BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengaruh
2.1.1
Definisi Pengaruh Arti kata ‗pengaruh‘ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua adalah
daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak kepercayaan dan perbuatan seseorang (KBBI, 1997: 747). Pengaruh juga didefinisikan sebagai daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak kepercayaan dan perbuatan seseorang (Depdikbud, 2001:845). WJS.Poerwadarminta berpendapat bahwa pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu, baik orang maupun benda dan sebagainya yang berkuasa atau yang berkekuatan dan berpengaruh terhadap orang lain (Poerwadarminta, 1986: 731). Bila ditinjau dari pengertian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang ada atau timbul dari suatu hal, atau dengan kata lain memiliki hasil atau akibat. Maka dalam penelitian ini, hal yang menjadi perhatian adalah pengaruh yang ditimbulkan program family support terhadap resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik, yang mana program family support ini diselenggarakan oleh beberapa lembaga pelatihan dan pendidikan khusus yang berada di kota Medan. 2.2
Kajian Tentang Family Support
11
Universitas Sumatera Utara
2.2.1
Definisi keluarga Dalam sebuah literatur yang disusun oleh Herien Puspitawati (2013) dengan
tajuk Konsep dan Teori Keluarga, dikumpulkanlah beberapa definisi keluarga menurut beberapa ahli, yang menyebutkan bahwa keluarga merupakan suatu unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, serta merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10; Khairuddin 1985; Landis 1989; Day et al. 1995; Gelles 1995; Ember dan Ember 1996; Vosler 1996). Sedangkan menurut Mattessich dan Hill (Zeitlin, 1995), keluarga merupakan suatu kelompok yang berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-tugas keluarga). Dalam sumber lain, disebutkan bahwa keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok individu yang tinggal bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah pernikahan, adopsi dan tidak hanya terbatas keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedmen, 2010). Berdasarkan pemaparan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang memiliki hubungan kekerabatan dan tempat tinggal, atau yang dipersatukan oleh kebersamaan dan 12
Universitas Sumatera Utara
kedekatan emosional, serta mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok ini.
2.2.2
Fungsi Keluarga Sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dari sebuah institusi sosial (masyarakat),
maka keluarga memiliki beberapa fungsi yang perlu dijalankan di dalamnya. Menurut Khairuddin (1997), pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yakni fungsi yang sulit dirubah dan digantikan oleh orang lain. Sedangkan fungsi-fungsi lain atau
fungsi-fungsi
sosial,
relatif
lebih
mudah
berubah
atau
mengalami
perubahan. Fungsi-fungsi pokok tersebut antara lain : 1. Fungsi biologik Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini juga mengalami perubahan karena keluarga sekarang cenderung memiliki jumlah anak yang sedikit. 2. Fungsi afeksi Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan cinta kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak. Dalam masyarakat yang
13
Universitas Sumatera Utara
makin impersonal, sekuler, dan asing, pribadi sangat membutuhkan hubungan afeksi seperti yang terdapat dalam keluarga, suasana afeksi itu tidak terdapat dalam institusi sosial yang lain. 3. Fungsi sosialisasi Fungsi sosialisasi menunjukkan peranan keluarga dalam kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya. Berdasarkan pendapat Gunarsa&Gunarsa (1995) dinyatakan bahwa fungsi keluarga adalah sebagai berikut : 1.
Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak
2.
Memberikan afeksi/kasih sayang, dukungan, dan keakraban
3.
Mengembangkan kepribadian
4.
Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab
5.
Mengajarkan dan meneruskan adat-istiadat, kebudayaan, agama, dan sistem moral pada anak
Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga, antar kerabat, serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis. Hubungan kasih sayang dalam keluarga merupakan suatu rumah tangga yang bahagia. 14
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak dituntut agar memiliki tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong-menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling membina, saling pengertian dan damai dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 1995). Dari ulasan mengenai fungsi-fungsi keluarga di atas, tentu dapat disimpulkan bahwa keberadaan keluarga berfungsi sebagai sumber pengajaran dan pembinaan, baik itu pengajaran dan pembinaan mengenai nilai-nilai hidup, norma-norma dalam masyarakat, hingga adat-istiadat. Selain itu keluarga juga berfungsi sebagai pemasok kebutuhan akan afeksi/kasih sayang serta dukungan (materil/non-materil) bagi para anggotanya.
2.2.3
Dukungan Keluarga (Family Support) Salah satu fungsi keluarga adalah memberi dukungan, baik yang bersifat materil
maupun non-materil. Dukungan keluarga atau dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah family support merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat (Tamher, 2009; dalam Furiyah, 2010). Menurut Friedman (1998, dalam Furiyah, 2010), family support adalah pemberian bantuan berupa suatu perilaku, materi, atau membina hubungan sosial yang baik (akrab) sehingga individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Sedangkan pengertian family support itu sendiri menurut Thompson (2006) adalah pemberian 15
Universitas Sumatera Utara
bantuan yang merupakan suatu kewajiban untuk membantu anggota keluarga yang mengalami suatu masalah yang bersifat sukarela dan sosial. Sedangkan Gardner (2003, dalam Thompson, 2006) mengartikan family support sebagai suatu pendekatan yang melibatkan dukungan dari anggota keluarga dan bertujuan untuk menghindari intervensi lebih lanjut dari pihak luar. Berdasarkan pengertian family support diatas, peneliti memilih pengertian family support yang akan dijadikan acuan yakni pendapat Neil Thompson dalam bukunya Family Support as Reflective Practice, yang mengartikan
family support sebagai
pemberian bantuan yang merupakan suatu kewajiban untuk membantu anggota keluarga yang mengalami suatu masalah, yang bersifat sukarela dan sosial (Thompson, 2006). Dimana family support pada konteks ini difokuskan pada dukungan yang diterima oleh keluarga dari para anak autistik, yang diperolehnya baik dari eksternal maupun internal keluarga.
