4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Burung Burung merupakan salah satu kelompok terbesar dari hewan bertulang
belakang (vertebrata) yang jumlahnya diperkirakan ada 8.600 jenis dan tersebar di seluruh dunia. Bentuk tubuh burung telah terbukti menjadi salah satu hal yang berhasil mempengaruhi penyebarannya di seluruh muka bumi. Mereka menempati setiap tipe habitat dari khatulistiwa sampai daerah kutub. Burung-burung tersebut dapat dibedakan menjadi burung hutan, burung padang terbuka, burung gunung, burung air, dan adapula burung-burung yang menjelajahi samudera terbuka serta ada juga burung yang hidup dalam gua dan dapat menemukan arah dalam kegelapan (MacKinnon 1990). 2.1.1
Burung Air Burung air adalah burung yang hidup dan tinggal di daerah perairan seperti
daerah pinggir sungai, laut, rawa, hutan bakau, hutan payau estuaria danau, sawah, bendungan dan pantai. Konvensi Ramsar 1971 mendefinisikan burung air sebagai jenis burung yang secara ekologis kehidupannya bergantung kepada keberadaan lahan basah. Oleh karena itu kehidupan burung air sangat tergantung pada air, baik untuk mencari makan, berlindung, istirahat, berbiak dan untuk melakukan aktivitas sosial lain (Nirarita et al. 1996). Burung air merupakan satwaliar yang umum dan sering dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia. Kuntul, Cangak, dan Bangau adalah beberapa jenis burung air yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia terutama di wilayah pesisir. Beberapa burung air telah dimanfaatkan sebagai sumber gizi bagi masyarakat, beberapa lagi dikenal sebagai hama yang sering mengganggu di tambak dan persawahan. 2.1.2
Kategori Burung Air
Menurut MacKinnon (1990) burung air dibagi kedalam empat kategori ekologi yaitu: 1. Burung-burung laut, bersifat pelagik (hidup di laut bebas) dan bersifat aerial (lebih banyak beraktivitas dengan terbang) yang makan dan hidup di laut. Adapun yang termasuk dalam burung-burung jenis ini adalah
5 Penggunting laut suku Procellariidae, Petrel badai suku Hydrobatidae, Burung buntut suku Phaetontidae, Gangsa batu Slidae, Dara laut suku Sternidae, Cikalang suku Fregatidae, dan Camar kejar suku Stercorariidae. 2. Burung-burung berenang di air tawar, yaitu burung pelagik yang umum dijumpai berenang di perairan tawar. Burung-burung ini biasanya adalah dari jenis perenang dan lebih mirip bebek kecuali Pecuk ular dari suku Phalacrocoracidae. Burung yang masuk dalam kategori ini antara lain Titihan suku Podicipedidae, Belibis itik suku Anatidae, Kaki sirip suku Heliornithidae dan Pecuk suku Phalacrocoracidae. 3. Burung air berkaki panjang, burung ini berukuran besar, umumnya makan di dalam air tetapi dengan cara berdiri di dasar perairan dangkal ataupun tepi sungai. Meskipun burung ini banyak menghabiskan waktu diperairan mereka merupakan burung penerbang yang kuat dan bukan perenang. Jenis ini antara lain Cangak suku Ardeidae, Bangau suku Ciconidae, dan Ibis suku Thereskiornithidae. 4. Perancah dan pemakan organisme tanah, burung ini hidup di tepi perairan dengan paruh panjang untuk memeriksa ke dalam lumpur dan pasir untuk mendapatkan makanan yang terpendam di dalamnya. Burung-burung jenis ini adalah Kaki lebar suku Phalacopidae, Trulek suku Charadriidae, Wiliwili suku Burhinidae, Blekek kembang suku Rostratulidae, dan Terik suku Glareolidae. Sesuai dengan keadaan ekologisnya secara umum dan daerah keadaan fisiografi daerah sebaran burung dapat dijelaskan sebagai berikut (Dirjen PHKA, 1980 dalam Prakoso 2003): a. Pada daerah pantai yang merupakan empang, rawa, dan hutan bakau biasanya tempat persinggahan atau tempat hidup burung pemakan ikan, misalnya Belibis (Dendrocygna sp.), Kuntul (Egretta sp.). b. Pada daerah agak kedalam biasanya dijumpai kolam ikan. Oleh karena itu daerah ini merupakan sebaran burung pemakan ikan dan biji, misalnya Bluwok (Mycteria cinerea), Mandar (Porphyrio sp.), Trinil (Tringa hypoleycos), Perenjak (Prinia sp.).
