BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hemigraphis colorata Berdasarkan hasil pengindraan sambang getih memiliki batang berbaring dan merayap, batangnya bulat dan bercabang, beruas-ruas serta berwarna hijau. Daun merupakan daun tunggal, dan bertangkai, letak daun berhadapan, helaian daun bentuknya bulat telur, dengan ujung daun yang runcing, pangkal daun beromping, tepi daun bergerigi, pertulangan daun menyirip, permukaan atas daun berwarna merah ungu mengilap dan agak keabu-abuan, bagian bawah daun berwarna merah anggur, daunnya berambut. Memiliki bunga majemuk, bunganya berkumpul dalam rangkaian yang berupa bulir, memiliki mahkota bunga berbentuk corong, dengan warna mahkota berwarna putih, dan memiliki buah kecil, berbentuk lonjong, berwarna hijau muda (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Sambang getih ( Hemigrapsis colorata (Hall).F. (Sumber: Hasil dokumentasi peneliti : Melda Wahid dkk, 2013) Hasil identifikasi mengacu pada kunci determinasi, sambang getih termasuk dalam famili Acanthaceae dengan karakteristik yaitu: kotiledon biasanya 2, daun tanpa tangkai, letak duduk daun berlawanan, akar bercabang (dikotil) , periant 2 terdiri atas kelopak dan mahkota, ovarium berada di atas, semua kelopak
Universitas Sumatera Utara
menyatu ke dalam membentuk sebuah tabung, mahkota bunga simetri, benang sari sebanyak atau lebih sedikit dari mahkota atau kepala sari tidak terbuka, benang sari lebih sedikit dari mahkota, berlahan mahkota jelas, ovarium 4 atau banyak dan terlihat jelas, letak duduk daun berlawanan, sering mencolok, buah berbentuk kapsul dan biasannya berderet vertikel dalam setiap sel ovarium, tajuk bunga tumbuh berlekatan. Berdasarkan uraian di atas, kedudukan tumbuhan sambaing getih dalam urutan taksonomi adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Acanthaceae Genus : Hemigraphis Species : Hemigraphis colorata (Hall).F. Menurut pengobat tradisional masyarakat Polahi sambang getih berkhasiat Vsebagai obat sesak napas, bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah daun. Cara menggunakan yaitu ambil 1 gengam daun sambaing getih, cuci bersih lalu rebus dan air rebusannya diminum. Menurut (Daliamartha,2000), mengatakan bahwa sambang getih mengandung beragam senyawa kimia seperti natrium, kalsium, flavanoid dan polifenol, batangnya mengandung saponin dan tannin, untuk akar mengandung flavonoid dan polifenol tanin, kalium yang kadarnya tinggi dan rendah natrium (Wahid dkk, 2013)
2.1.1
Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu kelompok metabolit sekunder dan merupakan salah satu golongan senyawa fenol terbesar yang dihasilkan secara alami oleh tumbuhtumbuhan. Diperkirakan sekitar 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuh-tumbuhan (atau kira-kira 1x109 ton/ tahun) diubah menjadi flavonoid dan turunannya (Natori, 1981). Sebagian besar tanin juga berasal dari flavonoid. Kebanyakan warna tumbuhan disebabkan oleh flavonoid, mulai dari zat warna gugus fungsi sampai angiospermae.
Universitas Sumatera Utara
Biosintesis flavonoid secara alami diturunkan dari asam shikimat asam pirufat yaitu senyawa yang diturunkan dari karbohidrat (hasil fotosintesis tanaman) melalui glikolisis. Kerangka dasar senyawa ini mempunyai atom karbon sebanyak 15 (C15), terdiri dari 2 inti fenol (C6) yang dihubungkan oleh satu unit tiga karbon (C3) yang dapat kita lihat pada Gambar 2.2. Kelimabelas atom karbon pada kerangka dasar tersebut secara umum ditulis C6-C3-C6 dan dibagi menjadi 4 tipe, yaitu khalkon, flavan, isflavan, dan auron (Geisman, 1969 dan Mann, 1994).
Gambar 2.2 Kerangka dasar senyawa flavonoid Telah banyak dilaporkan bahwa flavonoid yang diisolasi dari tumbuhan mempunyai banyak keaktifan biologis antara lain mempunyai keaktifan sebagai obat, insektisida, antimikroba, antivirus, antijamur, obat infeksi pada luka, mengurangi pembekuan darah di dalam tubuh, mempercepat pembekuan darah di luar tubuh, antioksidan, anti tumor, anti kanker (Robinson, 1991). Semua flavonoid, menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan. Primula, dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama. Dikenal sekitar sepuluh kelas flavonoid (Tabel 2.1) Tabel 2.1 Sifat berbagai golongan flavonoid Golongan Flavonoid
Penyebaran
Ciri Khas
Antosianin
Pigmen bunga merah
Larut dalam air, λmaks
marak, merah, merah
515-545 nm, bergerak
senduduk, dan biru; juga
dengan BAA pada kertas.
dalam daun dan jaringan lain. Proantosianidin
Terutama tanwarna,
Menghasilkan
dalam galih dan daun
antosianidin (warna dapat
tumbuhan berkayu.
diekstraksi dengan amil
Universitas Sumatera Utara
alkohol) bila jaringan dipanaskan dalam HCl 2M selama setengah jam. Flavonol
Terutama ko-pigmen
Setelah dihidrolisis,
tanwarna dalam bunga
berupa bercak kuning
sianik dan asianik;
murup pada kromatogram
tersebar luas dalam daun.
Forestal bila disinari dengan sinar UV; maksima spektrum pada 350-386 nm.
