BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati lingkungan yang pemilikiannya berada pada rakyat (Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan 1995). Menurut SK menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. Salah satu alternatif pemecahan masalah tekanan sumberdaya hutan adalah pembangunan hutan rakyat. Hal ini merupakan cara yang tepat karena pembangunan
hutan rakyat
dilakukan pada
tanah rakyat
yang status
kepemilikkannya sudah jelas. Salah satu usaha untuk mengembangkan pemanfaatan lahan kering ataupun lahan kritis yang tidak produktif adalah dengan menanam tanaman berkayu yang mempunyai nilai komersial di lahan milik penduduk, sekaligus menjawab permasalahan terutama masalah pembangunan sosial ekonomi penduduk di desa-desa (Suharjito 2000) Balai Informasi Pertanian (1982) diacu dalam Suwardi (2010) membagi hutan rakyat berdasarkan jenis tanaman menjadi tiga bentuk, yaitu : a. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pohon berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur. b. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran. c. Hutan rakyat agroforestry, yaitu hutan yang memiliki bentuk usaha kombinasi kehutanan dangan cabang usaha tani lainnya, seperti perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan dan lain-lain secara terpadu.
Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah yang dibangun di atas tanah milik. Pengertian seperti itu, kurang mempertimbangkan kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata “rakyat” kiranya lebih ditujukan kepada pengelola yaitu “rakyat” kebanyakan, bukan pada status pemilikan tanahnya. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan tetap dipertahankan maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta menguasai tanah milik tersebut untuk mengusahakan hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan rakyat (Suharjito dan Darusman 1998) Friday et al. (1999) menyatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat seperti agroforestry terdiri dari : a. Pemilihan lokasi Lokasi yang dipilih untuk ditanami pohon milik rakyat sebaiknya dipilih kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan untuk pertanian secara permanen. Apabila lahan-lahan tersebut sudah ada tanamantanaman yang berupa pohon, maka pohon dapat dilaksanakan sebagai tanaman sisipan diantara tanaman lain yang sudah ada, sehingga seluruh akan menjadi lebih produktif. b. Persiapan lahan Tanah–tanah yang akan ditanami pohon pada umumnya berupa tanah yang telah menjadi kebun dan terdapat tanaman lainnya serta tidak mengandung tanaman liar. Karena itu untuk menanam pohon tidak perlu dibersihkan secara keseluruhan. Untuk setiap bibit yang akan ditanam cukup disiapkan lubang tanam yang berukuran kurang lebih 30 cm x 30 cm dengan kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan diameter lubangnya ± 100 cm (sistem cemplongan). Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman palawija dengan sendirinya persiapan lahan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. c. Pemilihan jenis kayu Jenis kayu yang dipilih sebaiknya jenis kayu yang sudah lazim ditanam, di pulau Jawa misalnya: kayu sengon, kayu afrika, mindi dan
lain-lain yang merupakan jenis kayu yang sudah dikenal dan telah mempunyai pasaran yang teratur baik sebagai bahan untuk kayu konstruksi maupun sebagai bahan baku untuk industri. d. Pengadaan bibit Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit yang berasal dari batang atau cabang dan secara generatif. Untuk pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek dan cangkokkan pada tanaman muda, sedangkan persiapan bibit secara generatif yang berasal dari biji maka penanamannya dapat dilaksanakan langsung dengan menanamkan biji di lapangan atau dibuat bibit dalam persemaian tergantung sifat dan jenis kayu yang bersangkutan. e. Pengangkutan Mengangkut bibit dari persemaian ke lokasi penanaman perlu diperhatikan, karena pengangkutan yang tidak baik dapat menyebabkan rusaknya bibit. Bahaya terbesar adalah kekurangan air dan kerusakan akar, sehingga diusahakan untuk memilih lokasi persemaian yang dekat dengan lokasi penanaman, memiliki sumber air yang tersedia sepanjang tahun dan kondisi tanah yang datar. f. Penanaman Dalam menanam bibit perlu ditetapkan jarak tanam yang tepat sesuai dengan rencana. Selain itu, tanaman kayu akan ditanam secara murni, tanaman yang akan dicampur dengan tanaman lain. Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka perlu diperhatikan jarak tanam yang diatur agar tidak saling mengganggu. Sedangkan apabila tanaman kayu yang akan ditanam murni, maka perlu diperhatikan apakah akan dimulai dengan tanaman yang rapat, misalnya 3 m - 2 m. Hal ini akan tergantung dari kondisi lahan dan tujuan penanaman. Apabila akan dilaksanakan tumpangsari dengan jenis tanaman lain dapat dipilih jarak tanam 4 m x 5 m, sehingga per ha akan diperoleh 500 pohon, sedangkan diantara dua larikan pohon dapat ditanam palawija atau tanaman lain sebagai tanaman campuran. Bila jarak sesuai, tanaman campuran tidak akan saling mengganggu tanaman pokoknya. Penanaman sebaiknya
dilakukan pada musim penghujan dan diberi pupuk dasar bila memungkinkan. Selain itu, diberi bahan mulsa yang digunakan di sekitar pohon yang dapat diambil dari hasil penyiangan tentunya yang tidak membahayakan. g. Pemeliharaan tanaman Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari gulma dan semak serta alang-alang yang berlebihan. Oleh karena itu, untuk mengurangi biaya pemeliharaan sebaiknya diantara larikan ditanam palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelai, kacang wijen dan lain-lain. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukkan,
penyiangan
melingkar,
meminimalkan
persaingan,
pemangkasan yang tepat dan melindungi pohon dari hama dan penyakit. Pemeliharaan yang berupa penjarangan dan penyiangan akan sangat membantu pertumbuhan kayunya. h. Penebangan Penebangan pohon–pohon tergantung dari beberapa faktor, yaitu : tujuan penanaman, kondisi alami dari tanaman, kondisi pasar dan cara menebang. Berdasarkan pengalaman penebangan dengan orientasi pasar, penebangan
sebaiknya
dilaksanakan
secara
tebang
pilih.
Perlu
diperhatikan bahwa setiap penebangan harus ditanam kembali secepatnya. Apabila penebangan berupa pemeliharaan, yaitu penjarangan maka perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang sudah harus mencapai suatu ukuran yang dapat dimanfaatkan sehingga kayu yang dihasilkan dapat dipasarkan atau sebagai kayu bakar. i.
Penanaman kembali Di bekas pohon yang ditebang harus segera ditanami kembali, sehingga jumlah tanaman akan selalu tetap. Oleh karena itu, setiap akan melakukan penebangan petani sudah menyiapkan bibit untuk ditanam sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.
j.
Kemurnian tanaman Penanaman kayu terutama pada usia muda dianjurkan untuk ditanam bersama dengan tanaman lain, terutama tanaman bawah yang
tidak saling mengganggu. Diantara tanaman yang dianjurkan sebagai tanaman sela adalah jenis tanaman palawija, tanaman ekonomi, umbiumbian dan lain-lain. Bahkan padi gogo dan jagung juga banyak digunakan sebagai tanaman campurannya. Tanaman campuran tersebut hanya dapat ditanam sampai dengan daun pohonnya tidak terlalu rapat menutupi bagian bawah pohon dan sinar mataharinya masih tetap dapat menjangkau tanaman palawija yang ada di bawahnya.
2.2 Pengetahuan Lokal Pengetahuan indigenous (pengetahuan lokal) secara umum diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus (Warren 1991). Indigenous berarti asli atau pribumi. Kata indigenous dalam pengetahuan indigenous merujuk pada masyarakat indigenous. Yang dimaksud dengan masyarakat indigenous di sini adalah penduduk asli yang tinggal di lokasi geografis tertentu yang mempunyai sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda daripada sistem pengetahuan internasional. Menurut Johnson (1992) pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan masyarakat lokal seperti sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan kedalam suatu tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama akan menjadi suatu tindakan yaitu kearifan lokal. Menurut Berkes et al. (2000) Sistem pengetahuan dalam lingkup pengelolaan sumberdaya alam, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori: pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal. Pengetahuan ilmiah adalah suatu pengetahuan yang terbentuk dari hasil penyelidikan ilmiah yang dirancang secara seksama dan sudah terbakukan. Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang sebagian besar diturunkan dari pengamatan petani akan proses ekologi yang terjadi di sekitarnya dan berbagai faktor yang mempengaruhinya berdasarkan
interpretasi logis petani. Pembentukan pengetahuan lokal sifatnya kurang formal dibandingkan pengetahuan ilmiah. Menurut Mitchell et al. dalam Arafah (2002) Konsep pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Menurut Sunaryo dan Joshi (2003) pengetahuan lokal yang diterapkan oleh petani berasal dari pengalaman bertani mereka maupun para pendahulunya. Melalui aktivitas penelitian dan pengembangan secara informal, para petani menghasilkan pengetahuan baru yang pada gilirannya bisa digunakan untuk menghasilkan teknologi-teknologi baru.
2.3 Perubahan Pengetahuan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Scoones dan Thompson mengungkapkan bahwa para petani di negaranegara berkembang memiliki segudang simpananan pengetahuan, yang umumnya sudah selaras dengan kebutuhan, tujuan dan akses terhadap sumberdaya setempat. Artinya pengetahuan petani, seperti halnya profesional, bersifat dinamis, dipengaruhi dan berubah oleh faktor internal dan eksternal. Dewasa ini, sedang berkembang konsensus diantara profesional bahwa petani yang berbeda mempunyai jenis dan kedalaman pengetahuan yang berbeda. Perbedaan dikarenakan oleh adanya perbedaan minat, tujuan dan sumberdaya yang dikuasai diantara mereka (Sunaryo dan Joshi 2003). Perlu disadari bahwa pengetahuan petani, seperti halnya pengetahuan ilmiah, masih belum sempurna, dinamis dan terus-menerus berubah karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Pengetahuan petani dapat menjadi kompleks, kualitatif, logis walaupun kadang-kadang juga saling bertentangan. Berkaitan dengan pengetahuan lokal ini, peran ilmuwan yang diharapkan adalah bagaimana memperkuat pengetahuan petani dengan menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat dihasilkan oleh petani itu sendiri (Clarke 1991). Adanya pengaruh globalisasi, mau tidak mau akan memaksa masyarakat lokal untuk menjadi bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Tekanan
pada masyarakat indigenous untuk berintegrasi ke dalam tatanan masyarakat yang lebih besar akan menyebabkan pengetahuan indigenous yang ada mungkin menjadi kurang relevan. Kekuatan ekonomi dan sosial secara perlahan dan pasti seringkali menghancurkan struktur sosial yang menciptakan pengetahuan dan praktek indigenous tersebut (Sunaryo dan Joshi 2003).