BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tipologi Ekosistem Rawa Alami Tipologi lahan rawa diklasifikasikan dengan beragam sistem. Berdasarkan ekosistem, lahan rawa dicirikan oleh dua ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan dan ekosistem yang berkaitan dengan air (aquatic). Berdasarkan hutan, yang memiliki komposisi tanah dan kondisi air, flora dan fauna yang spesifik: a) hutan rawa payau atau hutan bakau, b) hutan rawa gambut, dan c) hutan rawa non gambut/air tawar. Ekosistem yang berhubungan dengan air, yaitu a) sungai, yang membawa air tawar, b) muara, termasuk hamparan lumpur pasang surut dengan kombinasi air tawar dan asin yang menciptakan kondisi payau, dan c) sistem pesisir, (pesisir, rumput/ganggang laut) termasuk daerah pantai, dan rumput dasar laut. Kawasan rawa mempunyai 2 ekosistem lahan utama, yaitu ekosistem pasang surut dan rawa pedalaman/lebak. Berdasarkan topografi, dalam dan lama penggenangan, lahan rawa pedalaman/lebak, dibedakan kedalam 3 kategori, yaitu: 1) Lebak pematang, lahan yang terletak di sepanjang tanggul alam sungai dengan topografi relatif dan penggenangan relatif dangkal dan singkat. 2) Lebak tengahan, lahan yang terletak di antara lebak dalam dan lebak pematang. 3) Lebak dalam, lahan yang terletak di sebelah dalam, merupakan suatu cekungan, tergenang relatif dalam dan terus menerus. 2.2 Klasifikasi Habitat Lahan Basah Buatan Klasifikasi lahan basah buatan berdasarkan Sistem Klasifikasi Ramsar (Ramsar Convention on Wetlands 2004): 1. Kolam budidaya organisme air (misalnya: ikan dan udang) 2. Kolam; termasuk kolam-kolam pertanian, kolam bibit, dan tangki-tangki air berukuran kecil (umumnya di bawah 8 Ha). 3. Lahan teririgasi, termasuk saluran irigasi dan sawah. 4. Lahan pertanian yang tergenang air secara musiman; termasuk padang rumput berumput basah yang dikelola secara intensif.
5
5. Lahan eksploitasi garam, meliputi ladang penguapan dan pendulangan garam. 6. Area penampungan air; misalnya: bendungan/waduk, bending, dan tandon. 7. Lubang/kolam di area pertambangan; yaitu lubang/kolam yang terbentuk akibat kegiatan pertambangan (misalnya: pertambangan batu, kerikil, dan batu bara). 8. Area pengolahan air limbah; meliputi saluran pembuangan air limbah, kolam sedimentasi, kolam oksidasi, dsb. 9. Kanal, saluran drainase, dan parit. 10. Karts (gua kapur) dan sistem-sistem hidrologis subterranean (sistem di bawah permukaan tanah) lainnnya yang terbentuk akibat intervensi manusia. Klasifikasi habitat lahan basah buatan berdasarkan IUCN (International Union for Convention of Nature and Natural Resources) dalam Dugan 1990: 1. Budidaya perairan/perikanan a. Kolam budidaya perikanan, termasuk kolam ikan dan udang. 2. Pertanian a. Kolam, termasuk kolam pertanian, kolam pembibitan, dan bak-bak penampungan air. b. Lahan beririgasi dan saluran irigasi. c. Lahan yang tergenangi secara musiman. 3. Eksploitasi garam a. Lahan pendulangan garam 4. Urban/industri a. Penggalian, termasuk lubang galian dan tambang yang tergenangi air b. Daerah pengolahan limbah termasuk penampungan limbah, kolam pengolahan, dan kolam oksidasi limbah. 5. Daerah penampungan air a. Penampungan/reservior air untuk irigasi dan /atau untuk air minum. b. Dam-dam air dengan fluktuasi air mingguan atau bulanan secara teratur.