2.2.4
Jenis-jenis Family Support Jenis-jenis family support yang akan diukur dalam penelitian ini yaitu
berdasarkan pendapat Thompson (2006), yang membagi jenis-jenis family support menjadi empat macam, yaitu: 1. Dukungan Konkret (concrete support) Bantuan yang terlihat secara real atau nyata yaitu berupa tingkah laku. Bantuan ini dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja kepada anggota keluarga yang membutuhkannya dukungan ini dapat berupa pemberian 16
Universitas Sumatera Utara
materi yaitu uang untuk membantu memenuhi kehidupan anggota keluarga sehari-hari. Selain itu dukungan konkret yang dapat diberikan berupa dukungan non-materi yaitu menjaga, merawat ketika sakit, menemai dan mengantar ketika akan keluar rumah, dan lain-lain. Contohnya yang paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, apabila ibu sedang pergi ke luar, maka kita sebagai kakak yang berada di rumah yang menggantikan ibu untuk menjaga adik yang masih kecil (Cochran 1993; Dolan and Holt 2002; Jack 2001, dalam Thompson, 2006). 2. Dukungan Emosional (emotional support) Dukungan
yang
berupa
emosional
untuk
anggota
keluarga
yang
membutuhkannya. Dimana dukungan yang diberikan berupa empati atau simpati pada anggota keluarga yang membutuhkannya yaitu dengan cara selalu ada ketika mereka membutuhkannya. Jenis dukungan ini dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan, selain itu dukungan ini paling mudah digunakan. Menurut Cutrana (1996, dalam Thompson, 2006) dukungan ini juga merupakan salah satu alternatif yang baik, bermanfaat, dan mempunyai pengaruh yang kuat. 3. Dukungan Informatif (advice support) Dukungan ini berupa saran atau nasehat dan biasanya agak lebih rumit untuk disampaikan kepada anggota keluarga yang membutuhkan. Jenis dukungan ini dapat membuat seseorang akan merasa lebih nyaman dan merasa tenang (Cotterell, 1996; dalam Thompson, 2006). Contohnya, jika ada salah satu anggota keluarga yang terkena penyakit kanker, maka sebagai keluarganya memberikan nasehat atau saran-saran positif yang dapat meyakinkan mereka 17
Universitas Sumatera Utara
untuk tetap bertahan dan terus melakukan usaha yang terbaik. (Aymanns, Sigrun and Klaur 1995; dalam Thompson, 2006)
4. Dukungan Penghargaan (esteem support) Dukungan ini berupa pengakuan atas kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Burleson (1990, dalam Thompson, 2006), bentuk dukungan ini merupakan batu fondasi yang kuat dalam sebuah keluarga. Dimana para anggota keluarga percaya akan kemampuan seseorang tersebut serta memotivasinya untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri dalam menghadapi masalahnya.
2.2.5
Sumber-sumber Family Support Radin dan Solovey (dalam Smet, 1994) mengungkapkan bahwa keluarga dan
perkawinan adalah sumber dukungan keluarga yang terpenting. Rook dan Dooly (dalam Kuntjoro, 2002) berpendapat bahwa ada dua sumber dukungan keluarga, antara lain sumber natural dan sumber artificial. Sumber dukungan natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sementara yang dimaksud sumber dukungan artificial adalah dukungan yang dirancang dalam kebutuhan primer seseorang. Sumber dukungan yang bersifat natural berbeda dengan sumber dukungan yang bersifat artificial dalam sejumlah hal perbedaan tersebut terletak dalam hal sebagai berikut:
18
Universitas Sumatera Utara
1. Keber adaan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa di buat-buat, sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan. 2. Sumber dukungan sosial yang natural memiliki keseuaian dengan norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan. 3. Sumber dukungan yang natural berakar dari dukungan yang berakar sama. 4. Sumber dukungan yang natural memiliki keragaman dalam penyampaian dukungan keluarga, nilai dari pemberian barang-barang nyata hingga sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam. 5. Sumber dukungan keluarga yang natural terbebas dari beban dan label psikologis.
2.2.6
Manfaat Family Support Hubungan interpersonal dengan orang lain tidak hanya memberikan efek positif
bahkan orang lain bisa menjadi sumber konflik, namun sebagai makhluk hidup kita memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang atau sekelompok orang. Adanya dukungan keluarga akan membantu penerimanya mampu beradaptasi dan bertahan dalam menghadapi masalah. Jhonson & Jhonson (1991) mengungkapkan bahwa manfaat dukungan keluarga akan meningkatkan beberapa hal, antara lain: 1. Produktivitas melalui peningkatan motivasi, kualitas penalaran, kepuasan kerja, prestasi dan mengurangi dampak stress kerja.
19
Universitas Sumatera Utara
2. Kesejahteraan
psikolgi
(Psychological
Well-Being)
dan
kemampuan
penyesuaian diri melalui perasaan memiliki, kejelasan identitas diri peningkatan
harga
diri;
pencegahan
neorutisme
dan
psikopatologi:
pengurangan distress dan penyediaan sumber yang di butuhkan. 3. Kesehatan fisik, individu yang mempunyai hubungan dekat dengan orang lain jarang terkena penyakit di bandingkan individu yang terisolasi. 4. Managemennya stress yang produktif melalui perhatian, informasi dan umpan balik yang diperlukan. 2.2.7
Kualitas Family Support Menurut Thompson (2006), kualitas dalam family support adalah suatu
hubungan yang mempunyai makna penting bagi si penerima melalui dukungan yang ia terima. Untuk itu Thompson (2006) membagi tiga macam kualitas dalam family support, yaitu: 1.
Kedekatan (closeness), tidak hanya dengan anggota keluarga tetapi juga dengan orang lain. Pada penelitian di Irlandia dan Amerika Serikat (Cutrona dan Cole 2000; Riordan 2002; dalam Thompson, 2006) menunjukkan bahwa, seseorang akan lebih responsif kepada seseorang yang ia rasa dekat dengan dirinya. Hal ini terutama terjadi antara remaja dan orang tua.
2.
Reciprocity, hubungan timbal balik antar anggota keluarga dalam membantu satu sama lain, dimana dengan adanya dukungan ini berarti tiap anggota keluarga bersedia memberikan dukungan atau pertolongan. Adanya hubungan ini akan timbul rasa kenyamanan satu sama lain dalam keluarga.
20
Universitas Sumatera Utara
3.
Durability, lebih mengarah pada siapa individu ingin mendapatkan dukungan atau pertolongan dari anggota keluarganya. Biasanya individu lebih terbuka mengenai masalahnya kepada anggota keluarganya yang sudah ia kenal cukup lama, sering berkomunikasi satu sama lain, dan anggota keluarganya tidak pernah mengganggu individu tersebut (Tracy & Biegel, 1994; dalam Thompson, 2006).
2.2.8
Pengukuran Family Support Pengukuran family support yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
teori Thompson (2006) dalam buku Family Support as Reflective Practice. Jenis-jenis family support yang diukur dalam penelitian ada empat jenis yaitu dukungan konkret (concrete support), dukungan emosional (emotional support), dukungan informatif (advice support), dan dukungan penghargaan (esteem support). Indikator-indikator yang digunakan berdasarkan keempat jenis family support ini yaitu: 1. Dukungan konkret (concrete support) mencakup membantu secara finansial, menemani dan membantu dalam melakukan suatu aktivitas. 2. Dukungan emosional (emotional support) mencakup empati, perhatian, dan simpati. 3. Dukungan informatif (advice support) mencakup nasehat, saran, dan kritik. 4. Dukungan penghargaan (esteem support) mencakup memberikan motivasi yang positif dan memberikan kepercayaan untuk menumbuhkan rasa percaya dirinya.
21
Universitas Sumatera Utara
Dalam melakukan pengukuran terhadap pelaksanaan Family Support, Cohen dan Syme, 1985 (dalam Sunardi, 2004) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas dukungan keluarga adalah: 1.
Pemberian dukungan keluarga; dukungan yang diberikan melalui sumber yang sama akan lebih memiliki arti daripada yang berasal dari sumber yang berbeda. Pemberian dukungan ini dipengaruhi oleh adanya norma, tugas, dan keadilan
2.
Kesesuaian situasi; dukungan yang diterima akan memiliki arti/bermanfaat bila jenis dukungan itu sesuai atau tepat dengan situasi yang ada
3.
