BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Pengertian Rumah Sakit Menurut UU RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit Umum merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan dalam segala bidang dan jenis penyakit. Setiap rumah sakit wajib mendapatkan penetapan kelas dari Menteri. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Umum diklasifikasikan menjadi beberapa kelas yaitu Rumah Sakit Umum Kelas A, B,C, dan D. Klasifikasi Rumah Sakit Umum dapat ditetapkan berdasarkan : 1) Pelayanan; 2) Sumber Daya Manusia; 3) Peralatan; 4) Sarana dan Prasarana; dan 5) Administrasi dan Manajemen (Permenkes No 56 Tahun 2014).
2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit Menurut Permenkes No. 56 Tahun 2014 tentang Perizinan Rumah Sakit, penetapan klasifikasi Rumah Sakit didasarkan pada pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, dan bangunan dan prasarana. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
9
10
Rumah Sakit Umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit umum dapat diklasifikasikan menjadi: a. Rumah Sakit Umum Kelas A; b. Rumah Sakit Umum Kelas B; c. Rumah Sakit Umum Kelas C; dan d. Rumah Sakit Umum Kelas D Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Klasifikasi Rumah Sakit khusus terdiri atas: a. Rumah Sakit khusus kelas A; b. Rumah Sakit khusus kelas B; c. Rumah Sakit khusus kelas C. Rumah Sakit Khusus meliputi rumah sakit khusus: (a). ibu dan anak; (b). mata; (c). otak; (d). gigi dan mulut; (e). kanker; (f). jantung dan pembuluh darah; (g). jiwa; (h). infeksi; (i). paru; (j). telinga-hidung-tenggorokan; (k). bedah; (l). ketergantungan obat; dan (m). ginjal. Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
nomor
340/MENKES/PER/III/2010 tentang klasifikasi Rumah Sakit, klasifikasi rumah sakit adalah pengelompokan kelas rumah sakit berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit, diantaranya adalah sebagai berikut :
11
1. Rumah sakit umum kelas A Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis dengan jumlah tempat tidur minimal 400 (empat ratus) buah. 2. Rumah sakit umum kelas B Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 2 (dua) Pelayanan Medik Sub Spesialis dengan jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah. 3. Rumah sakit umum kelas C Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dengan jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah. 4. Rumah sakit umum kelas D Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, dengan jumlah tempat tidur minimal 50 (lima puluh) buah.
12
2.1.3 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Berdasarkan Pasal 4 UU No. 44 tahun 2009, tercantum didalam pasal 4 bahwa Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit mempunyai fungsi: a.
penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;
b.
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
c.
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
d.
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.4 Pelayanan Rumah Sakit Berdasarkan Kepmenkes No. 129 Tahun 2008, jenis-jenis pelayanan yang minimal wajib disediakan dan standar pencapaian kinerja pelayanan rumah sakit yang menjadi indikator dalam Standar Pelayanan Minimal meliputi :
1. Pelayanan gawat darurat 2. Pelayanan rawat jalan 3. Pelayanan rawat inap 4. Pelayanan bedah 5. Pelayanan persalinan dan perinatologi
13
6. Pelayanan intensif 7. Pelayanan radiologi 8. Pelayanan laboratorium patologi klinik 9. Pelayanan rehabilitasi medik 10. Pelayanan farmasi 11. Pelayanan gizi 12. Pelayanan transfusi darah 13. Pelayanan keluarga miskin 14. Pelayanan rekam medis 15. Pengelolaan limbah 16. Pelayanan administrasi manajemen 17. Pelayanan ambulans/kereta jenazah 18. Pelayanan pemulasaraan jenazah 19. Pelayanan laundry 20. Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit 21. Pencegah Pengendalian Infeksi Dalam meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit di Indonesia, salah satu upaya pemerintah adalah memberlakukakn sistem Badan Layanan Umum (BLU). Seluruh Rumah Sakit di Indonesia dituntut untuk menerapkan sistem Badan Layanan Umum ini. Instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel, berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat
14
dalam
rangka memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dengan tetap
menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas melalui Badan Layanan Umum (BLU). BLU pada dasarnya adalah alat untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik melalui penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil, profesionalitas, akuntabilitas dan transparansi. Untuk dapat menjadi BLU, suatu instansi harus memenuhi tiga persyaratan pokok, yaitu persyaratan substantif, yang terkait dengan penyelenggaraan layanan umum, persyaratan teknis yang terkait dengan kinerja pelayanan dan kinerja keuangan, serta persyaratan administratif terkait dengan terpenuhinya dokumen seperti pola tata kelola, rencana strategi bisnis, standar pelayanan minimal, laporan keuangan pokok, dan laporan audit atau pernyataan bersedia untuk diaudit (Jahra, 2013)
2.1.5 Unit Rawat Inap Menurut Depkes RI (1997), rawat inap (opname) adalah istilah yang berarti proses perawatan pasien oleh tenaga kesehatan profesional akibat penyakit tertentu, di mana pasien diinapkan di suatu ruangan di rumah sakit . Proses perawatan pasien melalui jangka waktu tertentu dan memperoleh perawatan intensif atau observasi ketat sesuai dengan penyakit yang dideritanya. Pelayanan rawat inap adalah pelayanan terhadap pelayanan pasien masuk rumah sakit yang menempati tempat tidur perawatan untuk keperluan observasi, diagnosa, terapi, rehabilitasi medik dan pelayanan medik lainnya. Pelayanan rawat inap adalah suatu kelompok pelayanan kesehatan yang terdapat di rumah sakit yang merupakan gabungan dari beberapa fungsi pelayanan.
