BAB II Tinjauan Pustaka
A. Pendidikan Kewarganegaan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Secara bahasa, istilah “Civic Education” oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili oleh Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta,
sebagai pengembang
Civic Education pertama di perguruan tinggi.
Penggunaan istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili oleh Winataputra dkk dari Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6) Pendidikan kewarganegaraan menurut Depdiknas (2006:49), adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Lebih lanjut Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa: PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001:158): a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu. b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan. d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu Kewarganegaraan. e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa. f. Kegiatan dasar manusia. g. Pengertian pendidikan IPS
Unsur-unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan pendidikan kewarganegaraan akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS. Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001:159): Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmuilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS. Beberapa
faktor
yang
lebih
menjelaskan
kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161): Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
mengenai
pendidikan
a. PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (intergrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara. b. PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, Pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi. d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD1945, GBHN, filsasat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi. e. PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilainilai warga negara yang baik (good citizen)dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs). f. Dalam kepustakan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi.
2. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan Setiap masyarakat dibelahan bumi manapun sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warga negara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan masayarakat dan negaranya. Keinginan tersebut lebih tepat disebut sebagai perhatian yang terus tumbuh, terutama dalam masyarakat demokratis. Banyak sekali bukti yang menunjukan bahwa tak satu pun negara, Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
termsuk Indonesia, telah mencapai tingkat pemahaman dan penerimaan terhadap hakhak dan tanggung jawab diantara keseluruhan warga negara untuk menyokong kehidupan demokrasi kontitusional. Untuk maksud itu dikembangkanlah Citizenship Education atau Pendidikan Kewarganegaraan ( Budimansyah, 2010:107). Secara historis-epistemologis, Amerika Serikat (USA) dapat dicatat sebagai negara perintis kegiatan kurikuler dalam pengmbangan konsep dan paradigma citizenship education. Perkembangan pemikiran tentang Civic Education atau Citizenship Education di Amerika Serikat secara tidak langsung mempengaruhi perjalanan sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan, secara formal, diawali dengan munculnya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962. Di dalam Kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan digunakan secara bertukarpakai. Misalnya dalam kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang digunakan sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan Civics. Di dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan konstitusi termasuk UUD NRI 1945, sedangkan di dalam kurikulum SMA 1968 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara berisikan materi terutama berkenaan dengan UUD NRI 1945 (Somantri, 2001:285; Budimansyah, 2010:114). Selanjutnya dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan yang diamanatkan oleh tap MPR II /MPR/ 1973. Mata Pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD,SMP, SMA, SPG dan sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. (Budimansyah, 2010:115). Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang Pendidikan . Kurikulum 1994 yang memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau Pendidikan Kewarganegaraan. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas (Budimansyah, 2010:116). Semantara itu untuk mengimbangi dinamika perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) yang demikian cepat, sejak 2004 dilakukan pembaharuan kurikulum persekolahan. Pembelajaran bedasarkan kurikulum 1994 lebih mengarahkan peserta didik untuk menguasai materi pengetahuan. selanjutnya pengembangan kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Adanya ketentuan tentang pendidikan kewarganegaraan dalam UU Sisdiknas sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menunjukkan mata pelajaran ini menempati kedudukan yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional di negara ini. Adapun arah pengembangannya hendaknya difokuskan pada pembentukan peserta didik agar menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Namun apabila mencermati perkembangan historis-epistimologis pendidikan kewarganegaraan di indonesia, ternyata sampai sejauh ini baik istilah yang dipakai, misi dan isi mata pelajaran civics atau Pengetahuan Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan Pancasila Dan Kewarga Negaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraaan yang berkembang hampir empat dasawarsa (1962-1998) menunjukan terjadinya inkonsistensi pemikiran yang secara mendasar mencerminkan terjadinya krisis konseptual, yang tentunya berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler. Keadaan ini mirip dengan situasi yang juga pernah dialami diamerika serikat, dimana civics, civics education, citizen ship education, social studies/ social sience education sejak kelahirannya tahun 1880-an sampai dengan terbitnya dokumen akademis NCSS (1994) curiculum standards for social studies: expectation of excellence dan dokumen akademis civitas (1994) „national standards for civics and goverment‟. Tampaknya mereka kini telah Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
berhasil mengatasi krisis konseptual dan kurikuler. Setidaknya mereka kini telah mencapai suatu kosensus akademis dan programatig yang pada gilirannya akan memandu terjadinya proses kurikulum yang lebih koheren. (Budimansyah, 2010:123). Dalam upaya mencari kesepakatan, yang kalau bisa dapat melahirkan curiculum standard seperti di Amerika Serikat, ada beberapa pertanyaan yang perlu dicari bersama sama jawabannya, antara lain: tujuan pendidikan nasional yang mana yang secara logis seyogyanya menjadi Parapan utama bidang pendidikan sosial? bagaimana paradigma dasar bidang pendidkan sosial disekolah? bila bidang pendidikan sosial itu perlu diwadahi oleh lebih dari satu mata pelajaran, bagaimana menetapkannya? bila telah ditetapkan adanya beberapa mata pelajaran sosial di sekolah bagaimanakah keterkaitannya satu dengan yang lainnya? dan bagaimanakah jati diri dari masing-masing mata pelajaran itu sehingga benar-benar memiliki keunikan yang nantinya harus dapat dilihat dari visi, misi, dan strateginya?. Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, tampaknya perlu diadakan pengkajian khusus terhadap perkembangan pemikiran mengenai pendidikan kewarganegaraaan di Indonesia sejak proklamasi 17 agustus 1945 sampai dengan tahun 1999 sebagai titik akhir abad ke-20. Hal itu dapat dilihat dari cita-cita, konsep, nilai, prinsip yang secara konseptual tersurat dan atau tersirat dalam berbagai dokumen resmi, yang memang merupakan pilar-pilar pendidikan nasional Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam buku lima 50 tahun perkembangan pendidkan Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