Flavon
Seperti flavonol
Setelah dihidrolisis, berupa bercak coklat redup pada kromatogram Forestal; maksima spektrum pada 330-350 nm.
Glikoflavon
Seperti flavonol
Mengandung gula yang terikat melalui ikatan CC; bergerak dengan pengembang air, tidak seperti flavon biasa.
Biflavonil
Khalkon dan auron
Tanwarna; hampir
Pada kromatogram BAA
semuanya terbatas dalam
berupa bercak redup
gimnospermae
dengan RF tinggi
Pigmen bunga kuning,
Dengan amonia berwarna
kadang-kadang juga
merah (peruahan warna
terdapat dalam jaringan
dapat diamati in situ),
lain
maksima spektrum 370410 nm.
Flavanon
Tanwarna; dalam daun
Berwarna merah kuat
dan buah (terutama
dengan Mg/HCll;
Citrus)
kadang-kadang sangat
Universitas Sumatera Utara
pahit. Isoflavon
Tanwarna; seringkali
Bergerak pada kertas
dalam akar; hanya
dengan pengembang air;
terdapat dalam satu suku,
tak ada uji warna yang
Leguminosae
khas. (Harborne, 1984)
2.2
Sel Surya Fotovoltaik
Sel surya fotovoltaik merupakan suatu alat yang dapat mengubah energi sinar matahari secara langsung menjadi nergi listrik. Pada asasnya sel tersebut merupakan suatu dioda semikonduktor yang bekerja menurut suatu proses khusus yang dinamakan proses tidak seimbang (non-equilibrium process) dan berlandaskan efek (photovoltaic effect) (Kadir, 1995). Efek fotovoltaik ini ditemukan oleh Becquerel pada tahun 1839, dimana Becquerel mendeteksi adanya tegangan foton ketika sinar matahari mengenai elektroda pada larutan elektrolit. Pada tahun 1954 peneliti di Bell Telephone menemukan untuk pertama kali sel surya silikon berbasis p-n junction dengan efisiensi 6%. Sekarang ini, sel surya silikon mendominasi pasar sel surya dengan pangsa pasar sekitar 82% dan efisiensi lab dan komersil berturut-turut yaitu 24,7% dan 15%.
2.2.1 Prinsip Kerja Sel Surya Konvensional Silikon Prinsip kerja sel surya silikon adalah berdasarkan konsep semikonduktor p-n junction. Sel terdiri dari lapisan semikonduktor doping-n dan doping-p yang membentuk p-n junction, lapisan antirefleksi, dan substrat logam sebagai tempat mengalirnya arus dari lapisan tipe-n (elektron) dan tipe-p (hole). Struktur sel surya konvensional silikon p-n junction dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Struktur sel surya Silikon p-n junction (sumber : Halme, 2002) Semikonduktor tipe-n didapat dengan mendoping silikon dengan unsur dari golongan V sehingga terdapat kelebihan elektron valensi dibanding atom sekitar. Pada sisi lain semikonduktor tipe-p didapat dengan doping oleh golongan III sehingga elektron valensinya defisit satu dibanding atom sekitar. Ketika dua tipe material tersebut mengalami kontak maka kelebihan elektron dari tipe-n berdifusi pada tipe-p. Sehingga area doping-n akan bermuatan positif sedangkan area doping-p akan bermuatan negatif. Medan elektrik yang terjadi antara keduanya mendorong elektron kembali ke daerah-n dan hole ke daerah-p. Pada proses ini telah terbentuk p-n junction. Dengan menambahkan kontak logam pada area p dan n maka telah terbentuk dioda. Ketika junction disinari, photon yang mempunyai energi sama atau lebih besar dari lebar pita energi material tersebut akan menyebabkan eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi dan akan meninggalkan hole pada pita valensi. Elektron dan hole ini dapat bergerak dalam material sehingga menghasilkan pasangan elektron-hole. Apabila ditempatkan hambatan pada terminal sel surya, maka elektron dari area-n akan kembali ke area-p sehingga menyebabkan perbedaan potensial dan arus akan mengalir. Skema cara kerja sel surya silikon ditunjukkan pada Gambar 2.4
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Skema Kerja Sel Surya Silikon (sumber : Wikipedia Indonesia, 2010) 2.2.2
Performansi Sel Surya
2.2.2.1 Karakteristik I-V Fotovoltaik Daya listrik yang dihasilkan sel surya ketika mendapat cahaya diperoleh dari kemampuan perangkat sel surya tersebut untuk memproduksi tegangan ketika diberi beban dan arus melalui beban pada waktu yang sama. Kemampuan ini direpresentasikan dalam kurva arus-tegangan (I-V) (Gambar 2.9.).
Gambar 2.5 Karakteristik Kurva I-V pada Sel Surya (sumber Halme, 2002) Ketika sel dalam kondisi short circuit, arus maksimum atau arus short circuit (I ) dihasilkan, sedangkan pada kondisi open circuit tidak ada arus yang SC
dapat mengalir sehingga tergangannya maksimum, disebut tegangan open circuit. (V ). Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum OC
disebut titik daya maksimum (MPP).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2.2 Fill Factor dan Efisiensi Kuantum Sebelum mengetahui berapa nilai daya yang dihasilkan harus diketahui daya yang diterima (daya input), di mana daya tersebut adalah perkalian antara intensitas radiasi matahari yang diterima dengan luas area sel surya dengan persamaan:
Keterangan:
𝑃𝑃cahaya = 𝐼𝐼𝑟𝑟 . 𝐴𝐴
(2.1)
𝑃𝑃cahaya = Daya input akibat Radiasi matahari (Watt) 𝐼𝐼𝑟𝑟 = intensitas radiasi matahari (Watt/m2) A = Luas area permukaan sel surya (m2).