15
2.1.6 Pelayanan Gizi Rumah Sakit Pelayanan gizi di rumah sakit adalah pelayanan yang diberikan dan disesuaikan dengan keadaan pasien berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Sering terjadi kondisi pasien yang semakin buruk karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi organ yang terganggu akan lebih memburuk dengan adanya penyakit dan kekurangan gizi. Selain itu masalah gizi lebih dan obesitas erat hubungannya dengan penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner, hipertensi dan penyakit kanker yang memerlukan terapi gizi untuk membantu penyembuhannya. Adapun kegiatan Pelayanan Gizi Rumah Sakit, meliputi: 1. Asuhan Gizi Rawat Jalan; 2. Asuhan Gizi Rawat Inap; 3. Penyelenggaraan Makanan; 4. Penelitian dan Pengembangan. Upaya peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat baik di dalam maupun di luar rumah sakit, merupakan tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan, terutama tenaga gizi. Pelayanan gizi rawat inap merupakan pelayanan gizi yang dimulai dari proses pengkajian gizi, diagnosis gizi, intervensi gizi meliputi perencanaan, penyediaan makanan, penyuluhan/edukasi, dan konseling gizi, serta monitoring dan evaluasi gizi.
16
2.1.7 Sarana dan Prasarana Pelayanan Gizi Rawat Inap Berdasarkan Pedoman Gizi Rumah Sakit yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan, agar pelayanan makanan dapat berjalan dengan optimal, maka ruangan, peralatan dan perlengkapan pelayanan gizi perlu direncanakan dengan baik dan benar. Dalam merencanakan sarana fisik/bangunan untuk unit pelayanan gizi rumah sakit, maka diperlukan kesatuan pemikiran antara perencana dan pihak manajemen yang terkait. Adapun standar dari beberapa jenis sarana dan perlengkapan pelayanan gizi atau dapur rumah sakit adalah sebagai berikut. 1. Sarana, yang terdiri dari pantry dengan bangunan luas minimal 3x4 m atau disesuaikan dengan model sistem distribusi makanan (sentralisasi/desentralisasi) dan ruang konseling diet 2. Perlengkapan, yang mencakup dua fungsi yaitu : a. Peralatan penyajian makanan, yan terdiri dari water heater (aliran air panas dan dingin), Bak cuci ganda, Meja distribusi, Lemari makan gantung, Lemari alat-alat, kereta makan berpemanas/tidak berpemanas, panci-panci, wajan, dll. Alat pengaduk dan penggoreng, Alat makan (piring, gelas, sendok, mangkok, dll), Lemari pendingin, Microwave (untuk kelas utama), D‘sterile dish dryer (alat untuk mensteril alat makan untuk pasien yang harus bebas kuman), blender, sarana kebersihan dan tempat sampah bertutup serta papan tulis. b. Peralatan konseling gizi Meja, kursi kerja, rak buku ,alat peraga food model beserta formulir yang dibutuhkan diantaranya formulir permintaan makan pasien sampai asuhan gizi,
17
form asupan, dll. Komputer, printer, soft ware perhitungan bahan makanan dan asuhan gizi. (disesuaikan dengan kemampuan RS masing-masing). Selain itu terdapat pula beberapa ruangan yang diperlukan yaitu sebagai temppat penerimaan bahan makanan, tempat/ruang penyimpanan bahan makanan, tempat persiapan bahan makanan, tempat pengolahan dan distribusi makanan, tempat pencucian dan penyimpanan alat, tempat pembuangan sampah, ruang fasilitas pegawai, dan ruang pengawas.