6
2.3 Pengaruh Genangan Terhadap Tanah Tanah akan mengabsorbsi unsur hara dalam bentuk ion yang terdapat disekitar daerah perakaran. Unsur-unsur ini harus berada dalam bentuk tersedia dan dalam konsentrasi optimum bagi pertumbuhan tanaman. Selanjutnya unsurunsur tersebut harus berada dalam bentuk keseimbangan. Penggenangan mengakibatkan berbagai perubahan perilaku berbagai penyusun tanah. Di antara perubahan tersebut yang terpenting adalah perubahan pH, Eh, ketersediaan dan kelarutan Fe, Al, dan unsur hara (Wasis 1994). a. Reaksi Tanah (pH) dan potensial Redoks (Eh) Reaksi tanah/pH tanah adalah suatu ukuran kemasaman, netralitas dan alkalinitas dari pada pH tanah atau sekarang ini sering dinamakan aktivitas ion H. Reaktivitas ini merupakan sifat kimia yang terpenting dari tanah sebagai suatu medium pertumbuhan tanaman. Ketersediaan beberapa elemen nutrisi penting untuk pertumbuhan dipengaruhi oleh pH tanah. Beberapa elemen cenderung berkurang ketersediaannya begitu pH dinaikkan, sementara sebaliknya terjadi pada elemen-elemen yang lain (Wasis 1994). Potensial redoks merupakan parameter yang menunjukan intensitas reduksi pada tanah untuk mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi. Intensitas proses reduksi tergantung pada jumlah bahan organik yang mudah terurai. Semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin besar intensitas reduksinya (Sancher 1976). Laju reduksi sangat bergantung pada suhu dan ketersedian bahan organik untuk respirasi mikroba dan kebutuhan secara kimia dari bahan-bahan oksida organik, seperti ion Fe3+, Mn4+. NO3-, SO42-, CO2 dan H+, yang akan digunakan oleh mikroorganisme anaerob. Selanjutnya ion-ion tadi akan tereduksi menjadi N2, Mn
2+
, Fe2+, H2S, CH4 dan H2 (Patrick dan Reddy 1978). Dalam Keadaan
reduktif, ketersediaan fosfat akan meningkat karena terjadi hidrolisis F2PO4 dan AlPO4. Perubahan SO42- menjadi S2- serta perubahan Fe3+ menjadi Fe2+ pada keadaan reduktif dapat membentuk FeS. Pada tanah yang kadar besi sangat rendah, dapat terbentuk H2S yang dapat meracuni tanaman. Penggenangan akan menurunkan potensial redoks yang mengakibatkan turunnya konsentrasi NO3-, S dan Zn, dan meningkatkan ketersediaan Fe dan P.
7
Nilai Eh menjadi negatif akibat penggenangan, mencirikan keadaan sistem dalam keadaan tereduksi sedangkan nilai positif mencirikan keadaan sistem yang oksidatif (Ponnamperuma 1972). b. Pengaruh penggenangan terhadap Reaksi Tanah Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan sifat kemasam dan alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam tanah. Semakin banyak H+ dalam tanah, maka semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah, selain H+ dan ion-ion lain, ditemukan pula ion hidroksida (OH+), yang jumlahnya berbanding terbalik dengan H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai nilai pH 7. Penggenangan akan meningkatkan pH pada tanah masam dan menurun drastis selama beberapa hari pertama, kemudian mencapai titik minimum dalam beberapa hari, kemudian pH meningkat secara asimtot hingga mencapai nilai pH yang stabil yaitu 6,7-7,2. Pada nilai pH ini akan terjadi perubahan keseimbangan ion-ion hidroksida, karbonat, sulfida dan silikat. Keseimbangan itu akan mengatur pengendapan dan pelarutan padatan, erapan dan jerapan ion, dan konsentrasi ion-ion seperti Al, Fe, gas H2S, CO2, serta asam-asam organik yang tidak terdisosiasi (Ponnamperuma 1972). Penggenangan menyebabkan perubahan pH tanah yang cenderung mendekati nilai stabil, yaitu sekitar 6,7-7,2 (Ponnamperuma 1972). Nilai tersebut merupakan nilai pH tanah yang mantap tetapi sifat-sifat tanah dan suhu mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut. Tanah dengan kandungan bahan organik dan besi yang tinggi akan mencapai nilai pH sekitar 6,5 dalam beberapa minggu setelah penggenangan sedangkan tanah mineral masam dengan bahan organik dan besi yang rendah akan mencapai nilai pH yang kurang 6,5 (Ponnamperuma 1972). 2.4 Pemupukan Menurut Marsono dan Sigit (2004), berdasarkan cara pemberiannya, pupuk digolongkan menjadi: 1. Pupuk akar, disebut seperti ini karena jenis pupuk ini lebih tepat sasaran bila diberikan lewat akar atau tanah.
