BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persepsi Masyarakat 2.1.1. Definisi Persepsi adalah proses dimana seseorang memperoleh informasi dari lingkungan sekitar. Persepsi merupakan suatu hal yang aktif. Persepsi memerlukan pertemuan nyata dengan suatu benda dan juga membutuhkan proses.kognisi serta afeksi. Persepsi membantu individu untuk menggambarkan dan menjelaskan apa yang dilakukan oleh individu (Halim, 2005). Persepsi merupakan pengalaman mengenai objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan yang melibatkan sensasi, atensi, ekspetasi, motivasi dan memori (Rakhmat dalam Setia Budi, 2005) Terkait dengan kondisi bermasyarakat, persepsi adalah proses penilaian seseorang/sekelompok orang terhadap objek, peristiwa, atau stimulus dengan melibatkan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan objek tersebut, melalui proses kognisi dan afeksi untuk membentuk objek tersebut (Mahmud, 1989) Dari penjelasan tersebut maka persepsi masyarakat dapat didefinisikan sebagai rangkaian proses kognisi atau pengenalan dan afeksi atau aktifitas evaluasi emosional (ketertarikan) masyarakat terhadap suatu objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan cara menyimpulkan informasi dan
Universitas Sumatera Utara
menafsirkan pesan tersebut dengan menggunakan media pendengaran, penglihatan, peraba dan sebagainya.
2.1.2. Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Proses pembentukkan persepsi bersifat fungsional dimana seseorang mempersiapkan stimulus melalui proses pemilihan. Terdapat faktor personal dan struktural yang berhubungan dengan persepsi. Faktor personal merupakan karakteristik individu baik internal maupun eksternal (Krech dan Crutchfield dalam Rakhmat, 2001). Persepsi sendiri merupakan proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. Persepsi disebut sebagai inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas (Mulyana, 2001). Adapun proses terjadinya persepsi secara umum dapat dilihat pada skema dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
PROSES FISIK Proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia
PROSES FISIOLOGIS Proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris
PROSES PSIKOLOGIK Proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor
PROSES PERSEPSI Tanggapan dan Perilaku
Gambar 2.1. Proses Terjadinya Persepsi Sumber : Data Olahan Dari Hamka (2002)
Keadaan mempersepsi yang terbentuk dalam proses tersebut akan terus menerus dipengaruhi arus informasi baru dari lingkungannya, yang di dalamnya menyangkut proses penginderaan yang perifeer terhadap sekitarnya dan selanjutnya melahirkan suatu bentuk yang holistik dan dalam konstansi tinggi, yang berlaku juga pada tempat dan obyek lain (Osgood dalam Simanuhuruk, 2003). Sedangkan menurut Marleau-Ponty, persepsi adalah latar belakang dari mana terpancar semua aktifitas dan selalu diandaikan oleh aktifitas-aktifitas tersebut. Persepsi tidak hanya berupa pengandaian saja, melainkan juga jalan menuju
Universitas Sumatera Utara
kebenaran,
yang
lahir
dari
empirisme
dan
rasionalisme
atau
realitas
(Simanuhuruk, 2003). 2.2. Perubahan Tata Guna Lahan 2.2.1. Definisi Tata guna lahan (land use) merupakan pengaturan pemanfaatan lahan/aktifitas pada suatu lingkup wilayah (baik tingkat nasional, regional, maupun kawasan) untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Kegiatan manusia seperti bekerja, berbelanja, belajar, dan berekreasi, semuanya dilakukan pada kapling-kapling tanah yang diwujudkan sebagai kantor, pabrik, gedung sekolah, pasar, pertokoan, perumahan, objek wisata, hotel, dan lain sebagainya. Aktivitas di kapling tanah (lahan) tersebut dinamakan tata guna lahan (Miro dalam Wismadi, dkk, 2008). Pengertian konversi lahan atau perubahan tata guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati dalam Yusran, 2006). Sedangkan gejala perubahan pemanfaatan lahan sendiri menjadi gejala alamiah dalam suatu evolusi kota. Bentuk perubahan ini tidak terjadi di setiap lokasi secara seragam, karena setiap lahan memiliki tingkat kestrategisan dan potensi yang berbeda (Legawa dalam Harjanti, 2002). Evolusi kota sendiri terbentuk dari faktor-faktor internal seperti keputusankeputusan yang diambil oleh berbagai institusi dan individu, penyebab eksternal (konteks ekonomi internasional) dan perkembangan sosial. Proses-proses dasar dapat berjalan lambat ataupun cepat, dan berlaku dalam lingkup lokal maupun global. Pada level yang berbeda, seperti yang terjadi di beberapa kota besar di
Universitas Sumatera Utara
Eropa, evolusi tersebut menjadi daya tarik bagi para imigran seperti di Negara negara yang memiliki permasalahan utama ekonomi dan politik dimana sering memunculkan gejala marginalisasi dan segregasi. Kondisi tersebut juga menjadi lahan subur untuk munculnya aktivitas ekonomi, politik dan budaya, sehingga menimbulkan diantaranya perubahan dan konversi industri, penilaian lahan kembali dan pengembangan pusat pelayanan baru. Gejala diatas disebut dengan perubahan kualitatif yang bertolak belakang dengan proses-proses pertumbuhan kuantitatif yang murni (Albeverio,dkk, 2007). Struktur dan bentuk kota-kota saat ini adalah hasil dari dinamika berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan fisik baik secara umum maupun lokal (Lambin dalam Hagoort,dkk , 2004). Oleh karenanya, dalam rangka efisiensi alokasi pemanfaatan lahan diperlukan rencana yang merangkum kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun kegiatan di masa mendatang. Rencana tata ruang merupakan bentuk rencana yang telah mempertimbangkan kepentingan berbagai sektor kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahan/ruang beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya (bersifat komprehensif). Rencana tata ruang sendiri merupakan pedoman pemanfaatan ruang/lahan atas pembagian berbagai sektor kegiatan masyarakat tersebut (Dardak, 2005). Sedangkan proses penataan ruang merupakan proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan dalam konteks keruangan. Sehingga setiap aktifitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan dan memiliki titik fokus untuk mencapai sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation (Hardiansah, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Pada akhirnya perubahan tata guna lahan dapat didefinisikan sebagai upaya manusia dalam merencanakan arahan perubahan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu yang merupakan rangkuman kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat kedepan yang ditikberatkan pada pencapaian sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation. 2.2.2. Model Perubahan Tata Guna Lahan Perubahan pemanfaatan lahan tidak terlepas dari perkembangan suatu daerah menuju ke keadaan yang lebih padat yang sering diidentifikasikan sebagai perubahan menuju ke arah perkotaan (urbanised area). Secara umum, kebalikan dari perkotaaan disebut dengan pedesaan (rural area). Diakui atau tidak, tidak ada satu daerahpun yang tertutup akan perubahan. Terlebih lagi memasuki era abad ke-21, dimana interaksi dan komunikasi antar komponen-komponen pendukung wilayah satu dengan yang lainnya tidak lagi dibatasi jarak dan waktu. Batas-batas keruangan wilayah memudar seiring inovasi-inovasi teknologi dan sistem regulasi pendukung yang memungkinkan terjadinya percampuran sistem budaya yang tidak pernah terjadi sebelumnya, pemanfaatan berbagai penemuan baru, pemindahan modal, dan pergerakan sumber daya manusia (tenaga kerja). (Suartika, 2007). Oleh karenanya, di dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan perlu diatur alokasi pemanfaatan ruang/lahan untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan
Universitas Sumatera Utara
(transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni (livable environment) (Algamar, 2003). Sedangkan dalam lingkup perkotaan, pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap asset yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Adapun asset yang tercakup dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan (pembiayaan pembangunan), penduduk (sumberdaya manusia), sosial (termasuk institusi publik), lahan, lingkungan, serta asset fisik (seperti bangunan – termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan). Sedangkan pembedaan pola keruangan ini disebabkan oleh luas daerah kota, unsur topografi, faktor sosial, faktor budaya, faktor politik dan faktor ekonomi yang secara garis besar dibagi atas inti kota (core the city) dan selaput kota (intergruments), dimana pada kedua daerah tersebut masih dapat dijumpai daerahdaerah kosong (interstices) (Bintarto dalam Yusran, 2006). Menurut Bourne dalam Yusran (2006), ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan, yaitu: perluasan batas kota, peremajaan di pusat kota, perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan transportasi serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu yang secara garis besar berjalan dan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam yang dipengaruhi antara lain: a. Faktor manusia, yang terdiri dari kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi; b. Faktor fisik kota, meliputi pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas kemudahan pencapaian; c. Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun dalam mengatur dan mengkontrol terjadinya perubahan tata guna lahan diperlukan suatu perangkat sistem pengelolaan. Keiser, Godschalk dan Chapin dalam Suartika (2007) menawarkan dua model manajemen perubahan tata guna lahan, yaitu: a. Model yang merangkul kepentingan struktur lingkungan kehidupan hidup manusia (human ecology) dan politikal ekonomi dalam suatu konsep yang menggabungkan proses pengaturan pemanfaatan lahan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. b. Model yang merangkul konsep partisipasi dan pemecahan masalah (discourse planning model). Model ini tidak hanya mengakui kepentingan-kepentingan kelompok dominan yang telah disebutkan dalam game theory, tetapi juga memberi peluang kepada pihak perencana, tenaga ahli teknis dan kelompok kelompok kepentingan lainnya untuk berpartisipasi. Menurut Gibson dalam Markvart (2009), konsep esensial dari pembangunan berkelanjutan sendiri antara lain: 1. Suatu tantangan untuk berfikir dan berbuat secara konvensional; 2. Melakukan sesuatu untuk kesejahteraan jangka panjang maupun jangka pendek; 3. Menyeluruh, meliputi semua permasalahan inti di dalam hal pengambilan keputusan; 4. Suatu pengenalan tentang hubungan keterkaitan dan saling ketergantungan, terutama antara manusia dan fondasi biofisik untuk kehidupan; 5. Pentingnya melakukan pendekatan-pendekatan terhadap tindakan pencegahan;
Universitas Sumatera Utara
6. Suatu pengenalan terhadap batasan yang tidak dapat diganggu gugat serta tidak habisnya peluang didalam menciptakan inovasi kreatifitas; 7. Suatu proses akhir yang selalu terbuka dan bukan merupakan suatu pernyataan; 8. Suatu pemahaman yang baik antara budaya dan pemerintahan seperti yang terjalin dengan ekologi, sosial dan ekonomi; 9. Seluruh ketergantungan yang bersifat universal dan kontekstual. Menurut Camagni dalam Capello dan Nijkamp (2004), teori dan model ekonomi perkotaan secara efisien diatur dalam 5 (lima) prinsip utama antara lain: a.