indonesia (Djojonegoro:1996), dan berbagai dokumen resmi lainnya sejak tahun 1995 sampai sekarang. (Budimansyah, 2010:123). 3.Tujuan Pendidikan Kewarganegaraaan PKn untuk persekolahan sangat erat kaitannya dengan dua disiplin ilmu yang erat dengan kenegaraan, yakni ilmu politik dan hukum yang terintegrasi dengan humaniora dan dimensi keilmuan lainnya yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran disekolah. Oleh karena itu, PKn ditingkat persekolahan bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik (to be smart and good citizen). Warganegara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (atitudes and values) yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air. (Rahmat dkk. 2008:6). Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Bedasarkan uraian tersebut Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai tujuan agar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai berikut : a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian, secara umum mata pelajaran PKn memiliki tujuan untuk mendidik warga negara agar menjadi warganegara yang baik (to be good citizenship) yang dapat dilukiskan dengan warganegara yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, memupuk rasa kekeluargaan, memupuk rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan tanah air, demokratis, cakap dan bertanggung jawab, mentaati hukum dan normanorma yang berlaku, berwawasan luas, berbudi pekerti luhur, dan seterusnya (memiliki kecerdasan dan keterampilan spiritual, intelektual, sikap/emosional, serta keterampilan sosial) sehingga dapat mengembangkan potensi, berperan dan mampu memposisikan diri dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara bahkan dalam pergaulan antar bangsa. Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warganegara agar menjadi warganegara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warganegara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis..., Pancasila sejati” (Somantri, 2001:279). Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Lebih lanjut Tujuan PKn yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu : “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia. `
Berdasarkan pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa PKn sebagai
program pengajaran tidak hanya hanya mengacu pada aspek kognitif saja, melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan psikomotor. Selain aspek-aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai. 4. Reposisi Peran Pendidikan Kewarganegaraan Jika melihat perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di atas, maka substansi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada periode-periode di atas bertumpu pada falsafah negara Pancasila dan doktrin-doktrin politik kontemporer. Namun demikian, apabila disimak lebih dalam terdapat perbedaan dalam cara mengejawantahkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Pancasila sealur dengan Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
orientasi dan kepentingan politik masing-masing rezim. Orientasi dan kepentingan politik rezim penguasa telah mewarnai arah, isi, misi, dan implementasi Pendidikan Kewarganegaraan pada zamannya masing-masing. Implikasinya dapat dilihat dari pendekatan pedagogisnya, yakni Pendidikan Kewarganegaraan yang cenderung bersifat dogmatis-doktriner dengan tekanan yang terlalu berebihan pada proses penanaman nilai (Wahab, 2006:61; Winataputra dan Budimansyah, 2007:97). Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan paradigma dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, seiring dengan munculnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mencantumkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk: “... berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dalam paradigma lama, Pendidikan Kewarganegaraan antara lain bercirikan struktur keilmuan yang tidak jelas, materi disesuaikan dengan kepentingan politik rezim (hegemoni penguasa), memiliki visi untuk memperkuat state building (negara otoriter birokratis, kooptasi negara) yang bermuara pada posisi warganegara sekedar sebagai kaula/obyek yang lemah ketika berhadapan dengan penguasa. Akibatnya semakin sulit untuk mengembangkan karakter warganegara yang demokratis. Adapun paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan antara lain bercirikan memiliki struktur keilmuan yang jelas yakni berbasis pada ilmu politik, hukum dan filsafat Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
moral/Pancasila dan memiliki visi yang kuat untuk nation and character building, pemberdayaan
warga
negara
(citizen
empowerment)
yang
mampu
untuk
mengembangkan masyarakat kewargaan (civil society). Dalam paradigma baru, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor value-based education dengan kerangka sistemik sebagaimana dikemukakan Budimansyah (2008:108) berikut ini: a. Secara kurikuler bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab. b. Secara teoretik memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik (civic knowledge, civic disposition, dan civic skills) yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. c. Secara programatik menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma baru mengusung tujuan utama mengembangkan “civic competences” yakni civic knowledge (pengetahuan dan wawasan kewarganegaraan), civic disposition (nilai, komitmen, dan sikap kewarganegaraan), dan civic skills (perangkat keterampilan intelektual, sosial, dan personal kewarganegaraan) yang seyogyanya dikuasai oleh setiap individu warga Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
negara (Winataputra, 2001:317-318). Ketiga komponen tersebut secara konseptual dan teoritik sejak tahun 1994 telah diajukan oleh Center for Civic Education dalam National Standards for Civics and Government (Branson, 1999:8-25), akan tetapi baru lebih banyak terakomodir dalam Kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi. Hal ini bisa dilihat pada pengertian, tujuan dan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam perangkat Kurikulum 2006. Sampai saat ini PKn sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor "value-based education". Konfigurasi atau kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut (Budimansyah,2008:180) : Pertama, PKn secara kurikuler
dirancang
sebagai
subjek
pembelajaran
yang
bertujuan
untuk
mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, PKn secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dalam merancang program pendidikan yang mengakomodasikan kecenderungan dan persoalan global tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan untuk secara bertahap dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang pendidikannya. Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Melihat adanya perubahan-perubahan yang terjadi seperti yang diuraikan diatas, maka Reposisi Peran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi 3 hal (Budimansyah, 2010 : 144-146), meliputi Pertama, PKn sebagai program kurikuler di lembaga pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi) maupun nonformal (luar sekolah), yang berperan sebagai wahana pemuliaan dan pemberdayaan anak dan pemuda sesuai dengan potensinya agar menjadi warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa untuk mendidik anak menjadi warga negara yang cerdas dan baik harus dilakukan secara sadar dan terencana dalam suatu proses pembelajaran agar mereka secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, beserta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Proses pembinaan warga negara yang melibatkan aspek psiko pedagogis ini dinamakan pendekatan psycho paedagogical development. Kedua, PKn sebagai gerakan sosio-kultural kewarganegaraan yang berperan sebagai wahana aktualisasi diri warganegara baik secara perorangan maupun kelompok sesuai dengan hak, kewajiban, dan konteks sosial budayanya, melalui partisipasi aktif secara cerdas dan bertanggung jawab. Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa kewarganegaraan bertalian dengan masyarakat, karena disamping secara historis konsep tersebut tumbuh bersamaan dengan perkembangan identitas manusia sebagai makhluk sosial politik, juga disebabkan oleh adanya usaha mewujudkan orde sosial yang baik dan diharapkan (desirable) melalui penguatan Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
