktivitas kerja pada pekerja wanita informal.
2.3.3 Zat Besi Zat besi (Fe) adalah salah satu mineral yang merupakan bagian penting dari hemoglobin, myoglobin, dan enzim, namun zat gizi ini tergolong esensial sehingga harus disuplai dari makanan. Di dalam tubuh Fe terutama terdapat sekitar 70% Fe dalam hemoglobin, dan 29% dalam feritin. Absorbpsi Fe dalam pencernaan dipengaruhi oleh simpanan serta hal-hal lain terkait dengan cara Fe dikonsumsi. Sumber utama Fe adalah pangan hewani terutama berwarna merah, yaitu hati dan daging, sedangkan sumber lain adalah sayuran berdaun hijau. Pangan hewani relatif lebih tinggi tingkat absorpsinya yaitu 20-30% dibandingkan pangan nabati hanya 17%. Kekurangan Fe dapat menyebabkan anemia mikrositik. Dalam hemoglobin, Fe akan mengikat empat oksigen, sehingga gejala kekurangan Fe akan menyebabkan rendahnya peredaran oksigen dalam tubuh sehingga mengakibatkan mudah pusing, lelah, letih, lesu dan turunnya konsentrasi berpikir sehingga berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Simpanan Fe dalam tubuh sangat diperlukan terutama pada wanita untuk menjaga keseimbangan pada saat kekurangan konsumsi Fe. Kehilangan Fe per hari sekitar 1 mg, namun pada wanita kehilangan bisa mencapai dua kali lipat disebabkan oleh menstruasi (Sudiarti dan Utari, 2012). Fungsi utama zat besi bagi tubuh adalah membawa (sebagai carrier) oksigen dan karbondioksida, serta berperan dalam pembentukan sel darah merah (Muchtadi, 2009).
23
2.3.4 Vitamin A Vitamin A dikenal dengan nama lain akseroftol (axerophtol), asam retinoat (retinoic acid), retinal, retinol dan dehidroretinol (Muchtadi D, 2009). Vitamin A pertama kali ditemukan sebagai vitamin larut lemak dan digunakan sebagai nama generik untuk retinol dan semua provitamin. Sifat kimia vitamin A antara lain berbentuk kristal alkohol berwarna kuning, larut pelarut lemak. Dalam makanan biasa terikat dengan lemak rantai panjang. Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan larutan alkali, tetapi tidak tahan asam dan oksidasi. Bentuk aktif vitamin A hanya pada makanan hewani. Satuan yang digunakan untuk vitamin A 1 µg (mikro gram) Retinol Ekuivalen (RE) = 1 µg retinol = 6ug beta karoten = 12 µg karoten lain = 3,3 SI retinol = 9,9 SI (Satuan Internasional) beta karoten. Absorpsi karoten dan retinol membutuhkan empedu dan cairan pankreas. Dalam mukosa usus halus ester retinil dihidrolisa enzim pankreas menjadi retinol dan karoten dipecah menjadi retinol. Hati sebagai tempat penyimpanan vitamin A dapat bertahan sampai enam bulan (Syafiq, 2012). Vitamin A dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus (MIP, 2000 dalam Briawan, 2012). Vitamin A
menjadi penyebab sekitar 4-10% variasi
konsentrasi hemoglobin. Peningkatan Hb terlihat signifikan dengan pemberian suplementasi vitamin A 240 RE per hari, dan meningkat jika dikombinasikan bersama dengan zat besi. Vitamin A yang cukup akan membantu pemeliharaan zat besi di dalam plasma dan jaringan, yang akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel darah merah (Briawan, 2012). Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan anemia melalui efek pada metabolisme besi, hematopoiesis, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Beberapa penelitian gizi dari seluruh dunia menunjukkan hubungan yang erat antara
24
kekurangan vitamin A dan anemia. Ada bukti yang jelas dari hubungan antara serum retinol dan indikator zat besi dan kekurangan vitamin A dianggap sebagai salah satu penyebab anemia (Jusat et al, 2013).
2.3.5 Vitamin C Vitamin C yang disebut juga sebagai asam askorbat merupakan vitamin yang larut dalam air. Vitamin C berperan pada penyerapan zat besi di usus dan mobilisasi dari penyimpanan dalam feritin. Suplementasi vitamin C meningkatkan penyerapan zat besi dari pangan nabati (non-heme) (Briawan, 2012). Vitamin C juga mengkatalisis perubahan asam folat inaktif menjadi bentuk aktifnya, karena asam folat berfungsi antara lain untuk mencegah timbulnya anemia (menormalkan proses pembelahan sel darah merah) (Muchtadi, 2009). Karena vitamin C termasuk antioksidan, vitamin ini melindungi sel darah merah dari radikal bebas (MIP, 2000 dalam Briawan, 2012). Terdapat beberapa faktor yang mempermudah dan menghambat absorbsi zat besi dalam tubuh. Konsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C sangat berperan dalam absorpsi besi dengan jalan meningkatkan absorpsi zat besi non heme hingga empat kali lipat (Husaini, 1989 dalam Argana et al, 2004). Dalam penelitian Argana et al (2004) menyebutkan bahwa semakin sering seseorang mengonsumsi vitamin C, maka semakin tinggi kadar Hb. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa setiap bertambahnya frekuensi konsumsi vitamin C sebanyak satu kali akan meningkatkan kadar Hb sebesar 0,06 g/dL. Hasil penelitian Manurung (2014), menunjukkan bahwa wanita pekerja informal dengan kadar Hb normal mempunyai kemungkinan 9 kali akan memiliki produktivitas kerja yang baik.
25
2.4 Teori Lawrence Green Sebuah teori dikembangkan oleh Lawrence Green pada tahun 1980 dalam Notoadmojo (2007), menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Ada dua faktor pokok yang mempengaruhi kesehatan seseorang, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes). Perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor, faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. 1. Faktor – faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. 2. Faktor – faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas – fasilitas dan sarana – sarana. 3. Faktor – faktor penguat (reinforcing factor) yang berhubungan dengan peraturan - peraturan, pengawasan, dan sebagainya. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut : B = f (PF, EF, RF) Keterangan: B
= Behavior
PF
= Predisposing factors
EF
= Enabling factors
RF
= Reinforcing factors
f
= fungsi