Prinsip Pengelompokkan: Kepadatan penduduk yang tinggi dan kegiatan yang produksi mempercepat kemunculan seluruh gejala positif dan negatif yang berasal dari kedekatan fisik, ekonomi kelompok, baik dalam bentuk urbanisasi dan lokalisasi ekonomi yang dikenal sebagai elemen genetic dalam keberadaan suatu kota;
b.
Prinsip Aksesibilitas: Pemahaman interaksi saling menguntungkan antara biaya transportasi dan penggunaan lahan langsung dan lebih banyak kepada aplikasi yang rasional secara cepat di tingkat kota;
c.
Prinsip Interaksi Spasial: Tingkat kepadatan yang tinggi di permukiman dan kegiatan produksi yang hadir di setiap kota memfasilitasi kebutuhan kontak, dan berakibat terhadap mekanisme interaksi spasial, dengan segala dampak positif dan negatif yang terkait dengan mereka;
d.
Prinsip Hirarki Perkotaan: Pembagian ruang bagi para pekerja jelas tercermin dalam perbedaan pola sosio-ekonomi antar kota;
Universitas Sumatera Utara
e.
Prinsip Persaingan: Dalam kondisi kota sebagai lokasi utama kegiatan produksi, prinsip persaingan menjadi sangat penting di tingkat perkotaan serta membutuhkan ketentuan spesifik guna mendukung mekanisme efisiensi perkotaan. Sedangkan konsep dari partisipasi sendiri adalah berdasarkan pengalaman dan
wawasan yang berkembang harus diakui bahwa masyarakat lokal yang sebelumnya selalu dipandang sebagai subjek, klien atau penerima yang pasif , secara jelas telah banyak berkontribusi pada proses penelitian dan pengembangan. Menurut Chamber, pendekatan partisipatif yang diterapkan saat ini dalam berbagai konteks sosial dan ekologi, telah membentuk dan mempengaruhi program maupun kebijakan nasional, penelitian regional dan internasional serta pembangunan di seluruh dunia (Byambaa, 2004). Partisipasi tidak meningkatkan kinerja proyek akan tetapi merupakan komponen utama pemberdayaan masyarakat dan membuat mereka mandiri untuk belajar bertanggung jawab atas kehidupan dan mengambil kendali atas keadaan untuk selanjutnya mengembangkan kapasitas untuk menolong dirinya sendiri dalam suatu proses. Menurut Rolly, partisipasi menciptakan rasa percaya diri yang kuat dan mampu meyakinkan diri mereka untuk dapat berhasil menggunakan sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka (Byambaa, 2004). Pendekatan partisipatif merupakan hasil dari ketidakpuasan terhadap pendekatan top-down di dalam proses perencanaan dan manajemen. Ketika masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan ataupun
Universitas Sumatera Utara
pemilihan metode pemecahan masalah sosial budaya yang sesuai dengan kebutuhan mereka maka hasilnya adalah suatu kegagalan proyek (Rolly dalam Byambaa, 2004). Menurut Burke dalam Byambaa (2004), proses perencanaan tidak lagi merupakan domain eksklusif para ahli teknis, melainkan perlu dipikirkan siapa saja yang harus terlibat, bagaimana bentuk keterlibatannya, fungsi masyarakat apa sajakah yang harus dilayani dan bagaimana mengadaptasikan metode perencanaan ke proses yang melibatkan berbagai kepentingan dan kelompok lebih luas. 2.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan Menurut Sari (2009), pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menjadikan kebutuhan ruang semakin tidak terbatas. Aktifitas masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, maupun yang lainnya dari waktu ke waktu berdampak pada meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan. Fenomena ini berkembang di wilayah perkotaan dan menjadikan eksplorasi ruang yang kurang terkendali. Meskipun banyak ruang yang sudah diatur dalam berbagai bentuk kebijakan, namun tidak semua bentuk perkembangan keruangan terwadahi, apalagi dengan keberadaan lahan yang bersifat statis dan harga lahan yang semakin tinggi memicu persaingan dan konflik dalam memanfaatkan ruang. Salah satu studi kasus terjadinya perubahan tata guna lahan di suatu lokasi adalah Kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran di Jakarta yang merupakan contoh kawasan yang kini telah beralih fungsi menjadi suatu kawasan kota baru. Menurut Syahroji (2008) , kota Baru Bandar Kemayoran (KBBK) merupakan kawasan bekas Bandar Udara Kemayoran dengan luas kawasan berdasarkan SK. Mendagri No. 24/HPL/DA/1982 secara keseluruhan sekitar 454 hektar.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Layout Kawasan Bandar Udara Kemayoran Sumber : http://www.kaskus.com