Karaktersitik penting lainnya dari sel surya yaitu fill factor (FF), dengan persamaan, (2.2) Dengan menggunakan fill factor maka maksimum daya dari sel surya didapat dari persamaan, (2.3) Sehingga efisiensi sel surya yang didefinisikan sebagai daya yang dihasilkan dari sel (PMax) dibagi dengan daya dari cahaya yang datang (Pcahaya) : (2.4) Nilai efisiensi ini yang menjadi ukuran global dalam menentukan kualitas performansi suatu sel surya. Efisiensi dari sel surya tergantung pada temperatur dari sel dan yang lebih penting lagi adalah kualitas illuminasi. Misalnya total intensitas cahaya dan intensitas spektrum yang terdistribusi. Oleh karena itu, standar kondisi pengukuran harus dikembangkan sejalan dengan pengujian sel surya di laboraturium. Kondisi standar yang telah digunakan untuk menguji solar sel dengan intensitas cahaya 1000 W/m2, distribusi spektrum dari pancaran matahari seperti Gambar 2.3, dan temperatur sel 25oC. Daya yang dikeluarkan solar cell pada kondisi ini adalah daya normal dari sel, atau modul, dan dicatat sebagai puncak daya (peak watt), Wp (Green, 1982).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Dye Sensitized Solar Cell 2.3.1
Umum
Tingginya efisiensi konversi energi surya menjadi listrik dari DSSC merupakan salah satu daya tarik berkembangnya riset mengenai DSSC di berbagai negara akhir-akhir ini, selain dari proses produksi yang simpel dan biaya produksi yang murah. Beberapa hasil penelitian dari peneliti-peneliti DSSC Di Indonesia sendiri penelitian tentang DSSC telah banyak dilakukan seperti oleh Septina dkk pada tahun 2007. Penelitian tersebut dilakukan dengan metode nanopori TiO2 yaitu sol-gell dan sebagai bahan dye digunakan buah delima. Hasil yang didapatkan adalah tegangan listrik sebesar 162,4 mV dari prototipe DSSC tersebut dengan intensitas penyinaran pada siang hari. Kemudian ada pula Hardeli dkk pada tahun 2013 yang menggunakan beberapa bahan dye, yaitu beras ketan, daun bayam, bunga rosella, buah naga, dan ubi jalar ungu. Dari semua bahan dye yang digunakannya didapatlah beras ketan yang menghasilkan tegangan dan efisiensi tertinggi, yaitu 937 mV dan 0,405 secara berturut-turut. Dye Sensitized Solar Cell (DSSC), sejak pertama kali ditemukan oleh Professor Michael Gratzel pada tahun 1991, telah menjadi salah satu topik penelitian yang dilakukan intensif oleh peneliti di seluruh dunia. DSSC disebut juga terobosan pertama dalam teknologi sel surya sejak sel surya silikon dan telah dipatenkan dengan nama Gratzel cell (Halme, 2002).
2.3.2
Struktur DSSC
Tipe sel surya pewarna tersensitisasi merupakan jenis sel surya exciton yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya TiO2) yang diendapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali diperkenalkan oleh Gratzel pada tahun 1991 yang dilengkapi dengan pasangan redoks yang diletakkan dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padatan atau cairan) sistem elektrolit redoks yang biasa digunakan umumnya disusun dari pasangan redoks I3-/I- dalam pelarut organik seperti asetonitrile atau 3-metoksi propinitril. Sel surya DSSC tersusun atas dua elektroda dan larutan elektrolit (O’Regan, 1991).
Universitas Sumatera Utara
DSSC merupakan suatu perangkat sel surya yang tersusun dari sepasang elektroda dan counter elektroda. Elektroda terbuat dari substrat kaca konduktif, yang telah dilapisi transparent conductive oxide (TCO), umumnya digunakan SnO2. Pada elektroda dilapisi oleh layer oksida nanopartikel yang dilapisi oleh molekul dye (zat pewarna) sensitasi. Molekul dye berfungsi sebagai penangkap foton cahaya, sedangkan nanopartikel semikonduktor berfungsi menyerap dan meneruskan foton menjadi elektron. Pada counter elektroda diberi katalis, umumnya karbon atau platinum, berfungsi untuk mempercepat kinetika reaksi proses reduksi triiodide pada TCO. Selain itu, DSSC juga menggunakan media elektrolit sebagai medium transport muatan. Elektrolit yang umum digunakan pada DSSC terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I3-) sebagai pasangan redoks dalam pelarut. Skematis susunan sandwich layer dari DSSC diilustrasikan pada Gambar 2.5 berikut (Handini, 2008).
Gambar 2.6. Struktur Dye Sensitized Solar Cell (sumber : Wikipedia Indonesia , 2010) Sel surya TiO2 tersensitisasi dye terdiri dari lapisan nanokristal TiO2 berpori sebagai fotoanoda, dye sebagai fotosensitizer, elektrolit redoks dan elektroda lawan (katoda) yang diberi lapisan katalis (Li, et. al., 2006). Sel surya tersensitisasi dye berbentuk struktur sandwich (seperti Gambar 2.6), dimaan dua elektroda, yaitu elektroda TiO2 tersensitisasi dye dan elektroda lawan terkatalisasi mengapit elektrolit membentuk sistem sel fotoelektrokimia.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7. Susunan sandwich layer dari DSSC Berbeda dengan sel surya p-n silikon, pada DSSC cahaya foton diserap oleh dye yang melekat (attached) pada permukaan partikel TiO2 yang bertindak sebagai donor elektron dan berperan sebagai pompa fotoelektrokimia. Elektron-elektron dari level HOMO (Highest Occupied Molecular Orbital) dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi, LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) ketika molekul dye menyerap foton dengan energi yang sesuai, mirip dengan fungsi klorofil pada proses fotosintesis tumbuhan. Sedangkan lapisan TiO2 bertindak sebagai akseptor atau kolektor elektron yang ditransfer dari dye yang teroksidasi. Elektrolit redoks, biasanya berupa pasangan iodide dan triiodide (I-/I3-) yang bertindak sebagai mediator redoks sehingga dapat menghasilkan proses sklus di dalam sel (Smestad dan Rgatzel, 1998).
