3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Papan Serat Berkerapatan Sedang (Medium Density Fiberboard, MDF) Medium Density Fiberboard (MDF) adalah papan serat yang dibuat melalui proses kering dengan perekat sintetis dan berkerapatan lebih besar dari 0,6 g/cm3 (SNI 01.4449-1998). Menurut Maloney (1993), papan serat berkerapatan sedang (MDF) adalah produk panel kayu yang terbuat dari serat berlignoselulosa dikombinasikan dengan perekat buatan atau perekat lainnya yang mempunyai kerapatan 0,40 sampai 0,80 g/cm3. MDF pertama kali dikembangkan pada tahun 1960 untuk keperluan konstruksi dan mebel, yang kemudian berkembang dengan pesat pada tahun 1980-an. MDF memiliki sifat fisis yang seragam, permukaan halus dan padat sehingga memungkinkan untuk dicetak, dicat, dan diberi bahan pelapis, memiliki sifat penyekrupan yang baik serta memiliki kestabilan dimensi yang relatif tinggi di bawah perubahan kondisi kelembaban lingkungan. Adapun sifat fisis dan mekanis MDF dapat dilihat seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat fisis dan mekanis MDF Sifat Fisis dan Mekanis Kerapatan (g/cm3) Modulus Patah (N/mm2) Modulus Elastisitas (N/mm2) Pengembangan Tebal (%) Internal Bond (N/mm2) Kadar Air (%)
MDF ketebalan < 7 mm ≥ 0,35 ≥ 30 ≥ 2500 ≤ 17 ≥ 0,5 5 - 13
Sumber : JIS A 5905: 2003
Sifat papan serat baik sifat fisis maupun mekanis, tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor ini digunakan sebagai pertimbangan dalam pembuatan papan serat untuk mendapatkan hasil sesuai kriteria yang diinginkan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sifat papan serat yaitu:
4
1. Bahan Baku a. Berat Jenis Panshin dan Zeeuw (1952) menyatakan bahwa kayu yang mempunyai berat jenis tinggi, seratnya lebih kaku dan sukar untuk digepengkan. Hal ini disebabkan kayu yang mempunyai berat jenis tinggi umumnya mempunyai dinding sel yang tebal sehingga daya tahan terhadap pengembangan lebih besar. Keadaan tersebut akan mempengaruhi sifat fisis dan mekanis papan serat yang dihasilkan. b. Kandungan Kimia Zat ekstraktif berupa minyak dan lemak mengurangi daya ikat papan serat, sedangkan resin dan tanin berpengaruh baik terhadap kekuatan papan serat. Zat ekstraktif dapat juga menimbulkan noda pada papan serat yang dihasilkan serta meningkatkan pemakaian perekat dan daya serap air (Maloney 1993). c.
Dimensi Serat FAO (1958) diacu dalam Yandesman (1998), mengemukakan bahwa serat yang berdinding tebal akan mempertahankan bentuk pipa dan bersifat kaku. Hal ini menyebabkan pengikatan tidak sempurna. Sebaliknya serat yang berdinding tipis akan mudah menjadi pipih, sehingga permukaan pengikatan lebih luas.
2. Bahan Penolong a. Perekat Pemberian perekat pada pembuatan MDF proses kering harus dilakukan, sedang pada proses basah perekat ditambahkan hanya untuk memperbaiki ikatan antar serat dan ketahanan terhadap cuaca. Perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan papan serat adalah urea formaldehida, melamin formaldehida, dan phenol formaldehida. Urea formaldehida lebih disukai karena harganya lebih murah, penanganannya mudah, dan tidak menimbulkan pewarnaan pada produk akhir (Maloney 1993). b. Bahan Tambahan Khusus (additives) Pemberian bahan tambahan khusus dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat tertentu papan serat. Bahan tambahan yang sering digunakan
5
pada pembuatan MDF yaitu parafin (wax) sebagai bahan penolak air (water repellant), asam sulfur untuk menurunkan pH adonan (slurry), dan natrium bikarbonat untuk meningkatkan pH adonan ke tingkat yang diinginkan (Koch 1985 diacu dalam Yandesman 1998).
Menurut Tsoumis (1991), Medium Density Fiberboard (MDF) biasanya dibuat dengan proses kering, dan resin yang ditambahkan sebanyak 8%-12%. Adapun proses pembuatanya terdiri dari beberapa tahap yaitu: 1.