Lokasi ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi karena alasan keselamatan penerbangan, kebisingan, terbatasnya lahan dan kepentingan pembangunan kota (DP3KK, 2001). Setelah beroperasi selama 45 tahun sejak 8 Juli 1940, karena alasan diatas bandar udara Kemayoran resmi ditutup pada tanggal 5 Juli 1985. Adapun fungsi Bandar Udara Kemayoran saat ini telah digantikan oleh Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang yang berjarak 20 Km dari kawasan Kemayoran. Proses
terbentuknya
pola
hubungan
bandara
Kemayoran
dengan
masyarakatnya khususnya di wilayah kelurahan Kebon Kosong, Gunung Sahari dan Pademangan Timur dijelaskan oleh Husni, dkk (1997) sebagai berikut; a.
Pada awalnya peningkatan kebutuhan aktifitas komersial, perkantoran maupun pemukiman elit Eropa di Batavia menjadi penyebab semakin tajamnya segregasi penduduk antara pemukiman elit Eropa, pemukiman menengah pedagang Cina serta pemukiman tradisional “kampung” pribumi.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendukung pelayanan kebutuhan saat itu dibangunlah suatu sarana transportasi udara berupa bandara yang terbentang panjang dari utara mulai Kelurahan Pademangan Timur sampai selatan di Kebon Kosong; b.
Pendudukan tanah dimulai pada tahun 1920 dengan kedatangan para petani dari wilayah Jawa Barat untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di perkotaan.
Sedangkan
pola
terbentuknya
permukiman
dimulai
dari
didirikannya gubuk-gubuk sementara oleh para pendatang tersebut dan seiring terjadinya peningkatan ekonomi, gubuk-gubuk tersebut berkembang menjadi rumah permanen. Pertumbuhan migrasi semakin pesat ketika pemimpin RI pada akhir tahun 1940-an. Penempatan lahan bandara sendiri oleh masyarakat karena tidak semua lahan digunakan secara aktif untuk kepentingan bandara pada saat itu yang pada akhirnya menjadi cikal bakal munculnya
pemukiman
kumuh
di
sekitar
lokasi
bandara.
Pada
perkembangannya kelurahan Kebon Kosong menjadi daerah yang terpadat, diikuti dengan Gunung Sahari Selatan dan Pademangan Timur; c.
Dilihat dari tingkat pendidikannya, 26 % dari masyarakat belum tamat SD, 72 % diantaranya berpendidikan menengah (SMP/SMA) dan hanya 2 % saja yang berpendidikan sarjana/akademi;
d.
Jenis pekerjaan dari kepala keluarga atau pencari nafkah sangat bervariasi dan meliputi berbagai jenis pekerjaan seperti buruh (bangunan, pasar, pabrik, dan lain-lain), pedagang (kaki lima/warung/toko), pegawai (negeri/swasta), ABRI dan lain-lain. Melihat kondisi diatas terlihat adanya proses pemunculan pemukiman kumuh
di sekitar lokasi bandara Kemayoran dimulai dari penempatan lahan bandara oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat karena tidak semua lahan digunakan secara aktif untuk kepentingan bandara. Penempatan lahan oleh para pendatang dari Jawa Barat untuk mencari kondisi ekonomi yang lebih baik mengindikasikan bahwa masyarakat tidak ingin ditinggalkan dalam pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi yang mengikutinya. Kolaborasi antara konsep teknis dengan realita di lapangan tersebut bukan sebuah usaha untuk kompromi, melainkan usaha untuk mendekatkan kesenjangan antara perilaku masyarakat dan arahan ruang (Hardiansah, 2008). Oleh karena menjadi penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap aktifitas utama yang berlangsung di sekitar lokasi mereka tinggal. Gejala penempatan lahan yang pada akhirnya menjadi cikal bakal munculnya pemukiman kumuh di sekitar lokasi bandara selanjutnya menimbulkan kepadatan yang sangat tinggi di beberapa lokasi kelurahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa adanya pola penempatan pemukiman marginal khusus dengan solidaritas yang kuat diantara mereka di dalam suatu komunitas yang baik (Silas, 1989). Walaupun hal ini bukan menjadi alasan utama, akan tetapi kondisi tingkat keamanan dan kenyamanan masyarakat di suatu permukiman tetap perlu menjadi perhatian. Pengembangan kota Baru Bandar Kemayoran sendiri menurut Syahra, dkk (1997) baru dimulai pada tahun 1990. Melalui revisi perencanaan yang dilakukan pada tahun 1989, kawasan yang awalnya diputuskan oleh pemerintah untuk dijadikan pusat pertumbuhan sekunder yang menyesuaikan dengan kondisi eksisting lingkungannya berubah konsep menjadi kota baru di dalam kota (New Town in Town) dimana aktifitas ekonomi yang muncul diharapkan dapat menunjang kehidupan masyarakatnya.