2.3.3
Prinsip Kerja DSSC
Pada dasarnya prinsip kerja dari DSSC merupakan reaksi dari transfer elektron. Proses pertama dimulai dengan terjadinya eksitasi elektron pada molekul dye akibat absorbsi foton. Dimana ini merupakan salah satu peran dari sifat TiO2 fasa anatase yaitu fotokatalis. TiO2 fasa anatase memiliki aktivitas photocatalisis yang lebih tinggi dibandingkan fasa rutil. Ilustrasi proses fotokatalis pada TiO2 dapat dilihat pada gambar 2.7.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Ilustrasi proses fotokatalis *
Elektron tereksitasi dari ground state (D) ke excited state (D ). -
*
D+e → D
(2.5)
Elektron dari excited state kemudian langsung terinjeksi menuju +
conduction band (E ) titania sehingga molekul dye teroksidasi (D ). Dengan CB
-
adanya donor elektron oleh elektrolit (I ) maka molekul dye kembali ke keadaan awalnya (ground state) dan mencegah penangkapan kembali elektron oleh dye yang teroksidasi. +
-
-
2D + 3e → I + 2D
(2.6)
3
Skema kerja dari DSSC dijelaskan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.9. Skema Kerja dari DSSC (sumber : Halme, 2002)
Universitas Sumatera Utara
Setelah mencapai elektroda TCO, elektron mengalir menuju counterelektroda melalui rangkaian eksternal. Dengan adanya katalis pada counterelektroda, elektron diterima oleh elektrolit sehingga hole yang terbentuk pada -
elektrolit (I ), akibat donor elektron pada proses sebelumnya, berekombinasi 3
-
dengan elektron membentuk iodide (I ). -
-
-
I + 2e → 3I
(2.7)
3
Iodide ini digunakan untuk mendonor elektron kepada dye yang teroksidasi, sehingga terbentuk suatu siklus transport elektron. Dengan siklus ini terjadi konversi langsung dari cahaya matahari menjadi listrik (Halme,2002). Atau secara singkatnya, dye tereksitasi (D*) menginjeksi sebuah elektron ke dalam pita konduksi semikonduktor (TiO2) yang berada sedikit lebih tinggi daripada level konduksi TiO2. Elektron tersebut melintasi melewati partikelpartikel TiO2 menuju kontak belakang berupa lapisan konduktif transparan ITO (Indium Tin Oxide), selanjutnya ditransfer melewati rangkaian luar menuju elektroda lawan. Elektroda masuk kembali ke dalam sel dan mereduksi sebuah donor teroksidasi (I-) yang ada di dalam elektrolit. Dye teroksidasi (D+) akhirnya menerima sebuah elektron dari donor tereduksi (I3-) dan tergenerasi kembali menjadi molekul awal (D). Rangkaian reaksi kimia di dalam sel dapat kita lihat sebagai berikut : D + cahaya → D*
(2.8)
D* + TiO2 → e-(TiO2) + D+
(2.9)
D*→ D
(2.10)
D+ e-(TiO2 → D + TiO2 +
-
2D + 3I
→ 2D + I
3-
(2.11) (2.12)
Tegangan yang dihasilkan oleh sel surya nanokristal tersensitisasi dye berasal dari perbedaan tingkat energi konduksi elektroda semionduktor TiO2 dengan potensial elektrokimia pasangan elektrolit redoks (I-/I3-). Sedangkan arus yang dihasilkan dari sel surya ini terkait langsung dengan jumlah foton yang terlibat dalam proses konversi dan bergantung pada intensitas penyinaran serta kinerja dye yang digunakan (Li, et. Al.,2006).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu kekurangan dari sel surya pewarna tersensitisasi ini adalah stabilitasnya yang rendah, terutama akibat degradasi dan kebocoran pada elektrolit cair yang digunakan. Oleh karena itu, akhir-akhir ini pengembangan penelitian sel surya fotoelektokimia ini diarahkan pada penggunaan elektrolit padat untuk mengurangi degradasi dan kebocoran elektrolit yang dapat meningkatkan stabilitas sel, misalnya elektrolit berbasis polimer yang mengandung kopel redoks (de Freitas, et. al., 2006) atau berbasis bahan organik atau anorganik sebagai konduktor hole (Lancelle, et. al., 2006).
2.3.4
Material DSSC
2.3.4.1 Substrat DSSC Substrat yang umum digunakan pada DSSC yaitu jenis TCO (Transparent Conductive Oxide), merupakan kaca transparan konduktif yang dapat mengalirkan muatan. Material tersebut berfungsi sebagai badan dari sel surya dimana layer oksida dan counter electrode karbon atau platina akan didekomposisikan. Umumnya lapisan konduktif TCO terbuat dari lapisan tipis Tin Oksida (SnO2) yang diberi dopant flourine (flourine tin oxide atau FTO) atau indium (indium tin oxide atau ITO). Hal ini dikarenakan dalam proses sintering layer oksida pada substrat di suhu 400-5000C, material-material tersebut memiliki konduktifitas yang baik dan tidak mengalami defect atau cacat pada rentang temperatur tersebut (Handini, 2008).
