16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Hak Atas Tanah a. Pengertian Hak Atas Tanah Secara yuridis pengertian tanah dijelaskan dalam pasal 1 ayat (4) UUPA, yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta berada di bawah air”. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (4) UUPA tersebut diatas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah permukaan tanah adalah permukaan bumi. Jadi disini dibedakan mengenai pengertian bumi dan tanah. Pengertian tanah menurut geografis adalah lapisan permukaan bumi yang bisa digunakan manusia untuk dipakai sebagai usaha. Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas, karenanya hak atas tanah bukan saja memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang disebut tanah, tetapi juga sebagian tubuh bumi yang dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya dengan pembatasan. Tetapi tubuh bumi dibawah tanah dan ruang angkasa yang ada di atasnya sendiri, bukan merupakan obyek hak atas tanah, bukan termasuk obyek yang dipunyai pemegang hak atas tanah. Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal yang diatur dalam Hukum Agraria dan didasarkan pada keberadaan hukum adat. Tanah merupakan asset yang sangat berharga dan penting pada sekarang ini serta banyak permasalahan yang timbul dan bersumber dari hak atas tanah. Untuk mengantisipasinya dan mencegah permasalahan yang mungkin timbul maka pemilik hak perlu mendaftarkan tanah yang menjadi haknya supaya tidak terjadi sengketa yang merugikan di kemudian hari.
16
17
Hak atas tanah suatu bidang tanah harus didaftarkan karena dengan mendaftarkan hak atas tanah yang kita miliki maka kepemilikan kita atas bidang tanah tersebut berkekuatan hukum. Menurut ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dikenal beberapa macam hak atas tanah, yaitu : 1) Hak Milik 2) Hak Guna Usaha 3) Hak Guna Bangunan 4) Hak Pakai 5) Hak Sewa 6) Hak Membuka Hutan 7) Hak Memungut Hasil Hutan 8) Hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkandengan undang-undang. Diantara hak-hak yang sudah disebut di atas, Hak Milik adalah hak yang sifatnya sangat khusus, yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki, tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan. Hak ini diperuntukkan khusus bagi Warga Negara Indonesia, baik untuk tanah yang diusahakan maupun untuk keperluan membangun diatasnya. Sifat hak ini tidak terbatas jangka waktunya, dapat beralih karena jual beli serta dapat dipindahkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Dapat pula dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Dalam Pasal 20 UUPA dinyatakan, bahwa Hak Milik adalah hak atas tanah yang “terkuat dan terpenuh”. Artinya diantara hak-hak atas tanah, hak miliklah yang tidak ada batas waktu penguasaan tanahnya dan luas lingkup penggunaannya. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa tanah itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Tetapi dengan pembatasan bahwa, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,
18
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA. Dalam memori penjelasan Pasal 6 tersebut ditegaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah boleh dipergunakan (atau tidak dipergunakan) sematamata untuk kepentingan pribadinya. Pemakaian (atau tidak dipakainya) tanah dengan cara merugikan atau menyebabkan dirugikannya masyarakat, tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti, bahwa tanah itu harus dipergunakan sesuai dengan keadaan dan sifat dari pada haknya. Dengan demikian barulah penggunaan itu dapat bermanfaat, baik bagi yang punya maupun bagi masyarakat dan negara. Fungsi sosial hak atas tanah dapat pula berarti bahwa tanah harus dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh setiap orang yang bersangkutan. Tanah harus dipelihara sedemikian rupa hingga kerusakan dapat dicegah dan kesuburannya bertambah. Dalam Pasal 15 UUPA ditegaskan bahwa siapa saja yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah yang bersangkutan harus memeliharanya, bukan hanya pemiliknya saja. Dengan adanya fungsi sosial ini tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan tidak ada artinya sama sekali. Dalam UUPA diperhatikan pula kepentingan perseorangan. Seperti yang dikemukakan dalam memori penjelasan tentang Pasal 6 ini, bahwa harus diadakan keseimbangan diantara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Kedua-duanya itu harus saling mengimbangi. Dengan demikian diharapkan tercapainya cita-cita yang diinginkan, yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Berbeda dengan Hak Milik, untuk hak atas tanah yang lain, seperti Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, merupakan hak atas tanah juga akan tetapi tujuan penggunaannya hanya dibatasi, misalnya untuk mendirikan bangunan, jadi tidak boleh misalnya hak ini dipergunakan untuk tanah pertanian, perkebunan, perikanan dan sejenisnya. Masa berlaku HGB pun dibatasi hanya 30 tahun, akan tetapi dapat diperpanjang selama 20 tahun, demikian seterusnya sepanjang mendapat persetujuan dari pemerintah, dapat
19