Universitas Sumatera Utara
Rencana pengembangan fisik kawasannya juga menyesuaikan pemenuhan kebutuhan dan gambaran atas suatu kota bisnis yang modern. Sedangkan untuk pemanfaatan lebih lanjut tanah Kemayoran, maka pemerintah membentuk Badan Pengelola Komplek Kemayoran (BPKK) yang bertindak untuk penguasaan dan pengelolaan
Kemayoran.
Sedangkan
untuk
pelaksanaannya
sehari-hari
dilaksanakan oleh Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Komplek Kemayoran (DP3KK). Pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran sendiri menurut DP3KK (2001) merupakan suatu pengembangan kota baru yang dapat mengemban fungsi strategis untuk pusat perdagangan dan jasa serta informasi antar bangsa (Indonesia International Trade Centre) yang didasari atas beberapa dasar pemikiran antara lain: a.
Keharusan untuk mengelola asset eks bandara milik Negara secara professional dan strategis bagi kepentingan nasional;
b.
Penekanan pembiayaan pembangunan dengan lebih melibatkan peran swasta seluas-luasnya dibandingkan pemanfaatan APBN maupun APBD;
c.
Perlunya upaya pemulihan kondisi ekonomi dengan cara penciptaan fasilitas untuk mewujudkan pusat perdagangan dan jasa serta informasi guna memperlancar proses perdagangan internasional khususnya ekspor hasil-hasil industri. Arah pembangunan perkotaan yang berfungsi untuk mengemban fungsi
strategis bagi kepentingan skala nasional bahkan internasional yang mandiri dan tetap ramah lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu tantangan yang dihadapi menurut Hardiansah (2008), selama ini rencana Tata Ruang belum menjadi dokumen populis yang menginternal di kalangan masyarakat karena baru sebatas wacana publik dan belum mampu ditransformasikan sebagai sebuah action plan bersama elemen masyarakat untuk mewujudkan kondisi ruang yang baik. Sedangkan
untuk
menumbuhkan
rasa
memiliki
untuk
kemudian
mempertahankan dan melestarikan suatu objek dalam hal ini rencana tersebut, menurut Budiharjo (2000), masyarakat membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat atau lingkungannya. Oleh karenanya perlu diketahui tingkat pemahaman masyarakat terhadap rencana perubahan tata guna lahan dimaksud. Setelah mengetahui rencana perubahan tata guna lahan tersebut, perlu diketahui tingkat persetujuan atas detail rencana perubahan yang berdampak terhadap mereka langsung karena menurut Hardiansah (2008), dokumen rencana yang sangat birokratik masih sering dianggap miring sebagai salah satu proyek semata saja oleh elemen masyarakat. Selain itu, perwujudan dari rencana tersebut terkadang tidak sesuai dengan implementasinya
terutama
terjadinya
berupa
terjadinya
penyimpangan
pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan. Menurut Harjanti (2002), akumulasi dari persaingan dalam penggunaan lahan tersebut menyebabkan lahan– lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu dalam rencana
Universitas Sumatera Utara
kota, pada saat diimplementasikan sering telah digunakan oleh jenis kegiatan lainnya.