2.3.4.2 Layer Oksida Nanopori DSSC Performa dari kemampuan suatu DSSC dalam mengkonversi energi cahaya menjadi energi listrik sangat ditentukan oleh layer oksida yang digunakan. Penggunaan
oksida
semikonduktor
dalam
fotoeletrokimia
dikarenakan
kestabilannya menghadapi fotokorosi. Selain itu lebar pita energinya yang besar (>3eV) dibutuhkan untuk transparansi semikonduktor pada sebagian besar spektrumcahaya matahari, sehingga foton cahaya yang terserap pun lebih banyak. Struktur nanopori dalam layer oksida DSSC sangat mempengaruhi kemampuannya dalam menyerap cahaya. Hal ini dikarenakan struktur nanopori
Universitas Sumatera Utara
mempunyai karakteristik luas permukaan yang tinggi. Dengan demikian dye yang teradsorpsi semakin banyak sehingga kinerja sistem pun lebih maksimal. Layer semikonduktor yang paling sering digunakan pada DSSC adalah TiO2 nanopartikel. 2.3.4.2.1
Titanium Dioksida (TiO2)
Titanium dioxide yang juga terkenal dengan Titanium (IV) oxide atau titania adalah bentuk dari oksida alami titanium. Di alam umumnya TiO2 mempunyai tiga fasa, yaitu rutile, anatase, dan brookite. Struktur kristal TiO2 anatase ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Struktur kristal TiO2 anatase Pada aplikasi DSSC umumnya digunakan TiO2 fasa anatase. Hal ini dikarenakan pada fasa tersebut TiO2 memiliki sifat fotoaktif yang tinggi, antara lain photovoltaic dan photocatalytic. Hal ini dikarenakan fasa anatase memiliki energi level lebih tinggi dibandingkan fasa TiO2 lainnya. Fasa anatase memiliki pita valensi yang rendah dan band gap yang lebih lebar. Untuk aplikasi DSSC digunakan struktur nanopori TiO2, dikarenakan luas permukaan yang tinggi dapat meningkatkan daya serap TiO2 terhadap molekul dye. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan daya serap foton oleh DSSC. Hingga saati ini TiO2 masih merupakan layer oksida yang paling sering digunakan dalam aplikasi DSSC karena efisiensinya yang belum tertandingi oleh layer oksida semikonduktor lainnya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh nila bans gap dari TiO2 (3.2 eV) berada pada rentang panjang gelombang dari sinar UV. Sehingga efektifitas penyerapan sinar matahari juga akan lebih baik. Selain itu kelebihan TiO2 adalah harganya yang relatif murah dibandingkan material
Universitas Sumatera Utara
semikonduktor lain. Beberapa hasil penelitiam skala lab terhadap efisiensi DSSC TiO2 dapat dilihat dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2 Efisiensi DSSC TiO2 dengan berbagai macam dye
Namun, kelemahan dari TiO2 adalah kecilnya daya rentang dari spektrum cahaya matahari yang diserap. TiO2 hanya mampu menyerap 5% dari seluruh spektrum cahaya matahari yaitu pada spektrum sinar UV. Sedangkan 45% spektrum cahaya tampak dan 50% spektrum infra red tidak dapat diserap oleh TiO2, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.11. Selain itu, pada umumnya proses sintesis nanopartikel dari TiO2 cukup rumit dan mahal.
Gambar 2.11 Spektrum cahaya matahari
Universitas Sumatera Utara
2.3.4.3 Elektrolit Elektrolit yang digunakan pada DSSC terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I3-) sebagai pasangan redoks dalam pelarut. Karakteristik ideal dari pasangan redoks untuk elektrolit DSSC yaitu : 1. Potensial redoksnya secara termodinamika berlangsung sesuai dengam potensial redoks dari dye untuk tegangan sel yang maksimal. 2. Tingginya kelarutan terhadap pelarut untuk mendukung konsentrasi yang tinggi dari muatan pada elektrolit. 3. Pelarut mempunyai koefisien difusi yang tinggi untuk transportasi massa yang efisien. 4. Tidak adanya karakteristik spektral pada daerah cahaya tampak untuk menghindari absorbsi cahaya datang pada elektrolit. 5. Kestabilan yang tinggi baik dalam bentuk tereduksi maupun teroksidasi. 6. Mempunyai reversibilitas tinggi. 7. Inert terhadap komponen lain pada DSSC (Handini, 2008).