Penerimaan dukungan; karakteristik atau ciri-ciri penerima dukungan keluarga akan menemukan keefektifan dukungan. Karakteristik itu meliputi kepribadian, kebiasaan dan peran sosial
4.
Dukungan yang tepat dipengaruhi oleh kesesuaian antar jenis dukungan yang diberikan dan masalah yang ada. Masalah konflik yang terjadi dalam pernikahan dan pengangguran akan berbeda dalam hal pemberian dukungan yang akan di berikan.
5.
Dukungan keluarga dapat optimal pada satu situasi tetapi akan menjadi tidak optimal dalam situasi lain. Misalnya saat seseorang kehilangan pekerjaan, individu akan tertolong ketika mendapat dukungan sesuai dengan masalahnya, tetapi bila telah bekerja, maka dukungan yang lainlah yang diperlukan.
22
Universitas Sumatera Utara
6.
Lamanya pemberian dukungan; lama atau singkatnya pemberian dukunngan tergantung pada kapasitasnya. Kapasitas adalah kemampuan dari pemberian dukungan untuk memberi dukungan yang di tawarkan selama satu periode.
2.3
Program
2.3.1
Definisi Program Menurut Charles O. Jones (1996), pengertian program adalah cara yang disahkan
untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengidentifikasikan suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu: 1. Program cenderung membutuhkan staff, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program. 2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran. 3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik. Program terbaik di dunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai untuk melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiranm yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaiknya (Jones, 1996: 295).
23
Universitas Sumatera Utara
2.3.2
Program Family Support Sadar akan pentingnya family support dalam menumbuhkan optimisme di dalam
diri para orang tua/keluarga yang memiliki anak autistik, Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ sebagai salah satu lembaga pendidikan berkebutuhan khusus di kota Medan, memiliki sebuah program khusus yang diperuntukan bagi keluarga (khususnya orang tua) dari anak-anak autistik yang menjadi siswa/klien dari lembaga ini. Program tersebut berisi layanan-layanan yang sangat membantu orang tua dalam mendampingi tumbuh kembang putra/putrinya yang berkebutuhan khusus. Mulai dari layanan edukasi untuk para orang tua siswa/klien tentang cara melakukan terapi mandiri di rumah, konsultasi, hingga memberikan subsidi bagi orang tua siswa/klien yang mengalami kendala ekonomi. Program ini mungkin tidak memiliki nama khusus, namun substansinya adalah family support, dimana lembaga memastikan setiap keluarga anak-anak autistik disana memiliki akses yang luas dalam memperoleh dukungan yang keluarga butuhkan. Program family support ini juga berfungsi sebagai wadah informasi dan sosialisasi bagi sesama orang tua atau keluarga yang memiliki siswa/klien di PPA ‗Kaya Berkah‘ Medan. Program ini biasanya diadakan sekurang-kurangnya satu kali dalam kurun waktu beberapa bulan (2-3 bulan sekali), serta difasilitasi oleh pihak lembaga atau dilaksanakan secara mandiri oleh para orang tua/keluarga siswa. Disadari atau tidak, keberadaan program family support ini tentunya membawa pengaruh terhadap keluarga yang menjadi peserta dari program tersebut. Terlebih khusus, juga dapat mempengaruhi persepsi orang tua dalam menyikapi keberadaan anak autistik di tengah-tengah keluarga mereka, sehingga mereka dapat menjadi keluarga yang resilien. 24
Universitas Sumatera Utara
2.4
Resiliensi
2.4.1
Definisi Resiliensi Istilah resiliensi atau ketahanan (Van Holk, 2008) digunakan untuk
menggambarkan suatu proses dimana orang tidak hanya mengelola upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan hidup, tapi juga untuk menciptakan dan memelihara kehidupan yang bermakna dan dapat ikut menyumbang pada orang-orang disekitarnya. Ungkapan ―keberhasilan menghadapi rintangan‖ merupakan inti dari ketahanan. Ketahanan berarti keberhasilan dalam kehidupan meskipun berada dalam kedaan yang mengalami resiko tinggi. Ketahanan juga berarti kemampuan pulih kembali secara sukses dari trauma (Fraser, 2004; Grene, 2002). Pengertian ketahanan dari sudut perilaku adalah pola-pola perilaku positif dan kemampuan berfungsi perorangan dan keluarga yang ditunjukkan dalam keadaan menghadapi tekanan dan kesulitan (McCubbin, 1998). Sejalan dengan pengertian tersebut ahli lainnya menyatakan, ketahanan sosial adalah suatu proses dinamis yang mencakup sekelompok gejala yang menuntut penyesuaian diri yang berhasil terhadap sejumlah
ancaman yang signifikan dalam perkembangan kehidupan dan hasil-hasil
lainnya yang dicapai dalam perjalanan kehidupan (Fraser, Richmon, & Galinsky, 2004). Ketahanan, dimulai dari ketiadaan patologi (penyakit) sampai ke kemampuan mengatasi, menemukan makna dan berlanjut terus walaupun menghadapi kesulitan (Green & Conrad, 2002). Ketahanan seringkali disamakan dengan kemampuan untuk ―meloncat kembali‖ atau ―keluar dari kemelut kehidupan‖. Schoon (2006) mengutip definisi beberapa ahli dan menyimpulkan bahwa resiliensi merupakan proses dinamis dimana individu menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi adversity yang 25
Universitas Sumatera Utara
berperan penting bagi dirinya. Bernard (dalam Wijayani, 2009) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dengan sukses walaupun mengalami situasi penuh resiko yang tergolong parah. Selain itu, Joseph (dalam Isaacson, 2002) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk menyelesaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan dan kekecewaan yang ada pada kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Werner dan Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kapasitas untuk mengatasi stress internal yang berupa keterbatasan mereka dan juga stress eksternal (seperti penyakit, kehilangan dan juga keretakan keluarga) dengan efektif. Rutter (dalam Issacson, 2002) memandang resiliensi sebagai individu yang mampu mengatasi kesulitan, bertahan dalam stress dan tetap dapat berkembang diatas suatu keterbatasan. Ditambahkan oleh Gallagher dan Ramsey (dalam Isaacson, 2002) yang juga berpendapat bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk pulih secara spontan dari masalah dan/atau mengkompensasi keterbatasan personal yang ada. Definisi ini kemudian diperkuat
oleh
Zimmerman
dan
Arunkumar
(dalam
Isaacson,
2002)
yang
mendeskripsikan resiliensi sebagai keterampilan untuk pulih dari masalah atau faktorfaktor dan proses pada seseorang yang mempunyai kemungkinan untuk gagal tetapi kemudian berakhir dengan hasil yang adaptif meskipun di tengah-tengah tantangan dan keadaan yang tidak menguntungkan. Dengan demikian, resiliensi merupakan suatu kapasitas maupun kemampuan yang sangat dibutuhkan seseorang untuk merespon dengan tepat agar dapat mengatasi kesulitan, bertahan dengan baik dalam menghadapi stress, tekanan hidup dan tuntutan-
26
Universitas Sumatera Utara
tuntutan serta tetap dapat berkembang diatas keterbatasan yang terjadi dalam hidupnya. Salah satunya dengan cara menyesuaikan dirinya terhadap masalah tersebut dan selalu dapat bangkit kembali sehingga akhirnya mampu melampaui kemungkinan kegagalan dan dapat membangun kehidupan masa kini dan masa depan dengan baik.