8
2. Pupuk daun, yaitu pupuk yang dapat diberikan melalui daun dengan cara disemprotkan. Pemberian pupuk lewat akar sebenarnya relatif aman jika dibandingkan dengan pemberian lewat daun, tetapi efisiensinya relatif rendah. Sebaliknya, pemberian pupuk daun lebih efisien diserap tanaman. Namun, pemberiannya harus dilakukan dalam jumlah yang tepat karena pupuk daun yang diberikan secara berlebihan dapat menyebabkan daun seperti terbakar dan merusak tanaman. Selanjutnya Lingga dan Marsono (2001) dalam Halim (2003) menambahkan bahwa kelebihan dari pupuk daun adalah penyerapan haranya lebih baik dibandingkan dengan pupuk yang diberikan lewat akar. Selain itu, keuntungan lain dari pupuk daun adalah di dalamnya terkandung unsur hara mikro. Umumnya tanaman sering kekurangan unsur hara mikro bila hanya mengandalkan pupuk akar yang yang mayoritasnya berisi hara makro. Pemupukan melalui daun dilakukan dengan cara melarutkan pupuk dalam air dan meyemprotkan ke daun secara merata. Pupuk daun pada umumnya merupakan pupuk majemuk karena hampir mengandung seluruh kebutuhan unsur hara tanaman. Pupuk daun diberikan pada pagi hari setelah matahari terbit dan hari cerah. Jika hari mendung maka penyerapan unsur hara tidak efektif dan beresiko tercuci oleh air hujan. Pemberian pupuk daun lebih baik dibandingkan dengan pupuk akar jika dilakukan di lahan-lahan dengan kondisi ekstrim. Pada tanah-tanah yang ekstrim, fosfat akan diikat oleh Fe, Al, Mn pada tanah yang asam, Ca pada tanah-tanah yang berkapur, sehingga tidak dapat diserap oleh akar tanaman. Pada kondisi tanah yang ekstrim akar juga tidak dapat bekerja secara optimal, sehingga pemberian unsur hara melalui daun akan lebih efektif. Namun demikian, pemberian pupuk daun ini terbatas hanya sampai pohon yang mempunyai ketinggian tertentu yang masih dapat dicapai oleh pekerja dan alat semprotnya (Mansur 2010). a. Pupuk gandasil-D Menurut Soekotjo (1977), pemberian pupuk dengan jalan penyemprotan pada daun-daun, banyak dilakukan untuk semak-semak dan pohon-pohon biasa. Selanjutnya Lingga dan Marsono (2000) menambahkan bahwa pupuk daun adalah jenis pupuk yang diberikan kepada tanaman dengan jalan
9
menyemprotkannya melalui daun tanaman yang dipupuk. Pemupukan melalui daun dilaksanakan untuk menghindari larutnya unsur hara sebelum diserap oleh akar atau mengalami fiksasi tanah yang berakibat tidak dapat diserap tanaman. Beberapa unsur hara yang efektif disemprotkan melaui daun adalah N, P, K, Ca, S, dan Mg serta unsur mikro. Pupuk grandasil-D merupakan pupuk daun yang lengkap dan sempurna berbentuk kristal yang larut dalam air dengan cepat dan sempurna serta dapat digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Gandasil-D dapat dicampur dengan berbagai jenis pestisida, kecuali yang bersifat alkalin. Komposisi pupuk Gandasil-D sebagai berikut Nitrogen 20%. Fosfor 15%, Kalium bebas Chlor 15%, Magnesium 1% dan dilengkapi dengan unsur-unsur Mangan (Mn), Boron (B), Tembaga (Cu), Kobal (Co), Seng (Zn), serta vitamin-vitamin untuk pertumbuhan tanaman seperti Aneurine, Lactoflavine, dan Nicotinic acid Amid (Kalataham Corporation 2006). Zat hara dapat diberikan kepada dedaunan sebagai serbuk (dust), semprotan (sprayer) atau penyiraman melalui atas. Pemberian hara melalui semprotan dan penyiraman dari atas lebih baik karena penyebaran zat hara lebih merata. Pemberian zat hara foliar juga dapat dilakukan dari pesawat udara. Kepekatan zat hara harus kurang dari 2% agar tidak merusak daun (Rusdiana 1996). b. Contoh Aplikasi Pupuk Daun pada Tanaman Perkebunan dan Hias Tabel 1 Pengaruh pemberian pupuk daun Gandasil-D terhadap rata-rata komponen pertumbuhan vegetatif bibit kopi robusta pada Umur 24 MSP (minggu setelah semai) (Wachjar dan Prayitno 1988) Peubah (Variabel)
Tinggi tanaman (cm) Diameter batang (cm) Jumlah pasangan daun Jumlah cabang Luas daun terbesar (cm2) Panjang cabang (cm) Berat kering tajuk (g) Berat kering akar (g) Berat kering total (g) Nisbah berat kering tajuk akar