2.2 Pelayanan Makanan 2.2.1 Pengertian Pelayanan Makanan Rumah Sakit Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan berguna bila dimasukkan ke dalam tubuh (Sabarguna., dkk, 2011). Makanan merupkan salah satu kebutuhan utama manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan makanan merupakan suatu keharusan, baik dilingkungan keluarga maupun di luar lingkungan keluarga (Moehyi,1992). Salah satu penyelenggaraan di luar lingkungan rumah yaitu mereka yang termasuk pasien di rumah sakit. Pengelolaan makanan itu sendiri merupakan bagian dari kegiatan di Instalasi gizi rumah sakit, yaitu unit yang mengelola kegiatan pelayanan gizi di rumah sakit atau dapat disebut sebagai pelayanan makanan. Pelayanan makanan adalah serangkaian proses persiapan hingga penghidangan makan dari proses persiapan hingga penghidangan makanan kepada pasien di ruang rawat inap. Adapun sasaran pelayanan makanan di rumah sakit terutama pasien yang rawat inap. Sesuai dengan kondisi rumah sakit dapat juga
18
dilakukan
penyelenggaraan
makanan
bagi
karyawan.Tujuan
memberikan
pelayanan makanan kepada pasien agar memperoleh asupan gizi yang cukup guna mempercepat proses penyembuhan pasien. Pelayanan makanan di institusi rumah sakit memiliki kekhususan tersendiri karena makanan tidak disajikan di ruang makan sebagaimana yang biasa dilakukan di institusi lain. Di rumah sakit makanan disajikan langsung kepada penderita ditempatnya dirawat atau bangsalbangsal perawatan. Oleh karena itu, distribusi makanan kepada orang sakit memerlukan pertimbangan yang cermat (Moehyi, 1992). Pelayanan makanan yang berkualitas termasuk dalam indikator outcome dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi. Sesuai berdasarkan Buku Pedoman Gizi Rumah Sakit, penyelenggaraan makanan di rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan, perencanaan anggaran belanja, pengadaan bahan makanan, penerimaan dan penyimpanan, pemasakan bahan makanan, distribusi dan pencatatan, pelaporan serta evaluasi. Tujuannya adalah untuk menyediakan makanan yang berkualitas sesuai kebutuhan gizi, biaya, aman, dan dapat diterima oleh konsumen guna mencapai status gizi yang optimal.
2.2.2 Bentuk Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Tidak terlepas dari pelayanan makanan, penyelenggarannya dilakukan berdasarkan ketentutan yang ditetapkan oleh Kemenkes tanun 2013, tercantum didalam Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) bahwa bentuk penyelenggaraan makanan di RS meliputi :
19
1. Sistem Swakelola Pada penyelenggaraan makanan di RS dengan sistem swakelola, instalasi gizi/unit gizi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan makanan. Dalam sistem swakelola ini, seluruh sumber daya yang diperlukan (tenaga, dana, metoda, sarana dan prasarana) disediakan oleh pihak RS. Pada pelaksanaannya Instalasi Gizi/Unit Gizi mengelola kegiatan gizi sesuai fungsi manajemen yang dianut dan mengacu pada Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit yang berlaku dan menerapkan Standar Prosedur yang ditetapkan. 2. Sistem Diborongkan ke Jasa Boga (Out-sourcing) Sistem diborongkan yaitu penyelengaraan makanan dengan memanfaatkan perusahaan jasa boga atau catering untuk penyediaan makanan RS. Sistem diborongkan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu diborongkan secara penuh (full out-sourcing) dan diborongkan hanya sebagian (semi out-sourcing). Pada sistem diborongkan sebagian, pengusaha jasaboga selaku penyelenggara makanan menggunakan sarana dan prasarana atau tenaga milik RS. Pada sistem diborongkan penuh, makanan disediakan oleh pengusaha jasa boga yang ditunjuk tanpa menggunakan sarana dan prasarana atau tenaga dari RS. Dalam penyelenggaraan makanan dengan sistem diborongkan penuh atau sebagian, fungsi Dietisien RS adalah sebagai perencana menu, penentu standar porsi, pemesanan makanan, penilai kualitas dan kuantitas makanan yang diterima sesuai dengan spesifikasi hidangan yang ditetapkan dalam
20
kontrak. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Prasyarat Kesehatan Jasa Boga disebutkan bahwa prasyarat yang dimiliki jasa boga untuk golongan B termasuk Rumah Sakit yaitu : a. Telah terdaftar pada Dinas Kesehatan Propinsi setempat. b. Telah mendapat ijin Penyehatan Makanan Golongan B dan memiliki tenaga Ahli Gizi/Dietisien. c. Pengusaha telah memiliki sertifikat kursus Penyehatan Makanan d. Semua karyawan memiliki sertifikat kursus Penyehatan Makanan e. Semua karyawan bebas penyakit menular dan bersih