2.4.2
Resiliensi Keluarga Konsep resiliensi tidak hanya mencakup kemampuan untuk bertahan tetapi juga
bangkit kembali dari krisis. Secara umum penelitian resiliensi berfokus kepada resiliensi individu, dengan perhatian khusus kepada anak-anak yang berada dalam bahaya hingga mengalami kemalangan (Apostelina, 2012). Walgnild dan Young (1993) mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi perubahan atau kemalangan. Berakar dari ulasan mengenai resiliensi terhadap individu, muncullah istilah resiliensi keluarga (family resicilence) yang menyatakan kemampuan keluarga untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau tekanan yang berat. Walsh (2003) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa beberapa keluarga menjadi hancur oleh krisis, sementara keluarga lainnya menjadi kuat dan lebih cerdas setelah krisis. Keluarga-keluarga tersebut dapat mencapai hasil yang positif dan yang tidak diperkirakan sebelumnya ketika menghadapi kesulitan kehidupan. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Patterson (1983), menunjukkan bahwa faktorfaktor penekan (yang menyebabkan krisis) mempengaruhi anak-anak sehingga dapat
27
Universitas Sumatera Utara
sangat mengganggu hubungan-hubungan sosial dan proses-proses sosial dalam keluarga (Walsh, 1998). Ketahanan keluarga mengacu pada proses-proses pemecahan masalah dan penyesuaian diri keluarga sebagai satu satuan fungsional (Walsh, 1998). Pendapat ahli lainnya menyatakan bahwa resiliensi keluarga (ketahanan sosial keluarga) mencakup ―kemampuan memperbaiki diri sendiri‖ dan ―memberikan tanggapan dengan menggunakan akal daya dan keuletan ketika menghadapi tantangan yang ekstrim‖. Lebih lanjut, agar menjadi berketahanan, keluarga wajib bersedia menghadapi resiko dan kemudian berhasil menanggapinya (Fraser, M, & Galinsky, 2004).
2.4.3
Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi Keluarga Warner dan Smith (dalam Riana, 2008) menyatakan bahwa perkembangan
resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan manusia yang sehat – suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi antara kepribadian seorang individu dengan lingkungannya dalam hubungan timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko, kejadian dalam hidup yang menekan, dan faktor protektif. Selanjutnya, keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah faktor resiko dan faktor protektif yang hadir dalam kehidupan seseorang individu tetapi juga dari frekuensi, durasi dan derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya. 1.
Faktor Resiko Grothberg (1999) menyatakan bahwa faktor resiko dalam kehidupan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu sumber eksternal, dalam keluarga dan 28
Universitas Sumatera Utara
dalam diri sendiri. Sementara menurut Schoon (2006) ada beberapa faktor resiko yang dialami individu sehingga mereka diharapkan mampu bangkit dari berbagai resiko tersebut dan memiliki resiliensi. Christle (dalam Rahmawati, 2009) menyatakan bahwa faktor resiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi atau medis yang menempatkan individu dalam resiko kegagalan dan memulihkan diri dalam menghadapi situasi sulit. Smokowski (dalam Rahmawati, 2009) juga menjelaskan bahwa faktor resiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi atau pemeliharaan dari suatu kondisi masalah. Berbagai faktor yang dapat disandangkan pada individu antara lain sebagai berikut (Schoon, 2006): a) Anggota dari kelompok beresiko tinggi, misalnya anak-anak dari keluarga yang serba kekurangan dalam kebutuhan materialnya serta hidup dalam kemelaratan. b) Tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan. c) Terlahir memiliki cacat fisik, mengalami trauma fisik atau penyakit. d) Mengalami kondisi penuh tekanan dalam jangka waktu yang lama, misalnya mengalami disfungsi dalam keluarga atau anak-anak dari orang tua yang memiliki gangguan mental. e) Menderita trauma, misalnya kekerasan fisik atau seksual, atau berada dalam situasi perang.
29
Universitas Sumatera Utara
Faktor resiko merupakan faktor atau beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi atau pemeliharaan dari suatu kondisi masalah sehingga diharapkan individu mampu bangkit dari berbagai resiko tersebut dan memiliki resiliensi. Faktor resiko berasal dari berbagai sumber, yaitu sumber eksternal, dalam keluarga dan dari dalam diri sendiri. 2.
Faktor Protektif Rutter (dalam Wijayani, 2009) menyatakan interaksi antara proses sosial dan intrapsikis dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kesulitan dan segala kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Dyer dan McGuinness (dalam Wijayani, 2009) menjelaskan resiliensi sebagai proses dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana seseorang dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya. Rutter (dalam Wijayani, 2009) juga menyatakan faktor protektif merupakan prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal yang memainkan peran kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk berespon dalam situasi sulit. Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari keluarga, sekolah, atau komunitas yang meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik. Faktor protektif ini merupakan instrumen dalam perkembangan yang sehat dimana faktor inilah yang membentuk resiliensi dan kemampuan resiliensi (dalam Riana, 2008). Ciri keluarga, sekolah, atau komunitas sebagai faktor protektif adalah 30
Universitas Sumatera Utara
(1) caring relationship, high expectation – ekspektasi yang jelas, positif, serta (2) terfokus pada remaja itu sendiri, dan juga (3) kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi. Rutter (dalam Wijayani, 2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor protektif ini dapat mengubah, mengurangi, atau meningkatkan respon individu terhadap pengaruh lingkungan yang memberi kecenderungan untuk mengalami perkembangan maladaptif. Adapun faktor-faktor protektif dan mekanisme dapat dibagi dalam beberapa kategori: (1) Sumber daya dan karakteristik yang positif dari individu; (2) Keluarga yang stabil dan memberikan dukungan yang ditandai dengan adanya pertalian diantara anggota keluarga; (3) Jaringan sosial eksternal atau komunitas yang mendukung dan memperkuat cara coping yang adaptif (Garmezy, 1993; Werner, 1993; dalam Wijayani, 2008). Bernard (dalam Wijayani, 2009) mengatakan bahwa kepribadian dan karakteristik positif dari seseorang individu merupakan sebuah proses transaksional antara seseorang dengan lingkungannya. Manurut Siebert (dalam Wijayani, 2008) individu yang resilien adalah individu yang fleksibel, mampu beradaptasi secara cepat dengan lingkungannya dan terus bergerak maju dalam berbagai perubahan dan permasalahan hidup yang terjadi. Mereka mampu melihat kesempatan yang baik dan mengambil nilai positif dalam situasi yang dipandang negatif oleh orang lain. Mereka memiliki harapan untuk bangkit dan mereka meyakini dengan teguh harapan mereka tersebut.