Persiapan Kayu (Preparation of Wood) Kayu akan mengalami proses debarking yaitu proses pembuangan kulit kayu. Kemudian kayu (atau bahan berlignoselulosa lain) akan diubah menjadi chip dengan disk atau drum-type chippers. Chip akan ditampung di silo kemudian disaring dan disalurkan oleh conveyors dengan alat magnetik untuk mendeteksi dan memisahkan bahan metalic.
2.
Pembuatan Pulp (Pulping) Pulping adalah proses pembuatan pulp yaitu suatu cara pemisahan bahan berserat menjadi serat-serat individu setelah komponen lignin yang mengikat serat dan zat ekstraktif lain yang tidak diinginkan dihilangkan atau dilarutkan. Pada dasarnya proses pembuatan pulp untuk papan serat dapat dibagi dalam beberapa proses yaitu proses mekanis (mechanical), termomekanis (thermal mechanical), proses kimia mekanis dan proses peledakan (explotion process).
3.
Pengeringan Serat (Fiber Drying) Serat yang dimaksudkan untuk proses kering akan dikeringkan dahulu. Pengeringan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu drumtype dan tube-type yang secara umum sama untuk peralatan yang digunakan dalam pengeringan partikel untuk particle board.
4.
Pencampuran (Blending) Perekat dan bahan tambahan lain dicampur dengan serat terlebih dahulu sebelum ke tahap pembentukan lembaran. Pada proses kering menggunakan lebih dari 8% resin bergantung pada kerapatan papan dan sifat yang diinginkan.
6
5.
Pembentukan lembaran (Forming) Pembentukan lembaran juga disebut „felting‟, dapat dilakukan dengan dua metode yaitu basah dan kering. Keduanya bertujuan untuk mendapatkan keseragaman distribusi dari bahan (sesuai kerapatan dan ketebalan yang diinginkan). Dalam pembentukan basah, serat ditransportasikan pada konsistensi rendah 1%-2% di wire screen. Metode ini diterapkan pada pabrik modern sama seperti pembuatan kertas. Pembentukan kering serat ditransportasikan oleh udara. Ini adalah metode yang relatif baru yang lebih menguntungkan karena tidak membutuhkan air (pertimbangan penting dengan memperhatikan polusi lingkungan). Pengembangan baru pada formasi lembaran adalah orientasi serat. Hasil orientasi serat pada papan, sifat fisis dan mekanisnya mendekati kayu solid.
6.
Pengeringan Lembaran (Mat Drying) Pembentukan basah lembaran dikeringkan pada suhu antara 120o-190oC (250o-370o F), terdapat tiga tipe pengering: tunnel, drum, dan platen.
7.
Pengempaan dan Pengaturan Suhu (Pressing and Tempering) Pengempaan (pemberian tekanan) papan dapat secara basah dan kering. Pengempaan basah atau kering bergantung pada kadar air serat lembaran. Kempa basah digunakan ketika lembaran memiliki konsistensi sekitar 20%-30% serat dalam air. Sedangkan lembaran kering, kadar air seratnya 6%-12%. Pengempaan dengan suhu tinggi diterapkan untuk meningkatkan sifat seperti kekuatan, sifat higroskopis, stabilitas dimensi, dan kekerasan permukaan.
8.
Pengkondisian (Conditioning) Setelah keluar dari kempa panas, papan serat memiliki kadar air yang rendah (1%-2%) dan mudah pecah. Untuk mengatasi hal itu diperlukan pengkondisian. Pengkondisian bertujuan untuk menyeragamkan kadar air papan serat dan melepaskan tegangan sisa yang terdapat pada lembaran karena pengempaan.
7
2.2 Kayu Karet Kayu karet dalam bahasa latin disebut Hevea brasiliensis Muell. Arg., termasuk Genus Hevea-Famili Euphorbiaceae dan sering juga disebut para atau balam perak serta memiliki berbagai nama internasional seperti hevea, rubbertree (Inggris); hevea (Perancis); hevea, rubberboom (Belanda); hevea, seringueira (Spanyol). Di Indonesia jenis ini banyak ditanam di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan sebagai tanaman perkebunan besar
dan
perkebunan rakyat untuk tujuan produksi getah (Boerhendhy & Agustina 2006). Tetapi bila pohon karet telah mencapai umur 25-30 tahun, pohon ini tidak ekonomis lagi untuk disadap sehingga perlu diremajakan. Sifat-sifat kayu karet sebagai berikut (Pandit & Kurniawan 2008). a.
Kayu teras yang masih segar berwarna keputihan dan lama kelamaan berubah menjadi coklat muda, sedangkan kayu gubal berwarna putih, batas kayu gubal dan kayu teras tidak terlihat jelas.
b.