3. Sistem Kombinasi Sistem kombinasi adalah bentuk sistem penyelenggaraan makanan yang merupakan kombinasi dari sistem swakelola dan sistem diborongkan sebagai upaya memaksimalkan sumberdaya yang ada. Pihak rumah sakit dapat menggunakan jasaboga/catering hanya untuk kelas VIP atau makanan karyawan, sedangkan selebihnya dapat dilakukan dengan swakelola. 2.3 Mutu Pelayanan Makanan Mutu Pelayanan Makanan adalah kinerja yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan makanan, yang disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta pihak lain, tata penyelenggaraanya sesuai dengan standar dan kode etik
21
profesi yang telah ditetapkan. Dimensi Mutu adalah suatu pandangan dalam menentukan penilaian terhadap jenis dan mutu peiayanan dilihat dari akses, efektivitas, efisiensi, keselamatan dan keamanan, kenyamanan, kesinambungan pelayanan, kompetensi teknis dan hubungan antar manusia berdasarkan standar WHO (Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 17 Tahun 2014). Menurut Pohan (2002), layanan kesehatan yang bermutu adalah suatu layanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi layanan kesehatan, dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien/konsumen ataupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dengan penerapanan pendekatan jaminan mutu layanan kesehatan, kepuasan pasien menjadi bagian yang integral dan menyeluruh dari kegiatan jaminan mutu layanan kesehatan. Artinya, pengukuran tingkat kepuasan pasien harus menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari pengukuran mutu layanan kesehatan. Komponen kepuasan pasien dari mutu layanan kesehatan menjadi salah satu komponen utama atau penting. Citra masyarakat terhadap makanan yang disajikan dirumah sakit merupakan salah satu pencerminan mutu pelayanan rumah sakit secara keseluruhan.. Mutu pelayanan dapat dipersepsikan baik dan memuaskan pasien, adalah jika jasa yang diterima sesuai atau melebihi dari yang diharapkan dan sebaliknya mutu pelayanan dipersepsikan jelek atau tidak memuaskan jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan (Hardi, 2010). Untuk memenuhi mutu pelayanan, maka dasar yang dipergunakan untuk mengukur mutu pelayanan adalah memenuhi kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa
22
pelayanandalam hal ini difokuskan pada pelayanan makanan, yang apabila berhasil dipenuhi akan dapat menimbulkan rasa puas kepada konsumen (customer satisfication) terhadap jasa pelayanan makanan (Herlambang, 2016). 2.4 Kepuasan 2.4.1 Pengertian Kepuasan Sejumlah pakar mendefinisikan kepuasan pelanggan atau ketidakpuasan pelanggan sebagai akibat dari respons pelanggan terhadap ketidaksesuaian yang dipersepsikan antara harapan awal sebelum pembelian dan kinerja aktual produk yang dirasakan oleh pemakainya (Alifianti, 2015). Kepuasan atau ketidakpuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja produk yang riil atau aktual dengan kinerja produk yang diharapkan (Sangadji., dkk, 2013).
Menurut
Kotler
(2005),
kepuasan adalah sejauh mana suatu tingkatan produk dipersepsikan sesuai dengan harapan pembeli. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa persepsi konsumen terhadap suatu produk dapat dijadikan penilaian. Penilaian terhadap produk tersebut diarahkan kepada kualitas. Semakin meningkat kualitas suatu produk maka semakin meningkat pula kepuasan konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas suatu produk memiliki pengaruh terhadap kepuasan konsumen. Menurut John C Mowen dan Michael Minor (2002), kualitas suatu produk didefinisikan sebagai evaluasi menyeluruh konsumen atas kebaikan kinerja barang atau jasa. Isu utama dalam menilai kinerja produk adalah dimensi apa yang digunakan konsumen untuk melakukan evaluasinya. Para peneliti di bidang jasa
23
mengidentifikasi lima dimensi dimana konsumen mengevaluasi jasa atau sering disebut dengan teori Parasuraman. Dimensi tersebut diantaranya adalah. a. Wujud nyata (Tangibles) Termasuk fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan perorangan. b. Keandalan (Reliability) Kemampuan personil untuk melaksanakan secara bebas dan akurat. c. Kesigapan (Responsiveness) Konsumen diberikan pelayanan dengan segera. d. Jaminan (Assurance) Pengetahuan
dan
etika
pegawai,
serta
kemampuan
mereka
untuk
membangkitkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan. e. Empati (Empathy) Kepedulian akan kemampuan pegawai dan perhatian individu.