dibebani dengan hak tanggungan, diwariskan dan dijual beli tanpa harus meminta ijin dari pemerintah. Sedangkan Hak Pakai atas tanah negara masa berlakunya dibatasi paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang lagi 20 tahun serta demikian seterusnya sepanjang direstui oleh pemerintah. Penggunaannya jelas dibatasi hanya untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanahnya, namun tanah ini bisa dibebani dengan hak tanggungan, diwariskan atau dialihkan oleh pemegang haknya kepada pihak lain dengan syarat harus memperoleh persetujuan/ijin terlebih dahulu dari pemerintah. Pengertian hak untuk tanah-tanah yang belum bersertifikat lebih mengacu kepada hak seseorang yang telah memperoleh manfaat dari tanah yang dikuasai oleh negara. Dalam hal ini tanah tersebut masih dalam kekuasaan negara dan seseorang dapat menggarapnya untuk diusahakan. Tanah tersebut dapat beralih kepemilikannya setelah terlebih dahulu dimohonkan haknya dengan didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat sehingga tanah tersebut beralih menjadi tanah hak milik. Seorang yang menjadi pemegang hak atas tanah tidak dapat memberikan hak miliknya dengan begitu saja karena hak tersebut merupakan kewenangannya namun yang dapat dilakukannya adalah mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya. b. Pengertian Hak Milik Undang-Undang Pokok Agraria menjelaskan, pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 yaitu sebagai berikut : Ayat (1) : Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan inengingat ketentuan dalam Pasal 6. Ayat (2) : Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. lntinya, ciri hak milik adalah sebagai berikut : a) Turun-temurun
20
Hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya telah meninggal dunia maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. b) Terkuat dan terpenuh Kata-kata
“terkuat”
dan
“terpenuh”
dimaksudkan
untuk
membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang terkuat dan terpenuh (artinya: paling). c) Dapat beralih dan dialihkan Dari segi bahasa, ada perbedaan antara “beralih” dan “dialihkan”. Peristiwa “beralih” (bentuk aktif) dapat terjadi tanpa adanya sesuatu subjek yang melakukan pengalihan. Di sini, tidak diperlukan suatu subjek movens (menggerakkan). Hal tersebut berbeda dengan peristiwa “dialihkan” (bentuk pasif), yang harus ada suatu subjek movens. Misalnya, A menghibahkan atau menjual tanahnya kepada B. Dalam hal ini, A adalah subjek movens. Berpindahnya hak milik atas tanah karena dialihkan atau pemindahan hak harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali lelang dibuktikan dengan berita acara lelang yang dibuat oleh pejabat dan kantor lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah tersebut harus didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemilik tanah yang lama kepada pemilik tanah yang baru. Peralihan hak milik atas tanah, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing, kepada seseorang yang mempunyai dua kewarganegaraan, atau kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
21
Artinya, tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
2. Tinjauan Peralihan Hak Atas Tanah a. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Di dalam UUPA terdapat “jiwa dan ketentuan-ketentuan” yang harus dipergunakan sebagai ukuran bagi berlaku atau tidaknya peraturanperaturan yang lama, yang dalam hal ini harus dibatasi pada hal yang pokok-pokok saja, misalnya : 1) UUPA tidak menghendaki berlangsungnya dualisme dalam hukum agraria. 2) UUPA tidak mengadakan perbedaan antara Warga Negara Indonesia asli dan keturunan asing. 3) UUPA tidak mengadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam hubungannya dengan soal-soal agraria. 4) UUPA tidak menghendaki adanya exploitation de l’homme par l’homme (penghisapan manusia oleh manusia). Hukum Adat yang berlaku bukanlah Hukum Adat yang murni. Hukum Adat ini perlu disesuaikan dengan asas-asas dalam UUPA. Hukum Adat ini tidak boleh bertentangan dengan (Sudargo Gautama, 1981:16) : 1) Kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa. 2) Sosialisme Indonesia. 3) Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA. 4) Peraturan-peraturan perundangan lainnya. 5) Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk Menteri yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang tidak ada sanksinya bagi para pihak, namun para
22
pihak akan menemukan kesulitan praktis, yakni penerima hak tidak akan dapat mendaftarkan peralihan haknya sehingga tidak akan mendapatkan sertifikat atas namanya. Oleh karena itu, jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mengulangi prosedur peralihan haknya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tetapi cara ini tergantung dari kemauan para pihak yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditegaskan bahwa Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum dan dihadiri juga oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan ketentuan lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang mengatur bahwa terhadap bidang-bidang tanah yang belum bersertifikat, pembuatan akta dimaksud harus disaksikan oleh seorang kepala desa dan seorang pamong desa. Hal tersebut merupakan salah satu penyempurnaan peraturan pendaftaran tanah yang lama, khususnya untuk mewujudkan peran aktif pendaftaran tanah dalam rangka turut membangun desa tertinggal
dan
sekaligus
memberikan
sumbangsih
bagi
program
pengentasan kemiskinan. Hal ini berarti pula bahwa profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus sampai ke pelosok-pelosok tanah air, tidak hanya berkonsentrasi di pusat kota yang ramai (Soelarman Brotosoelarno, 1997:9).