Gambar 2.3. Masterplan / RTRK Kota Baru Bandar Kemayoran Tahun 2005 Sumber : DP3KK (2001)
Universitas Sumatera Utara
Setelah masyarakat memahami dan menyetujui rencana perubahan tata guna lahan wilayah mereka kedepannya maka isu yang selanjutnya dihadapi adalah keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sektor dan wilayah dalam kerangka penataan ruang dan kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan masing-masing secara berlebihan dalam mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Menurut Hardiansah (2008), penataan ruang dan masyarakat sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah proses pembangunan. Mendikotomikan antara proses penataan ruang dengan proses bermasyarakat jelas bukan sebuah paham yang akhir-akhir ini dianut oleh sebagian besar pemerintahan. Disamping itu menurut Silas (1989), masyarakat yang telah dikorbankan lahannya demi pembangunan tidak boleh ditinggalkan dalam pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi yang mengikutinya. Oleh karenanya perlu diketahui tingkat kepatuhan masyarakat apabila bangunan atau lahan mereka harus digusur demi kepentingan umum terkait rencana perubahan tata guna lahan kedepannya. Perencanaan ruang memberi peluang lebih besar kepada daerah untuk mengekspresikan potensi dan keinginan daerah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan wilayah. Menurut Marlia (2000), semakin besar potensi ekonomi di suatu wilayah, semakin besar pula prospek perkembangan wilayah bersangkutan. Disamping itu, pengalokasian guna lahan di perkotaan akan mengarah ke lokasi yang dapat memberikan keuntungan tertinggi sehingga lahan–lahan yang memiliki tingkat kestrategisan dan potensi yang lebih besar akan lebih berpeluang
Universitas Sumatera Utara
mengalami proses perubahan pemanfaatan lahan (Goldberg dalam Yunus, 2000). Untuk membuktikan hal tersebut perlu diketahui tingkat keyakinan masyarakat terhadap terjadinya peningkatan ekonomi wilayah dalam hal ini perkotaan. Begitu juga dengan sebaliknya, setiap perencanaan tata ruang harus bertujuan mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan yang pada akhirnya bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan studi kasus kota baru Bandar Kemayoran, Warsilah dalam Syahra,dkk (1997) mengungkapkan bahwa walaupun pendapatan yang dihasilkan dari munculnya peluang usaha dan kerja yang baru dirasakan oleh masyarakat lebih meningkat dibandingkan sebelum proyek pengembangan kota dimulai, akan tetapi biaya penempatan rusun secara bertahun-tahun juga tidak kecil sehingga pendapatan yang meningkat tersebut tidak berarti. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi apabila proses perencanaan investasi bagi masyarakat dilakukan secara efektif dan efisien melalui pengurangan terjadinya duplikasi, tumpang tindih, konflik pekerjaan dan ketentuan yang tidak tepat waktu (Curtis dalam Mattingly,dkk ,2000). Sehingga perlu diketahui juga tingkat keyakinan masyarakat terhadap terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat terkait adanya rencana perubahan tata guna lahan di suatu kawasan. Pada kasus Kota Baru Bandar Kemayoran, menurut DP3KK (2007) wilayah ini dikembangkan dengan konsep pembangunan tanpa penggusuran yang menjamin kehidupan eks penghuni lahan tidak turut tergusur. Tujuannya agar penduduk setempat memperoleh manfaat dan bisa ikut maju seiring pengembangan wilayahnya. Bentuk penggantian yang dapat diperoleh masyarakat
Universitas Sumatera Utara
berupa uang, relokasi lahan, konsolidasi lahan, maupun ditukar dengan rumah susun dalam program pemukiman kembali. Adanya perlakuan khusus bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah ditujukan agar dapat menjadi contoh konsep program pemukiman kembali di wilayah perkotaan (Urban Resettlement Project) sejenis di kawasan metropolitan Jakarta lainnya walaupun dalam skala yang berbeda. Hal ini memang perlu dilakukan untuk menjaga struktur sosial dan kepentingan bertahan hidup masyarakat korban penggusuran khususnya bagi lokasi kawasan pemukiman beserta masyarakat yang akan mengalami perubahan besar akibat pengembangan kawasan eks bandara Kemayoran menjadi pusat bisnis internasional seperti di wilayah kelurahan Kebon Kosong, Gunung Sahari Selatan dan Pademangan Timur. Seharusnya memang dalam lingkup perkotaan, pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap asset yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Adapun asset yang tercakup dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan (pembiayaan pembangunan), penduduk (sumberdaya manusia), sosial (termasuk institusi publik), lahan, lingkungan, serta asset fisik (seperti bangunan – termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan). Menurut Kebble dan Chapin dalam Mattingly, dkk (2000), dalam kasus kawasan perkotaan, hal yang harus dilakukan dalam perencanaan tata ruang adalah; 1.
Mengkoordinasikan lokasi secara waktu dan tempat atas seluruh peryediaan dan kebutuhan untuk pelayanan infrastruktur dan fasilitas;
Universitas Sumatera Utara
2.
Menetapkan guna lahan yang mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan termasuk transportasi dibandingkan dengan pengembangan lahan sedikit demi sedikit. Oleh karenanya perlu diketahui tingkat keyakinan tersedianya kebutuhan
infrastruktur maupun fasilitas yang penunjang keberlangsungan hidup dan aktifitas masyarakat kedepannya.