6 c. Pada daerah yang banyak ditanam pohon buah-buahan merupakan daerah burung pemakan buah, misalnya Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Jalak suren (Sturus contra), Murai (Copsychus saularis). 2.1.3
Pola penyebaran Burung Individu dalam populasi dapat menyebar dengan tiga macam pola
penyebaran (Odum 1971): a) Acak (random), terjadi karena lingkungan sangat seragam dan tidak ada kecenderungan untuk berkelompok. b) Teratur (uniform), terjadi karena kompetisi antar individu yang ketat, sehingga burung memiliki kecenderungan untuk mempertahankan jarak yang sama dengan individu saingannya. c) Berkelompok (clumped), individu ditemukan dalam kelompok, akan tetapi secara keseluruhan pengelompokan ini menyebar secara acak. 2.2.
Habitat
2.2.1
Habitat Perairan Burung sebagai salah satu komponen dalam ekosistem memerlukan tempat
atau ruang untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan tempat untuk berkembangbiak, tempat yang menyediakan kebutuhan tersebut membentuk suatu kesatuan yang disebut habitat (Alikodra 1990). Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun biotik yang merupaka satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiak satwaliar (Alikodra 1990). Faktor yang menentukan keberadaan burung antara lain adalah ketersediaan makanan, serta tempat untuk istirahat, kawin, main, bersarang bertengger dan berlindung. Kemampuan suatu wilayah dalam
menampung
burung ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyak tipe ekosistem dan bentuk habitat. Burung umumnya akan bertahan hidup di suatu tempat apabila terpenuhi suatu tuntutan hidupnya antara lain habitat yang mendukung dan aman dari gangguan (Hernowo 1985). Kelengkapan komponen habitat mempengaruhi banyaknya jenis burung di suatu habitat (Mulyani 1985). Lahan basah (wetland) adalah habitat perairan yang berupa daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan tetap atau sementara; dengan air yang
7 tergenang atau mengalir; tawar, payau, asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut (Konvensi Ramsar 1971 dalam KNPELB 2004). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa cakupan lahan basah di wilayah pesisir meliputi terumbu karang, padang lamun, dataran lumpur dan dataran pasir, mangrove, wilayah pasang surut, maupun estuari (muara), sedangkan di daratan cakupan lahan basah meliputi rawa-rawa baik air tawar maupun gambut, danau, sungai, dan lahan basah buatan seperti kolam, tambak, sawah, embung, dan waduk (KNPELB 2004). Untuk tujuan pengelolaan lahan basah dibawah kerjasama Internasional, Konvensi Ramsar mengeluarkan sistem pengelompokan tipe-tipe lahan basah menjadi tiga tipe utama yaitu: lahan basah pesisir dan lautan, terdiri dari 11 tipe antara lain terumbu karang dan estuari; lahan basah daratan, terdiri dari 20 tipe antara lain sungai dan danau; serta lahan basah buatan, terdiri dari sembilan tipe antara lain tambak dan kolam pengolahan limbah. 2.2.2
Perairan sebagai Habitat Burung Habitat perairan, dalam hal ini lahan basah, memiliki beberapa manfaat
dan nilai utama misalnya untuk kegiatan penelitian dan pendidikan karena banyak lahan basah yang menyimpan misteri ilmu pengetahuan sehingga menarik untuk dikaji dan digunakan sebagai lokasi penelitian, termasuk kegiatan pendidikan. Selain itu lahan basah dapat digunakan juga untuk kegiatan rekreasi terutama yang memiliki nilai estetika, dapat menjadi lokasi yang menarik untuk rekreasi. Beberapa lokasi yang cocok dimanfaatkan sebagai tempat untuk penelitian, pendidikan dan rekreasi diantaranya danau, pantai, muara dan terumbu karang. a.