0 g/l
3 g/l
6 g/l
56,08 10,06 14,80 4,60 572,59 20,25 32,13 9,07 41,21 3,65
54,67 9,66 15,69 4,89 544,54 19,80 32,41 8,16 39,83 4,21
52,60 9,93 15,30 4,39 557,83 18,,71 31,39 8,43 39,86 3,79
10
Tabel 2 Substitusi media standar dengan air kelapa dan Gandasil-D pada kultur jaringan krisan (Chrysanthemum morifollum Ramat) ( Matula 2003) Komposisi Media
Perlakuan A
MS (%) 100
Air kelapa (%) -
Gandasil-D (g/l) -
B
50
-
-
C
50
-
1,7
D
50
-
3,4
E
50
50
-
F
50
50
1,7
G
50
50
3,4
Tabel 3 Rataan pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah tunas, pertambahan berat basah tunas, jumlah akar dan berat basaha akar tanaman krisan in vitro umur 6 minggu setelah kultur Perlakuan
PTT (cm)
JD
JT
PBBT (mg)
JA
BBA (mg)
A B C D E F G F Hit 5%
5,1 6,01 3,58 3,08 8,61 5,51 2,24 2,021
4,72 7,60 7,31 6,98 8,88 7,84 7,04 3,178
2,63 2,75 1,38 1,88 2,00 2,50 2,38 1,613
0,11 0,13 0,19 0,24 0,57 0,51 0,42 1,613
15,63 9,75 7,13 9,13 14,88 8,63 8,00 5,687
0,06 0,10 0,04 0,13 0,55 0,38 0,21 0,155
Keterangan: PTT = Pertambahan tinggi tanaman (cm), JD= Jumlah daun, JT= Jumlah tunas, PBBT= Pertambahan berat basah tunas (mg), JA= Jumlah akar, BBA= Berat basah akar (mg)
2.5 Akasia (Acasia mangium) 2.5.1 Keterangan botani Tanaman Acasia mangium memiliki nama lain yaitu Mangium mon tanum Rump, dan Acacia glaucescens. Klasifikasi botani jenis ini secara lengkap adalah: Sub kingdom
: Embryophyta
Phylum
: Tracheophyta
Subphylum
: Pteropsida
Klas
: Angiospermae
Subklas
: Dicotyledone
Family
: Leguminoseae
Subfamili
: Mimosoideae
Genus
: Acacia
Spesies
: Acacia mangium Willd
11
2.5.2 Tempat tumbuh Penyebaran Acacia mangium tumbuh secara alami di Maluku dengan jenis Melaleuca leucadendron. Selain itu terdapat pula di pantai Australia bagian Utara, Papua bagian selatan, Fak-Fak di Aguada (Babo) dan Tomage (Rokas, Kepulauan Aru, Maluku dan Seram bagian barat). Acacia Menyebar alami di Queensland utara Australia, Papua New Guinea hingga propinsi Papua dan Maluku. Jenis acacia termasuk pohon yang cepat tumbuh, pohon berumur pendek (30-50 tahun) (Suwardji 1987). Persyaratan tempat tumbuh Acacia mangium tidak memiliki persyaratan tumbuh yang tinggi, dapat tumbuh pada lahan miskin dan tidak subur. A. mangium dapat tumbuh baik pada lahan yang mengalami erosi, berbatu dan tanah alluvial serta tanah yang memiliki pH rendah (4,2). Tumbuh pada ketinggian antara 30-130 mdpl, dengan curah hujan bervariasi antara 1.000-4.500 mm setiap tahun. Seperti jenis pionir lainnya yang cepat tumbuh dan berdaun lebar, jenis A. mangium sangat membutuhkan sinar matahari, apabila mendapatkan naungan, akan tumbuh kurang sempurna dengan bentuk tinggi dan kurus (Suwardji 1987). 2.5.3 Hama dan penyakit Jenis serangga A. mangium antara lain Ropica grisepsparsa, Platypus sp, dan Xylosandrus semipacus menyerang bagian batang, Pterotama plagiopheles, menyerang daun, dan ulat pelipat daun menyerang daun (Suwardji 1987). Adanya semut (Componotus sp) dan rayap (Coptotermes sp) yang membuat sarang pada bagian dalam kayu A. mangium, mengakibatkan menurunnya kualitas kayu. A. mangium dapat diserang oleh Xystrocera sp. famili Cerambicidae yang biasa menggerek kayu Paraserianthes falcataria, selain itu sejenis ulat belum diketahui jenisnya telah menyebabkan gugurnya daun A. mangium (Suwardji 1987). 2.5.4 Pemanfaatan Penanaman di Asia terutama untuk pulp dan kertas. Pemanfaatan lain meliputi kayu bakar, kayu konstruksi, mebel, kayu tiang, pengendali erosi,
12