23
b. Pengertian Jual Beli Tanah Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah. Dalam pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasioanl kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat. Hukum Adat yang dimaksud tentunya Hukum Adat yang telah di-saneer yang dihilangkan cacatcacatnya/disempurnakan. Jadi, pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasioanal kita adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat (Adrian Sutedi, 2009:71). Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang (Soerjono Soekanto, 1983:211). Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari harga tanah yang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas (hanya sebagian saja). Belum lunasnya pembayaran harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dianggap telah selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap
24
sebagai utang pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini merupakan hubungan utang piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun pembeli masih menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah tetap telah pindah dari penjual kepada pembeli saat terselesainya jual beli. Sedangkan dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan hibah wasiat.Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat. Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannyaa jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (buka perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan
hukum
yang
dilakukan
merupakan
perbuatan
hukum
25
pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang hak yang baru. Menurut KUH Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan sesuai dengan Pasal 1457. Adapun menurut pasal 1458, jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. c. Peralihan Hak Atas Tanah Karena Jual Beli Sebelum Berlakunya UUPA Sebelum berlakunya UUPA, terdapat dualisme dan pluralisme (maksudnya, berlaku hukum tanah barat, hukum tanah adat, hukum tanah antar golongan yakni hukum tanah yang memberikan pengaturan atau pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum antar golongan yang mengenai tanah
(Boedi Harsono, 2007:14), hukum tanah
administratif yakni hukum tanah yang beraspek yuridis administratif (Boedi Harsono, 2007:30), hukum tanah swapraja yakni hukum tanah di daerah-daerah Swapraja masih mempunyai sifat-sifat keistimewaan berhubung dengan struktur pemerintahan dan masyarakat yang sedikit atau banyak adalah lanjutan sistem feodal) dalam hukum tanah Indonesia. Pada saat itu telah dilangsungkan pendaftaran tanah yang berdasarkan Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie) yang termuat dalam Stb. 1834 Nomor 27. Peralihan hak berdasarkan Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie) ini dilakukan untuk tanahtanah dengan hak barat dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan KUHPerd dan pendaftarannya dilakukan berdasarkan Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie). Menurut Pasal 1457 KHUPerd apa yang disebut ”jual beli tanah” adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah, yang disebut ”penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan
26
haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut pembeli. Sedang pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Yang dijualbelikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang disebut ”tanah-tanah hak barat”, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom, Erfpacht, Opstal dan lain-lain. Biasanya jual belinya dilakukan dihadapan notaris, yang membuat aktanya (Ali Achmad Chomzah, 2004:25). Sebelum berlakunya Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie), peralihan hak dari penjual kepada pembeli terjadi sebelum peralihan hak itu didaftar pada dua orang saksi dari Dewan Schepen. Pendaftaran hanya merupakan syarat bagi berlakunya sesuatu peralihan hak yang telah terjadi terhadap pihak ketiga. Dengan adanya ketentuan Pasal 20 Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie), maka jual beli tidak lagi merupakan salah satu sebab dari peralihan hak, jual beli hanya merupakan salah satu dasar hukum (titel, causa) dari penyerahan, sedang peralihan hak baru terjadi setelah pendaftaran dilaksanakan. Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkan secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya (Pasal 1459 KUHPerd). Untuk itu wajib dilakukan perbuatan hukum lain, yang disebut ”penyerahan yuridis” (juridische levering), yang diatur dalam Pasal 616 dan 620 KUHPerd. Menurut Pasal-Pasal tersebut, penyerahan yuridis itu juga dilakukan di hadapan notaris, yang membuat aktanya, yang disebut dalam bahasa Belanda ”transport acte” (akta transport). Akta transport ini wajib didaftarkan pada Pejabat yang disebut ”penyimpan hypotheek”. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran itu hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli (Boedi Harsono, 2002:28). Untuk tanah-tanah dengan hak adat, peralihan haknya dilakukan berdasarkan hukum adat. Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai.terang berarti perbuatan pemindahan hak itu harus dilakukan di hadapan kepala
27
adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang (Soerjono Soekanto, 1983:211). Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer. Pemberian panjer tidak diartikan sebagai harus dilaksanakannya jual beli itu. Dengan demikian panjer di sini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadiakan dilaksanakannya jual beli. Dengan adanya panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Bila yang ingkar si pemberi panjer, panjer menjadi milik penerima panjer. Sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima panjer, panjer harus dikembalikan kepada pemberi panjer. Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan terang. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Dengan telah ditandatanganinya akta
28
tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya adalah surat jual beli tersebut (Andrian Sutedi, 2008:73). d. Setelah berlakunya UUPA Setelah berlakunya UUPA, terjadilah unifikasi hukum tanah Indonesia sehingga hukum yang berlaku untuk tanah adalah hukum tanah nasional dan sudah tidak dikenal lagi tanah yang tunduk kepada KUHPerd atau tanah hak barat dan tanah yang tunduk kepada hukum adat atau tanah hak adat. Berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis yang dulunya terdapat dalam lapangan agraria karena Hukum Agraria yang baru itu didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat dan Hukum Adat adalah hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta juga merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli (B.F. Sihombing, 2004:63). Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam PasalPasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam Pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Apa yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat (Andrian Sutedi, 2008:76). Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat, merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual,
29
meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual (Boedi Harsono, 2008:77). Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, setiap pemindahan hak atas tanah kecuali yang melalui lelang hanya bisa didaftarkan apabila perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah tersebut didasarkan pada akta PPAT. Notaris dan PPAT sangat berperan dalam persentuhan antara perundangundangan dan dunia hukum, sosial dan ekonomi praktikal. Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang bertanggung jawab untuk membuat surat keterangan tertulis yang dimaksudkan sebagai alat bukti dari perbuatan-perbuatan hukum (Herlien, 2006:256). Dengan berlakunya UUPA, dan atas dasar Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2007) maka setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah, penjaminan tanah atau peminjaman uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan, harus dilakukan dengan suatu akta. Akta demikian harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk khusus untuk itu, yakni PPAT sehingga dengan demikian setelah notaris PPAT juga adalah pejabat umum (Herlien, 2006:257). Pada tahap ini peranan PPAT sebagai pencatat perbuatan hukum untuk melakukan pembuatan akta jual beli, harus dipenuhi. Sehingga pengalihan ini menjadi sah adanya dan dan dapat didaftarkan balik namanya. Dengan adanya akta PPAT inilah nantiakan kembali diberikan status baru dari permohonan balik nama yang dimohon oleh pihak yang menerima pengalihan haknya. Pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT tersebut dilakukan bagi keabsahan dari perjanjian-perjanjian berkenaan dengan hak atas tanah, maka disyaratkan akta yang dibuat dengan oleh PPAT. Namun demikian, apakah kemudian pengalihan hak atas tanah diluar pelibatan PPAT otomatis menjadi tidak sah adalah persoalan lain.