Danau Danau adalah badan air alami berukuran besar yang dikelilingi oleh
daratan dan tidak berhubungan dengan laut, kecuali melalui sungai. Danau bisa berupa cekungan yang terjadi karena peristiwa alam yang kemudian menampung dan menyimpan air yang berasal dari hujan, mata air, rembesan, dan atau air sungai (KNPELB 2004). Beberapa jenis burung yang dapat ditemukan pada habitat ini biasanya berukuran besar, umumnya makan di dalam air tetapi dengan cara berdiri di dasar perairan dangkal ataupun tepi sungai. Meskipun burung ini banyak menghabiskan
8 waktu di perairan mereka merupakan burung penerbang yang kuat dan bukan perenang. Jenis ini antara lain Cangak (Ardea sp.) suku Ardeidae, Bangau (Mycteria
sp.)
suku
Ciconidae,
dan
Ibis
(Dendrocygna
sp.)
suku
Thereskiornithidae (MacKinnon 1990). b.
Pantai Wilayah pantai atau pesisir merupakan pertemuan antara dua ekosistem
yaitu laut dan darat. Wilayah ini secara ekologi tidak dapat berdiri sendiri, karena tergantung pada keseimbangan antara berbagai elemen alam, seperti angin dan air, batu dan pasir, flora dan fauna yang berinteraksi membentuk ekosistem pesisir yang unik. Pada habitat ini biasanya terlihat dataran lumpur dan dataran pasir yaitu dataran tidak bervegetasi yang terbentuk di daerah pantai yang landai, terutama di dekat muara sungai dan terumbu karang. Kawasan yang kelihatannya tandus ini sebetulnya sangat subur karena menerima banyak suplai nutrien dan biasanya dihuni oleh berbagai jenis organisme bentik. Ketika air surut kawasan ini menjadi tempat makan burung air, sebaliknya saat pasang menggenangi kawasan ini, berbagai jenis ikan pesisir mendatanginya untuk mencari makan (KNPELB 2004). Menurut MacKinnon et. al (1998) jenis-jenis burung yang dapat dijumpai pada habitat ini pada umumnya adalah dari Cerek (Charadrius sp.) suku Charadriidae, Trinil (Tringa sp.) dari suku Scolopacidae, dan Wili-wili besar (Burhinus giganteus) dari suku Burhanidae. c.
Muara Muara adalah ekosistem tempat pertemuan air tawar dan air laut yang
masih dipengaruhi oleh pasang surut. Muara sangat produktif karena kaya akan nutrien dari sungai dan laut. Muara juga merupakan tempat memijah dan makan bagi berbagai jenis ikan dan udang, yang biasanya merupakan kawasan hutan bakau (mangrove) yang berkembang dengan baik secara alamiah (KNPELB 2004). Sebagian besar daerah pesisir Indonesia dipengaruhi oleh keberadaan muara. Daerah yang mempunyai kawasan muara yang luas antara lain wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Papua. Kawasan muara bisa juga berupa delta yaitu daratan yang terbentuk akibat sedimentasi yang terbawa dari daratan
9 melalui sungai. Delta-delta yang besar biasanya berupa hutan bakau atau rawa air payau yang subur karena kandungan sedimen yang kaya hara berasal dari daratan. d.
Terumbu karang Terumbu karang merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan
laut dangkal, jernih, hangat, dan memiliki kadar kalsium karbonat tinggi. Komunitas terumbu karang didominasi berbagai jenis hewan karang keras dan berbagai biota yang berasosiasi dengannya. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem
paling
membandingkannya
produktif dengan
di
dunia.
produktivitas
Banyak hutan
hujan
kalangan tropis.