2.4.2 Kepuasan Pasien Menurut pendapat Pohan (2002) kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya. Kepuasan pasien merupakan keluaran (outcome) dari layanan kesehatan. Dengan demikian, kepuasan pasien merupakan salah satu tujuan dari peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Ada dua komponen yang akan memengaruhi tingkat kepuasan pasien yaitu komponen harapan pasien dan komponen kinerja layanan kesehatan. Indikator pelayanan kesehatan yang dipilih pasien sebagai prioritas
24
ukuran kualitas pelayanan kesehatan, cenderung akan menjadi sumber utama terbentuknya tingkat kepuasan pasien. Kepuasan pasien adalah hasil penilaian pasien berdasarkan perasaanya, terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang telah menjadi bagian dari pengalaman atau yang dirasakan pasien rumah sakit atau dapat dinyatakan sebagai cara pasien rumah sakit mengevaluasi sampai seberapa besar tingkat kualitas pelayanan di rumah sakit, sehingga dapat menimbulkan tingkat rasa kepuasan. Tingkat kepuasan pasien menunjuk pada prioritas indikator kualitas pelayanan kesehatan.
2.4.3 Pengukuran Tingkat Kepuasan Menurut Tjiptono (2002) berpendapat bahwa kepuasan atau ketidakpuasan merupakan respon pelanggan sebagai hasil evaluasi ketidaksesuaian kinerja atau tindakan yang dirasakan sebagai akibat dari tidak terpenuhinya harapan. Manfaat utama dari program pengukuran tingkat kepuasan adalah tersedianya umpan balik yang segera, berarti, dan objektif. Dengan hasil pengukuran orang bisa melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaannya, membandingkannya dengan standar kinerja, dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan berdasarkan pengukuran tersebut (Gerson, 2002).
2.5 Hubungan Kepuasan Pasien dengan Pelayanan Makanan Menurut Azwar (dalam Utama, 2003), pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan
25
kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta yang penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai standart dan kode etik profesi (mewakili pemerintah dan pertugas kesehatan), meski tidak mudah, namun masih dapat diupayakan, karena kode etik dan standar pelayanan telah ditetapkan dan wajib dilaksanakan. Masalah mendasar adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan kesehatan (masyarakat). Kepuasan mereka sebagai tolok ukur tingkat kualitas pelayanan kesehatan mempunyai ruang yang luas dan tidak mudah untuk dibatasi. Aspek kepuasan masyarakat atau pasien sebagai ukuran tingkat kualitas pelayanan kesehatan, merupakan suatu fenomena khas dan rumit, dapat selaras dan juga tidak selaras dengan kode etik profesi dan standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Fenomena khas ini tidak dapat diabaikan oleh penyelenggara dan petugas pelayanan kesehatan. Penilaian pasien terhadap mutu rumah sakit bersumber dari pengalaman pasien. Aspek pengalaman pasien rumah sakit, dapat diartikan sebagai suatu perlakuan atau tindakan pihak rumah sakit yang sedang atau pernah dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh seseorang yang membutuhkan pelayanan kesehatan rumah sakit (Utama, 2003). Begitu pula fenomena yang terdapat pada salah satu pelayanan di rumah sakit, yaitu pelayanan gizi. Pelayanan gizi di rumah sakit dikatakan bermutu jika memenuhi 3 komponen mutu, yaitu : 1.) Pengawasan dan pengendalian mutu untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman, 2.) Menjamin Kepuasan konsumen dan 3). Assessment yang berkualitas. Dalam Standar Pelayanan
26
Minimal Rumah Sakit, ditetapkan bahwa indikator Standar Pelayanan Gizi atau Pelayanan Makanan meliputi : 1). Ketepatan waktu pemberian makanan kepada pasien (100 %), 2). Sisa makanan yang tidak dihabiskan oleh pasien ( ≤ 20 %) dan 3). Tidak ada kesalahan pemberian diet (100 %). Beberapa rumah sakit sudah mulai mengembangkan kepuasan konsumen dengan indikator mutu (Kepmenkes RI, 2013). Adapun beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai atau mengukur mutu pelayanan gizi berdasarkan Buku Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit adalah : 1. Indikator berdasarkan kegawatan a. Kejadian sentinel (sentinel event) , merupakan indikator untuk mengukur suatu kejadian tidak diharapkan yang dapat mengakibatkan kematian atau cedera yang serius. Misalnya : kejadian keracunan makanan, adanya benda asing dalam makanan, pasien menerima diet yang salah, dsb b. Rated Based, merupakan indikator untuk mengukur proses pelayanan pasien atau keluaran (outcome) dengan standar yang diharapkan dapat berkisar 0-100 % Misalnya : % pasien yang diare atau kurang gizi karena mendapat dukungan enteral, % diet yang dipesan sesuai dengan preskripsi , dsb 2. Indikator berdasarkan pelayanan yang diberikan a. Indikator proses, merupakan indikator yang mengukur elemen pelayanan yang disediakan oleh institusi yang bersangkutan.