Gambar 2.4. Ilustrasi Rencana Penataan Jl. Benyamin Suaeb Sumber : DP3KK (2007)
Walaupun filosofi pengembangan kawasan kota baru Bandar Kemayoran berupa pembangunan tanpa penggusuran (Development Without Displacing) dan juga didukung oleh adanya program pengembangan komunitas (Community Development Program) kepada masyarakat guna mempersiapkan masyarakat secara budaya dan mental untuk hidup di pusat kota modern di Kemayoran akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Warsilah dalam Syahra,dkk (1997), kondisi lain yang muncul setelah program tersebut berjalan adalah munculnya daya tarik pendatang dari luar sebagai dampak dari terbukanya lapangan kerja baik di Jakarta secara umum maupun Kemayoran secara khusus.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Marlia (2000), aktifitas ekonomi di suatu wilayah memang cenderung mengundang pemukim yang tentunya membutuhkan ruang. Dampak lebih lanjut dari kasus kota baru Bandar Kemayoran adalah meningkatnya kebutuhan rusuna. Bahkan unit hunian yang tadinya disiapkan untuk kapasitas 5 orang kini dihuni 8 sampai dengan 10 orang. Hal tersebut tentunya berdampak terhadap melebihinya daya tampung hunian khususnya kelas bawah. Hal inilah yang mengakibatkan hilangnya identitas sosial yang dibangun masyarakat selama ini. Menurut Warsilah dalam Syahra,dkk (1997), walaupun pola lama seperti solidaritas masyarakat yang tinggi dan budaya gotong royong tidak ditinggalkan, akan tetapi kondisi keterbatasan ruang dan waktu menjadi kendala dalam hal kebiasaan saling mengunjungi dan bersosialisasi. Kondisi kesibukan dan sedikitnya waktu yang tersisa akibat beban kerja menjadi faktor penghambat terlaksananya kebiasaan tersebut. Sebuah proses adaptasi pendatang didefinisikan sebagai respon penyesuaian oleh setiap individu atau kelompok dengan kondisi yang bervariasi. Adaptasi dapat terlihat dalam berbagai macam bentuk. Menurut Barry dalam Lukasiewicz, adaptasi ada beragam bentuknya antara lain: a.
Integrasi berupa upaya menunjukkan keikutsertaan memelihara warisan etnik serta berpartisipasi di dalam dan memperluas sosialisasi dengan masyarakat dari kelompok lain;
b.
Asimilasi berupa upaya berinteraksi dengan kelompok lain tanpa harus memelihara warisan etnis mereka.
c.
Separasi berupa upaya menghindari kontak dengan kelompok lain walaupun tetap memegang tradisi etnisnya.
Universitas Sumatera Utara
d.
Marjinalisasi yang merupakan kurang tertariknya dalam menjaga hubungan baik dengan suatu etnis atau kelompok lain. Mengamati fenomena yang muncul maka perlu diketahui respon tingkat
kekhawatiran masyarakat atas hilangnya identitas sosial yang mereka bangun selama ini akibat munculnya para pendatang. Kondisi sosial terakhir yang muncul adalah masuknya pendatang dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah didalam lingkungan kota baru Bandar Kemayoran
yang
direncanakan
sebagai
pusat
bisnis
dan
perdagangan
internasional akan memunculkan degradasi sosial ketika mereka harus menempati rusun yang keberadaannya sangat kontras dengan berbagai apartemen mewah di sekitar mereka.
Gambar 2.5. Kondisi Pemukiman Rusun yang Kontras Dengan Lingkungan Sekitar Sumber : DP3KK (2001)
Kondisi tersebut ditambah lagi dengan terjadinya pergeseran filosofi “Development Without Displacing” yang pada awalnya menjadi konsep
Universitas Sumatera Utara
pembangunan. Terjadinya pemindahan hak kepemilikan rusun kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pengelola akibat kondisi keterbatasan ruang dan model hunian vertikal yang memaksa mereka harus merubah pola gaya hidup sebelumnya yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan berkehidupan. Menurut Budihardjo dalam Marlia (2000), hal tersebut merupakan indikasi dari kegagalan di bidang arsitektur dan perencanaan kota, antara lain karena bangunan dan lingkungan binaan lebih dipandang sebagai hal statis dan lebih tragis lagi, apabila masyarakat penghuninya dipandang dari sudut statistik saja. Lebih jauh ditambahkan oleh Wahyono (2005) bahwa pendekatan pembangunan partisipatoris berhimpit dengan konsep pembangunan berbasis multikultural. Berbagai fasilitas publik tidak saja dibangun menurut keragaman warga kota, tetapi bagaimana agar keberagaman itu dapat saling berinteraksi satu sama lain tanpa harus kehilangan identitasnya masing-masing yang berasal dari latar belakang sub-kultur maupun sub-masyarakat. Pembangunan pemukiman yang eksklusif dengan berbagai desain arsitektur yang tidak membumi, bukan saja tanpa identitas yang jelas, tetapi juga membuat warganya terasing dan kurang membuka bagi kelancaran interaksi sosial, karena itu tidak berbasis multikultur.
Mengamati fenomena tersebut, pada akhirnya perlu diketahui tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya degradasi sosial diantara mereka kedepannya. Mempelajari studi kasus pola perubahan yang terjadi di kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran diatas dapat disimpulkan bahwa walaupun perencanaan tata guna lahan di kawasan tersebut telah dibekali dengan berbagai pemikiran strategi maupun program khusus pendukungnya, akan tetapi pada kenyataannya tidak
Universitas Sumatera Utara
berjalan secara maksimal sesuai rencana apabila tidak secara sungguh-sungguh melibatkan peran serta masyarakat dari awal terutama bagi masyarakat yang terkena dampak langsung dari pengembangan kawasan kedepannya. Oleh karenanya dalam konteks pendekatan persepsi masyarakat, potensi dampak yang akan muncul harus dilihat secara luas. Artinya dalam melakukan kegiatan tersebut perlu mengacu kepada berbagai variabel yang bersifat kuantitatif terkait aspek ekonomi dan kependudukan serta aspek sosial perubahan norma dan nilai yang ada di masyarakat, kepercayaan dan persepsi di lingkungan dimana mereka tinggal. Dengan demikian perbedaan antara proses perubahan sosial dan dampak yang muncul bagi masyarakat harus diidentifikasi di dalam suatu pengaturan sosial. (Slootweg dalam Schirmer,dkk ,2008) Pada akhirnya menurut Schirmer, dkk (2008) untuk mengeksplorasi berbagai pandangan dari terjadinya perubahan tata guna lahan disarankan untuk mencari variasi yang signifikan pada pola pikir dan pengalaman masyarakat dari perubahan tata guna lahan ini sendiri, antara lain: 1.
Seluruh dampak yang diamati dan dirasakan dari perubahan tata guna lahan;
2.
Bagaimana seluruh dampak yang diamati dan dirasakan tersebut dirasakan secara berbeda oleh masing-masing penduduk di setiap wilayah;
3.
Perbedaan alasan akan memunculkan pandangan kelompok yang berbeda.
2.4. Kaitan Kajian Teori Terhadap Kegiatan Penelitian Pemerintah Kota Medan baru saja menyelesaikan suatu proses penataan ruang sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan wilayah tidak terkecuali di wilayah kecamatan Medan Polonia.
Universitas Sumatera Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2008-2028 sebagai hasil dari kegiatan tersebut seharusnya sudah mendayagunakan segenap asset ekonomi, sosial, lahan, lingkungan serta fisik bangunan termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan yang ada di seluruh kota Medan tidak terkecuali Kecamatan Medan Polonia. Pandangan mengenai aspek strategis penataan ruang kawasan perkotaan yang pada dasarnya mengacu pada pemberdayaan manusia dan masyarakat serta peningkatan kualitas lingkungan perkotaan akan memberikan daya dorong dan daya dukung yang berkesinambungan terhadap pembangunan nasional baik pada masa dan masa mendatang. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian persepsi masyarakat terhadap rencana perubahan tata guna lahan khususnya di wilayah kecamatan Medan Polonia untuk mengetahui sejauh manakah cerminan aspek keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang kota Medan yang telah dilakukan pemerintah dapat terlihat khususnya di kawasan sekitar Bandar Udara Polonia yang akan menjadi salah satu sentra primer kota Medan kedepannya. Berbekal dari hasil studi literatur teoritis, kajian studi kasus sejenis dan hasil observasi lapangan awal yang dilakukan, peneliti mengidentifikasikan beberapa hal utama yang perlu diperhatikan dalam melakukan kajian persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan kawasan sekitar bandar udara Polonia dengan menggunakan variabel utama penelitian yang bersifat kuantitatif terkait aspek ekonomi dan sosial dalam hal ini jenis pekerjaan serta lokasi dimana masyarakat tinggal berdasarkan faktor-faktor penentu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1.
Persepsi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap aktifitas bandar udara Polonia selama ini;
2.
Persepsi terciptanya rasa keamanan dan kenyamanan di lokasi tempat tinggal saat ini;
3.
Persepsi tingkat pemahaman masyarakat terhadap rencana perubahan tata guna lahan kedepannya;
4.
Persepsi tingkat persetujuan masyarakat terhadap detail perubahan tata guna lahan di setiap kawasan;
5.
Persepsi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan perubahan tata guna lahan kedepannya;
6.
Persepsi terjadinya peningkatan perekonomian kota apabila terjadi perubahan tata guna lahan kedepannya;
7.
Persepsi terjadinya peningkatan perekonomian masyarakat apabila terjadi perubahan tata guna lahan kedepannya;
8.
Persepsi keyakinan tersedianya kebutuhan infrastruktur maupun fasilitas yang akan menunjang keberlangsungan hidup dan aktifitas masyarakat apabila terjadi perubahan tata guna lahan kedepannya;
9.
Persepsi kekhawatiran masyarakat terhadap hilangnya identitas sosial mereka akibat adanya pendatang sebagai dampak dari perubahan tata guna lahan kedepannya;
10. Persepsi kekhawatiran masyarakat terhadap terjadinya degradasi sosial akibat perubahan tata guna lahan kedepannya;
Universitas Sumatera Utara