naungan dan perlindungan. Kayu A. mangium merupakan kayu yang mempunyai masa depan yang baik. Kayunya memiliki gubal yang sempit, berwarna terang, serat kayu lurus pada permukaan tangensial dan bersambung secara lurus pada permukaan radial. Kayu A. mangium dapat di gunakan sebagai mebel, kusen, dan moulding. Nilai panas kayu ini 4800-4900 Kcal/Kg, sehingga kayu ini baik untuk kayu bakar (National Research Council 1983). Mangium dapat digunakan sebagai bahan kayu laminasi (kayu yang terbentuk dari papan tipis yang di rekat dengan arah yang sejajar satu sama lainnya, papan partikel, papan serat, serta nonstructural lainnya (Suwardji 1987). 2.5.5 Aspek Silvikultur A. mangium Acacia mangium berbunga pada umur 2 tahun menjelang berakhirnya musim hujan kemarau (antara bulan September dan Oktober). Kadang-kadang berbunga sepanjang tahun sehingga bisa diharapkan mendapatkan benih sewaktu-waktu diperlukan. Buah yang telah masak berwarna coklat tua sampai kehitam-hitaman. Buah yang sudah masak, memiliki kulit buah yang masih tertutup, sehingga benihnya jarang jatuh (Adisubroto dan Priasukmana 1985). Acacia mangium dapat ditanam secara generatif melalui biji, atau secara vegetatif dengan pencangkokan dan stek batang. Cara vegetatif biasanya dilakukan untuk tujuan pembuatan kebun benih (seed orchad), sedangkan untuk tujuan penanaman secara besar-besaran jarang dilakukan karena sistem perakarannya kurang teguh (Davidson 1982). 2.6 Jati (Tectona grandis) 2.6.1 Keterangan Botani Menurut Mahfudz et al. (2004), nama Tectona grandis diberikan oleh Linnaeus fil. Klasifikasi jati adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Klas
: Angiospermae
Sub klas : Dicotyledoneae Ordo
: Verbenales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Jenis
: Tectona grandis Linn. f.
13
Menurut Rachmawati et al. (2002), di tiap-tiap negara tanaman ini mempunyai nama lokal yang berbeda. Di Indonesia nama lokalnya Jati, Sagun (India), Mia sak ( Tahiland), Teak (Inggris), Teck (Perancis), Teca (Spanyol), Java Teak (Jerman). Pohon jati berukuran besar, setiap musim kemarau menggugurkan daunnya bila kekurangan air. Tetapi pada daerah yang masih memiliki air pada musim kemarau, jati tetap berdaun dan tidak meranggaskan daunnya. Dahan jati umumnya bengkok dan memiliki banyak tangkai dengan ranting berbentuk penampang segi empat dan berbulu halus (Mahfudz et al. 2004). Selanjutnya Sumarna (2002) mengemukakan bahwa pada kondisi baik tinggi pohon jati mencapai 30-40 m. Tahapan pertumbuhan anakan jati ditunjukkan oleh warna akar primer yang putih-kuning, akar sekunder tumbuh relatif sedikit. Kemudian, dilanjutkan dengan tumbuhnya tunas/daun berwarna hijau muda dengan ukuran antara 7,5-15,5 cm (panjang). Setelah menghasilkan daun 6-9 helai, anakan akan tumbuh memanjang hingga mencapai 1,5-3.5 cm. Menurut Departemen Kehutanan (1991), batang umumnya bulat dan lurus, batang yang besar berakar, warna kulit agak kelabu muda, agak tipis, beralur memanjang agak dalam. Tajuk yang beraturan, berbentuk kubah, agak lebar dan termasuk jenis yang suka menggugurkan daun pada musim kering serta memiliki sistem perakaran tunggal. Pada saat muda, akar tunggal cepat ke dalam tanah dengan akar lateral yang banyak. Mahfudz et al. (2004) menambahkan, susunan akar jati pada waktu muda berupa akar tunggang yang cepat tumbuhnya, akar tunggang kemudian mengalami percabangan sehingga akar pokok tidak nyata. Kulit jati berwarna coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah mengikuti alur memanjang batang. Tebal kulit kayu berbeda-beda antara bagian bawah batang dengan pucuknya, tekstur kayu agak kasar dan tidak merata, permukaan kayu licin atau agak licin, lingkaran tahun tampak jelas pada bidang transversal maupun radial, sehingga menimbulkan corak indah. Secara morfologis buah jati berkeping 2 dengan kotiledon berukuran panjang 3-6 mm, epikotil akan tumbuh menghasilkan organ batang dan pada ujung batang akan menghasilkan daun muda dengan bentuk membulat dan
14
berwarna hijau kemerahan. Buah yang jatuh akan menghasilkan sistem regenerasi alami (Sumarna 2002). 2.6.2 Tempat Tumbuh Daerah penyebaran Menurut Departemen Kehutanan (1991), penyebaran jati terdapat di seluruh Jawa, selain itu terdapat pula di Sulaweasi Selatan, Muna, Buton dan Sumbawa. Jati terdapat pula di India, Burma, Thailand danVietnam. Tanaman jati tersebar di garis lintang 9° LS - 25° LU, mulai benua Asia, Afrika, Amerika, dan Australia, bahkan sampai Selandia Baru. Di Asia tanaman jati secara alami tersebar di negara-negara Asia Tenggara, Taiwan, India, dan Srilangka. Di Australia dan Pasifik ditemukan di Queensland, Kepulauan Fiji, Kepulauan Ryuku, Kepulauan Solomon, serta Selandia Baru. Di Afrika tanaman jati terdapat di Sudan, Kenya, Tanzania, Uganda, Ghana, Senegal, Nigeria dan beberapa Negara di Afrika Barat. Sementara di Amerika tanaman jati terdapat di Jamaika, Panama, Argentina, Puerto Riko, kepulauan Tobago dan Suriname. Jati tersebut tumbuh sebagai tanaman khusus dan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda (Tini dan Amri 2002). Persyaratan Tempat Tumbuh Jati tumbuh baik pada tanah sarang, terutama pada tanah yang banyak mengandung kapur. Jenis ini tumbuh pada daerah dengan musim kering yang nyata (3-5 bulan), tipe iklim Schmidt dan Ferguson beriklim C-F, rata-rata curah hujan 1200-2500 mm per tahun, dengan ketinggian 0-700 mdpl (Departemen Kehutanan 1991). Selanjutnya Rachmawati et al. (2002) menambahkan, jati tumbuh pada daerah yang memiliki suhu rata-rata harian 22°-27°C dan dapat tumbuh pada suhu ekstrim 15°-30°C. Di daerah Jawa, pada umumnya jati tumbuh pada lahan dengan topografi datar sampai berbukit, tanahnya bersifat kurus, kering, banyak mengandung kapur. Jati dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 mdpl. Tumbuh pada tanah berlapisan dalam, subur, berdrainase baik dan netral. Toleran terhadap tanah padat. Jenis ini tahan terhadap api (moderat) dan angin. Sesuai sifat fisiologis untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan keasamaan tanah (pH) optimum sekitar sekitar 6,0. Namun, ada
15
kasus pada beberapa kawasan pertanaman jati dengan tingkat pH rendah (4-5), dijumpai tanaman jati dengan pertumbuhan yang baik. Karena tanaman jati sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah maka pada lahan yang berporositas dan memiliki drainase baik akan menghasilkan pertumbuhan baik pula karena akar akan mudah menyerap unsur hara (Sumarna 2011). Sifat fisik kayu ditentukan oleh bentuk anatomi maupun susunan kimia dari kayunya, misalnya berat jenis atau kepadatan, kekerasan, daya lenting/pir, kelenturan dan kestabilan. Panas yang luar biasa, dapat membentuk kayu yang lebih tebal. Oleh karena itu, di daerah beriklim panas akan didapati lebih banyak jenis pohon berkayu sangat padat daripada pohon yang ada di daerah dingin, sebab pada waktu sore hari, sinar matahari memaksa jaringan kayu menjadi lebih bersatu (Corsdes 1992). 2.6.3 Hama dan Penyakit Hama yang sering menyerang tanaman jati yaitu ulat jati (Hyblaea puera atau Pyrausta machaeralis). Jenis ini memakan daun hingga yang tersisa hanya tulang daunnya baik pada saat muda maupun dewasa. Selain itu tegakan jati yang masih muda (umur 1-3 tahun) sering diserang oleh penggerek cabang merah yang disebut Zeuzera coffeae (Husaeni 2004). Serangan hama dan penyakit yang sering dijumpai adalah penggerek batang dan penggerek daun. Hama yang sering menggerek batang jati adalah
jenis
Neoctermes tectonae, Hyblaea puera, Cassus cadanbae, endoclita chalybeate, Idarbela quadranotata, Asphondylia tectonae dan Anoplocnemis taistator (Sumarna 2003 dalam Mahfudz et al. 2004). 2.6.4 Pemanfaatan Menurut Tini dan Amri (2002), penggunaan kayu jati lebih banyak diarahkan untuk pembuatan mebel dan bahan baku pembuatan kerajinan. Sebagian digunakan untuk keperluan bahan bangunan dan industri. Hal ini terkait dengan arah serat kayu yang tergolong lurus, sehingga mudah dikerjakan serta dekoratif warna kayu yang bagus. Kayu jati termasuk kelas awet I dan II, agak keras, baik sekali untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, jembatan, rel kereta api dan alat-alat rumah tangga dan sebagainya (Departemen Kehutanan 1991).