27
Misalnya : % pasien beresiko gizi yang mendapat asesmen gizi, % makanan yang tidak dimakan, % pasien yang di asesmen gizi dan ditindaklanjuti dengan asuhan gizi oleh dietisien dalam waktu 48 jam setelah masuk rumah sakit, dsb. b. Indikator struktur, merupakan indikator yang menilai ketersediaan dan penggunaan fasilitas, peralatan, kualifikasi profesional , struktur organisai, dsb yang berkaitan dengan pelayanan yang diberikan. Misalnya : % penilaian dan evaluasi status gizi oleh Ahli gizi, % Higiene sanitasi dan keselamatan kerja yang sesuai standar, dsb. c. Indikator outcome, merupakan indikator untuk menilai keberhasilan intervensi gizi yang diberikan. Indikator ini paling sulit dibuat tetapi paling berguna dalam menjelaskan efektifitas pelayanan gizi. Agar benarbenar berguna, maka indikator ini haruslah berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan gizi. Misalnya % pasien obesitas yang turun berat badan nya 2 kg/bulan setelah konseling gizi 3. Indikator yang mencirikan arah dari penampilan a.
Indikator yang diinginkan, merupakan indikator untuk menilai penampilan yang diinginkan mendekati 100 %. Dalam pelayanan gizi dan dietetik, banyak kondisi yang memerlukan kepatuhan sampai mendekati 100 %. Misalnya : dokumentasi asuhan gizi lengkap, akurat dan relevan, kunjungan awal dietisien pada pasien baru 24 – 48 jam setelah pasien
28
masuk rumah sakit, memberikan konseling gizi pada pasien yang berdiet, dsb b. Indikator yang tidak diharapkan, yaitu indikator untuk menilai suatu kondisi yang kadang-kadang tidak diharapkan. Ambang batas untuk indikator dibuat 0 % sebagai upaya agar kondisi tersebut tidak terjadi. Misalnya : keluhan pasien rawat inap terhadap kesalahan pemberian diet tidak ada etiket/barkot identitas pasien (nama, tanggal lahir, No rekam medis) pada makanan yang diberikan, dsb. Berdasarkan peryataan diatas kepuasan pasien dikaitan dengan pelayanan makanan yang di jelaskan sebagai berikut yaitu pelayanan makanan dirumah sakit dapat ditentukan dengan beberapa indikator diantaranya variasi menu makanan, cara penyajian makanan, ketepatan waktu menghidangkan makanan, kebersihan makanan yang dihidangkan, sikap dan perilaku petugas yang menghidangkan makanan (Suryawati C, dkk, 2006). Indikator pelayanan makanan dirumah sakit dapat ditentukan dengan beberapa indikator diantaranya: a. Waktu makan Manusia secara ilmiah lapar setelah 3-4 jam makan, sehingga setelah waktu tersebut sudah harus mendapatkan makanan, baik dalam makanan ringan atau berat. Jarak waktu antara makan malam. dan bangun pagi sekitar 8 jam. Selama waktu tidur metabolisme tubuh tetap berlangsung, akibatnya pada pagi hari perut sudah kosong sehingga kebutuhan energi diambil dari cadangan lemak tubuh.