30
3. Tinjauan Pendaftaran Tanah a. Pengertian Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 memberi pengertian pendaftaran tanah yaitu dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun, serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Pengetian pendaftaran tanah di atas sejalan dengan definisi pendaftaran tanah yang diberikan oleh Boedi Harsono (2005:72), pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara atau Pemerintah secara terus-menerus dan teratur berupa keterangan atau data tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya. Sedangkan menurut AP. Parlindungan (1988:2) berpendapat bahwa pendaftaran tanah berasal dari kata ”Cadastre” suatu istilah teknis dari suatu ”record” (rekaman) menunjukan kepada luas nilai kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Dalam arti yang tegas ”cadaster” adalah ”record” (rekaman) dari lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya
dan untuk
kepentingan perpajakan
yang diuraikan dan
didefinisikan dari tanah tertentu dan juga sebagai ”continues record” (rekaman yang berkesinambungan dari hak atas tanah). Pengertian lain dari pendaftaran tanah (Cadaster) adalah berasal dari Rudolf Hemanses, seorang mantan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan Menteri Agraria mencoba merumuskan pengertian pendaftaran tanah. Menurut beliau pendaftaran tanah adalah pendaftaran tanah atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar, berdasarkan
31
pengukuran dan pemetaan yang seksama dari bidang-bidang itu (Ali Achmad Ghomzah, 2004:1). “Various areas of the country were designated areas of compulsory registration by order so in different parts of the country compulsory registration has been around longer than in others. The last order was made in 1990, so now virtually all transactions in land result in compulsory registration. One difference is land changing ownership after death, where land is gifted rather than sold; these became compulsorily registrable only in April 1998. It became compulsory to register land when a mortgage is created on it in 1998” (Nazm-Us-Saadat, 2005:65) (Berbagai daerah di negeri yang ditunjuk atas wajibnya pendaftaran tanah telah lama sekitar untuk pendaftaran hak atas tanah atas milik orang. Penertiban terakhir dibuat pada tahun 1990, jadi sekarang hampir seluruh transaksi di tanah wajib didaftarkan di kantor pertanahan. Salah satu yang mengubah salah satu hak kepemilikan adalah setelah kematian, pada tanah warisan berbakat daripada dijual; hal ini menjadi wajib dilakukannya pendaftaran). Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan, karena melalui cara ini akan dipercepat perolehan data mengenal bidang-bidang tanah yang akan didaftar daripada melalui pendaftaran tanah secara sporadik. Tetapi karena prakarsanya datang dari Pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi
dana,
tenaga
dan
peralatan
yang
diperlukan.
Maka
pelaksanaannya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang meliputi jangka waktu agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan lancar. Di samping pendaftaran secara sistematik pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individual dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang akan makin meningkat kegiatannya
(https://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/pendaftaran-
tanah/). Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta
32
pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Perubahan itu tnisalnya terjadi sebagai akibat beralihnya, dibebaninya atau berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar, hapusnya atau diperpanjangnya jangka waktu hak yang sudah berakhir, pemecahan, pernisahan dan penggabungan bidang tanah yang haknya sudah didaftar. Agar data yang tersedia di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang mutakhir dalam Pasal 36 ayat (2) ditentukan, bahwa para pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahanperubahan yang dimaksudkan kepada Kantor Pertanahan. Ketentuan mengenai wajib daftar itu juga ada dalam Pasal 4 ayat (3) (https://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/pendaftaran-tanah/). b. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah Undang-Undang Pokok Agraria sebagai dasar Hukum Pertanahan di Indonesia yaitu Pasal 19 yang mengatur tentang Pendaftaran Tanah. Bunyi Pasal 19 ayat (1) adalah “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pendaftaran tersebut dalam Pasal 19 ayat (1) meliputi : a) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan atas tanah. b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan demikian, pendaftaran tanah akan menghasilkan peta-peta pendaftaran, surat-surat ukur (untuk kepastian tentang letak, batas dan luas tanah), keterangan dari subjek yang bersangkutan (untuk kepastian siapa yang berhak atas tanah yang bersangkutan, status dari haknya, serta bebanbeban apa yang berada di atas tanah yang bersangkutan) dan yang terakhir menghasilkan sertifikat (sebagai alat pembuktian yang kuat). Peraturan Pemerintah yang disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) di atas adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang dengan Pasal 65 Peraturan Pemerintah No. 24
33
Tahun 1997 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dan mulai tanggal 8 Juli 1997 diberlakukan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 mengenai Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah dilaksanakan untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah, oleh sebab itu merupakan kewajiban bagi pemegang hak yang bersangkutan dan harus melaksanakannya secara terus menerus setiap