16
Tanaman jati tergolong pula sebagai tanaman berkhasiat obat. Bunga jati dapat digunakan sebagai obat bronchitis, biliousness, dan obat untuk melancarkan serta membersihkan kencing manis. Bagian buah atau benihnya dapat digunakan sebagai bahan obat diuretic. Ekstrak daunnya dapat digunakan sebagai bahan pewarna kain. Limbah produksinya berupa cabang dan serbuk gergaji, dapat diproses menjadi briket arang yang memiliki kalori tinggi (Sumarna 2002). 2.7 Kayu Putih (Melaleuca leucadendra) 2.7.1 Keterangan Botani Kayu putih merupakan pohon anggota suku jambu-jambuan (Myrtaceae) dengan klasifikasi lengkap sebagai berikut : Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Melaleuca
Spesies
: Melaleuca leucadendron
Nama pohon kayu putih disetiap daerah yaitu, Gelam (Sunda, Jawa), ghelam (Madura), inggolom (Batak); Gelam, kayu gelang, kayu putih (Melayu), bru galang; Waru gelang (Sulawesi); nggielak, ngelak (Roti), lren, sakelan (Piru), irano (Amahai), ai kelane (Hila), irono (Haruku), ilano (Nusa Laut Saparuna), elan (Buru); Bai qian ceng (China) dan elan (Buru). Pohon kayu putih tingginya mencapai 10-20 m, kulit batangnya berlapislapis, berwarna putih keabu-abuan dengan permukaan kulit yang terkelupas tidak beraturan. Batang pohonnya tidak terlalu besar, dengan percabangan yang menggantung kebawah. Daun tunggal, agak tebal seperti kulit, bertangkai pendek, letak berseling. Helaian daun berbentuk jorong atau lanset, panjang 4,5-15 cm, lebar 0,75-4 cm, ujung dan pangkalnya runcing, tepi rata, tulang daun hampir sejajar. Permukaan daun berambut, warna hijau kelabu sampai hijau kecoklatan, Apabila daun remas atau dimemarkan akan mengeluarkan bau minyak kayu putih. Perbungaan majemuk, berbentuk bulir, bunganya seperti lonceng, daun mahkota warna putih, kepala putik berwarna putih kekuningan, ke luar di ujung
17
percabangan. Buah panjang 2,5-3 mm, lebar 3-4 mm, warnanya coklat muda sampai coklat tua. Bijinya halus, sangat ringan seperti sekam, berwarna kuning. Buahnya sebagai obat tradisional disebut merica bolong. Pohon kayu putih memiliki beberapa varietas. Ada yang kayunya berwarna merah dan ada yang kayunya berwarna putih. Rumphius membedakan kayu putih dalam varietas daun besar (gelam) dan varietas daun kecil. Varietas yang berdaun kecil, yang digunakan untuk membuat minyak kayu putih, gelam memiliki kandungan cineol yang rendah (Trubus 2009). Daunnya, melalui proses penyulingan, akan menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih, yang warnanya kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan (Sunanto 2003) 2.7.2 Tempat Tumbuh Penyebaran Tumbuhan ini terutama tumbuh baik di Indonesia bagian timur dan Australia bagian utara, namun demikian dapat pula diusahakan di daerah-daerah lain yang memiliki musim kemarau yang jelas. Kayu putih tersebar secara alami di kepulauan Maluku dan Australia bagian utara. Jenis ini telah berkembang luas di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Maluku dengan memanfaatkan daunnya untuk disuling secara tradisional oleh masyarakat maupun secara komersial menjadi minyak atsiri yang bernilai ekonomi tinggi (Lutony 1994). Persyaratan Tempat Tumbuh Kayu putih dapat tumbuh di tanah tandus, tahan panas dan dapat bertunas kembali setelah terjadi kebakaran. Tanaman ini dapat ditemukan dari dataran rendah sampai 400 mdpl, dapat tumbuh di dekat pantai di belakang hutan bakau, di tanah berawa atau membentuk hutan kecil di tanah kering sampai basah. Perbanyakan dengan biji atau tunas akar. Jenis tanaman ini mempunyai daur biologis yang panjang, cepat tumbuh, dapat tumbuh baik pada tanah yang berdrainase baik maupun jelek dengan kadar garam tinggi maupun asam dan toleran ditempat terbuka serta tahan terhadap kebakaran (Sunanto 2003). 2.7.3 Pemanfaatan Kayu putih (Melaleuca leucadendra syn. M. leucadendron) merupakan pohon anggota Myrtaceae yang dimanfaatkan sebagai sumber minyak kayu putih