nilai-nilai dalam masyarakat. Karena yang dibangun dalam gerakan sosiokultural kewarganegaraan itu pranata sosial yang berunsurkan sistem nilai dan norma, maka masyarakat dan komunitas dalam hal ini perlu menyediakan ruang publik bagi warganegara untuk ber-PKn (doing PKn). Analisis sosiologis terhadap perkembangan masyarakat kita dewasa ini menunjukkan bahwa akar dari berbagai masalah sosial budaya ini dapat digolongkan ke dalam empat masalah dasar yang perlu menjadi agenda dalam gerakan sosio-kultural kewarganegaraan, yakni masalah kerukunan, kepedulian, kemandirian, dan demokrasi. Proses pembinaan warga negara yang melibatkan pranata sosial yang berunsurkan sistem nilai dan norma ini dinamakan pendekatan socio-cultural development. Ketiga, PKn sebagai program pendidikan politik kebangsaan bagi para penyelenggara negara, anggota dan pimpinan organisasi sosial dan organisasi politik yang dikemas dalam berbagai bentuk pembinaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan kebajikan kewarganegaraan (civic disposition) yang mengacu pada prinsip konseptualpedagogis untuk mengembangkan daya nalar (state of mind), bukan wahana indoktrinasi politik, dan sebagai suatu proses pencerdasan. Pemikiran ini di dasarkan pada asumsi bahwa peran negara dalam membina warga negara tidak dapat dihilangkan dengan menguatnya masyarakat civil (civil society). Negara sebagai suatu organisasi puncak memiliki kekuasaan untuk meningkatkan partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warganegara dalam kehidupan politik dan Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional. Partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yang penting diantaranya (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakter dan sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Proses pembinaan warganegara melalui pendidikan politik kebangsaan ini saya namakan pendekatan socio-political intervention. Jadi, dapat disimpulkan bahwa untuk membangun karakter bangsa, pkn harus memainkan peran sebagai program kurikuler pada lembaga pendidikan formal maupun nonformal, sebagai gerakan sosio-kultural kewarganegaraaan, dan sebagai pendidikan politik kebangsaan bagi penyelenggara negara, pimpinan dan anggota organisasi sosial dan organisasi politik. Ketiga peran tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan. Program kulikuler merupakan pembuka cakrawala kewarganegaraan, gerakan sosio-kultural sebagai pendobrak sekat-sekat kewarganegaraan, dan pendidikan politik kebangsaan merupakan penegas partisipasi kewarganegaraan. B. Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad -18. Terminologi ini biasanya mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang dikenal dengan teori pendekatan normatif. Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang menjadi priorirtas adalah nilai-nilai trasenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik individu maupun bagi perubahan sosial. (koesoema 2007: 9) Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development. Hal ini berarti, guna mendukung perkembangan karakter peserta didik, seluruh komponen di sekolah harus dilibatkan, yakni meliputi isi kurikulum (the content of the curriculum), proses pembelajaran (the process of instruction), kualitas hubungan (the quality of relationships), penanganan mata pelajaran (the handling of discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, dan etos seluruh lingkungan sekolah. Kilpatrick dan Lickona merupakan pencetus utama pendidikan karakter. Keduanya percaya adanya keberadaan moral absolute yang perlu diajarkan kepada generasi muda agar paham betul mana yang baik dan benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) juga Brooks dan Goble tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”. Contohnya adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat, dan bertanggung jawab ) (Martianto, dalam www.tumoutou.net). Pendidikan karakter di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar. Karakter dasar menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan pilar karakter dasar tersebut adalah: (1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, (2) tanggung Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
jawab, disiplin dan mandiri, (3) jujur, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, serta (9) toleransi, cinta damai dan persatuan. Hal ini berbeda dengan karakter dasar yang dikembangkan di negara lain, serta karakter dasar yang dikembangkan oleh Ari Ginanjar (2007) melalui ESQnya. Tujuan pendidikan karakter adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-anak akan tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup. Pendidikan karakter yang efektif, ditemukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting (Battistich, dalam musfiroh : 2008). Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), acting, menuju kebiasaan (habit). Hal ini berarti, karakter tidak sebatas pada pengetahuan. Menurut William Kilpatrick, seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai pengetahuannya itu kalau ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter tidak terbatas pengetahuan. Karakter lebih dalam lagi, menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu, dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the goood” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. 2. Paradigma Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk "membentuk" kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Thomas Lickona, 1992). Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Misbahul Huda dalam sebuah opininya menyitir, membangun kembali karakter bangsa ini akan efektif jika melalui jalur pendidikan. Namun, hal itu harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Mulai keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sebab, pendidikan karakter mencakup pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan kepengamalan nilai secara nyata. Dari gnosis sampai ke praksis. Singkatnya, pendidikan karakter adalah membimbing orang untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai. Terdapat tiga hal penting yang mesti diperhatikan dalam pendidikan karakter. Yakni, pembiasaan, contoh atau teladan, dan pendidikan/pembelajaran secara terintegrasi. (http//www.Aksi Guru.com.htm) Ada dua paradigma dasar pendidikan karakter. Pertama, paradigma yang memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Pada paradigma ini disepakati telah adanya karakter tertentu yang tinggal diberikan kepada peserta didik. Kedua, melihat pendidikan dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas. Paradigma ini memandang pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi, menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pelaku utama dalam pengembangan karakter. Paradigma kedua memandang peserta didik sebagai agen tafsir, penghayat, sekaligus pelaksana nilai melalui kebebasan yang dimilikinya.Melalui gabungan dua paradigma ini, pendidikan karakter akan bisa terlihat dan berhasil bila kemudian seorang peserta didik tidak hanya memahami pendidikan nilai sebagai sebuah bentuk pengetahuan, namun juga menjadikannya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
hidup berdasar pada nilai tersebut. 4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter Ada sementara dikalangan pendidik mempersepsi pendidikan karakter sebagai suatu bahan ajaran baru dalam kurikulum satuan pendidikan. Persepsi itu tidak semuanya salah sebab kehadiran pendidikan karakter memang harus disambut dengan karya nyata para pendidik di satuan pendidikan untuk menyemai generasi muda yang berkarakter. Namun walaupun demikian kehadiran pendidikan karakter bukan dimaksudkan untuk menambah pelajaran baru melainkan menyempurnakan proses belajar dan pembelajaran yang ada agar menyentuh pengembangan karakter warganegara. (Budimansyah, 2010:115). Pendidikan di sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami siswa dan setiap individu yang bekerja dalam lingkup pendidikan itu sendiri. ada beberapa prinsip yang bisa dijadikan pedoman bagi promosi pendidikan karakter di sekolah menurut (koesoema 2007:218) : a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau yang kamu yakini. Prinsip ini ingin memberikan verifikasi konkret tentang seorang individu dengan memberikan prioritas pada unsur psikomotorik yang menggerakan seseorang untuk bertindak. Pemahaman, pengertian, keyakinan akan nilai secara objektif oleh seorang individu akan membantu mengerahkan individu tersebut pada sebuah keputusan berupa tindakan. namun, verifikasi nyata sebuah perilaku berkarakter hanya bisa dilihat dari fenomena luar berupa perilaku dan tindakan. Jadi, perilaku berkarakter itu ditentukan oleh perbuatan, bukan melalui kata-kata seseorang. b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam apa dirimu. Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Individu mengukuhkan karakter pribadinya melalui setiap keputusan yang diambilnya. Hanya dari keputusan inilah seorang individu mendefinisikan karakternya sendiri. Oleh karena itu, karakter seseorang itu bersifat dinamis. Ia bukanlah kristalisasi pengalaman masa lalu, melainkan kesediaan setiap individu untuk terbuka dan melatihkan kebebasannya itu dalam membentuk jenis manusia macam apa dirinya itu melaui keputusan-keputusan dalam hidupnya. Untuk inilah setiap keputusan menjadi semacam jalinan yang membingkai, membentuk jenis manusia macam apa yang dinginkannya. c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus membayarnya secara mahal, sebab mengandung resiko. Pribadi yang berproses mebentuk dirinya menjadi manusia yang baik, juga akan memilih cara-cara yang baik bagi pembentukan dirinya. Maxim moral imperatif kategoris Kant disini tetap berlaku. Setiap manusia mesti menganggap bahwa manusia itu bernilai didalam dirinya sendiri, karena itu tidak pernah boleh ia diperalat dan dipergunakan sebagai sarana bagi tujuantujuan tertentu. Inilah yang membuat pendidikan karakter memiliki dimensi moral. Keyakinan moral inilah yang menentukan apakah seorang individu itu sebagai manusia ia menjadi manusia berkualitas. Individu akan dinilai kualitasnya dari kesetiaan dan konsistensinya menjalankan sistem nilai yang dipercayainya sebagai baik. Oleh karena itu, ia tidak akan putus asa, lari, kompromi, ketika nilai-nilai yang diyakininya sebagai baik itu mendapat tentangan dan halangan. Bahkan, seorang yang memiliki karakter dan memiliki integritas moral akan menjaga keutuhan dirinya, yaitu keserasian antara pikiran, perkataan dan tindakan, bahkan jika atas keyakinan ini ia harus membayar mahal dengan resiko, bahkan dengan nyawanya sendiri. d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka. Tekanan sosial dan kelompok sebaya menjadi arena yang ramai bagi pergulatan pendidikan karakter disekolah. Kultur non edukatif yang berlangsung terus dalam sebuah lembaga pendidikan jika tidak segera diatasi akan menjadi standar perilaku bagi para siswa. demikian juga tekanan kelompok sebaya sangat memengaruhi siswa dalam mengembangkan pendidikan karakter yang berguna bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, para guru dan pendidik semestinya bisa menyadarkan anak-anak itu bahwa perilaku yang buruk bukanlah standar perilaku yang patut dicontoh, meskipun itu dilakukan oleh banyak siwa lain. mereka harus dapat meyakinkan, bahwa nilai yang baik itu adalah nilai yang didalam dirinya sendiri memang baik. Nilai itu bukan menjadi baik kalau banyak orang melakukannya, melainkan karena nilai itu memang baik didalam dirinya sendiri, meskipun hanya sedikit melakukannya. prinsip ini akan membantu siswa menyadari kekuatan diri Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
berkaitan dengan keteguhan moral yang mereka miliki. Kultur memang bisa menindas kebebasan manusia dan merancuhkan sistem nilai, namun individu tetap memili kebebasan untuk mengadakan seleksi nilai sesuai dengan kesadaran nurani dan kejernihan akal budinya. e. Apa yang kamu laukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang individu bisa mengubah dunia. Para siswa perlu disadarkan bahwa setiap tindakan yang berkarakter, setiap tindakan yang bernilai, dan setiap perilaku bermoral yang mereka lakukan memiliki makna dan bersifat transformatif. Jika perubahan itu belum terjadi dan menyerambah didalam masyarakat. Paling tidak perubahan itu telah terjadi didalam diri siswa itu sendiri. Perubahan seorang individu, jika dihayati sebagai bagian dari panggilan hidupnya, akan memilki dampak besar bagi perubahan dunia. Banyak contoh yang telah menunjukan bahwa perilaku dan keputusan seorang individu itu mampu mengubah dunia. f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni. Setiap tindakan dan keputusan yang memiliki karakter membentuk seorang individu itu menjadi pribadi yang lebih baik. Setiap kali kita membuat keputusan moral dan bertindak secara konsisten atas keputusan moral tersebut, kita mengukuhkan diri kita sebagai manusisa yang baik. Kita maju setapak dalam proses menyempurnakan diri dan mendidik diri kita sendiri. jika setiap orang berusaha memiliki sikap dasar seperti ini, kehadiran kita akan menjadi berkat bagi orang lain, dan dunia ini menjadi sebuah tempat yang lebih baik untuk dihuni oleh manusia. Pendidikan karakter mempersyaratkan bahwa setiap kinerja individu didalam lingkungan sekolah dijiwai oleh semangat pendidikan karakter ini, memiliki metode yang efektif bagi penanaman nilai, memiliki prioritas nilai yang menjadi visi utama kelembagaan. Untuk inilah perlu pemahaman yang jernih tentang perbedaan antara pendidikan karakter, pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan. pemahaman tentang hal ini penting agar dalam praksis di lapangan kita bisa tetap menempatkan diri setiap momen dalam pendidikan sebagai sebuah sinergi bagi kehadiran pendidikan karakter di sekolah. Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
5. Tujuan Pendidikan Karakter Memang tidak dapat diingkari bahwa sudah sangat mendesak pendidikan karakter deterapkan di dalam lembaga pendidikan kita. Alasan-alasan kemerosotan, moral, dekadensi kemanusian yang terjadi tidak hanya dalam diri generasi muda kita, namun telah menjadi ciri khas abad kita, seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan
kembali
bagaimana
lembaga
pendidikan
mampu
menyumbangkan perannya bagi perbaikan kultur. Bagaimana meletakkan pendidikan karakter dalam kerangka perdebatan tentang tujuan pendidikan? Meletakkan tujuan pendidikan karakter dalam kerangka tantangan diluar kinerja pendidikan, seperti situasi kemerosotan moral dalam masyarakat yang melahirkan adanya kultur kematian sebagai penanda abad kita, memang bukan merupakan landasan yang kokoh bagi pendidikan karakter itu sendiri. Sebab dengan demikian, pendidikan karakter memperhambakan diri demi tujuan korektif, kuratif situasi masyarakat. Sekolah bukanlah lembaga demi reproduksi nilainilai sosial, atau demi kepentingan korektif bagi masyarakat diluar dirinya, melainkan juga mesti memliki dasar internal yang menjadi ciri bagi lembaga pendidikan itu sendiri. Manusia secara natural memang memiliki potensi dalam dirinya untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan dirinya dan keterbatasan budayanya. Dilain pihak manusia tidak dapat abai terhadap lingkungan sekitar dirinya. Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dinamis dialektis, berupa tanggapan individu ataas impuls natural ( fisik dan psikis), social, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga potensi potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Semakin menjadi manusiawi berarti ia juga semakin menjadi mahluk yang mampu berelasi secara sehat dengan lingkungan diluar dirinya tanpa kehilangan otonomi dan kebebasannya sehingga ia menjadi manusia yang bertannggung jawab. Untuk ini, ia perlu memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan dan pengharagaan harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam usaha dirinya untuk menjadi sempurna melalui kehadiran orang lain dalam ruang dan waktu yang menjadi cirri drama singularitas historis tiap individu. Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialekta proses pembentukan individu, para insan pendidik, seperti, guru, orang tua, staf sekolah, masyarakat, dll, diharapkan dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan bagi anak didik dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan berupa, kenyamanan, keamanan yang membantu suasana pengambangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya ( teknis, intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis dan religius).
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Untuk kepentingan individu secara integral ini, pendidikan karakter semestinya memiliki tujuan jangka panjang yang mendsarkan diri pada tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls natural sosial yang diterimanya yang pada gilirannya semakiin mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat poses pembentukan diri terus menerus ( on going formation). Tujuan jangka panjang ini tidak sekedar idealisme yang penentuan sarana untuk mencapai tujuan itu tidak dapat diverifikasi, melainkan sebuah pendekatan dialektis yang semakin mendekatkan antara yang ideal dengan kenyataan, melalui proses refleksi dan interaksi terus menerus, antara idealisme, pilihan sarana, dan hasil langsung yang dapat dievaluasi secara objektif. Pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Untuk ini, dua paradigma pendidikan karakter merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dapat dipisahkan. Penanaman nilai dalam diri siswa, dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu merupakan dua wajah pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan. Dua hal ini, jika kita integrasikan akan menjadikan pendidikan karakter sebagai pedagogi. (koesoema 2007:134) C. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Pembentukan Karakter Siswa 1. Pendidikan Nilai Nilai merupakan realitas abstrak dalam diri manusia yang menjadi daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku sehari-hari. Seseorang yang telah Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
menghayati nilai kejujuran sebagaimana dijarkan oleh Islam akan terdorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada orang lain bahkan terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai bertujuan untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dalam pembinaan akhlak, perhatian yang cukup besar hendaklah dberikan terhadap pendidikan akhlak anak-anak. Masa kanak-kanak adalah mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu anak-anak harus dididik dengan akhlak yang mulia. Sedini mungkin anak-anak harus mendapat pendidikan akhlak mulia, sebab “kesan” pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam
kehidupan
mereka
di
masa
yang
akan
datang.