2.3.4.4 Katalis Counter Elektroda Counter elektroda dibutuhkan untuk mempercepat kinetika reaksi proses reduksi triiodide pada TCO. Platina adalah material yang umum digunakan sebagai counter elektroda pada berbagai aplikasi, juga sangat efisien dalam aplikasinya pada DSSC. Platina dideposisikan pada TCO dengan berbagai metode yaitu elektrokimia, sputerring, spin coating, atau pyrolysis. Walaupun mempunyai kemampuan katalitik yang tinggi, platina merupakan material yang mahal. Sebagai alternatif, Kay dan Gratzel (1996) mengembangkan desain DSSC dengan menggunakan counter-elektroda karbon sebagai lapisan katalis. Elektroda karbon tersebut terbuat dari campuran karbon hitam, grafit bubuk dan nanokristalin partikel TiO2. Elekltroda resebut memiliki konduktivitas tinggi (resistansi 5Ω/ persegi untuk tebal setiap lapisan 50 mμ) diperoleh karena karbon hitam antar partikel grafit dihubungkan sesamanya, dengan TiO2 yang digunakan sebagai pengikat. Elektroda ini aktif untuk reduksi triiodida seperti elektroda konvensional platina. Karena luas permukaannya yang
Universitas Sumatera Utara
tinggi, counter-eletroda karbon mempunyai keaktifan reduksi triiodida yang menyerupai elektroda platina (Septina, dkk.,2007)
2.3.4.5 Zat Pewarna (Dyes) Zat pewarna pada layer oksida DSSC berfungsi untuk menangkap foton cahaya. Selanjutnya foton tersebut akan diabsorbsi ke dalam nanopartikel TiO2. Pada Gratzel cell, zat pewarna yang umumnya digunakan dan mencapai efisiensi paling tinggi yaitu jenis ruthenium complex. Namun, dye jenis ruthenium complex cukup sulit untuk disintesis dan berharga mahal. Dewasa ini telah dikembangkan DSSC dengan zat pewarna organik yang murah dan mudah didapat yaitu, dengan menggunakan unsur pewarna alami (flavonoids) dari buah-buahan, bunga, kayu, dan bahan organik lainnya. Flavonoids berfungsi sebagai proteksi terhadap sinar UV (Handini, 2008). Sinar matahari menghasilkan 5% spektra di daerah ultraviolet dan 45% di daerah cahaya tampak. TiO2 hanya menyerap sinar ultraviolet (350-380 nm). Untuk meningkatkan serapan spektra TiO2 di daerah cahaya tampak, dibutuhkan lapisan zat warna yang akan meyerap cahaya tampak. Zat warna (dye) berfungsi sebagai sensitizer (Gratzel, 2004) (Halme, 2002).
2.3.5
Flavonoid sebagai dye
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi dan karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak seperti pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Ciri spektrum golongan flavonoid utama λ maksimum utama
λ maksimum tambahan (nm
(nm)
(dengan intensitas nisbi)
Petunjuk
475-560
±275 (55%)
Antosianin
390-430
240-270 (32%)
Auron
365-390
240-260 (30%)
Khalkon
350-395
±300 (40%)
Flavonol
Universitas Sumatera Utara
250-270 330-350 250-270 275-290
Tidak ada 310-330 (30%)
Flavon dan biflavonil Flavonon
dan
flavononol ±225 255-265
310-330 (25%)
Isoflavon
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran; jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Di samping itu, sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas. Antosianin yang terdapat dalam daun, bunga dan hampir selalu disertai oleh flavon atau flavonol tanwarna. Hasil penelitia akhir-akhir ini telah membuktikan bahwa flavon merupakan ko-pigmen penting, karena sangat diperlukan untuk menyatakan warna antosianin secara penuh dalam jaringan bunga. Biasanya antosianin juga terdapat dalam campuran, terutama dalam bunga tanaman hias, dan suatu jaringan bunga dapat mengandung sampai sepuluh pigmen yang berlainan (Harborne, 1984). Flavonoid yang umum digunakan pada DSSC adalah yang memiliki kandungan antocyanin. Antocyanin umum didapat pada buah-buahan, bunga, tumbuhan berwarna merah atau keungu-unguan. Salah satu pigmen cyanin yang memegang peranan penting dalam proses absorbsi cahaya yaitu cyanidin 3-O-βglucoside, struktur kimianya ditunjukkan pada Gambar 2.12 (Handini, 2008).
Gambar 2.12 Struktur sianidin (sumber : Hardeli dkk, 2013)
Universitas Sumatera Utara
Antosianin merupakan senyawa yang mampu menyerap cahaya matahari dengan baik, antosianin inilah yang menyebabkan warna merah dan ungu pada banyak buah dan bunga. Antosianin yaitu suatu zat yang memiliki banyak ikatan π. Semakin banyak ikatan π maka elektron yang akan tereksitasi akan semakin banyak sehingga semakin tinggi efisiensi DSSC yang dihasilkan. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin yang semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosisasi. Dari struktur pada Gambar 2.14 dapat diketahui
bahwa pigmen
antosianin memiliki cukup banyak ikatan π terkonjugasi. Ikatan π ini berguna untuk menangkap foton dari cahaya matahari yang mengenai sampel. Daerah yang paling berguna dari spektrum UV adalah daerah yang panjang gelombang di atas 200 nm yaitu daerah transisi π ke π* untuk senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi serta beberapa transisi n ke σ* dan n ke π*. (Suherdiana, 2008 dan Septina, 2007)
2.3.6
Perakitan DSSC
2.3.6.1 Persiapan Substrat Terlebih dahulu substrat kaca dipotong sesuai dengan ukuran sel surya yang diinginkan. Gores kaca dengan glass cutter di bagian kaca yang tidak ada lapisan TCO nya. Jangan potong di bagian kaca yang ada lapisan TCOnya karena akan merusak sebagian lapisan TCO. Pakai bantuan penggaris untuk membuat goresan di kaca (Martineau,2011). Substrat harus ditangani dengan hati-hati seperti halnya untuk perangkat optik untuk menghindari goresan pada permukaan. Sebelum substrat dilapisi dengan TiO2 atau karbon substrat kaca ditempatkan di dalam wadah bersih dan substrat direndam dalam larutan 2-propanol atau ethanol selama 5 menit. Setelah pembersihan selesai substrat dikeluarkan dari wadah dan biarkan terlebih dahulu hingga semua pelarut menguap. Jika kaca konduktif komersil seperti FTO dan ITO tidak tersedia maka kaca preparat (soda lime) biasa dapat digunakan dengan mendekomposisikan
Universitas Sumatera Utara
layer konduktif SnO2 yang diberi dopant Anthimony (Sb). Caranya dengan menyemprotkan secara berlapis-lapis larutan tin oksida ke permukaan kaca preparat yang telah dipanaskan pada temperatur 450-5500C (Handini, 2008).