ada
peralihan
hak
atas
tanah
tersebut
dalam
rangka
menginventariskan data-data yang berkenaan dengan peralihan hak atas tanah tersebut menurut UUPA serta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 guna mendapatkan sertipikat tanah sebagai tanda bukti yang kuat. c. Asas-asas pendaftaran tanah Menurut pasal 2 PP No.24 tahun 1997 pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan (Boedi Harsono, 2002:44) : 1) Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuanketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. 2) Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. 3) Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah 4) Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahanperubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas mutakhir ini menuntut
34
dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang nyata di lapangan dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka. d. Pengelolaan Pertanahan Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Undang-Undang Pokok Agraria merupakan perangkat hukum yang mengatur di bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal yang didasarkan pada hukum adat sebagai hukum yang asli yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern. Pendataan tanah bagi pemilik tanah pada akhir bertujuan untuk memperoleh surat keterangan tanah bahkan sampai pada sertifikat hak atas tanahnya dan memperoleh kepastian hukum yang kuat. Perkembangan perekonomian dewasa ini demikian pesat, dunia usaha begitu maju. Maka tidak dapat dipungkiri dengan majunya bidang-bidang usaha membutuhkan modal yang antara lain bisa dengan perantaraan pertanahan (Antonius dkk, 2014:6). Mengingat pentingnya kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah sebagai akibat dari transaksi jual beli tanah maka oleh UUPA diwajibkan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak karena jual beli tersebut. Menurut Harsono (2002:110-112) pendaftaran tanah dikenal dua (2) macam stelsel pendaftaran tanah yaitu : 1) Sistem Negatif Adapun ciri yang pokok dari sistem ini adalah bahwa pendaftaran tanah tidak memberikan jaminan bahwa orang yang namanya terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah walaupun ia beritikad buruk. Sistem negatif ini digunakan di negara belanda, Hindia belanda, Negara bagian Amerika serikat dan Perancis, apabila diperhatikan atau dibandingkan sistem negatif dengan positif maka sistem negatif ini adalah kebalikan dari sistem tersebut. Pada sistem
35
pendaftaran negatif ini apa yang tercantum dalam buku tanah dapat dibantah, walaupun ia beritikad baik dengan kata lain bahwa pendaftaran tidak memberikan jaminan bahwa nama yang tercantum dalam daftar dan sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh Hakim apabila terjadi sengketa hak sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada alat bukti yang lain yang membuktikan sebaliknya. 2) Sistem Positif Adapun ciri yang pokok dari stelsel ini adalah bahwa pendaftaran menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah, walaupun ternyata ia bukan pemilik yang sebenarnya. Adapun sistem ini dikenal di negara Australia, Singapura, Indonesia, Jerman, dan swiss, dalam sistem positif ini segala apa yang tercantum di dalam buku pendaftaran tanah dan surat-surat tanda bukti yang dikeluarkan adalah hal yang bersifat mutlak, artinya mempunyai kekuatan pembuktian yang tidak dapat diganggu gugat. Disini pendaftaran berfungsi sebagai jaminan yang sempurna dalam arti bahwa nama yang tercantum dalam buku tanah tidak dapat dibantah kebenarannya sekalipun nantinya orang tersebut bukan pemiliknya. Mengingat hal yang demikian inilah maka pendaftaran hak dan peralihannya selalu memerlukan pemeriksaan yang sangat teliti dan seksama sebelum pekerjaan pendaftaran dilaksanakan, para pelaksana pendaftaran tanah harus bekerja secara aktif serta harus mempunyai peralatan yang lengkap serta memakan waktu yang cukup lama dalam meyelesaikan pekerjaannya. Hal ini dapat dimaklumi karena pendaftaran hak tersebut mempunyai fungsi pendaftaran dan kekuatan yang mutlak, dengan demikian pengadilan dalam
hal
ini
mempunyai
wewenang
di
bawah
kekuasaan
administratif. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akta jual beli hak atas tanah
36
yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan salah satu persyaratan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan, hal ini akan berimplikasi pada kepastian hukum tentang status tanah tersebut. Dalam peristiwa jual beli tanah menurut hukum adat tidak ada kepastian hukum terhadap status tanah bagi pemilik tanah karena peralihan hak tersebut belum di daftarkan untuk memperoleh sertifikat sebagai tanda bukti hak yang kuat (Antonius dkk, 2014:7). e. Sistem Pendaftaran Tanah Sistem
Pendaftaran
tanah
yang
digunakan
adalah
sistem
pendaftaran hak (“registration of titles”), sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Bukan sistem pendaftaran akta (“regristration of deeds”). Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkanya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Hak atas tanah, Hak Pengelolaan, tanah wakaf dan Hak Milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukunya dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP 24/1997 dalam Pasal 29. Each of the American jurisdictions has a somewhat different system, often with significant variations. Although the theme is fundamentally the same and centers inevitably on a system of recordation of the evidence of title, as opposed to a recordation of the title itself, 16 how, where, and by whom these records are kept varies considerably