31
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor protektif memainkan peran penting dalam memodifikasi efek negatif lingkungan yang merugikan hidup dan membantu menguatkan resiliensi. Faktor protektif meliputi antara lain (1) karakteristik individu, (2) lingkungan keluarga, dan (3) konteks yang lebih luas. Dalam penelitian ini, objek yang akan diteliti hanyalah keluarga yang teridentifikasi sebagai keluarga yang memiliki anak autistik. Dengan kata lain, memiliki anak autistik dapat dimaksud sebagai faktor resiko yang dimiliki keluarga tersebut. Sedangkan faktor protektif –yang mungkin—dimiliki oleh keluarga tersebut adalah adanya keterlibatan mereka dalam program Family Support yang di adakan oleh Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan.
2.4.4
Komponen Pelindung Resiliensi Keluarga Resiliensi keluarga tidak bisa dilepaskan dari faktor resiko dan faktor pelindung
(Walsh, 1998). Faktor resiko adalah faktor yang mendorong munculnya hasil yang negatif pada keluarga. Sedangkan faktor protektif/pelindung adalah faktor yang mengurangi kemungkinan munculnya hasil negatif tersebut (Mackay, 2003). Untuk mengurangi hasil negatif ini, maka Walsh (2006) mengemukakan tiga proses kunci dari resiliensi keluarga yang berperan sebagai faktor pelindung. Ketiga proses kunci tersebut adalah sistem keyakinan, pola organisasi, dan proses komunikasi. 1. Sistem Keyakinan
32
Universitas Sumatera Utara
Walsh (2006) menjelaskan bahwa sistem keyakinan keluarga merupakan inti dari semua keberfungsian keluarga dan merupakan dorongan yang kuat bagi terbentuknya resiliensi. Keluarga menghadapi krisis dan kesulitan dengan memberi makna pada kesulitan tersebut dengan cara mengaitkan dengan lingkungan sosial, nilai-nilai budaya dan spiritual, generasi yang sebelumnya, dan dengan harapan serta keinginan di masa yang akan datang. Bagaimana keluarga memandang masalah dan pilihan penyelesaiannya dapat membuat keluarga mampu mengatasi masalah tersebut atau malah menjadi putus asa dan tidak berfungsi dengan baik. Belief atau keyakinan merupakan kacamata bagi seseorang dalam memandang dunianya yang memengaruhi apa yang dilihat atau diabaikan serta apa yang dipersepsikan (Wright, Watson, dan Bell dalam Walsh, 2006). Sistem keyakinan keluarga meliputi nilai, pendirian, sikap, bias, dan asumsi yang bergabung dan membentuk dasar pemikiran yang memicu respon emosional, mengarahkan keputusan, dan mengatur tingkah laku (Wright, dkk. dalam Walsh, 2006). Keyakinan dibangun secara sosial, tersusun dalam proses yang berkelanjutan melalui interaksi dengan orang-orang terdekat dan dunia yang lebih luas (Gergen dan Hoffman dalam Walsh, 2006). Walsh mengemukakan tiga area kunci dalam sistem keyakinan keluarga yaitu: memberi makna pada kesulitan, pandangan yang positif, serta transenden dan spiritualitas dengan penjelasan sebagai berikut. a) Memberi makna pada kesulitan Pandangan keluarga bahwa kesulitan yang sedang dialami adalah hal yang masuk akal dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi merupakan 33
Universitas Sumatera Utara
hal yang sangat penting bagi resiliensi (Antonovsky dalam Walsh, 2006). Keluarga yang melihat kesulitan sebagai tantangan bersama dan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan keluarga mampu mendorong keluarga untuk bertahan dan bangkit dari kesulitan tersebut (Walsh, 2006). Selain itu, Walsh juga menjelaskan resiliensi didorong dengan adanya sense of coherence yaitu pandangan bahwa kesulitan yang dialami dapat dijelaskan dan diprediksi, tersedianya sumber yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan, serta kesulitan yang dialami merupakan sesuatu yang berharga. b) Pandangan positif Pandangan positif merupakan hal yang penting bagi resiliensi (Walsh, 2006). Keluarga yang berpandangan positif memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik, memandang sesuatu secara optimis, percaya diri dalam menghadapi masalah,
serta
memaksimalkan kekuatan dan
potensi yang dimiliki. Selain itu, pandangan positif juga terlihat pada inisiatif dan usaha yang gigih anggota keluarga dalam menghadapi kesulitan, serta menguasai situasi yang dapat dikendalikan dan menerima situasi yang tidak dapat dikendalikan. c) Transenden dan spiritualitas Transenden memberikan makna, tujuan, dan hubungan di luar diri seseorang, keluarganya, dan masalah yang dihadapi (Walsh, 2006). Transenden memberikan kejelasan mengenai kehidupan seseorang dan memberi dukungan ketika mengalami stres. Nilai-nilai transenden dapat membuat seseorang menilai kehidupan dan hubungannya dengan orang 34
Universitas Sumatera Utara
lain sebagai sesuatu yang berharga dan penting. Di dalam keluarga, nilainilai transenden dapat membuat mereka melihat kenyataan dari sudut pandang yang lebih luas, dan selalu memunculkan harapan. Spiritualitas merupakan penghayatan terhadap nilai-nilai yang tertanam yang membuat seseorang dapat memaknai, merasakan kesatuan, dan keterhubungan dengan orang lain. Spiritualitas dapat dialami seseorang baik di lingkungan agama maupun di luar itu. Agama dan spiritualitas menawarkan rasa nyaman dan hikmah dibalik kesulitan. Keyakinan pribadi membuat seseorang tangguh dalam mengahadapi kesusahan dan
mampu mengatasi tantangan (Werner and Smith dalam Walsh,
2006). 2. Pola Organisasi Untuk menghadapi krisis dan kesulitan secara efektif, keluarga harus menggerakkan dan mengatur sumber daya mereka, menahan tekanan, dan mengatur kembali sumber daya tersebut sesuai dengan kondisi yang berubah (Walsh, 1998). Pola organisasi keluarga dipertahankan oleh norma-norma eksternal dan internal dan dipengaruhi oleh budaya dan sistem keyakinan keluarga. Terdapat tiga elemen dari pola organisasi yaitu fleksibilitas, keterhubungan, dan sumber daya sosial dan ekonomi dengan penjelasan sebagai berikut. a) Fleksibilitas Fleksibilitas
mencakup
kemampuan
untuk
beradaptasi
terhadap
perubahan dengan bangkit kembali, mengatur ulang dan beradaptasi dengan situasi yang berubah. Fleksbilitas juga dapat terwujud dengan 35
Universitas Sumatera Utara
tetap dilaksanakannya kegiatan dan kebiasaan yang rutin dilakukan keluarga sehingga dapat menjaga kontinuitas dan mengembalikan stabilitas keluarga yang dapat mendorong resiliensi. Pola kepemimpinan yang otoritatif, kerja sama dalam pengasuhan serta adanya kesetaraan dan saling menghargai juga merupakan salah satu bentuk fleksibilitas yang dapat mendorong terbentuknya resiliensi. b) Keterhubungan Keterhubungan atau kohesi merupakan ikatan struktural dan emosional pada anggota keluarga. Keluarga dengan ikatan yang kuat cenderung merasa puas dan terhubung dengan apa yang ada didalam keluarga tersebut (Olson dan Gorel dalam Walsh, 2006). Bentuk keterhubungan dalam keluarga adalah saling mendukung, bekerja sama, komitmen, serta tetap menghormati perbedaan, keinginan, dan batasan individu. c) Sumber daya sosial dan ekonomi Dalam mengahadapi situasi krisis, keluarga besar dan jaringan sosial dapat menyediakan bantuan, dukungan emosional dan adanya rasa keterikatan terhadap sebuah kelompok. Ketika keluarga mengalami kesulitan dalam menghadapi