18
(cajuputi oil). Minyak diekstrak (biasanya disuling dengan uap) terutama dari daun dan rantingnya. Namanya diambil dari warna batangnya yang memang putih. Sebagai tumbuhan industri, kayu putih dapat diusahakan dalam bentuk hutan usaha (agroforestri). Perhutani memiliki beberapa hutan kayu putih yang ditanam untuk memproduksi minyak kayu putih. Minyak kayu putih yang diambil dari penyulingan biasa dipakai sebagai minyak balur atau campuran minyak pengobatan lain (seperti minyak telon) atau campuran parfum serta produk rumah tangga lain (Sunanto 2003). 2.7.4 Aspek Silvikultur Daun kayu putih yang akan disuling minyaknya mulai bisa dipangkas setelah berumur lima tahun. Seterusnya dapat dilakukan pemangkasan setiap enam bulan sekali sampai tanaman berusia 30 tahun. Di beberapa daerah yang subur tanaman kayu putih telah diambil daunnya pada usia 2 tahun. Setiap pohon kayu putih yang telah berumur lima tahun atau lebih, dapat menghasilkan sekitar 50-100 kg daun berikut rantingnya (Lutony 1994). 2.8 Longkida (Nauclea orientalis) 2.8.1 Keterangan Botani Klasifikasi lengkap pohon longkida adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Nauclea
Spesies
: Nauclea orientalis L
2.8.2 Persyaratan Tempat Tumbuh Longkida merupakan pohon yang tumbuh tinggi, ketinggian maksimum sekitar 30 m (98 kaki) dengan diameter 1 m (3,3 kaki). Jenis ini menggugurkan
19
daun selama musim kemarau. Permukaan kulit batang berwarna abu-abu, halus, pecah-pecah dan bersisik. Buahnya berwarna cokelat kemerahan. Permukaan bagian atas berwarna hijau mengkilat, sisi bawah berwarna kekuning-kuningan. Seperti sebagian besar anggota keluarga Rubiaceae, Nauclea orientalis, memiliki interpetiolar stipules tegak dengan ukuran yang panjang, sekitar 1-3,5 cm. 2.8.3 Penyebaran Pohon ini biasanya tumbuh di dekat badan air, pada tanah aluvial. Pada daerah yang sering terjadi banjir jenis ini dapat tumbuh dengan baik. Longkida merupakan jenis pohon pionir, tumbuh pada hutan yang mengalami suksesi ekologi. Di Australia longkida tumbuh bersama dengan Myrtles madu di rawarawa, pohon ini biasanya ditemukan tumbuh di hutan-hutan sekunder, tumbuh pada ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut. Penyebarannya meluas dari Australia utara tropis dan New Guinea ke Asia Tenggara; dari Filipina ke Myanmar dan Thailand (wilayah biogeografi Malesia). 2.8.4 Kegunaan Pohon longkida dibudidayakan karena kayunya dapat digunakan untuk membuat pajangan, interior bangunan seperti kusen dan lantai. Kayunya mudah untuk dipotong (cheesewood) tetapi tidak tahan terhadap paparan cuaca yang lama. Kayu ini juga dapat digunakan sebagai bahan ukiran kayu, produksi kertas, pembangunan rumah, dan untuk membuat kano. Buah longkida dimakan oleh penduduk asli Australia, rubah terbang, dan burung, meskipun sangat pahit. Di Malaysia, buah longkida dimanfaatkan sebagai sumber makanan bekantan (Nasalis larvatus), bersama dengan anggota lain dari Rubiaceae.