37
among the states. The practice of examiners in reviewing either the original records, or an abstract of them prepared by someone else, also varies. Nevertheless, all methods have the goal of producing a certificate of opinion prepared by a competent professional, ordinarily an attorney, accurately assessing the state of the title at the moment of transfer. The evidence of the records and of certain extrinsic matters, such as actual possession, serve as the basis for the certificate in most cases (Dent Bosnck, 1987:62). (Masing-masing wilayah di Amerika memiliki sistem yang berbeda, sering dengan variasi signifikan. Meskipun tujuannya sama dalam permasalahan pendaftaran hak tanah. Semua metode memiliki tujuan membuat sertifikat yang ditujukan kepada pihak instansi yang profesional, biasanya seorang pengacara atau PPAT). f. Tata Cara Pembuatan Akta PPAT Dalam hal pembuatan akta PPAT, tahap-tahap yang harus dilakukan oleh PPAT adalah: 1) Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftardaftar
yang
ada
di
Kantor
Pertanahan
setempat
dengan
memperlihatkan sertipikat asli (Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). 2) Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan (Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). 3) Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat (Pasal 98 ayat (2)
38
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang PendaftaranTanah). 4) Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan: a) bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform; d) bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar. PPAT wajib menjelaskan kepada calon penerima hak maksud danisi pernyataan sebagaimana dimaksud di atas. 5) Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 101 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). 6) Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam
39
suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan (Pasal 101 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). 7) PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku (Pasal 101 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). 8) Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT (Pasal 22 Peraturan Pemerinta Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah). 9) Selambat-lambatnya ditandatanganinya
7
(tujuh)
akta
yang
hari
kerja
bersangkutan,
sejak PPAT
tanggal wajib
menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan (Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila:
40
1) mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. 2) mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: a) surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan b) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan c) salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d) salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau e) untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f) obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g) tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
41
Penjelasan Pasal 39 ayat (1) Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan contoh syarat yang dimaksudkan dalam huruf g adalah misalnya larangan yang diadakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan untuk membuat akta, jika kepadanya tidak diserahkan fotocopy surat setoran pajak penghasilan yang bersangkutan. Atas penolakan itu PPAT harus menyampaikan secara tertulis kepada para pihak dengan disertai alasan-alasannya. Selain hal-hal tersebut di atas, dalam pembuatan akta, PPAT juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak. 2) Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara) 3) Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani (konsekuensi dari UUPA yang berdasarkan kepada Hukum Adat). 4) Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 5) Tanah yang diperjual belikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang bersangkutan (Terkait dengan kewenangan PPAT dalam hal pembuatan akta).
B. Kerangka Berpikir Kerangka pemikiran pada hakikatnya merupakan sajian yang mengetengahkan kerangka konseptual dan kerangka teoretik.
42
Jual Beli Tanah
Kesimpulan
Perlindungan sertifikat hak atas tanah yang berasal dari jual beli
C.Undang-Undang dan PeraturanD.Peraturan: E.1. Kitab Undang-Undang Hukum F. G. Perdata H. 2. Undang-Undang Pokok Agraria I. J.3. PP No. 24 Tahun 1997 tentang K. Pendaftaran Tanah L. 4. PP No. 37 Tahun 1998 tentang M. N. Peraturan Jabatan PPAT O. P.
Ketentuan PembuatanQ. Sertifikat Tanah karena jual R. beli yang sesuai S. T.
Kantor Pertanahan Kota Surakarta
Gambar 1. Kerangka Berpikir Berdasarkan skema di atas, penulis ingin memberi gambaran guna menjawab perumusan masalah yang telah disebutkan pada usulan penulisan laporan ini. Dalam hal ini, mengenai akibat hukum dari hak atas tanah karena jual beli tanah yang didaftarkan di kantor pertanahan Kota Surakarta, yang diinterprestasikan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai pembuatan sertifikat mengenai jual beli tanah. Peraturanperaturan yang dimaksud antara lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
43
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dari peraturan-peraturan di atas lalu diterapkan kepada tata cara pembuatan dan penanda tanganan sertifikat tanah lalu dibandingkan dengan tata cara pembuatan dan penanda tanganan sertifikat tanah di dalam prakteknya di kantor pertanahan Kota Surakarta dan dibuat kesimpulan tentang akibat hukum yang ditimbulkan atas pengalihan hak atas tanah karena jual beli.