http.www.Diaz
Corner//pendidikan nilai.com) Djahiri (1996:20,43) menyatakan bahwa pendidikan nilai merupakan salah satu rekayasa kependidikan dalam membina dan membentuk SDM seutuhnya, yang dapat menyeimbangkan antara kekuatan yang memperlemah (desonasi) dan yang memperkuat (resonasi) penyerapan nilai-nilai pada saat proses afektual dibina. Adapun esensi pendidikan nilai adalah menimbulkan
ekses
destruktif,
belajar yang bersifat intelektual dapat
pendidikan
nilai
sangat
diperlukan
untuk
mengembangkan potensi emosi dan perasaan. Otak bukan hanya bekerja sebagai
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
gudang fakta dan konsep, akan tetapi untuk menemukan isi pesan, jiwa dari fakta dan konsep tersebut serta menjadikannya sebagai perilaku yang baik. Secara konseptual pendidikan nilai merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan, karena pada dasarnya tujuan akhir dari pendidikan sebagaimana tersurat dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Pasal 3) adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.” Pendidikan nilai secara substantif melekat dalam semua dimensi tujuan tersebut yang memusatkan perhatian pada nilai aqidah keagamaan, nilai sosial keberagamaan, nilai kesehatan jasmani dan ruhani, nilai keilmuan, nilai kreativitas, nilai kemandirian, dan nilai demokratis yang bertanggung jawab. Berkaitan dengan konsep dasar pendidikan nilai, Hermann (1972) secara teoritik mengemukakan bahwa “…value is neither taught nor cought, it is learned”, yang artinya bahwa substansi nilai tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam arti ditangkap, diinternalisasi, dan dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar. Yang perlu diingat adalah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa proses belajar tidaklah terjadi dalam ruang bebas-budaya tetapi dalam masyarakat yang syaratbudaya karena kita hidup dalam kehidupan masyarakat yang berkebudayaan. Oleh karena itu memang betul bahwa proses pendidikan pada dasarnya merupakan proses Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
pembudayaan atau enkulturasi untuk menghasilkan manusia yang berkeadaban, termasuk di dalamnya yang berbudaya. Sekolah sebagai institusi pendidikan yang berperan aktif menanamkan nilainilai kepada para peserta didik harus memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan nilai ini. Penerapan pendidikan nilai di sekolah harus melibatkan semua unsur yang terlibat di sekolah itu. Iklim sekolah harus memberi peluang terjadinya interaksi positif antara peserta didik dengan nilai-nilai yang akan diinternalisasikan, baik melalui keteladanan personal, diskusi, maupun proses belajar mengajar dalam arti seluas-luasnya. Komunikasi pendidik dengan peserta didik harus baik yang didasari pada adanya penerimaan kedua belah pihak. Muatan komunikasi itu juga penting agar mengarah kepada nilai-nilai yang diinginkan. Pendidikan nilai harus ditanamkan kepada peserta didik sebelum mereka mencapai usia akhir pembentukan kepribadian pada usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati batas ini, sudah amat sulit memasukkan nilai-nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk (reconstruction of personality). Oleh sebab itu nilai-nilai Islam dalam bentuk akhlak al-karimah sudah terkristal dan terinternalisasi sejak kecil agar menjadi sikap hidup yang tak memerlukan lagi pengawasan dari luar diri individu. Ada atau tidak ada polisi akan berhenti otomatis bila lampu merah lalu lintas menyala. Ada atau tidak ada orang yang melihat secara otomatis akan menjalankan kewajibannya kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Apa yang gencar disosialisasikan akhir-akhir ini dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelegence) pada dasarnya adalah metode Al-Qur‟an dalam menanamkan nilai-nilai akhlak kepada manusia. Gerakan ketrampilan emosional yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman adalah mengubah istilah pendidikan afektif secara terbalik, yaitu bukan menggunakan perasaan untuk mendidik, melainkan mendidik perasaan itu sendiri. Di sinilah pendidikan nilai memegang peran penting karena mendidik perasaan manusia agar peka terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur untuk
diimplementasikan
dalam
kehidupan
individu
maupun
kelompok.
(http.www.Diaz Corner//pendidikan nilai.com) 2. Pendidikan Nilai Moral Dalam Pendidikan Kewarganegaraan Secara konseptual pendidikan nilai merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan, karena pada dasarnya tujuan akhir dari pendidikan sebagaimana tersurat dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Pasal 3) adalah "untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab." Pendidikan nilai secara substantif melekat dalam semua dimensi tujuan tersebut yang memusatkan perhatian pada nilai akidah keagamaan, nilai social keberagaman, nilai kesehatan jasmani dan ruhani, nilai keilmuan, nilai kreativitas, nilai kemandirian, dan nilai demokratis yang bertanggung jawab. (Budimansyah, 2010:129). Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Di Indonesia wacana pendidikan nilai tersebut secara kurikuler terintegrasi antara lain dalam pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan bahasa dan seni. Khusus mengenai pendidikan nilai dalam UU No. 20 Tahun 2003 secara khusus tidak menyebutkan, namun secara implisit, antara lain tercakup dalam muatan pendidikan kewarganegaraan, yang secara substantif dan pedagogis mempunyai misi mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air (Penjelasan Pasal 37). Hal itu juga ditopang oleh rumusan landasan kurikulum, yang secara eksplisit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, keragaman potensi daerah dan lingkungan dan peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik. (Budimansyah, 2010:132). Tidak seorangpun mampu melepaskan diri dari hakekat kodrati manusia sebagai insan yang dapat dididik dan belajar sepanjang hayat (educated human being), sehingga dinamik berubah sepanjang masa. Pengalaman hidup manusia (life experiences) adalah pengalaman belajar manusia yang dari waktu/kondisi/tempat ke waktu/kondisi/tempat mengembangkan potensi diri dan kehidupan kita baik dalam arus positif maupun arus negative. Bahwa Potensi diri manusia yang Illahiah yang dibawa setiap manusia meliputi potensi badaniah dan rohaniah. Melalui berbagai kajian pakar pendidikan dan psikologis, potensi rohaniah dikatagorikan kedalam tiga potensi dasar yakni Daya Intelektual/Nalar (dengan 6 potensi ); daya afektual (8
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
potensi afektual) dan Psikomtorik (8 potensi), sehingga keseluruhannya meliputi 22 potensi.(Djahiri, 2006: 3-4) Dalam Dunia Pendidikan (terutama pendidikan formal) secara kurikuler rumusan sosok keluarannya dinyatakan harus utuh bulat (ragawi dan rohaniah) namun secara programatik - prosedural maupun realita keluarannya (outcomes) bersifat parsial. Totalitas diri anak didik hampir tidak pernah dibelajarkan secara kaffah. Target penyelesaian bahan ajar yang konseptual teoritik - keilmuan/normative atau structural disipliner dan target nilai angka (marking) atau NEM tinggi yang diiringi ketidak profesionalan guru melahirkan pendidikan dan pembelajaran parsial. Masalah potensi ragawi dan nilai – moral serta norma hampir tidak pernah masuk hitungan termasuk dalam program khusus MKU (PKN, PAI, dll). Tidak Profesionalnya guru, disamping pola pembelajaran – pelatihan professional skills yang kurang terutama dikarenakan ketentuan formal dan system seperti a.l. wajib mengajar minimal 19 jampel di satu sekolah, sistim penempatan guru, guru SD adalah guru kelas (baca “Guru 7 mata pelajaran” ! ). Maka oleh karenanya tidaklah mustahil apa yang dikemukakan McLuhan (teori Pendulum) besok lusa akan berwujud, yakni manusia yang cerdas otaknya namun tumpul emosinya. Potret ini disejumlah tempat sudah mulai nampak. Proces emoting - minding, spiritualizing, valuing dan mental round trip dikalahkan oleh proces thinking and rationalizing. Pembelajaran berlandaskan nilai moral yang normative/ luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran theoretic – conceptual based dan Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