masalah
di
dalam
keluarga,
maka
mereka cenderung akan meminta bantuan di luar seperti keluarga besar, teman, tetangga dan komunitas mereka. Selain itu, untuk dapat memperkuat keberfungsiannya, keluarga juga harus memperoleh kestabilan ekonomi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. 3. Proses Komunikasi 36
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi dapat memfasilitasi seluruh fungsi keluarga dan merupakan hal yang penting bagi resiliensi (Walsh, 2006). Pada situasi krisis, komunikasi merupakan hal yang esensial dalam membantu proses pemecahan masalah. Komunikasi meliputi transmisi keyakinan, pertukaran informasi, ekspresi emosi dan proses pemecahan masalah (Epstein, dkk. dalam Walsh, 2003). Ada tiga aspek komunikasi yang baik yaitu kejelasan, ungkapan emosi, dan penyelesaian masalah yang kolaboratif, seperti yang dijelaskan sebagai berikut: a) Kejelasan Kejelasan dalam berkomunikasi mencakup informasi yang disampaikan secara langsung, tepat, spesifik dan jujur, masing-masing anggota memiliki informasi dan pemahaman yang sama mengenai situasi krisis yang dihadapi, serta adanya keterbukaan komunikasi di dalam keluarga. b) Ungkapan emosi Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat mengungkapkan emosi yang dirasakannya dengan nyaman baik emosi positif seperti bahagia, berterima kasih, cinta, dan harapan maupun emosi negatif seperti sedih, takut, marah dan kecewa. Selain itu, anggota keluarga juga saling memahami apa yang dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga juga bertanggung jawab terhadap apa yang ia rasakan dengan tidak menyalahkan orang lain atas hal itu, serta interaksi yang diwarnai dengan hal-hal yang menyenangkan seperti humor. c) Pemecahan masalah secara kolaboratif
37
Universitas Sumatera Utara
Pemecahan masalah secara efektif merupakan hal yang esensial bagi keluarga untuk menghadapi situasi krisis dan kesulitan. Proses pemecahan masalah yang efektif ini meliputi identifikasi masalah dan penyebab terkait, brainstorming mengenai kemungkinan pemecahan masalah, saling berbagi dalam mengambil keputusan, berfokus pada tujuan mencoba mengambil langkah-langkah konkret dan belajar dari kesalahan.
2.4.5
Alat Ukur Resiliensi Keluarga Konsep resiliensi keluarga yang dikemukakan oleh Walsh didasarkan pada studi-
studi kualitatif yang ia lakukan. Pada tahun 2002, ia mengembangkan instrumen kuantitatif untuk mengukur resiliensi keluarga berdasarkan tiga proses kunci resiliensi keluarga yang ia kemukakan. Tiga proses kunci tersebut masing-masing memiliki tiga subkomponen yaitu: keyakinan keluarga (terdiri dari memberi makna pada situasi krisis, pandangan positif, transenden dan spiritualitas), pola organisasi (terdiri dari fleksibilitas, keterhubungan, sumber daya sosial ekonomi), dan proses komunikasi (terdiri dari kejelasan, ungkapan emosi, penyelesaian masalah yang kolaboratif). Walsh menyusun indikator dari masing-masing subkomponen tersebut dan merumuskannya dalam 32 item.
2.5
Autisme
2.5.1 Pengertian Autisme Autisme mengacu pada problem dengan interaksi sosial, komunikasi, dan 38
Universitas Sumatera Utara
bermain imajinatif, yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah 3 tahun. Mereka mempunyai keterbatasan pada level aktivitas dan interest. Hampir 75% dari anak autis mengalami beberapa derajat Retardasi Mental. Autisme biasanya muncul sejak tiga tahun pertama kehidupan seorang anak (Priyatna, 2010). Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya. Autisme merupakan kelainan perilaku yang penderitanya hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri. Autis dapat terjadi di semua kalangan masyarakat (Veskarisyanti, 2008). Dalam literature lain, disebutkan bahwa autis merupakan suatu keadaan dimana seorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autisme bisa mengenai siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau dewasa dan semua etnis (Yatim, 2007).
2.5.2
Klasifikasi Autisme Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autisme, diantaranya: 1.
Aloof Anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojok.
2.
Passive Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial melainkan hanya menerima saja. 39
Universitas Sumatera Utara
3.
Active but odd Sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya bersifat repetitif dan aneh.
Sedangkan menurut Safaria (2005), menyebutkan 2 jenis perilaku autisme, yaitu: 1.
Perilaku berlebihan (excessive): a) Perilaku melukai diri sendiri (self-abuse), seperti memukul, menggigit, dan mencakar diri sendiri. b) Agresif, seperti perilaku menendang, memukul, menggigit, dan mencubit. c) Tantrum, seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat.
2.
Perilaku berkekurangan (deficit), perilaku ini ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, deficit sencoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pribadi autistik memiliki perilaku yang berlebihan (excessive) atau perilaku yang berkekurangan (deficit) yang memungkinkan perilaku yang ditunjukkan tersebut dapat menggangu orang-orang yang disekitarnya.
2.5.3
Penyebab Autisme Menurut Huzaemah (2010), autis disebabkan multifactor, yaitu: 1. Kerusakan jaringan otak Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa korelasi antara
40
Universitas Sumatera Utara
autis dan cacat lahir yang disebabkan oleh Thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshe, menemukan bahwa pada anak yang terkena autis, bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil daripada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan, atau pada saat kelahiran bayi. Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan penyelidikan terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi yang normal mempunyai kadar protein tinggi, yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental (Huzaemah, 2010). 2. Terlalu banyak vaksin Hepatitis B Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B bisa mengakibatkan anak mengidap autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal. 3. Kombinasi makanan atau lingkungan yang salah Autis disebabkan kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar, yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Beberapa teori yang didasarkan oleh beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. 4. Perilaku autistik Autisme merupakan sindroma yang sangat kompleks. Ditandai dengan ciri41
Universitas Sumatera Utara
ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam komunikasi timbal balik, minat terbatas, dan perilaku yang disertai gerakan berulang tanpa tujuan (stereo-tipic).
2.5.4
Gangguan Anak Autistik Menurut Yatim (2007), gangguan yang dialami anak autistik adalah : 1. Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal meliputi kemampuan berbahasa dan keterlambatan, atau sama sekali
tidak dapat berbicara. Menggunakan
kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh, dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat dimengerti orang lain (bahasa planet). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Meniru atau membeo (Ekolalia), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya (Yatim, 2007). 2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk. Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Ketika bermain, ia selalu menjauh bila didekati. 3. Gangguan dalam bermain 42
Universitas Sumatera Utara
Gangguan dalam bermain di antaranya ialah bermain sangat monoton dan aneh, misalnya mengamati terus menerus dalam jangka waktu yang lama sebuah botol minyak. Ada kelekatan dengan benda tertentu, seperti kertas, gambar, kartu, atau guling, terus dipegang kemana saja ia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Lebih menyukai benda-benda seperti botol, gelang karet, baterai, atau benda lainnya. Tidak spontan, reflex, dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, atau angin yang bergerak (Yatim, 2007). 4. Perilaku yang ritualistic Perilaku yang ritualistic sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila berpergian harus melalui rute yang sama. Gangguan perilaku dapat dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian, harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya (Yatim, 2007). 5. Hiperaktif Anak dapat terlihat hiperaktif, misalnya mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri, seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding (walaupun tidak semua anak autis seperti itu). Namun terkadang menjadi pasif (pendiam), duduk diam, bengong dengan tatapan mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Sangat menaruh perhatian pada suatu benda, ide, aktifitas, ataupun orang (Yatim, 2007). 43
Universitas Sumatera Utara
6. Gangguan perasaan dan emosi Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat ketika ia tertawa-tawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tak terkendali, terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. 7. Gangguan dalam persepsi sensoris Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitive terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah), dari mulai ringan sampai berat, menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, ia akan menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Merasa tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan (Yatim, 2007).
2.5.5
Dampak Kehadiran Anak Autistik dalam Keluarga Kehadiran anak autistik di tengah-tengah keluarga tentu bukanlah suatu perkara
yang mudah. Setiap anggota keluarga harus beradaptasi dengan banyak hal yang mungkin tidak dialami oleh keluarga lainnya, terkhusus dalam pola interaksi sosial di dalam keluarga. Selain itu, kehadiran anak autistik juga menuntut curahan daya dan pemikiran yang banyak agar keluarga mampu berfungsi dengan sebaik-baiknya meski memiliki anak pengidap autisme. Dalam bukunya yang berjudul Autism with Severe Learning Difficulties, Jordan (2001) menyebutkan bahwa kehadiran anak autistik akan menimbulkan beberapa problema bagi keluarga, khususnya orang tua. Problema itu antara lain: 44
Universitas Sumatera Utara
1.
Ketidak-ahlian orang tua (parents’ lack of experts); orangtua (khususnya ibu) sulit memahami anak autistik dan tidak memahami apa yang seharusnya mereka lakukan kepada anaknya. Sering kali mereka mencoba unutk membantu anaknya tetapi cenderung selalu menemui kesulitan. Ini menunjukkan bahwa orang tua sebenarnya membutuhkan dukungan dan bimbingan dari ahli.
2.
Harga diri orang tua (parents’ self esteem); rasa bersalah dan keputusasaan yang dialami oleh orang tua karena ketidakmampuan mereka dalam membuat kontak dengan anaknya yang mengidap autistik, akan menjadi pembenaran atas rasa bersalah dan ketakutan mereka.
3.
Kondisi kehidupan yang panjang (life-long condition); terhambatnya proses perkembangan anak autistik mempengaruhi keyakinan orang tua terhadap masa depan anaknya, secara timbal balik.
4.
Akibat yang lebih komplek (multiple effects); gangguan perkembangan komplek yang dimiliki oleh anak autistik tidak hanya mempengaruhi orang tua, tetapi juga mempengaruhi bagaimana ibu harus berinteraksi dengan anak autistik. Oleh karena itu, orang tua sudah selayaknya memperoleh bimbingan dan bantuan bagaimana mereka seharusnya berinteraksi dan berkomunikasi secara tepat dengan anak autistik.
5.
Akibat emosi sosial (social emotional effects); kesulitan berinteraksi dengan orang lain merupakan inti dari kondisi dan kegagalan anak-anak autistik pada
umumnya.
Kegagalan
yang dialami
orang tua
menegakkan
hubungan/rasa dalam berinteraksi dengan anak, akan membuat orang tua semakin frustasi. 45
Universitas Sumatera Utara
6.
Dukungan informasi dan sosial (explanation and social support); kesulitan yang dialami orang tua dalam menangani anak autistik, menegaskan bahwa mereka sangat membutuhkan dukungan informasi terkait diagnosis anaknya. Dengan adanya informasi tersebut, orang tua berharap dapat mengambil tindakan yang tepat dalam mendukung perkembangan anaknya.
2.5.6
Penanganan Autisme Menurut Danuatmaja (2003), gangguan otak pada anak autistik umumnya tidak
dapat disembuhkan (not curable), tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini yang terpadu dan intensif. Dengan begitu, gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga anak mampu bergaul secara normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan tidak dilakukan intervensi dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini: 1.
Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat keberhasilannya akan semakin besar. Umur ideal untuk dilakukan terapi atau intervensi adalah 2-5 tahun, pada saat sel otak mampu dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.
2.
Kemampuan bicara dan berbahasa: 20% penyandang autistik tidak mampu bicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu bicara tetapi sulit dan kaku. Namun, ada pula yang mampu bicara dengan lancar. Anak autistik yang tidak mampu bicara (non verbal) bisa diajarkan keterampilan komunikasi dengan cara lain, misalnya dengan bahasa isyarat atau melalui 46
Universitas Sumatera Utara
gambar-gambar. 3.
Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4-8 jam sehari. Di samping itu, seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak.
2.6
Kerangka Pemikiran
Keberadaaan keluarga memiliki fungsi sebagai pemasok kebutuhan akan afeksi/kasih sayang serta dukungan, baik materil maupun non-materil, bagi para anggotanya. Menurut Tamher (2009; dalam Furiyah, 2010) dukungan keluarga (family support) merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat.
Untuk
itu,
kehadiran
program
family
support
diharapkan
mampu
memaksimalkan keterlibatan keluarga dalam memenuhi kebutuhan individu akan afeksi dan dukungan, sehingga dapat mengoptimalkan perkembangan individu selaku anggota keluarga. Dalam penelitian ini, keberadaan program family support juga sekaligus menjadi wadah bersosialisasi dan penguatan antar sesama keluarga yang memiliki anak autistik, agar para keluarga ini mampu menyongsong masa depan dengan lebih tegar dan penuh optimisme. Pengukuran family support yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori Thompson (2006) dalam buku Family Support as Reflective Practice. Jenis-jenis family support yang diukur dalam penelitian ini ada empat jenis
47
Universitas Sumatera Utara
yaitu dukungan konkret (concrete support), dukungan emosional (emotional support), dukungan informatif (advice support), dan dukungan penghargaan (esteem support).
Pada implementasinya, bentuk dukungan konkret dalam program family support ini yaitu berupa pemberian materi/alat bantu, subsidi biaya terapi, dll. Sedangkan dukungan emosional yang diterima adalah berupa pemberian motivasi, pengadaaan agenda rekreasi bersama, dll. Bentuk dukungan informatif yang diberikan yaitu berupa bimbingan tentang teknis terapi mandiri dan info seminar/forum diskusi seputar autism. Dan terakhir, dukungan penghargaan dalam program ini diwujudkan dalam peringatan hari-hari penting yang dirayakan bersama-sama dengan keluarga penerima manfaat program ini.
Resiliensi keluarga adalah kemampuan keluarga untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau tekanan yang berat. Menurut Walsh (1998), hal ini mengacu pada proses-proses pemecahan masalah dan penyesuaian diri keluarga sebagai satu satuan fungsional. Melalui perspektif resiliensi, keluarga yang memiliki anak autistik merupakan keluarga yang hidup dalam kondisi ―kemalangan‖ yang sangat panjang. Hal ini dikarenakan autisme merupakan sindroma yang sangat kompleks yang bisa saja dialami seumur hidup. Dimana anak-anak autistik memiliki kelemahan dalam interaksi sosial, pengelolaan emosional dan berbagai hal lain. Akibatnya tentu dapat merubah fungsi keluarga hingga cara-cara yang ditempuh keluarga untuk keluar dari situasi sulitnya.
Pada kondisi seperti inilah, keluarga perlu menyusun komponen-komponen yang memperkuat faktor pelindung sehingga keluarga yang memiliki anak autistik tersebut 48
Universitas Sumatera Utara
mampu melanjutkan hidup dalam keadaan yang resilien. Menurut Walsh (2012), komponen penguat faktor pelindung tersebut antara lain adalah keyakinan keluarga (terdiri dari memberi makna pada situasi krisis, pandangan positif, transenden dan spiritualitas), pola organisasi (terdiri dari fleksibilitas, keterhubungan, sumber daya sosial ekonomi), dan proses komunikasi (terdiri dari kejelasan, ungkapan emosi, penyelesaian masalah yang kolaboratif).
Hal yang terpenting dalam mengukur tingkat pengaruh yaitu dengan melihat ada tidaknya daya yang timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak kepercayaan dan perbuatan seseorang. Maka pada konteks ini, peneliti ingin melihat ada/tidaknya daya yang ditimbulkan oleh keberadaan program family support terhadap pembentukan resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik.
49
Universitas Sumatera Utara
Bagan Alir Pemikiran Program Family Support: 1. Bentuk dukungan konkret (materi, subsidi biaya terapi, dll) 2. Bentuk dukungan emosional (motivasi, rekreasi bersama, dll) 3. Bentuk dukungan informatif (bimbingan tentang teknis terapi mandiri, info seminar/forum diskusi seputar autisme, dll) 4. Bentuk dukungan penghargaan (peringatan hari-hari penting; hari autis sedunia, hari ulang tahun siswa/klien, dll)
Keluarga yang Memiliki Anak Autistik yang Menerima Program Family Support
Resiliensi Keluarga yang diukur melalui: 1.
K eyakinan keluarga (bagaimana keluarga memberi makna pada situasi krisis, pandangan positif, transenden dan spiritualitas)
2.
P ola organisasi (fleksibilitas, keterhubungan, sumber daya sosial ekonomi)
3.
P roses
komunikasi
(terdiri
dari
kejelasan,
ungkapan
emosi,
penyelesaian masalah yang kolaboratif)
50
Universitas Sumatera Utara
2.7
Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang menegaskan hubungan antara dua individu atau lebih dalam variabel dimana pernyataan tersebut merupakan jawaban yang bersifat sementara atas masalah penelitian.Selain itu,hipotesis adalah arahan sementara untuk menjelaskan fenomena yang diteliti (Siagian, 2011: 49). Berdasarkan acuan kerangka pemikiran dalam penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: Ha: Adanya pengaruh program Family Support terhadap resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik di Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan. H0: Tidak ada pengaruh program Family Support terhadap resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik di Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan.
2.8
Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2.8.1 Defenisi Konsep Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal lain yang sejenis.Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti
51
Universitas Sumatera Utara
serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112).
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seseorang peneliti harus menegaskan dan membatasi maknamakna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara konsep defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).
Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah: 1. Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak kepercayaan dan perbuatan seseorang. 2. Family Support (Dukungan Keluarga) adalah bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya dan berada dalam lingkungan sosial yang membuat si penerima merasa dicintai, dihargai, diperhatikan dengan baik dalam bentuk materi maupun non-materi. Dalam hal ini, family support merupakan konten dari sebuah program yang diselenggarakan oleh Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan. 3. Resiliensi adalah keterampilan untuk pulih dari masalah atau faktor-faktor dan proses pada seseorang yang mempunyai kemungkinan untuk gagal tetapi kemudian berakhir dengan hasil yang adaptif meskipun di tengah-tengah tantangan dan keadaan yang tidak menguntungkan. 4. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat, di 52
Universitas Sumatera Utara
bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan 5. Autistik adalah individu yang menyandang autisme. Autisme itu sendiri diartikan sebagai sindroma yang sangat kompleks, yang ditandai dengan ciriciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam komunikasi timbal balik, minat terbatas, dan
perilaku disertai gerakan
berulang tanpa tujuan (stereo-tipic)
2.8.2
Defenisi Operasional Defenisi operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau operasi
yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan-rujukan empiris. Bertujuan untuk memudahkan penelitian dalam melaksanakan penelitian di lapangan. Maka perlu operasionalisasi dari konsep-konsep yang menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi, 2009: 120). Perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Defenisi operasional sering disebut sebagai proses operasionalisasi konsep. Operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis menjadi dinamis. Defenisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel dapat diukur (Siagian, 2011: 141). Dalam hal ini harus ditentukan lebih dahulu variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel atau sekelompok atribut yang mempengaruhi atau memberikan akibat terhadap variabel atau sekelompok atribut yang lain.Ada kalanya variabel bebas diebut variabel pengaruh sehingga diberikan simbol ―x‖. Sedangkan variabel terikat adalah variabel yang 53
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi variabel lain.Maka variabel terikat sering juga disebut variabel terpengaruh sehingga diberikan simbol ―y‖. Adapun yang menjadi indikator dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Variabel Bebas (x) yaitu pengaruh program family support, yang diukur dengan indikator berupa realisasi program family support dalam berbagai macam bentuk dukungan, sebagai berikut: 1. Bentuk dukungan konkret (materi, subsidi biaya terapi, dll) 2. Bentuk dukungan emosional (motivasi, rekreasi bersama, dll) 3. Bentuk dukungan informatif (bimbingan tentang teknis terapi mandiri, info seminar/forum diskusi seputar autism, dll) 4. Bentuk dukungan penghargaan (peringatan hari-hari penting; hari autis sedunia, hari ulang tahun siswa/klien, dll) Variabel terikat (y) yaitu resiliensi keluarga yang memiliki anak autistik yang diukur dengan indikator berupa: 1. Keyakinan keluarga, yang ditunjukkan melalui hal-hal sebagai berikut: a) bagaimana keluarga memberi makna pada situasi krisis b) pandangan positif yang dimiliki keluarga c) transenden keluarga d) spiritualitas para anggota keluarga 2. Pola organisasi, yang ditunjukkan melalui: a) Fleksibilitas keluarga, b) Keterhubungan antar anggota keluarga c) Sumber daya sosial-ekonomi keluarga 54
Universitas Sumatera Utara
3. Proses komunikasi, yang diindikasikan oleh hal-hal berikut: a) Kejelasan dalam berkomunikasi b) Cara mengungkapkan emosi c) Penyelesaian masalah yang kolaboratif
55
Universitas Sumatera Utara