Serat lurus, tekstur agak kasar dan rata.
c.
Lingkaran tumbuh jelas, kayu awal lebih terang warnanya dari kayu akhir.
d.
Pori-pori kayu terlihat jelas dengan mata biasa dalam bentuk soliter atau berkelompok dalam deret radial 2-4 dan tersebar merata seperti pada Gambar 1.
e.
Jari-jari halus atau lebar.
Penampang transversal kayu karet (27x) (Sumber: Pandit & Kurniawan 2008)
Gambar 1 Struktur anatomi kayu karet. Berat jenis kayu ini tergolong menengah yaitu 0,61 (0,55-0,70) dengan kelas awet V (Mandang & Pandit 1997). Variasi berat jenis kayu disebabkan beberapa hal, antara lain perbedaan genetik, tempat tumbuh, dan contoh yang
8
dianalisis (Budiman 1987 diacu dalam Boerhendhy & Agustina 2006). Dilihat dari sifat fisik dan mekanis, kayu karet tergolong kayu kelas kuat II-III, yang setara dengan kayu ramin, perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan nyatoh. Zat ekstraktif kayu karet mengandung senyawa amirin dari golongan triterpena dalam bentuk getah lateks (Fengel & Wegener 1985). Kandungan selulosa kayu karet yang tinggi memungkinkan penggunaan kayu karet sebagai alternatif bahan baku industri kertas. Komposisi kimia kayu karet dapat dilihat pada Tabel 2. Kelemahan dari kayu ini adalah mudah pecah bila dipaku, mudah bengkok dan pecah bila dikeringkan, serta peka terhadap serangan organisme perusak kayu terutama jamur pewarna (bluestain). Namun, sifat yang menarik dari kayu karet adalah mudah digergaji dengan hasil gergajian yang cukup halus, serta mudah dibubut dengan permukaan yang rata dan halus. Pandit dan Kurniawan (2008) menyatakan bahwa kayu karet umumnya digunakan sebagai bahan baku perabot rumah tangga, panel dinding, bingkai gambar/lukisan, lantai parket, peti kemas, finir, kayu lamina, dan inti papan blok. Tabel 2 Komposisi kimia kayu karet Jenis Analisa
Kadar (%)
Selulosa total
60,0-68,0
Alpha selulosa
39,0-45,0
Pentosan
19,0-22,0
Lignin
19,0-24,0
Abu
0,65-1,30
Sumber: Boerhendhy dan Agustina 2006
2.3 Perekat Urea Formaldehida Perekat (adhesive) adalah suatu substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis atau tidak sejenis melalui ikatan permukaannya. Perekat yang siap dipakai bukan merupakan komponen yang tunggal, tetapi merupakan kombinasi dari dua atau lebih komponen-
9
komponen blinders, solvent, catalysts, hardeners, fillers, extenders, fortifiers, dan preservatives (Ruhendi & Hadi 1997 diacu dalam Widiyanti 2002). Urea formaldehida merupakan hasil kondensasi dari urea dan formaldehida dengan perbandingan molar 1 : (1,5-2). Pada tahap awalnya terbentuk mono-, di-, tri-, dan tetramethylolurea reaksinya secara singkat seperti pada Gambar 2.
NH2 C=
H O
+
HCHO
N
CH2OH
C=O
NH2
H
N
CH2OH
Gambar 2 Reaksi kimia pencampuran urea dan formaldehida. Urea formaldehida ini larut dalam air dan dalam pengerasannya akan terbentuk pola ikatan jaringan (cross-link). Urea formaldehida akan cepat mengeras dengan naiknya temperatur dan atau menurunnya pH. Apabila pH turun secara drastis maka pot-lifenya sangat pendek dan kekuatan rekat menurun dengan pengaruh waktu. Hal ini dapat ditanggulangi dengan penggunaan garam amonium dari asam kuat, dan yang sering digunakan adalah amonium chlorida (NH4Cl). Dengan adanya dua faktor yang sangat berperan dalam proses pengerasan urea formaldehida ini, maka perekat ini dapat dikempa panas maupun dikempa dingin, yaitu dengan cara mengatur keasaman perekatnya (Ruhendi & Hadi 1997 diacu dalam Widiyanti 2002). Menurut Maloney (1993), rantai ikatan jaringan interpolimer yaitu reaksi antara grup akhir methylol dengan polimer didekatnya pada urea formaldehida seperti pada Gambar 3.
-NH-CO-N-CH2-NH-CO-NHCH2 CH2OH -NH-CO-N-CH2-N-CO-NHGambar 3 Rantai ikatan jaringan interpolimer pada urea formaldehida.
10
Kelebihan urea formaldehida yaitu warnanya putih sehingga tidak memberikan warna gelap pada waktu penggunaannya, dapat dicampur perekat melamin formaldehida agar kualitas perekatnya lebih baik, harganya relatif murah dibandingkan perekat sintetis lainnya serta tahan terhadap pengaruh air dan kelembaban (Ruhendi 1986). Menurut Maloney (1993), perekat urea formaldehida mempunyai karakteristik viscositas (25oC) (Cps) sebesar 30%, resin solid content 40-60%, pH sekitar 7-8, berat jenis (25oC) adalah 1,27-1,29. Kekurangan urea formaldehida yaitu kurang tahan terhadap pengaruh asam dan basa serta penggunaanya terbatas untuk interior saja. Disamping itu, menurut Tsoumis (1991) urea formaldehida relatif tidak tahan terhadap pembasahan untuk waktu lama dan uap emisi formaldehida yang membahayakan kesehatan. Menurut Air Resources Board (2008), Badan Internasional Penelitian Kanker telah menyimpulkan bahwa formaldehida mempunyai racun yang dapat menyebabkan efek bagi kesehatan baik kanker ataupun non-kanker.
2.4 Rayap Rayap merupakan serangga pemakan kayu (Xylophagus) dan bahanbahan yang mengandung selulosa. Rayap dikelompokkan ke dalam tujuh famili yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodoteritidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae dan Termitidae. Enam famili pertama digolongkan sebagai rayap tingkat rendah dan famili Termitidae sebagai rayap tingkat tinggi. Di dalam usus belakang rayap tingkat rendah terdapat protozoa yang berperan sebagai simbion dalam proses mencerna selulosa. Sedangkan pada rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri (Nandika et al. 2003). Menurut Tarumingkeng (2001) pada dasarnya rayap adalah serangga daerah tropika dan subtropika. Namun kini penyebarannya meluas ke daerah beriklim sedang (temperate) dengan batas-batas 500 LU dan 500 LS. Di daerah tropika rayap dapat ditemukan mulai dari pantai sampai ketinggian 3000 meter dari permukaan laut. Menurut Tambunan dan Nandika (1989), di dalam hidupnya rayap mempunyai 4 sifat yang khas, yaitu:
11
1.
Trophalaksis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan melalui anus dan mulut.
2.
Cryptobiotic, yaitu sifat menyembunyikan diri, menjauhkan diri dari cahaya dan gangguan. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap.
3.
Cannibalism, yaitu sifat rayap untuk memakan sesamanya yang telah lemah atau sakit. Sifat ini menonjol dalam kedaan kekurangan makanan.
4.
Necrophagy, yaitu sifat rayap yang memakan bangkai sesamanya. Rayap adalah serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang
disebut koloni dan rayap tidak memiliki kemampuan untuk hidup lebih lama bila tidak berada dalam koloninya (Nandika et al. 2003). Satu koloni terbentuk dari sepasang laron (alates) betina dan jantan yang memperoleh habitat dari bahan yang berselulosa untuk membentuk sarang utama. Bahkan lebih dari itu dengan ukuran dan populasinya yang sangat pesat rayap mampu menjangkau dan merusak beraneka ragam bahan yang menjadi kepentingan manusia seperti karton, kertas, kain dan plastik. Aktifitas jelajah merupakan bagian dari perilaku rayap untuk mencari sumber makanannya. Pada ruang terbuka aktifitas tersebut ditandai oleh pembentukan liang kembara rayap untuk melindungi aktifitasnya dari cahaya langsung. Dalam setiap koloni rayap umumnya terdapat tiga kasta yang diberi nama menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta reproduktif (raja dan ratu), kasta prajurit dan kasta pekerja. Tarumingkeng (2000), menyatakan bahwa setiap koloni rayap terdapat tiga kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu: 1.
Kasta reproduktif Kasta reproduktif terdiri dari reproduktif primer dan sekunder. Kasta
reproduktif primer merupakan sepasang imago (raja dan ratu) yang semasa hidupnya bertugas menghasilkan telur. Apabila rayap kasta reproduktif mati, sepasang rayap kasta reproduktif sekunder akan menggantikannya. Pada masa persilangan (swarming), rayap kasta reproduktif akan terbang keluar sarang dalam jumlah besar. Masa persilangan merupakan masa perkawinan sepasang imago bertemu menanggalkan sayapnya kemudian mencari tempat baru yang sesuai untuk perluasan koloni. Menurut Nandika et
12
al. (2003), ratu rayap dapat mencapai ukuran panjang 5-9 cm atau lebih. Peningkatan ukuran tubuh ini terjadi karena pertumbuhan ovari, usus, dan penambahan lemak tubuh. Pembesaran tubuh ini menyebabkan ratu tidak dapat bergerak aktif dan tampak malas. Pekerjaan ratu semasa hidupnya hanya menghasilkan telur, sedangkan makannya dilayani oleh para pekerja. Seekor ratu dapat hidup 6 sampai 20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Seekor ratu rayap dapat menghasilkan ribuan telur (Tarumingkeng 2001). 2.
Kasta prajurit Rayap dari kasta prajurit mudah dikenali dari bentuk kepalanya yang
besar dan mempunyai mandibel yang kuat. Dalam koloni, rayap kasta prajurit bertugas untuk melindungi koloninya dari gangguan yang mungkin timbul
selama
siklus hidup koloni. Rayap kasta prajurit menyerang
musuhnya dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Selain menggunakan mandibel untuk menyerang musuh, juga mengeluarkan cairan hasil sekresi kelenjar frontal atau kelenjar saliva melalui mulut. Rayap tanah kasta prajurit memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat. Antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm. Lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm. Panjang badan 5,5-6,0 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan (Nandika et al. 2003). 3.
Kasta pekerja Rayap kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting
dalam koloni rayap. Setiap populasi dalam koloni rayap tidak kurang dari 80% populasi merupakan kelompok kasta pekerja. Kasta ini umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa. Kasta pekerja antara lain bertugas memberi makan kepada seluruh anggota koloni, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. Nandika et al. (2003) menyatakan bahwa kasta pekerja pula yang memperbaiki sarang bila terjadi kerusakan. Rayap inilah yang sering
13
menghancurkan tanaman, kayu, mebel, dan bahan berselulosa lainnya. Bahkan kadang-kadang mereka memakan rayap lain yang lemah sehingga hanya individu-individu yang kuat saja yang dipertahankan. Semua ini merupakan mekanisme pengaturan keseimbangan kehidupan di dalam koloni rayap. Pembentukan kasta pekerja, prajurit, ratu atau raja dari nimfa muda dikendalikan secara alami oleh bahan kimia yang disebut feromon. Feromon adalah hormon yang dikeluarkan dari kelenjar endokrin, menyebar keluar tubuh dan mempengaruhi individu lain yang sejenis (Tarumingkeng 2001). Menurut
Tarumingkeng
(2000),
kemampuan
mendeteksi
makanan
dimungkinkan karena rayap dapat menerima setiap bau yang esensial bagi kehidupannya melalui lubang-lubang tertentu yang terdapat pada rambutrambut yang tumbuh diantenanya. Bau yang dapat dideteksi rayap berhubungan dengan sifat kimiawi feromon itu sendiri. Rayap tanah merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Hal tersebut dikaitkan dengan aktifitas makan rayap yang memiliki daya cerna selulosa yang cukup tinggi diimbangi dengan tingginya populasi flagelata di usus dengan rata-rata 4.682 ekor flagelata per rayap. Jarak jelajah yang dapat ditempuh oleh rayap tanah dalam mencari makanannya sampai 480 meter (Nandika 1995 diacu dalam Suryono 2009). Terdapat dua famili rayap tanah di Indonesia, yaitu Rhinotermitidae dan Termtidae. Rayap tanah mudah menyerang kayu sehat atau kayu busuk yang ada di dalam atau di atas tanah lembab, juga dapat membentuk saluransaluran yang terlindung pada pondasi-pondasi atau penghalang-penghalang lain yang tidak dapat ditembus serta dapat mendirikan sarang berbentuk seperti menara langsung dari tanah. Saluran-saluran dan menara-menara yang terbuat dari tanah yang halus dan kayu akan dicerna sebagian, kemudian direkatkan bersama dengan ekskresi serangga, memungkinkan rayap tersebut menciptakan kondisi kelembaban dalam kayu yang cocok, jika tidak kayu akan kering sehingga tahan terhadap serangan dari jenis rayap ini (Hunt & Garratt 1986). Adapun klasifikasi jenis rayap tanah adalah sebagai berikut: Kelas
: Insekta
14
Ordo
: Blatodea
Famili
: Rhinotermitidae
Subfamili
: Coptotermitinae
Genus
: Coptotermes
Spesies
: Coptotermes curvignathus Holmgren