perhitungan untung rugi rasional – keilmuan dan atau yuridis formal. (Djahiri, 2006:4) Potret diri & kehidupan manusia dengan perangkat NMNr yang amat kompleks, sarat paradoxal dan kontekstual inilah yang menuntut kehadiran Pendidikan Nilai Moral, sehinggga manusia tetap value based sebagai insan bermoral (morally mature person atau a healthy person) dan kehidupannya tetap terkendali (conditioned). Dalam diri dan kehidupan yang bermoral (berahllak mulia) seluruh sistemnya ( 5 sistem) selalu mengacu kepada seluruh tatanan NMNr yang berlaku/diyakini diri & kehidupan nya, ybs memiliki pengalaman belajar (learning experiences) dan kemampuan (kompetensi) bagaimana dan kapan mengoptimalisasi dan meminimalisasikan perangkat NMNr tadi secara instrumental/kontekstual dan balance. Insan bermoral (berahlak mulia) disamping memakai kemampuan intelektualnya (intellectual intelligence) juga selalu melakukan proses emoting, spiritualisasi (spiritualizing) dan valuing terhadap seluruh dimensi norm reference yang ada (diyakini ybs dan atau kehidupannya) sebelum pengambilan keputusan (taking position). Proses ini makin kini makin rendah (dimensi norm referencesnya maupun value basesnya), dan hanya mengutamakan proses analisis – penilaian (evaluating bukan valuing) intelektual – rasional – konseptual saja. Dimensi norma acuannya cenderung ke keilmuan (umumnya ekonomik saja) dan atau hukum formal. Perhitungan ekonomik “murah – mahal” hanya dihitung rasional sebagai selisih harga dan “legal – illegal” nya juga bersifat rasional “karena secara formal Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
melanggar/memenuhi ketentuan hukum” saja tanpa diiringi suara hati/qolbu (kasihan, penyesalan, rasa salah/dosa dll).Jelas kiranya, orang yang tidak mengenal perangkat tatanan NMNr dan tidak/ jarang dibelajarkan potensi afektualnya (8 potensi) sulit untuk diminta menjadi manusia bermoral. Djahiri (2006:8) menjelaskan bahwa Visi Pendidikan Nilai adalah untuk membina, menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan nilai moral norma luhur; serta juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berakhlak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah. Sedangkan Misi Pendidikan Nilai (Djahiri, 2006:8) adalah sebagai berikut : a. Memelihara /melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 sistem kehidupan yang saling berkait; b. Mengklarifikasi dan merevitalisasi sub a. sebagai “moral conduct” diri dan kehidupan manusia / masyarakat / bangsa / Negara. c. Memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing), dan memberdayakan (empowering) manusia dan kehidupannya secara utuh dan beradab. Insan/masyarakat bermoral dan masyarakat bangsa yang berkepribadian. d. Membina dan menegakan “law and order” serta tatanan kehidupan yang manusiawi – demokratis – taat azas. e. Kehusus di Negara kita, di samping hal-hal di atas juga membawa misi pembinaan dan pengembangan manusia / masyarakat / bangsa yang modern namun tetap taat berkepribadian Indonesia (sebagai mana kualifikasi dalam UU No 20 tahun 2003). 3. Pendidikan Karakter Hubungannya dengan Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan Kita sering bertanya, apakah pendidikan karakter itu sama dengan pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan? Kalau sama, di mana persamaannya? Kalau berbeda, di mana perbedaannya? Pendidikan Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan merupakan lima konsep yang berbeda. Mungkin satu hal yang membuat kelima konsep itu sama adalah kata “pendidikan”. Semua mengacu pada sebuah proses yang sama, yaitu “pendidikan”. Sebagai kegiatan mendidik, secara umum kelima konsep di atas sama-sama membantu siswa bertumbuh secara lebih matang dan kaya, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial dalam konteks kehidupan bersama. Yang membedakan kelima konsep di atas adalah materi atau isi pendidikannya. (Koesoema 2007:193) Pendidikan moral merupakan dasar bagi sebuah pendidikan karakter. Sebagaimana telah kita lihat dalam kasus Sokrates, kita melihat bahwa sekuat apa pun struktur menindas yang dijumpai oleh manusia, struktur itu tidak dapat memiliki kekuatan memaksa terhadap keputusan moral seseorang. Penguasa tiran dan telikung mayoritas sekalipun tetap tidak dapat menghalang-halangi keputusan moral individual seorang pribadi. Moralitas terutama berbicara tentang apakah aku sebagai manusia merupakan manusia yang baik atau buruk. Moralitas melihat bagaimana manusia yang satu mesti memperlakukan manusia yang lain. Moralitas merupakan pemahaman nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seorang individu dan komunitas agar kebebasan dan keunikan masing-masing individu tidak dilanggar sehingga mereka semakin menghargai kemartabatan masing-masing. Secara umum moralitas berbicara tentang
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
bagaimana kita memperlakukan orang, atau hal-hal lain secara baik, sehingga menjadi cara bertindak, terutama bagi pribadi dan komunitas. (Koesoema 2007:195) Pendidikan moral terutama lebih merupakan sebuah usaha dari individu untuk semakin membentuk dirinya sendiri dan mengafirmasi dirinya sendiri sehingga ia dapat disebut sebagai pribadi yang bermoral. Dalam artian tertentu, pendidikan moral dan pendidikan karakter memiliki persamaan karena menempatkan nilai kebebasan sebagai bagian dari kinerja individu untuk menyempurnakan dirinya sendiri berdasarkan tata nilai moral yang semakin mendalam dan bermutu. Pendidikan karakter mengandaikan bahwa dalam setiap keputusannya, seorang individu dapat sampai pada tahap otonomi moral seperti ini, tidak perduli apakah struktur dan sistem kekuasaan yang melingkupinya itu menindas atau tidak. Oleh karena itu, pendidikan moral menjadi unsur penting bagi sebuah pendidikan karakter. (koesoema 2007:198) Dari pemahaman tentang pendidikan karakter dan pendidikan moral, kita sekarang mencoba mengaitkannya dengan pendidikan nilai. Apa perbedaan dua konsep di atas dengan pendidikan nilai? Dalam pendidikan nilai yang perlu diklarifikasi adalah sistem nilai individu, sedangkan dalam pendidikan karakter, yang perlu diklarifikasi adalah sistem nilai individu dan kelompok, yang biasanya tercermin dalam relasi kekuasaan yang sifatnya politis.Tentu, pendidikan karakter juga menyertakan klarifikasi nilai individu, sebab sistem nilai individu merupakan dasar kokoh bagi sebuah pendidikan karakter. Namun, pendidikan karakter lebih
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
mengutamakan klarifikasi nilai-nilai komunitas yang menjamin bahwa pertumbuhan moral dan kepribadian seseorang dengan sistem nilai yang dimilikinya tetap dihargai. Dalam pendidikan nilai yang perlu diklarifikasi adalah sistem nilai individu, sedangkan dalam pendidikan karakter, yang perlu diklarifikasi adalah sistem nilai individu dan kelompok, yang biasanya tercermin dalam relasi kekuasaan yang sifatnya politis. Tentu, pendidikan karakter juga menyertakan klarifikasi nilai individu. Sebab sistem nilai individu merupakan dasar kokoh bagi sebuah pendidikan karakter. Namun, pendidikan karakter lebih mengutamakan klarifikasi nilai-nilai komunitas yang menjamin bahwa pertumbuhan moral dan kepribadian seseorang dengan sistem nilai yang dimilikinya tetap dihargai. Pendidikan karakter mau tidak mau melibatkan proyek pendidikan nilai. Dalam proses ini pendidik memiliki tanggung jawab agar anak didik mampu melihat implikasi etis berbagai macam perubahan dalam masyarakat yang berasal dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, mampu mengembangkan nilai-nilai dalam dirinya, mampu mengambil keputusan berdasarkan pemahaman yang jernih tentang nilai-nilai tersebut (value clarification). (koesoema 2007:199-200) Tidak semua nilai memiliki kualitas nilai moral. Oleh karena itu, meskipun pendidikan moral menjadi unsur penting dalam pendidikan karakter. pendidikan nilai menjadi pelengkap pandu kehidupan pribadi dalam masyarakat. Sebab ada nilai-nilai tertentu, yang meskipun bukan merupakan nilai moral, merupakan sebuah nilai yang berguna, mampu memberikan identitas, dan menjaga stabilitas sebuah masyarakat Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang pada gilirannya membantu setiap individu di dalam masyarakat menghayati nilai-nilai moral yang diyakininya. Oleh karena itu, nilai-nilai ini memiliki makna dan kegunaan bagi kehidupan pribadi dan sosial. Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter melibatkan di dalamnya proyek pendidikan moral dan pendidikan nilai. Pendidikan karakter memiliki tujuanterutama menumbuhkan seorang individu menjadi pribadi yang memiliki integritas moral, bukan hanya sebagai individu, namun sekaligus mampu mengusahakan sebuah ruang lingkup kehidupan yang membantu setiap individu dalam menghayati integritas moralnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena ruang lingkupnya bukan sekadar individual, melainkan sosial, pendidikan karakter melibatkan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak luhur dalam setiap pendekatannya. Mengapa? Karena ada nilai-nilaiyang meskipun bukan merupakan nilai moral dapat menjadi acuan bagi pengayaan pribadi dan berguna dalam kerangka kehidupan bersama. Franz Magnis-Suseno, misalnya, menyebutkan bahwa sikap bijaksana, terbuka, cukup dekat dengan alam, merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai pendidikan budi pekerti. Apa yang disebut di sini hanyalah sebagian nilai dari apa yang biasa dibahas dalam pendidikan budi pekerti. Nilai-nilai ini memiliki ruang lingkup tata nilai yang lebih komprehensif dibandingkan dengan nilai moral yang lebih sempit dan spesifik. Di sinilah keunggulan nilai-nilai itu dibandingkan dengan nilai moral. Tidak setiap nilai merupakan nilai-nilai moral, namun sebaliknya, apa Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang bermoral sudah tentu merupakan sesuatu yang bernilai. Nilai keterbukaan, misalnya, seperti disebut oleh Magnis-Suseno, merupakan sebuah nilai yang berguna bagi perkembangan pribadi dan komunitas, namun tidak menentukan apakah seseorang itu bermoral atau tidak. Ada seseorang yang memiliki sikap tertutup, namun ia tetap menjadi seorang yang bermoral, tergantung sikap tertutup ini mengacu pada nilai apa. Demikian juga, rasa kedekatan dengan alam merupakan sebuah nilai yang mungkin berguna bagi manusia untuk mengembangkan dan menumbuhkan rasa estetisnya, namun nilai-nilai ini tidak perse merupakan nilai-nilai moral. Seorangyangtidakdekat dengan alam, tidak berarti bahwa ia tidak bermoral. Mungkin ia hanyalah seorang yang tidak memiliki rasa estetis saja. (koesoema 2007:201) Pendidikan karakter mempersyaratkan adanya pendidikan moral dan pendidikan nilai. Pendidikan moral menjadi agenda utama pendidikan karakter sebab pada gilirannya seorang yang berkarakter adalah seorang individu yang mampu mengambil keputusan dan bertindak secara bebas dalam kerangka kehidupan pribadi maupun komunitas yang semakin mengukuhkan keberadaan dirinya sebagai manusia yang bermoral .Oleh karena ruang lingkupnya yang lebih luas, bukan semata-mata berkaitan dengan tata nilai moral, melainkan berkaitan dengan tata nilai dalam masyarakat, pendidikan karakter mengandaikan adanya pendidikan nilai agar individu yang ada dalam masyarakat itu dapat berelasi dengan baik dan dengan demikian membantu individu lain dalam menghayati kebebasannya. Ketiga pemahaman tersebut membantu kita meletakkan secara lebih jernih Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
tentang pendidikan agama dalam rangka pendidikan karakter. Agama merupakan sebuah fondasi yang lebih kokoh, kemartabatan paling luhur, kekayaan paling tinggi, dan sumber kedamaian manusia paling dalam. Manusia
yang beragama
mempersatukan dirinya dengan realitas terakhir yang lebih tinggi, yaitu Allah sang pencipta, yang menjadi fondasi kehidupan mereka. Terhadap keyakinan moral, keyakinan agama bersifat suportif. Keyakinan agama seseorang membantunya dalam menghayati nilai-nilai moral. Nilai-nilai agama mempertegas dan memperkokoh keyakinan moral seseorang dengan memberinya dasar yang lebih kokoh dan tak tergoyahkan. Ada nilai-nilai agama yang sekaligus memiliki kualitas nilai moral. Sebaliknya. tidak semua nilai yang diyakini oleh agama tertentu memiliki kandungan nilai moral. Nilai-nilai agama penting bagi individu sebab menjadi dasar relasi ontologis-teologis mereka dengan sang pemberi hidup itu sendiri. Nilai-nilai agama memang tidak selalu memiliki kualifikasi nilai moral yang mengikat semua orang. Namun, nilai-nilai agama dapat menjadi dasar kokoh bagi individu dalam kerangka perkembangan kehidupan moralnya. Sebab, ada nilai-nilai agama yang selaras dengan nilai-nilai moral. Sebaliknya, tidak semua nilai moral merupakan nilai dari keyakinan agama, dan tidak semua nilai keyakinan agama memiliki kualitas moral. Oleh karena itu, kelirulah menyamakan pendidikan karakter dengan pendidikan agama. Demikian juga salah kaprah menyamakan pendidikan moral dengan pendidikan agama. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pendidikan karakter ini juga pernah dimaknai dan diwadahi oleh semangat memberikan pengertian dan jiwa patriotisme Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
di dalam hati siswa melalui pendekatan formal-struktural melalui mata pelajaran formal yang disebut Civics, Pendidikan Moral Pancasila, Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dalam arti sempit, pendidikan karakter lebih dekat maknanya dengan pendidikan kewarganegaraan, sebab pendidikan karakter berurusan bukan hanya dengan pengembangan nilai-nilai moral dalam diri individu, melainkan juga memerhatikan corak relasional antar individu dalam relasinya dengan struktur sosial yang ada di dalam masyarakatnya. Di sini, pendidikan nilai-nilai demokratis (kesadaran hukum, tanggung jawab politik, keterbukaan, kesediaan untuk bermufakat dan berdialog, kemampuan retoris dalam menyampaikan gagasan, kebebasan berpikir, sikap kritis, dll) menjadi nilai-nilai yang penting untuk diperjuangkan. Sebab, nilai-nilai inilah yang sangat urgen dipraksiskan dalam konteks kehidupan masyarakat yang plural. Pendidikan karakter mempersyaratkan adanya pendidikan moral. Pendidikan moral memiliki dasar tak tergoyahkan jika dipahami dalam teks keterikatan individu atas keyakinan imannya. Oleh karena itu, kultur religius sebuah bangsa akan menjadi dasar yang kokoh bagi sebuah pendidikan karakter. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter. Deegan demikian, nilai-nilai kerohanian itu semestinya bertumbuh bersama-sama dengan pengembangan nilai-nilai kebangsaan yang akan merajut kesatuan masyarakat Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
sebuah sebuah entitas kultural yang kondusif bagi pertumbuhan individu dan pengembangan kehidupan sosial. (koesoema 2007:205) 4. Pendidikan Karakter Sebagai Pendidikan Kewarganegaraan Hubungan antara pendidikan karakter dengan pendidikan kewarganegaraan dijelaskan oleh Somantri dalam bukunya ” Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS” (Somantri, 2001 : 159, 161,299), mengartikan PKn adalah sebagai berikut : Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS. PKN merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD 1945, GBHN dan perundangan negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.PKN adalah program pendidikan yang yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis , bersikap dan bertindak demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dari penjelesan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa posisi pendidikan kewarganegaraan yang sangat strategis dalam pembentukan watak bangsa telah mengalami beberapa kali perubahan nama bahkan secara substansi banyak dimanfaatkan sebagai wahana untuk tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan kepentingan rezim yang sedang berkuasa. Mengingat pentingnya kedudukan pendidikan kewarganegaraan bagi bangsa Indonesia, maka perlu ada kejelasan tentang keberadaan dan kenyataan pendidikan kewarganegaraan yang sesuai dengan prinsipWahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
prinsip akademik dan tuntutan budaya bangsa Indonesia yang sedang mengalami perkembangan begitu cepat khususnya dalam lingkup ketatanegaraan. Sejalan dengan pendapat Cogan (1998) yang menyatakan bahwa “ Civic education “ refers generally to the kinds of course work taking place within the contexs of the formalized schooling structure the foundational course.” Dengan demikian pelajaran civic memberikan dasar bagi para pemuda agar kelak setelah dewasa mereka dapat berperan di lingkungannya. Sementara
Branson
(1998:
8)
mengatakan
bahwa
Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan pendidikan yang mengandung tiga komponen utama yang cocok untuk dikembangkan pada masyarakat yang demokratis yaitu pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills) dan watak-watak kewarganegaraan (civic disposition). Civic knowledge adalah pengetahuan kewarganegaraan yang berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara yang meliputi politik dan pemerintahan, konstitusi, tujuan, nilai-nilai dan prinsip demokrasi, hubungan negara dengan negara lain serta peran warganegara. Kecakapan kewarganegaraan (civic skills) yaitu kemampuan warganegara untuk mempraktekan hak-haknya dan menunaikan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat yang berdaulat berdasarkan pengetahuan kewarganegaraan yang telah dimiliki.