2.3.6.2 Persiapan Larutan TiO2 dan Counter Elektroda Larutan TiO2 yang digunakan untuk melapisi elektroda dibuat dari campuran bubuk TiO2 (ukuran partikel rata-ratanya adalah 25 nanometer) dan air suling, 2propanol sebagai pelarut dan asam asetat glacial. Berbagai pelarut (etanol dan aseton) telah digunakan pada rasio yang berbeda dengan air suling dengan pelarut menunjukkan hasil yang optimal. Asam asetat membantu untuk mengurangi resistansi seri dari lapisan TiO2 dan meningkatkan penyerapan zat pada permukaan partikel TiO2 Mawyin (2009) menyebutkan ada tiga teknik yang berbeda digunakan untuk deposit lapisan elektroda-karbon. Pertama, substrat dilapisi dengan jelaga yang dihasilkan oleh lilin. Kedua, grafit dari pensil. Dan yang terbaik adalah counter elektroda dari platina, yang dapat dilihat pada gambar 2.13.
Gambar 2.13 Beberapa cara mempersiapkan counter elektroda (sumber David Martineau, 2011)
Universitas Sumatera Utara
2.3.6.3 Deposisi Lapisan Elektroda dan Counter Elektroda Beberapa teknik yang dapat dipakai dan disesuaikan dengan larutan TiO2 yang dibuat agar menghasilkan lapisan yang seragam. Bebrapa teknik tersebut sebagai berikut : a. Doctor Blade Teknik ini adalah teknik yang paling sering digunakan. Pertama kali yang harus dilakukan adalah membentuk bingkai area TiO2 yang akan dideposisikan pada substrat dengan menggunakan scotch tape yang akan mengontrol ketebalan dari TiO2. Kemudian dengan menggunakan rod glass untuk meratakan TiO2 pada substrat, mulai dari ujung bingkai. Karena ketebalan dari TiO2 bergantung pada jumlah cairan yang dideposisikan pada substrat dan gerakan rod glass. Biasanya lapisan lebih tebal di tempat pertama kali kita mengaplikasikan cairan.
Gambar 2.14 Doctor-blade technique (sumber : David Martineau, 2011) b. Electro-spinning Teknik ini berusaha untuk mendeposisikan lapisan pada luas permukaan TiO2 yang
cukup
lebar
menggunakan
alat
yang
disebut
electrospinning.
Electrospinning terdiri dari jarum suntik yang mengandung bahan yang akan disimpan dan mounting plate yang menjadi target yang akan dilapisi. Target dan jarum suntik yang terhubung ke sumber tegangan yang akan menciptakan electropotential. Perbedaan antara alat suntik dan mounting plate di kisaran 1000 volt. Ketika cairan di dalam jarum suntik secara perlahan dipompa keluar, larutan akan terdorong dengan kecepatan tinggi menuju target karena adanya medan listrik.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.15 Electro-spinning technique
c. Screen Printing Setelah bekerja dengan teknik sebelumnya masalah yang paling penting yang harus dipecahkan adalah keseragaman ketebalan coating. Catatan beberapa perusahaan komersial telah mengembangkan fabrikasi skala industri untuk sel surya organik, teknik produksi yang digunakan untuk memproduksi sel-sel ini dengan mengekstruksi lapisan TiO2 melalui mesh (saringan) dengan ukuran diameter pori yang sangat kecil. TiO2 dipaksa melalui mesh (saringan) dengan alat penekan squeegee. Teknik ini tidak hanya digunakan dalam pembuatan sel surya organik tetapi juga telah diuji dengan jenis photovoltaic lain sebagaimana dilakukan oleh perusahaan Matshusita Jepang dengan film tipis sel surya CdTe. Bebrapa manfaat dari teknik ini adalah kesederhanaan prosedur, kemampuan untuk deposit lapisan TiO2 pada susunan substrat pada saat yang bersamaan, seperti terlihat pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16 Susunan elektroda yang akan dilapisi
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17 Screen printing technique
d. Cold Spraying Teknik terakhir yang menghasilkan hasil yang paling konsisten adalah variasi dari proses deposisi yang telah digunakan sebelumnya. Teknik ini terdiri dari lukisan permukaan substrat konduktif dengan menggunakan sikat udara. Perangkat cold spraying terdiri dari pistol penyemprotan dengan nozzle yang berfungsi untuk menembakkan TiO2 pada substrat, yang didorong dengan udara terkompresi sehingga jumlah udara yang datang dari nozzle dapat dikontrol sehingga laju aliran dapat stabil. Sebuah faktor penting untuk dipertimbangkan adalah rasio dari pelarut (misalnya 2-propanol) dengan TiO2. Pelarut yang terdapat dalam larutan akan menguap dalam perjalanan menuju target. Oleh karena itu,jumlah pelarut dalam larutan (TiO2) harus lebih banyak dibandingkan dengan teknik doctorblade, dalam rangka menghindari gumpalan partikel (Mawyin, 2009).