29
b. Penampilan makanan Penyajian
makanan
merupakan
faktor
terakhir
dari
proses
penyelenggaraan makanan. Meskipun makanan diolah dengan cita rasa yang tinggi tetapi dalam penyajiannya tidak dilakukan dengan baik, maka nilai makanan tersebut tidak akan berarti, karena makanan yang ditampilkan waktu disajikan akan merangsang indra penglihatan sehingga menimbulkan selera yang berkaitan dengan cita rasa. Masalah penyajian makanan kepada orang sakit lebih komplek dari pada makanan untuk orang sehat. Hal ini disebabkan oleh nafsu makan, kondisi mental pasien yang berubah akibat penyakit yang diderita. Aktifitas fisik yang menurun dan reaksi obat-obatan disamping sebagai pasien harus menjalani diet. Dirumah sakit perlu adanya penyelenggaraan gizi kuliner yang merupakan perpaduan antara ilmu dan seni, yaitu ilmu gizi, ilmu bahan makanan, dan pengetahuan tentang alat-alat penyelenggaraan makanan serta seni mengolah bahan makanan yang dimulai dari memilih bahan makanan, mempersiapkan bahan makanan, memasak bahan makanan serta menyajikan makanan atau hidangan sehingga menarik, menggugah selera dan lezat rasanya. Dalam usaha untuk mendapatkan makanan citarasa makanan yang baik dimulai sejak memilih bahan makanan yang akan digunakan dan kemudian menyiapkan bahan makanan. Pada tahap pengolahan selanjutnya digunakan berbagai cara memasak sehingga diperoleh citarasa yang diinginkan. Citarasa makanan mencakup dua aspek utama yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan waktu dimakan. Kedua aspek itu sama pentingnya
30
untuk diperhatikan agar betul-betul dapat menghasilkan makanan yang memuaskan yaitu, faktor yang menentukan penampilan makanan waktu disajikan: 1) Warna makanan Warna makanan memegang peran utama dalam penampilan makanan. Karena bila warnanya tidak menarik akan mengurangi selera orang yang memakannya. Kadang untuk mendapatkan warna yang diinginkan digunakan zat pewarna yang berasal dari berbagai bahan alam dan buatan. 2) Konsistensi atau tekstur makanan Konsistensi makanan juga merupakan komponen yang turut menentukan cita rasa makanan karena sensivitas indera dipengaruhi oleh konsistensi makanan. 3) Bentuk makanan yang disajikan Untuk membuat makanan menjadi lebih menarik biasanya disajikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk makanan yang serasa akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan. 4) Porsi makanan Potongan makanan yang terlalu kecil atau besar akan merugikan penampilan makanan. Pentingnya porsi makanan bukan saja berkenan dengan waktu disajikan tetapi juga berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan pemakaian bahan. 5) Penyajian makanan Penyajian makanan merupakan faktor penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan. Jika penyajian makanan tidak dilakukan dengan baik,
31
seluruh upaya yang telah dilakukan guna menampilkan makanan dengan cita rasa yang tinggi akan tidak berarti (Moehyi, 1992). c. Rasa masakan Penilaian terhadap bahan makanan berbeda-beda, tergantung dari kesenangan atau selera seseorang. Penilaian akan berbeda karena pengalaman, misalnya rasa enak pada jenis makanan yang sama akan berbeda pada setiap orang. Dua aspek utama dalam makanan adalah penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan pada saat dimakan. Disamping makanan pada pasien rawat inap adapun yang mempengaruhi rasa makanan: suhu makanan, bumbu masakan dan bumbu penyedap, tekstur makanan, bau/aroma makanan. Rasa makanan mempunyai faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan. Komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan adalah: 1) Aroma makanan Aroma yang disebabkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan selera. 2) Bumbu masakan dan bahan penyedap Bau yang sedap, berbagai bumbu yang digunakan dapat membangkitkan selera karena memberikan rasa makanan yang khas. 3) Keempukan makanan Keempukan makanan selain ditentukan oleh mutu bahan makanan yang digunakan juga ditentukan oleh cara memasak.