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Watak-watak kewarganegaraan (civic disposition) yang mengisyaratkan pada karakter public maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Watak-watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas dan organisasiorganisasi civil society. Karakter individu seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai warganegara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis dan kemauan mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi berjalan dengan sukses.
D. Pembentukan Sikap Siswa Dunia pendidikan mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter unggul pada generasi muda, karena pendidikan merupakan proses sadar untuk memperbaiki martabat membentuk perilaku ke arah yang lebih baik. Fungsi pendidikan tidak hanya memfasilitasi para siswa dalam ranah kognitif saja, tetapi pendidikan juga seharusnya mengajarkan bagaimana cara bersikap dan berprilaku sesuai dengan norma, etika, dan moral yang berlaku. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan untuk membangun karakter siswa yang unggul secara intelektual, Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
anggun secara moral, kompeten menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki komitmen tinggi untuk berbagai peran sosial. Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Moral Knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu:1) moral awereness, 2) knowing moral values, 3) persperctive taking, 4) moral reasoning, 5) decision making dan 6) self-knowledge. Moral Feeling. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni : 1) conscience, 2) self-esteem, 3) empathy, 4) loving the good, 5) self-control dan 6) humility. Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu : 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan (habit). Ratna Megawangi sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu:
1. Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty) Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
2. Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness) 3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty) 4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience) 5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation) 6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm) 7. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership) 8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty) 9. Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity) Melihat penjelasan diatas maka betapa karakter mempunyai peranan penting dan sangat menentukan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa. Betapa ternyata karakter betul-betul memegang peranan yang sangat penting dalam kita mencapai sesuatu yang kita inginkan atau dalam karier yang kitan bangun. karakterlah yang akan menghidupkan harapan kita di dunia ini, khususnya dinegri tercinta ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seorang yang berkarakter akan selalu dalam posisi benar-benar menentukan pilihannya, dengan menentukan arah yang baik dalam hidupnya ataupun dalam rangka apa yang ditampilkannya. inilah sebetulnya yang dapat kita lihat dalam kehidupan bangsa kita, yang harus kita akui masih banyak terjadi ketidakterpujian, tidak bajikan, orang yang bermalas-malasan, dan orang yang tidak tahu apakah yang dilakukan baik dan benar sehingga keterpurukan kita seolah tidak ada hentinya. semua ini hampir disebabkan oleh pengabaian kita terhadap masalah membangun karakter. (soedarsono 2009: 124) Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Pendidikan
karakter
lebih
dekat
maknanya
dengan
pendidikan
kewarganegaraan, sebab pendidikan karakter berurusan bukan hanya dengan pengembangan nilai-nilai moral dalam diri individu, melainkan juga memerhatikan corak relasional antar individu dalam relasinya dengan struktur sosial yang ada di dalam masyarakatnya. Di sini, pendidikan nilai-nilai demokratis (kesadaran hukum, tanggung jawab politik, keterbukaan, kesediaan untuk bermufakat dan berdialog, kemampuan retoris dalam menyampaikan gagasan, kebebasan berpikir, sikap kritis, dll) menjadi nilai-nilai yang penting untuk diperjuangkan. Sebab, nilai-nilai inilah yang sangat urgen dipraksiskan dalam konteks kehidupan masyarakat yang plural.(Koesoema 2007: 205) Pembelajaran PKn pada jenjang persekolahan akan mampu membentuk karakter jika dilakukan secara kontekstual, bukan tekstual. Pembelajaran yang berdasarkan kontekstual artinya pembelajaran berangkat dari kehidupan nyata siswa. Pembelajaran tekstual lebih menekankan pada hafalan semata. Namun demikian, bukan berarti pada praktik pembelajaran tekstual tidak penting, tekstual memiliki peran sebagai sumber hukumnya, tetapi kontekstual sebagai aplikasi dari tekstual tersebut. Dengan demikian, siswa dapat mengembangkan dan mengaktualisasikan diri dalam pembelajaran. Hasil akhir dari pembelajaran PKn diharapkan siswa mampu menunjukkan perubahan sikap dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mampu membangun karakter unggul dalam kehidupannya.
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Selama
ini
proses
belajar-mengajar
PKn
lebih
berorientasi
pada
pengembangan kognitif siswa ini pun masih bersifat kognitif rendah, padahal sifat PKn ini lebih terfokus pada aspek afektif dan psikomotor. Akibatnya guru hanya banyak memberikan materi pembelajaran yang sifatnya hafalan. Sementara aspek afektif tidak tersentuh apalagi psikomotor. Oleh karena itu, tidak heran apabila perilaku siswa tidak berubah kearah yang diharapkan, begitu juga kemampuan berpikir kritis siswa kurang tampak. Apabila fenomena seperti itu yang ada, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran PKn telah gagal mengembangkan potensi siswa sebagai makhluk berpikir. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Djahiri (2002:93) bahwa: ”salah satu pembaharuan dalam PKn ialah pola/strategi pembelajarannya, dimana siswa bukan hanya belajar tentang hal ihwal (materi pembelajaran) PKn melainkan juga belajar ber-PKn atau praktek, dilatih uji coba dan mahir serta mampu membakukan diri, bersikap perilaku sebagaimana isi pesan PKn”. Jadi, dalam pembelajaran PKn itu bukan hanya memberikan informasi yang bersifat kognitif semata,
tetapi harus menitikberatkan pada aspek afektif dan
psikomotor. Hal ini yang sampai sekarang belum mampu dilaksnakan oleh guru secara optimal, sehingga pembelajaran PKn hampir tidak ada bedanya dengan pembelajaran mata pelajaran lainnya, padahal PKn ini mempunyai karakter berbeda dangan mata pelajaran lain, akibatnya kualitas PKn hanya dilihat dari segi kognitif siswa semata.
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Wahyu Setiawan, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu