BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Pile cap merupakan salah satu elemen penting dari suatu struktur. Hal ini dikarenakan pile cap memiliki peranan penting dalam pendistribusian beban struktur ke tiang pancang untuk kemudian diteruskan ke dalam tanah. Pile cap digunakan sebagai pondasi untuk mengikat tiang pancang yang sudah terpasang dengan struktur yang berada di atasnya. Pada umumnya para geotechnical dan structure engineer mendesain pondasi dalam (deep foundation) sama sekali tidak memperhitungkan kontribusi pile cap. Padahal sering sekali dimensi pile cap cukup besar dan tebal. RL Mowka meneliti bahwa untuk gaya lateral bahkan sering sekali lebih besar gaya yang dipikul pile cap dibanding dengan tiang. Begitu juga dengan gaya aksial tekan. Dengan memperhitungkan distribusi pile cap maka kita akan mendapatkan desain group tiang yang lebih ekonomis. Oleh karena itu, penting sekali para engineer memahami perilaku pile cap agar mampu memperhitungkan kontribusi pile cap dalam memperhitungkan daya dukung group tiang baik terhadap gaya lateral maupun gaya aksial. Pada dasarnya perilaku pile cap hampir sama dengan balok tinggi. Hal ini dikarenakakan pile cap memikul beban geser yang sangat besar yang hampir sama dengan perilaku balok tinggi yang juga memikul beban geser yang besar. Namun pada pile cap perbandingan antara lebar dan tinggi membuat perbedaan kedua struktur ini berbeda dalam perencanaannya. Karena geometrinya inilah maka pile cap ini lebih berperilaku dua dimensi bukan satu dimensi dan mengalami keadaan tegangan dua dimensi. Sebagai akibatnya, bidang datar sebelum melentur tidak harus
9
tetap datar setelah melentur. Distribusi regangannya tidak lagi linier, dan deformasi geser yang diabaikan pada balok biasa menjadi sesuatu yang cukup berarti dibandingkan dengan deformasi lentur murni. Sebagai akibatnya, balok tegangan menjadi nonlinier meskipun masih pada taraf elastis. Pada keadaan limit dengan beban batas, distribusi tegangan tekan pada beton tidak akan lagi mengikuti bentuk parabola seperti pada balok biasa. Beton retak dalam arah tegak lurus trayektori tegangan utama, apabila bebannya terus bertambah, retak ini akan melebar dan akan menjalar, juga timbul retak lainnya. Dengan demikian semakin sedikit beton yang harus memikul keadaan tegangan yang tak menentu. 2.2 Beton Beton adalah suatu komposit dari beberapa bahan batu-batuan yang direkatkan oleh bahan pengiikat. Beton dibentuk dari agregat campuran (halus dan kasar) dan ditambah dengan pasta semen. Pada prinsipnya pasta semen mengikat pasir dan bahan-bahan agregat lain (batu kerikil, basalt dan sebagainya). Rongga di antara bahan-bahan kasar diisi oleh bahan-bahan halus. Hal ini memberi gambaran bahwa harus ada perbandingan optimal antara agregat campuran yang bentuknya berbeda-beda agar pembentukan beton dapat dimanfaatkan oleh seluruh material. Material penyusun beton secara umum dibedakan atas: 1. Semen Material semen adalah material yang mempunyai sifat-sifat adhesif dan kohesif yang diperlukan untuk mengikat agregat-agregat menjadi suatu massa yang padat yang mempunyai kekuatan yang cukup. Oleh karena itu, dalam campuran beton semen berfungsi sebagai bahan pengikat hidrolik.
10
2. Agregat Agregat merupakan bahan batu-batuan yang netral (tidak bereaksi) dan merupakan bentuk sebagian besar beton (misalnya: pasir, kerikil, batu-pecah, basalt). Dalam struktur beton biasanya agregat menempati lebih kurang 70% 75% dari volume massa yang telah mengeras. Sisanya terdiri dari adukan semen yang telah mengeras, air yang belum bereaksi (air yang tidak ikut dalam proses hidrasi dari semen), dan rongga-rongga udara. 3. Bahan tambahan (admixtures) bahan kimia yang ditambahkan ke dalam spesibeton dan / atau beton untuk mengubah sifat beton yang dihasilkan (misalnya; 'accelerator', 'retarder' dan sebagainya). 4. Air. Sedangkan produk dari campuran tersebut dapat dibedakan atas: a. Batuan-semen : campuran antara semen dan air (pasta semen yang mengeras). b. Spesi-mortar : campuran antara semen, agregat halus dan air yang belum mengeras. c. Mortar : campuran antara semen, agregat halus dan air yang telah mengeras. d. Spesi-beton : campuran antara semen, agregat campuran (halus dan kasar) dan air yang belum mengeras. e. Beton : campuran antara semen, agregat campuran dan air yang telah mengeras. 2.3 Tulangan Dibandingkan dengan beton, tulangan merupakan material yang berkekuatan tinggi. Baja penguat atau baja tulangan memikul tarik maupun tekan, kekuatan lelehnya kurang lebih sepuluh kali dari kekuatan tekan struktur beton yang umum,
11
atau seratus kali dari kekuatan tariknya. Oleh karena itu, agar beton dapat bekerja dengan baik dalam sistem struktur, beton perlu dibantu dengan memberinya perkuatan berupa penulangan yang berfungsi menahan gaya tarik. Penulangan beton dapat menggunakan bahan baja yang memiliki sifat teknis yang kuat menahan gaya tarik. Baja beton yang digunakan dapat berupa batang baja lonjoran atau kawat rangkai las (wire mesh) yang berupa batang-batang baja yang dianyam dengan teknik pengelasan. Perhitungan dan pendetailan penulangan pada pile cap ditentukan menurut SNI 03-2847-2002 tentang “Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung” dan SNI 03-6816-2002 tentang “Tata Cara Pendetailan Penulangan Beton”. 2.4 Konsolidasi Sebelum
mendirikan
sebuah
bangunan
terlebih
dahulu
dilakukan
penyelidikan terhadap tanah. Penyelidikan yang dilakukan terhadap tanah meliputi:
Daya dukung tanah yang memadai.
Penurunan akibat konsolidasi yang terjadi pada tanah membahayakan atau tidak terhadap bangunan. Baik penurunan maksimum ataupun penurunan diferensial. Penurunan yang terjadi pada tanah diakibatkan berat bangunan sendiri dan
berat beban yang bekerja pada bangunan. Beban tersebut menimbulkan tekanan pada tanah yang sifatnya menyebar dan semakin ke bawah semakin kecil. Jika tekanan tersebut terjadi pada tanah yang bersifat kompresibel maka akan terjadi penambahan tekanan efektif yang mengakibatkan tanah berkonsolidasi dan akhirnya terjadi penurunan pada tanah. Berdasarkan proses terjadinya penurunan dapat dibedakan atas:
12
Penurunan seketika
Penurunan konsolidasi primer
Penurunan konsolidasi sekunder Konsolidasi
adalah
peristiwa
mampatnya
tanah
karena
mengalami
pertambahan tekanan efektif. Pada peristiwa konsolidasi ada dua hal yang harus diperhatikan: 1. Besarnya penurunan yang akan terjadi, dihitung dengan menggunakan parameter:
Kompresibilitas tanah.
Tebal tanah kompresibel.
Besarnya tambahan tekanan efektif tanah.
2. Laju konsolidasi, dihitung dengan menggunakan parameter:
Permeabilitas tanah.
Tebal tanah kompresibel.
Kondisi drainase diatas dan dibawah lapisan tanah kompresibel.
Berdasarkan kondisinya tanah dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: 1. Tanah terkonsolidasi secara normal (Normally Consolidated Soil) Pada umurnya tanah yang ada di alam telah mengalami konsolidasi primer akibat berat sendirinya selama bertahun-tahun. Besar tekanan efektif yang dipikul oleh tanah A pada kedalaman h adalah sebesar Po.
Po
ho
Gambar 2.1 Kondisi tanah terkonsolidasi secara normal
13
Dimana besarnya Po adalah sebesar:
Po h
2.1
2. Tanah yang terlalu terkonsolidasi/prakonsolidasi (Over Consolidated Soil) Tanah yang terlalu terkonsolidasi adalah tanah yang pernah mengalami konsolidasi oleh beban yang lebih besar dari tekanan efektif yang ada sekarang. Umumnya tanah ini dijumpai pada daerah bukit yang pernah mengalami longsoran atau daerah bekas galian.
muka tanah dahulu
hc
muka tanah sekarang ho B
Gambar 2.2 Kondisi tanah yang terlalu terkonsolidasi atau tanah prakonsolidasi
Tanah di B sekarang memiliki kedalaman ho dan tekanan efektif lapangan sekarang adalah Po namun pernah mengalami tekanan efektif sebesar Pc. Dengan persamaan tekanan efektif sebagai berikut:
dimana: Po
Po ho
2.2a
Pc hc
2.2b
= tekanan tanah lateral terkonsolidasi secara normal (kN/m2)
Pc
= tekanan tanah lateral terlalu terkonsolidasi (kN/m2)
ho
= kedalaman sekarang (m)
hc
= kedalaman sebelum (m)
γ
= berat volume tanah (kN/m3)
14
2.5 Kapasitas Daya Dukung dan Efisiensi Kelompok Tiang pancang Ada beberapa cara untuk menghitung kapasitas daya dukung tiang pancang, diantaranya dengan menggunakan data SPT, Sondir, data parameter kuat geser tanah (laboratorium), kalendering dan sebagainya. Dalam tugas akhir ini, penulis hanya menjabarkan dua metode saja, yaitu SPT dan data parameter kuat geser tanah (laboratorium). 2.5.1 Kapasitas Daya Dukung Tiang Pancang Dengan Parameter Kuat Geser Tanah (Laboratorium) Berdasarkan hasil penyelidikan tanah melalui beberapa percobaan akan didapat nilai berat isi tanah (γ), nilai kohesif tanah (c), serta nilai sudut geser tanah (Φ). Untuk tanah lempung nilai kohesif sebagai parameter tanah yang digunakan untuk menghitung kapasitas daya dukung tiang pancang, sedangkan untuk tanah pasir atau lepas berbutir digunakan sudut geser tanah sebagai parameternya. Daya dukung ujung tiang pada tanah kohesif: Q p A p cu N c
2.3
Daya dukung selimut tiang pada tanah kohesif: Qs f i Li Pp f i i cu
2.4
Daya dukung ujung tiang pada tanah non kohesif: Q p Ap q ( N q 1)
2.5
Daya dukung selimut tiang pada tanah non kohesif: Qs f i Li Pp f i K a 0 tan 0,8
dimana: Qs Qp
2.6
= daya dukung selimut tiang = daya dukung ujung tiang
15
Ap
= luas penampang pile
cu
= nilai kohesif tanah tak teraliri
φ
= sudut geser tanah
Li
= ketebalan lapisan tanah
q’
= beban yang pernah dipikul tanah sebelumnya
σ0
= tekanan tanah lateral
Nc’, Nq’