2.3.6.4 Annealing dan Sintering Titania Elektroda Elektroda yang telah dideposisikan nanopartikel TiO2 pada permukaannya, kemudian disintering. Proses ini bertujuan membentuk kontak dan adhesi yang baik antara larutan dengan substrat kaca TCO. Temperatur annealing tidak terlalu tinggi untuk mengubah fase dari TiO2 nano-partikel (anatase) yang digunakan dalam lapisan. Temperatur annealing yang lazim digunakan untuk elektroda adalah ~5000C dan untuk counter-elektroda ~4500C. Sintering elektroda dapat menggunakan oven, atau kompor listrik dengan pengatur suhu.
Universitas Sumatera Utara
2.3.6.5 Ekstraksi Dye dan Pewarnaan Titania Elektroda Dye dapat diperoleh inorganic dye dan organic dye. Organic dye dapat diperoleh dari tumbuhan atau buah yang menggunakan antocyanin yang kemudian diambil ekstraknya dan dicampurkan dengan methanol dan air untuk mendapatkan dye yang murni. Untuk inorganic dye dapat diperoleh dari perusahaan-perusahaan perakitan solar sel. Ketika Titania elektroda sudah mencapai suhu kamar, proses pewarnaan dapat dilakukan. Biasanya dicelupkan ke dalam dye selama beberapa menit atau setengah jam. Semakin elektroda dicelupkan maka akan semakin baik pewarnaan pada elektroda (Martineau, 2011).
2.3.6.6 Menumpuk Elektroda dan Penambahan Elektrolit Langkah terakhir dalam perakitan DSSC adalah menyatukan elektroda yang telah disiapkan terlebih dahulu. Substrat elektroda dan counter-elektroda dilekatkan bersama-sama dengan offset untuk membiarkan daerah yang telah dilapisi dari sisi konduktif substrat sebagai kontak listrik. Substrat digabungkan bersama-sama menggunakan binder klip, klip diposisikan dekat dengan tepi untuk membiarkan jumlah maksimum cahaya di dalam sel. Kemudian teteskan elektrolit pada permukaan antara substrat. Tunggu 15 menit agar elektrolit diserap dengan sempurna di dalam substrat, dan solar sel pun siap diuji.
2.4
Karakterisasi DSSC
Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui dan menganalisa nanopartikel TiO2 begitupula dengan pasta TiO2 yang digunakan sebagai layer oksida pada DSSC. Karakterisasi juga dilakukan untuk mengetahui apakah panjang gelombang dari dye yang digunakan dalam pewarnaan layer oksida sesuai dengan panjang gelombang dibutuhkan untuk menyerap foton dari cahaya matahari. Pengumpulan informasi karakterisasi dilakukan dengan menggunakan alat Spektrofotometer UV-Vis dan FTIR..
Universitas Sumatera Utara
2.4.1
Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer UV-Vis merupakan suatu metode identifikasi yang didasarkan pada struktur elektronik molekul, yang dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Spektroskopi UV-Vis merupakan suatu metode identifikasi gugus fungsi dari sampel. Spektrum yang diabsorbsi oleh suatu senyawa adalah sejumlah sinar yang diserap oleh satu senyawa pada panjang gelombang tertentu. Untuk senyawa berwarna akan memiliki satu atau lebih penyerapan spektrum yang tertinggi di daerah spektrum tampak (400-700 nm). Spektrum yang terserap pada ultraviolet (200-400 nm) dan daerah nampak terjadi karena adanya perubahan energi elektron terluar dari molekul yang disebabkan adanya ikatan atau bukan ikatan. Umumnya elektron yang berpindah tempat ini disebabkan adanya ikatan rangkap karbonkarbon atau pasangan nitrogen dengan oksigen. Biasanya cahaya tampak merupakan campuran dari cahaya yang mempunyai berbagai panjang gelombang, dari 400-700 nm. Transisi yang penting pada daerah ultraviolet dan tampak yaitu transisi n→π* dan π→π *, sedangkan transisi →σ n
*
jarang terjadi (Fessenden and
Fessenden, 1982). Menurut Magelli et. al., (2010), Spektra UV-Vis senyawa melanin yang telah dipurifikasi memberikan serapan pada 250-950 nm. Semua spektra yang tampak pada serapan senyawa melanin yang telah dimurnikan memberikan serapan UV-Vis yang kuat pada daerah 200-300 nm. Serapan tersebut disebabkan oleh adanya eksitasi → π π
*
dan n→π * pada gugus amino, karobilat, dan gugus
aromatik.
2.4.2
Karakterisasi FTIR
Spektrofotometri infra merah merupakan metode yang digunakan untuk karakter struktur molekul polimer, karena memberikan banyak informasi. Perbandingan posisi adsoprsi dalam spektrum infra merah suatu sampel polimer dengan daerah absorbsi dalam spektrum infra merah suatu sampel polimer dengan daerah absorpsi karakteristik, menunjukkan pada keberadaan ikatan dan gugus fungsi dalam polimer.
Universitas Sumatera Utara
Sampel yang digunakan untuk analisa dapat berupa padat, cair dan gas. Metode penyiapan untuk polimer antara lain melarutkan polimer ke dalam suatu pelarut seperti karbon bisulfide, karbon tetra klorida atau kloroform, pembuatan film transparan dan metode pellet Kbr. Kelebihan-kelebihan dari FT-IR (Fourier Transform- Infra Red) mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan arena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi, kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum. Analisa infra merah menyangkut penentuan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Dimana daerah serapan infra merah terletak antara spektrum elektromagnetik sinar tampak dan spektrum radio yaitu 4000-400 cm-1. Ahli kimia organik pada tahun 1930 secara serius mulai memikirkan spektra infara merah sebagai salah satu yang memungkinkan untuk mengidentifikasi senyawa melalui gugus fungsinya (Santoso, 2012).
Universitas Sumatera Utara