32
4) Kerenyahan makanan Kerenyahan makanan memberikan pengaruh tersendiri pada cita rasa makanan. Kerenyahan makanan adalah makanan menjadi kering, tetapi tidak keras sehingga enak untuk dimakan. 5) Tingkat kematangan Tingkat kematangan makanan dalam masakan belum mendapat perhatian karena umumnya masakan indonesia harus dimasak sampai masak benar. 6) Temperatur Makanan Temperatur makanan waktu disajikan memegang peran penting dalam penentuan cita rasa makanan. Namun makan yang terlalu panas atau terlalu dingin akan sangat mengurangi sensivitas sarang pengecap terhadap rasa makanan (Moehyi, 1992). d. Keramahan Pramusaji Hasil survei menyebutkan bahwa faktor utama kepuasan pasien terletak pada pramusaji. Dimana pramusaji diharapkan dapat berkomunikasi, baik dalam bersikap, berekspresi wajah dan senyum akan mempengaruhi pasien untuk menikmati makanan dan akhirnya dapat menimbulkan rasa puas. Sebaliknya perhatian pramusaji dapat tidak memuaskan pasien ketika pramusaji kurang perhatian dalam memberikan pelayanan dan kurang memperlakukan pasien sebagaimana manusia yang selalu ingin diperhatikan dan dipenuhi kebutuhannya. Pramusaji sebagai pegawai sebaiknya menghindari pemaksaan pelayanan makanan kepada pasien akan tetapi harus berusaha untuk meningkatkan kesadaran
33
pasien terhadap hidangan makanan. Dalam penyajian makanan perlu diperhatikan hal pokok yaitu pemilihan alat yang tepat dan susunan makanan dalam penyajian makanan untuk menampilkan makanan lebih menarik. e. Kebersihan alat dan makanan Dalam penyehatan makanan dan minuman, kebersihan alat dan makan merupakan bagian yang sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas makanan dan minuman. Alat makan yang tidak di cuci dengan bersih dapat menyebabkan organisme atau bibit penyakit yang tertinggal akan berkembang biak dan mencemari makanan yang akan diletakkan di atasnya. Uji sanitasi alat makan atau alat masak perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kebersihan alat tersebut. Sehingga melalui uji sanitasi alat tersebut, petugas inspeksi dari dinas kesehatan dapat menetapkan apakah alat makan tersebut sudah layak digunakan atau belum. Alat makan yang kurang bersih dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit. Oleh karena itu perlu diupayakan agar alat makan yang akan dipakai harus memenuhi syarat kesehatan. f. Variasi Menu makanan Kesesuaian makanan yang diberikan kepada pasien rawat inap dengan penyakit yang dideritanya penting diperhatikan. Oleh karena itu prosedur merancang diet dan pemberian terapi diet sesuai dengan kondisi pasien dalam upaya mempercepat penyembuhannya. Jenis menu ditetapkan oleh ahli gizi, sedangkan
jenis
diet
ditetapkan
oleh
petugas
gizi
ruangan
dengan
mempertimbangkan hasil pemeriksaan dan data laboratorium pasien yang bersangkutan (Rezeki, 2011)
34
Menurut Herlambang (2016), adapun beberapa indikator lain mengenai kepuasan pasien dirumah sakit yang dijadikan sebagai indikator mutu pelayanan makanan di rumah sakit, adalah sebagai berikut : a. Variasi menu makanan. b. Cara penyajian makanan. c. Ketepatan waktu menghidangkan makanan. d. Keadaan tempat makan (piring, sendok). e. Kebersihan makanan yang dihidangkan. f. Sikap dan perilaku petugas yang menghidangkan makanan.
2.6 Kerangka Teori Gambar 2.1 Kerangka Teori
Variabel Independent
Variabel Dependent
Pelayanan Makanan - Waktu Makan - Penampilan Makanan - Rasa Makanan - Keramahan Pramusaji - Kebersihan Alat dan Makanan - Variasi Menu Makanan
Kepuasan Pasien
35
Kepuasan pasien dalam suatu Rumah Sakit merupakan hal yang penting. Karena dapat menentukan baik atau tidaknya kualitas serta mutu pelayanan Rumah Sakit. Untuk memenangkan persaingan, rumah sakit dan instalasi gizi harus mampu memberikan kepuasan kepada pelanggannya. Jika pelanggan dalam hal ini pasien, tidak puas maka pasien akan meninggalkan rumah sakit dan beralih menjadi pelanggan rumah sakit lainnya. Sebaliknya jika pasien merasa puas, maka ia akan cenderung kembali jika memerlukan perawatan dan dari mulut ke mulut akan mempromosikan mutu rumah sakit pada kerabat atau relasinya (Supranto, 2001). Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan dimana pasien memperoleh pelayanan, baik dari segi medis dan non medis. Pelayanan non medis termasuk di dalamnya adalah pelayanan makanan dalam rangka meningkatkan status gizi pasien dan membantu mempercepat proses penyembuhan pasien. Adapun salah satu tujuan dari pelayanan makanan adalah memberikan kepuasan agar dapat menumbuhkan loyalitas pasien pada Rumah Sakit Umum Haji Medan. Kepuasan akan muncul apabila pasien memiliki perasaan senang dan puas terhadap pelayanan rumah sakit. Pada penelitian ini tingkat kepuasan pasien pada pelayanan makanan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diketahui oleh pihak rumah sakit khususnya dibagian instalasi gizi, sebab dapat segera mengetahui kualitas suatu produk atau makanan menurut persepsi pasien. Kepuasan pasien terhadap pelayanan makanan dapat dipengaruhi oleh 6 indikator yaitu waktu makan, penampilan makanan, rasa makanan, keramahan pramusaji, kebersihan alat dan makanan dan variasi menu makanan.