= faktor kapasitas daya dukung Mayerhof
Nilai Nc’ dan Nq’ merupakan faktor kapasitas daya dukung Mayerhof dapat dilihat dari tabel berikut ini. Φ 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nc
Nq
Nγ
5,14 1,00 0,00 5,38 1,09 0,07 5,63 1,20 0,15 5,90 1,31 0,24 6,19 1,43 0,34 6,49 1,57 0,45 6,81 1,72 0,57 7,16 1,88 0,71 7,53 2,06 0,86 7,92 2,25 1,03 8,35 2,47 1,22 8,80 2,71 1,44 9,28 2,97 1,69 9,81 3,26 1,97 10,37 3,59 2,29 10,98 3,94 2,65 11,63 4,34 3,06 12,34 4,77 3,53 13,10 5,26 4,07 13,93 6,40 4,68 14,83 5,80 5,39 15,82 7,07 6,20 16,88 7,82 7,13 18,05 8,66 8,20 19,32 9,60 9,44 20,72 10,66 10,88
Nq/Nc 0,20 0,20 0,21 0,22 0,23 0,24 0,25 0,26 0,27 0,28 0,30 0,31 0,32 0,33 0,35 0,36 0,37 0,39 0,40 0,42 0,43 0,45 0,46 0,48 0,50 0,51
tan Φ 0,00 0,02 0,03 0,05 0,07 0,09 0,11 0,12 0,14 0,16 0,18 0,19 0,21 0,23 0,25 0,27 0,29 0,31 0,32 0,34 0,36 0,38 0,40 0,42 0,45 0,47
Φ
Nc
Nq
Nγ
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
22,25 23,94 25,80 27,86 30,14 32,67 35,49 38,64 42,16 46,12 50,59 55,63 61,35 67,87 75,31 83,86 93,71 105,11 118,37 133,88 152,10 173,64 199,26 229,93 266,89
11,85 13,20 14,72 16,44 18,40 20,63 23,18 26,09 29,44 33,30 37,75 42,92 48,93 55,96 64,20 73,90 85,38 99,02 115,31 134,88 158,51 187,21 222,31 265,51 319,07
12.54 14.17 16.72 19.34 22.40 25.99 30.22 35.19 41.06 48.03 56.31 66.19 78.03 92.25 109.41 130.22 155.55 186.54 224.64 271.76 330.35 403.67 496.01 613.16 762.89
Nq/Nc 0.53 0.55 0.57 0.59 0.61 0.63 0.65 0.68 0.70 0.72 0.75 0.77 0.80 0.82 0.85 0.88 0.91 0.94 0.97 1.01 1.04 1.08 1.12 1.15 1.20
Tabel 2.1 Faktor daya dukung Mayerhof (Sumber: Vesic, 1973)
16
tan Φ 0.49 0.51 0.53 0.55 0.58 0.60 0.62 0.65 0.67 0.70 0.73 0.75 0.78 0.81 0.84 0.87 0.90 0.93 0.97 1.00 1.04 1.07 1.11 1.15 1.19
2.5.2 Kapasitas Daya Dukung Tiang Pancang Dengan Data SPT (Standart Penetration Test) Data yang diperoleh dari lapangan adalah berupa nilai SPT. Nilai SPT tersebutlah yang kemudian di olah menjadi parameter daya dukung tiang pancang, diamana persamaan daya dukung tiang pancangnya adalah sebagai berikut. Daya dukung ujung tiang pada tanah kohesif: Q p 9 Cu Ap cu N SPT 2 10 3
2.7
Daya dukung selimut tiang pada tanah kohesif: Qs cu Pp Li
2.8
Daya dukung ujung tiang pada tanah non kohesif: Q p 40 N SPTav L
D
Ap 400 N SPTav Ap
2.9
Daya dukung selimut tiang pada tanah non kohesif: Qs 2 N SPT Pi Li
dimana: Qs
2.10
= daya dukung selimut tiang
Qp
= daya dukung ujung tiang
Ap
= luas penampang pile
cu
= nilai kohesif tanah tak teraliri
α
= koefisien friksi
Li
= ketebalan lapisan tanah
N-SPT
= nilai standar penetrasi test
D
= diameter tiang
17
2.5.3 Efisiensi Kelompok Tiang Pancang Ada bermacam metode untuk menghitung efisiensi kelompok tiang diantaranya akan dijabarkan sebagai berikut: 1. Conversi – Labarre (n 1)m (m 1)n 90mn
1
2.11
2. Los Angeles Group – Action Formula
1
D mn 1 n(m 1) 2(m 1)(n 1) .s.m.n
2.12
3. Feld’s Method Untuk metode Feld kita harus mengetahui posisi masing-masing tiang.
Qg (u )
2.13
Q
u
Contoh: C
B
C
C
B
C
C
B
C
B
A
B
B
A
B
B
A
B
C
B
C
C
B
C
C
B
C
Tipe tiang
Jumlah tiang
Jumlah tiang yang berdekatan
Faktor reduksi untuk masingmasing tiang
A
1
8
0,5Qu
B
4
5
2,75Qu
C
4
3
3,25Qu
Kapasitas ultimate
∑ ∑
18
2.6 Settlement/Penurunan Pondasi Dalam bidang teknik sipil ada dua hal yang perlu diketahui mengenai penurunan, yaitu besarnya penurunan dan kecepatan penurunan yang akan terjadi. Istilah penurunan (settlement) digunakan untuk menunjukkan gerakan titik tertentu pada bangunan terhadap titik referensi yang tetap. Penurunan yang tidak seragam umumnya lebih membahayakan dibandingkan dengan penurunan seragam atau serentak. Pada tanah penurunan terjadi sebagai akibat konsolidasi pada tanah. Penurunan yang diakibatkan oleh lapisan tanah kompresif yang mengalami konsolidasi karena adanya tambahan tekanan efektif perlu dihitung jika dijumpai lapisan kompresibel yang terdapat di bawah pondasi diantara dasar pondasi sampai kedalaman dua kali lebar pondasi. Tambahan tekanan efektif dihitung berdasarkan teori penyebaran tekanan.
s
h
v0
hv1 H0 H1
hs
hs
Gambar 2.3 Kondisi tanah yang mengalami penurunan akibat penambahan tekanan efektif
2.6.1
Perkiraan Penurunan Pondasi Dangkal Secara umum terdapat dua jenis penurunan pada pondasi dangkal, yaitu 1)
penurunan segera (δi) yang dikontribusikan oleh sifat elastik tanah dan terjadi segera setelah lapisan tanah menerima beban, dan 2) penurunan konsolidasi (δc), yang terjadi akibat keluarnya sebagian kandungan air dari lapisan tanah sehingga tanah menjadi lebih mampat. Penurunan konsolidasi ini terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama dan jauh lebih besar dibanding penurunan segera. Jumlah kedua jenis
19
penurunan ini merupakan penurunan total (δt) yang terjadi. Tanah jenis lempung memiliki kedua jenis penurunan ini. Penurunan segera dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
2.14a
2.14b
2.14c
2.14d
Sudut pondasi fleksibel
Si
B.qo 2 1 s Es 2
Pusat pondasi fleksibel
Si
B.qo 2 1 s Es
Rata-rata pondasi fleksibel
Si
B.qo 2 1 s av Es
Pondasi kaku
Si
B.qo 2 1 s r Es
Penurunan konsolidasi dapat dihitung berdasarkan kondisi tanah lempung yang ada di lapangan. Kondisi tersebut antara lain tanah lempung terkonsolidasi secara normal (2.4a), tanah lempung yang terlalu terkonsolidasi dengan (2.4b), dan tanah lempung yang terlalu terkonsolidasi dengan (2.4c). Persamaan penurunan pada tanah lempung diatas dapat dilihat sebagai berikut:
Sc
Sc
Cc H c p pav log o 1 eo po
2.15a
Sc
Cs H c p pav log o 1 eo po
2.15b
Cs H c p CH p pav log c c c log o 1 eo po 1 eo pc
2.15c
2.6.2 Perkiraan Penurunan Tiang Tunggal Menurut Paulos dan Davis (1980) penurunan jangka panjang untuk pondasi tiang tunggal tidak perlu ditinjau karena penurunan tiang akibat konsolidasi dari tanah relatif kecil. Hal ini dikarenakan pondasi tiang direncanakan terhadap kuat
20
dukung ujung tiang dan kuat dukung friksinya atau penjumlahan dari keduanya. Untuk menghitung penurunan tiang tunggal dapat digunakan metode empiris. Metode empiris: S S s S p S ps
Ss
Q
p
Sp
2.16
Qs L
2.16a
Ap E p
C pQp
2.16b
dq p
P d 2 S ps t 1 s I ws pL E s
2.16c
dimana: S
= penurunan total
Ss
= penurunan akibat deformasi aksial tiang
Sp
= penurunan ujung tiang
Sps
= penurunan akibat beban yang dialihkan sepanjang tiang
Qp
= kapasitas dukung ujung tiang
Qs
= kapasitas dukung selimut tiang
α
= Koefisien yang tergantung pada distribusi gesekan selimut sepanjang tiang. Menurut Vesic (1977), α = 0,33 – 0,5
Ap
= luas penampang tiang
Ep
= modulus elastisitas tiang
Es
= modulus elastisitas tanah, tabel 2.2
L
= panjang tiang
d
= diameter tiang
cp
= koefisien empiris, tabel 2.3 21
qp
= daya dukung batas ujung tiang
Pt = Gesekan rata – rata yang bekerja sepanjang tiang pL
p
= keliling tiang
Iws
= 2 0,35
υ
= poisson rasio tanah, tabel 2.4
L ,faktor pengaruh d
Modulus Elastisitas (kN/m2)
Jenis tanah Lempung Sangat lunak Lunak Sedang Keras Berpasir Pasir Berlanau Tidak padat Padat Pasir dan kerikil Tidak padat Padat Lepas Lanau
300 – 3000 2000 – 4000 4500 – 9000 7000 – 20000 30000 – 42500 5000 – 20000 10000 – 25000 50000 – 100000 80000 – 200000 50000 – 140000 15000 – 60000 2000 – 20000
Tabel 2.2 Modulus elastisitas tanah menurut Bowles, 1977
Jenis Tanah
Koefisien Cp
Pasir Lempung Lanau
0,02 – 0,04 0,02 – 0,03 0,03 – 0,05
Tabel 2.3 Koefisien empiris menurut Vesic, 1977
Jenis Tanah Lempung jenuh Lempung tak jenuh Lempung berpasir Lanau Pasir padat Pasir kasar (e = 0,4 – 0,7) Pasir halus (e = 0,4 – 0,7) Batu (agak tergantung dari tipenya) Loess
Angka poisson (υ) 0,4 – 0,5 0,1 – 0,3 0,2 – 0,3 0,3 – 0,35 0,2 – 0,4 0,15 0,25 0,1 – 0,4 0,1 – 0,3
Tabel 2.4 Angka Poisson tanah menurut Bowles, 1968
22
2.6.3 Perkiraan Penurunan Kelompok Tiang 1. Tanah Pasir Beberapa metode dari penelitian dapat digunakan untuk menghitung penurunan pondasi kelompok tiang antara lain, yaitu: a) Metode Vesic (1977) Sg S
Bg
2.17a
d
dengan: S
= Penurunan pondasi tiang tunggal
Sg
= Penurunan pondasi kelompok tiang
Bg
= Lebar kelompok tiang
d
= Diameter tiang tunggal
b) Metode Mayerhoff
Berdasarkan N-SPT S g 2q
dengan: I
L = 1 8B g
Bg I
2.17b
N
0,5
q
= tekanan pada dasar pondasi
Bg
= lebar kelompok tiang
N
= harga rata-rata N-SPT pada kedalaman Bg dibawah ujung pondasi tiang
23
Berdasarkan CPT Sg
qB g I
2.17c
2q c
dengan: I
L = 1 8B g
0,5
q
= tekanan pada dasar pondasi
Bg
= lebar kelompok tiang
qc
= nilai rata-rata perlawanan konus pada kedalaman Bg dibawah ujung pondasi tiang
2. Tanah Lempung Penurunan pondasi yang terletak pada tanah lempung dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu penurunan segera (immediate settlement), penurunan konsolidasi primer dan penurunan konsolidasi sekunder. Penurunan total adalah jumlah dari ketiga komponen tersebut dan dinyatakan dalam rumus berikut: S Si Sc S s
2.18
dengan: S
= penurunan total
Si
= penurunan segera
Sc
= penurunan konsolidasi primer
Ss
= penurunan konsolidasi sekunder
a) Penurunan segera Si i o
dengan: Si
qB E
2.18a
= penurunan segera 24
q
= tekanan netto pondasi ( )
B
= lebar kelompok tiang
E
= modulus elastisitas
i
= faktor koreksi untuk lapisan tanah dengan tebal H
o
= faktor koreksi untuk kedalaman pondasi Df
b) Penurunan konsolidasi primer Penurunan konsolidasi primer adalah penurunan yang terjadi sebagai hasil dari pengurangan volume tanah akibat aliran air meninggalkan zona tertekan yang diikuti oleh pengurangan kelebihan tekanan air pori. Rumus yang dipakai untuk menghitung penurunan konsolidasi primer yaitu sebagai berikut : Sc
dengan: Sc
e eo e H i H 1 eo 1 eo
2.18b
= penurunan konsolidasi primer
e
= perubahan angka pori
eo
= anka pori awal
ei
= angka pori saat berakhirnya konsolidasi
H
= tebal lapisan tanah yang ditinjau
c) Penurunan konsolidasi sekunder Penurunan konsolidasi sekunder adalah penurunan yang tergantung dari waktu, namun berlangsung pada waktu setelah konsolidasi primer selesai yang tegangan efektif akibat bebannya telah konstan. Besar penurunannya merupakan fungsi waktu (t) dan kemiringan kurva indeks pemampatan sekunder (Cα). Ss
C t H log 2 1 ep t1
2.18c
25
dengan: Ss
= penurunan konsolidasi sekunder
ep
= angka pori sesaat konsolidasi primer berakhir
Cα
= indeks pemampatan sekunder
t2
= t1 + t
t1
= waktu sesaat setelah konsolidasi primer berakhir
H
= tebal lapisan lempung
2.7 Koefisien Reaksi Subgrade Consoli, dkk, 1998 meneliti pengaruh ukuran dan bentuk pelat terhadap settlement dan daya dukung pada tanah residual. Pengujian dilakukan dengan menggunakan pelat berukuran 30 cm, 45 cm dan 60 cm berbentuk lingkaran dan segi empat, juga pelat fondasi ukuran 49 cm, 70 cm, dan 100 cm. Hasil pengujian digambarkan dalam bentuk kurva normalisasi tanpa dimensi antara rasio tekanan terhadap kuat tekan bebas versus rasio settlement terhadap diameter (lebar) pelat. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pada tanah yang homogen, ukuran pelat tidak berpengaruh pada kompresibilitas awal tanah, tetapi sedikit berpengaruh pada daya dukungnya. Bentuk pelat segi empat dan lingkaran menunjukan perilaku yang sama pada pembebanan awal tetapi sedikit berbeda pada regangan yang mendekati kapasitas dukung ultimitnya. Kesimpulan yang di dapat adalah pengaruh ukuran dan bentuk pelat terhadap settlement dan daya dukung fondasi pada tanah homogen dapat diabaikan. Menurut Caduto (1994), penentuan koefisien reaksi subgrade untuk fondasi rakit (mats) dari pengujian Plate load test (PLT) menimbulkan keragu-raguan berkaitan dengan zona tekanan dari uji PLT relatif lebih dangkal dari pada zona tekanan yang terjadi pada fondasi rakit, dan faktor korelasi yang diberikan oleh
26
Terzaghi (1955) untuk mengekstrapolasi koefisien reaksi subgrade vertikal (kv) dari nilai PLT ke fondasi rakit cukup besar, sehingga nilainya tidak wajar, perkiraan besarnya kv dari PLT untuk fondasi rakit biasanya kurang tepat. Vesic, 1961 (dalam Daloglu, dkk, 2000) mengembangkan hal yang sama untuk memperoleh nilai modulus reaksi subgrade (k), selain menyesuaikan dengan momen maksimum, juga menyesuaikan dengan displacement maksimum balok dan memperoleh nilai k empiris sebesar, k
0.65E s (1 s )
12
2
B 4 Es EI
2.19
Biot, 1937 (dalam Daloglu, dkk, 2000) mengembangkan rumus empiris k untuk masalah balok tak terhingga (infinite beam) dan dibebani beban titik yang terletak pada kontinum tanah elastik 3 dimensi dengan menyamakan momen maksimum dari teori kontinum elastik dan model fondasi Winkler, diperoleh nilai k sebesar, 4 0.95E s B E s k 2 2 (1 s ) (1 s ) EI
0.108
2.20
Untuk memperkirakan besarnya koefisien reaksi subgrade (ks) Bowles, 1982 memberikan Tabel 2.5. Pada model tanah Winkler, besarnya tekanan (p) dan defleksi lateral () pada suatu titik berhubungan langsung dengan besarnya koefisien reaksi tanah, dan untuk beban lateral, koefisien reaksi tanah arah horisontal disebut kh, p=kh.
2.21
dengan kh bersatuan gaya/panjang3, Oleh Reese dan Matlock, 1956 dan Davisson dan Gill, 1963 (dalam Poulus dan Davis, 1980) dituliskan sebagai berikut,
27
p=k.
2.22
ks (kcf)
ks (kN/m3)
Pasir longgar
30-100
4800-16000
Pasir dengan kepadatan sedang
60-500
9600- 80000
Pasir padat
400-800
64000-28000
Pasir berlempung dengan kepadatan sedang
200-500
32000-80000
Pasir berlanau dengan kepadatan sedang
150-300
24000-48000
qu 200 kPa
75-150
12000-24000
200< qu 400 kPa
150-300
24000-48000
>300
>48000
Macam Tanah
Lempung
qu> 800 kPa
Tabel 2.5 Kisaran nilai koefisien reaksi subgrade vertikal (ks) (Bowles, 1982 )
Nilai kh besarnya bervariasi dengan kedalaman tiang, pendekatan distribusi nilai kh sepanjang tiang biasanya menggunakan formula dari Palmer dan Thompson, 1948 (dalam Poulus dan Davis, 1980) sebagai berikut, z kh kL H
n
2.23
Asumsi yang biasa digunakan adalah n = 0, untuk lempung, jadi koefisien reaksi subgrade konstan dengan kedalaman. Pada tanah granuler n = 1 dengan kata lain koefisien reaksi subgrade bertambah secara linear dengan kedalaman. Davisson dan Prakash, 1963 (dalam Poulus dan Davis, 1980) menyarankan n=0,15 lebih realistik digunakan untuk lempung (dalam kondisi undrained). Pada tanah dengan n = 1, persamaan dapat ditulis menjadi,
28
z k h nh d
2.24
Koefisien reaksi horisontal tanah (kh) biasanya diperoleh dengan salah satu cara berikut, 1. Pengujian pembebanan lateral tiang dengan skala penuh, 2. pengujian plate load (PLT), 3. korelasi empiris dari soil properties. Pada pengujian lateral tiang, tiang dilengkapi dengan alat, sehingga tekanan tanah dan defleksi sepanjang tiang dapat diukur secara langsung. Kekurangan dari metode ini adalah banyak memakan waktu, memerlukan perawatan, dan mahal. Masalah utama penggunaan plate loading test untuk mengetahui kh tanah adalah ekstrapolasi hasil dari pelat ke tiang. Terzaghi, 1955 (dalam Poulus dan Davis, 1980) mennyatakan untuk lempung, koefisien reaksi subgrade pada dasarnya sama untuk vertikal dan horisontal dan keduanya tergantung pada kedalaman, persamaan 2.22 mengambarkan hubungan antara keduanya. 1 kh (k s1 ) 1,5d
2.25
Terzaghi, 1955 (dalam Poulus dan Davis, 1980) menyarankan kisaran nilai ks1 untuk tanah lempung overconsolidated seperti pada Tabel 2.6. Vesic, 1961 (dalam Poulus dan Davis, 1980) menyarankan modulus reaksi tanah horisontal sebagai berikut, 4 0.65 E s d E s 12 kh 2 d E p I p 1 s
2.26
29
Berdasarkan korelasi empiris, kh untuk lempung dengan mengasumsikan kh konstan dengan kedalaman, Broms, 1964 (dalam Poulus dan Davis, 1994) menghubungkan kh dengan modulus sekan sebagai berikut,
k h 1,67 E50 / d
2.27
dengan E50 sama dengan 50 sampai 200 kali kuat geser tak terdainasi cu (Skempton, 1951 dalam Poulus, dkk, 1994) atau persamaan tersebut menjadi, k h (80 320)cu / d
2.28
Davidson (1970) (dalam Poulus 1994) menyarankan nilai kh sebagai berikut, k h 67cu / d
2.29
Untuk tanah kohesif yang lebih lunak (soft) kh bertambah secara linier dengan kedalaman, k h n h .z / d
2.30
dengan nilai nh seperti pada Tabel 2.7. Kaku
Sangat kaku
Keras
(stiff)
(very Stiff)
(hard)
0.5-1
1-2
2
50-100
100-200
200
75
100
300
Konsistensi Kuat geser undrained (cu) [Ton/ft2] ks1 [Ton/ft3] Nilai ks1 yang disarankan [Ton/ft3]
Tabel 2.6 Nilai ks1 untuk pelat bujur sangkar ukuran 1 ft x 1ft pada tanah lempung overconsolidated (Poulus dan Davis 1980)
30
nh [lb/in3]
Macam tanah Lempung normally consolidated
Lempung normally consolidated organik
Gambut
Loess
Referensi
0,6-12,7
Reese and Matlock, 1956
1,0-2,0
Davidson and Prakash, 1963
0,4-1,0
Peck and Davidson, 1962
0,4-3,0
Davidson, 1970
0,2
Davidson, 1970
0,1-0,4
Wilson and Hilts, 1967
29-40
Bowles, 1968
Tabel 2.7 Nilai nh untuk tanah kohesif (Poulus dan Davis, 1980)
2.8 Perencanaan Pile Cap Dengan Metode Konvensional 2.8.1 Pemilihan Dimensi Pile cap Dalam perencanaan pile cap dengan metode konvensional pelat pile cap dianggap sebagai sebuah pelat dengan penulangan dua arah yang berada diatas tiang. Dengan demikian terlebih dahulu kita menentukan dimensi pile capnya dengan menghitung jumlah tiang yang dibutuhkan untuk memikul beban kolom maka kita akan mengetahui panjang dan lebar pile cap yang dibutuhkan,yaitu dengan rumus: n
FS Pkolom Ppile
2.31
Dari jumlah tiang yang dibutuhkan untuk memikul pile cap akan diketahui bentuk pile cap yang akan digunakan. Beberapa bentuk pile cap dari group pile dapat kita lihat seperti pada gambar 2.5.
31
s
s s
s
s
s
s
s
3 tiang
4 tiang
5 tiang
6 tiang
s s s s 7 tiang
s
s 9 tiang
8 tiang
s s s
s 10 tiang
s
s 12 tiang
11 tiang (a)
s s
s
s
susnan tiang satu lapis untuk dinding
s
susunan tiang dua lapis untuk dinding
susuna tiang tiga lapis untuk dinding
(b)
Gambar 2.4 Beberapa jenis susunan umum group pile (a) pile cap yang memikul kolom dan (b) pile cap yang memikul dinding.
s 3.0 s / d 5.0
2.32
Untuk pembebanan eksentris pada pile cap beban yang diterima oleh masingmasing tiang tidaklah sama dan dapat dihitung sebagai berikut: Ppile
My Mx N x y QU 2 n x y2
2.33
Untuk menghitung tebal dari pile cap dapat kita hitung dengan menurunkan persamaan ketegaran lentur pile cap (D). D
E h3 12 1 2
2.34
32
Dengan memasukkan nilai:
D
2 M x 2
2.35
maka akan diperoleh tebal pile cap (h). Dimana besarnya momen yang terjadi dihitung berdasarkan analisa pelat pelat pada pondasi elastis yang akan dibahas pada bab selanjutnya atau berdasarkan perhitungan momen perlawanan tekanan tanah dasar. 2.8.2 Desain Terhadap Geser Satu Arah Dari tebal pile cap (h) yang diperoleh dihitung nilai (d) yang merupakan tebal efektif untuk menentukan bidang geser kritis pada pile cap. Besarnya nilai (d) sesuai dengan SNI 03-2847-2002 adalah sebesar ( d=h – 75 ) dalam mm.
Gambar 2.5 Bidang geser satu arah pile cap
Bidang geser kritis ini diukur dari sisi terluar kolom sejauh d/2 seperti ditunjukkan oleh gambar 2.6 diatas. Setelah diketahui daerah geser kritis yang terjadi pada pile cap maka besarnya beban geser yang terjadi di bidang geser kritis dapat dihitung dengan 3 ketentuan yang berbeda seperti yang diuraikan berikut ini.
33
Gambar 2.6 Reaksi beban efektif tiang yang diperhitungkan sebagai beban geser pada daerah kritis
Case (a) reaksi beban efektif tiang dianggap 100% sebagai beban geser pada bidang kritis. Karena pada kondisi ini daerah kritis terjadi seluruhnya diatas pile maka reaksi yang terjadi pada pile seluruhnya dianggap sebagai beban geser ditambah berat sendiri pile cap di daerah kritis. QU Ppile berat sendiri pile cap di daerah kritis
2.36a
Case (b) reaksi beban efektif tiang dianggap 0% sebagai beban geser pada bidang kritis. Karena pada kondisi ini daerah kritis tidak terjadi sedikitpun diatas tiang pancang sehingga besarnya beban geser yang terjadi pada bidang geser sama dengan berat sendiri pilecap pada daerah kritis. QU berat sendiri pile cap di daerah kritis
2.36b
Case (c) reaksi beban efektif tiang antara 0% - 100% sebagai beban geser pada bidang kritis. Besarnya nilai beban geser merupakan hasil reduksi reaksi beban efektif tiang ditambah berat sendiri pile cap pada daerah kritis.
34
QU Preduksi berat sendiri pile cap di daerah kritis
2.36c
Dari beban geser yang didapat pada persamaan 2.34 diatas dapat kita hitung nilai geser nominal satu arah yang besarnya: Qn
Qu 0,8
2.37
Nilai nominal geser tersebut tidak boleh lebih besar dari geser izin beton pada kondisi geser satu arah menurut SNI 03-2847-2002 atau jika melebihi geser izin beton harus menambahkan tulangan pada bidang geser yang direncanakan sebelumnya. Qn Vc Vs
2.38
2.8.3 Desain Terhadap Geser Pons (Punching Shear) Untuk menghitung beban geser pons terlebih dahulu kita tentukan daerah kritis pada pile cap seperti pada gambar 2.8 berikut ini.
Gambar 2.7 Bidang geser dua arah pile cap
Dari gambar 2.8 diatas dapat kita hitung luasan permukaan bidang geser pons dimana dimensi dari permukaan bidang pons adalah sebagai berikut:
35
a1 c1 d b1 c 2 d
U 2a1 b1
2.39
Besarnya beban geser pons pada pile cap adalah sebesar: Qup berban kolom b.s. pile cap pada bidang geser pons beban tiang tereduksi
2.40
Besarnya geser nominal yang terjadi pada bidang geser pons adalah sebesar: Qn up
Qup
2.41
0,8
dan nilainya tidak boleh lebih besar dari geser izin beton pada bidang geser pons yang nilainya adalah terkecil dari ketiga persamaan 2.40 berikut ini.
2 fc 1 Ac c 6
Vc
sd fc 2 Ac b0 12
Vc
Vc
fc 3
2.42
Ac
atau menurut SNI 03-2847-2002 jika melebihi geser izin beton harus menambahkan tulangan geser dengan memenuhi persamaan: Qnup Vc Vs
2.43
Untuk tulangan geser diatur lebih lanjut dalam SNI 03-2847-2002. 2.8.4 Desain Terhadap Lentur Untuk desain tulangan lentur pada kasus ini momen lentur yang digunakan untuk mendisain tulangan adalah berdasarkan momen lentur maksimum dari perhitungan analisis pelat pada pondasi elastis yang akan dibahas pada bab selanjutnya. 36
Luasan tulangan untuk desain lentur dapat dihitung dengan persamaan: As b d
2.44
dimana rasio penulangan () diperoleh dari persamaan 2.45 berikut.
0,85 f c R 1 1 2,36 n fy f c
Rn
2.45
Mu bd 2
Berdasarkan peraturan SNI 03-2847-2002 rasio penulangan tidak boleh kurang dari:
min
1,4 fy
2.46
dan tidak boleh lebih dari:
makx 0,75 b
b
0,85 f c 600 600 f y fy
2.47
dimana: Qu
= geser satu arah terfaktor
Qn
= geser satu arah nominal
Qup
= geser ponds terfaktor
Qn-up = geser ponds nominal Vc
= geser izin beton
Vs
= geser izin tulangan
Ac
= luas bidang geser beton
As
= luas tulangan geser
ρ
= rasio tulangan
37
fc’, fy = mutu bahan β1
= faktor keamanan = 0,85 untuk fc’ ≤ 30 Mpa, berkurang 0,05 tiap kenaikan 7 MPa dan tidak kurang dari 0,65
2.9 Modulus Elastisitas Beton Kemiringan suatu garis lurus yang menghubungkan titik pusat dengan suatu harga tegangan (sekitar 0,4fc’ ) disebut modulus sekan dari beton dengan persamaan : Ec
0.4 f c
2.48
Modulus ini memenuhi asumsi praktis bahwa regangan yang terjadi selama pembebanan pada dasarnya dapat dianggap elastis. Dalam peraturan SNI 03-28472002 tentang Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung besarnya nilai modulus elastisitas beton adalah: a. untuk beton dengan γc = 1500 kg/m3 s/d 2500 kg/m3:
Ec 1.5 0.043 f c (dalam MPa )
2.49
b. untuk beton normal:
Ec 4700 f c (dalam MPa )
2.50
2.10 Modulus Elastisitas Tanah Nilai Poisson’s ratio, υs adalah perbandingan regangan arah lateral, ε3 dengan tegangan arah longitudinal, ε1 ditulis:
s
3 1
2.51
Menurut Hardiyatmo (2002), modulus elastis Es tanah adalah pendekatan kemiringan kurva tegangan yang diambil pada beban ultimit aksial sebesar ½Δσmak dari uji triaksial kondisi undrained pada regangan ε hasil pengujian.
38
Persamaan modulus elastis tanah Es :
Es
1 2
mak
2.52
Modulus geser Gs adalah didefenisikan sebagai rasio tegangan geser dan axial compression, sehingga hubungan antara modulus elastisitas tanah dan Poisson’s ratio (υs) diperoleh persamaan: Gs
Es 2(1 s )
Jenis tanah Lempung: Sangat lunak Lunak Sedang Keras Berpasir
2.53
Modulus Es (kN/m2) 300 – 3.000 2.000 – 4.000 4.500 – 9.000 7.000 – 20.000 30.000 – 42.500
Tabel 2.8 Nilai perkiraan modulus elastis tanah Es Bowles (1977) dalam (Hardiyatmo, 2002)
Jenis tanah Lempung, jenuh air Lempung, tidak jenuh air Lempung kepasiran Lanau Pasir, pasir berkerikil
Poisson’s ratio, υs 0,40 – 0,50 0,10 – 0,30 0,20 – 0,30 0,30 – 0,35 0,30 – 0,40
Tabel 2.9 Perkiraan angka Poisson,s μs tanah Bowles (1977) dalam (Hardiyatmo, 2002)
2.11 Lendutan Balok Timoshenko, 1984 (dalam Amos, 1993) berpendapat bahwa lendutan balok yang bekerja dengan beban P di tengah bentang menggunakan teori luas momen dan lendutan suatu titik sama dengan negatif momen pertama dari luasan diagram M/EI antara tumpuan dan titik itu sendiri. (gambar 2.11).
39
Gambar 2.8 Lendutan akibat beban P di tengah bentang
c c c c c PL3 c 48EI
PL3 PL3 32 EI 96 EI
2.54
Untuk pembebanan struktur dengan kondisi bahan pada batas linier, dan lendutan total pada balok dibatasi lebih kecil dari nilai L/360 (L = jarak bentang, m), maka lendutan maksimum di tangah bentang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.54.
40