bahkan Rata-rata
produktivitas primer terumbu karang dunia adalah 2.500 gC/m2 per tahun. Terumbu karang merupakan sumber devisa negara dari sektor perikanan dan pariwisata laut (KNPELB 2004). Menurut MacKinnon et al. (1998) beberapa jenis burung yang dapat ditemui pada habitat ini adalah Kuntul (Egretta sp) dari suku Ardeidae, Cangak (Ardea sp.) suku Ardeidae, Bangau (Mycteria sp.) suku Ciconidae, dan Rajaudang (Halcyon sp.), umumnya burung-burung yang dijumpai di kawasan ini berupa burung pemakan ikan dan memiliki kaki yang panjang. 2.3
Keanekaragaman Jenis Burung Menurut WALHI (1995) keanekaragaman hayati adalah keseluruhan
genus, spesies, dan ekosistem di dalam suatu wilayah. Kekayaan hayati di bumi saat ini merupakan produk beratus-ratus juta tahun sejarah evolusi. Dalam perjalanan waktu, peradaban manusia muncul dan mengadaptasi lingkungan lokal dengan menemukan, memakai, dan mengubah sumberdaya hayati lokal. Keanekaragaman hayati dapat dibagi ke dalam tiga kategori tingkatan: genus, spesies, dan ekosistem. Ketiga kategori tersebut menggambarkan aspek yang cukup berbeda dalam sistem kehidupan dan para cendekiawan mengukurnya dengan cara yang berbeda pula. Keanekaragaman hayati merupakan semua kehidupan di atas bumi, baik itu tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme, serta berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup. Keanekaragaman hayati disebut juga “biodiversitas”, keanekaragaman atau
10 keberagaman dari makhluk hidup, dapat terjadi karena adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur, penampilan dan sifat-sifat lainnya. Sedangkan keanekaragaman dari makhluk hidup dapat terlihat dengan adanya persamaan ciri antara makhluk hidup (WWF 1989 dalam Primack et al. 1998). Selain itu Begon et al. (1990) menyatakan bahwa belum ada pengertian yang pasti mengenai istilah ”biodiversity” terutama sebelum adanya laporanlaporan ilmiah karena kebanyakan orang mendefinisikan hal yang serupa dengan definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya. Namun Begon et al (1990) menyebutkan bahwa salah satu parameter yang diukur untuk mengetahui keanekaragaman jenis adalah mengetahui kekayaan dan kesamaan jenis individu-individu yang ada dalam komunitas tersebut. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bisa jadi ”diversity” memiliki lebih dari satu arti. Bahkan Hulbert (1971) dalam Magurran (1983) menyatakan bahwa keanekaragaman ini merupakan sesuatu yang ”non konsep”. Keanekaragaman sulit untuk didefinisikan, karena keanekaragaman itu tidak hanya memiliki satu komponen tetapi dua komponen yaitu keanekaragaman jenis dan kelimpahan relatif. Menurut Temple (1991) dalam Primack et al. (1998), keanekaragaman hayati dibedakan atas tiga level yaitu keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dan ekosistem. Keanekaragaman hayati memiliki beragam nilai atau arti bagi kehidupan, diantaranya bermakna sebagai modal untuk menghasilkan produk dan jasa saja (aspek ekonomi), selain itu keanekargaman hayati juga mencakup aspek sosial, lingkungan. Pada tingkat yang paling sederhana, keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan pada suatu komunitas, suatu ukuran yang disebut kekayaan spesies (Primack et al. 1998). 2.4
Wisata Birdwatching Kegiatan wisata pengamatan burung (birdwatching) sebagai salah satu
kegiatan ekowisata adalah perjalanan ke alam bebas dengan penekanan pada apresiasi manusia pada keindahan burung yang hidup bebas di habitatnya, baik akan kemerdekaan suara, keindahan bentuk dan warna tubuh, maupun keunikan tingkah lakunya. Kegiatan ini sangat populer di negara maju tetapi kurang populer di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mempopulerkan
11 kegiatan wisata pengamatan burung sebagai bagian dari kepedulian terhadap konservasi alam khususnya burung (Wisnubudi 2007) MacKinnon (1990) menyatakan salah satu yang mendukung suatu kawasan menarik dikunjungi yaitu jika kawasan itu memiliki atraksi yang menonjol misalnya satwaliar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu. Kegiatan birdwatching sebagai rekreasi masih merupakan hal baru di Indonesia. Bagi orang-orang tertentu yang menyukai alam (naturalis), mengamati burung dapat merupakan keasyikan tersendiri. Menikmati keindahan warna, keunikan bentuk, tingkah laku serta mendengarkan kicauan burung-burung dapat mengurangi rasa stress yang mungkin terjadi akibat kesibukan-kesibukan seharihari. Bagi orang-orang yang berjiwa seni, mengamati burung dapat memberikan inspirasi sehingga dapat meningkatkan kreativitas atau daya cipta mereka (Mulyani dan Mardiastuti 1993). Selain itu Mulyani dan Pakpahan (1993), menyebutkan pula bahwa ada beberapa karakteristik dari birdwatching untuk dikembangkan sebagai salah satu bentuk ekoturisme adalah: 1.
Relatif murah (hanya memerlukan teropong dan buku panduan lapang atau field guide)
2.
Dapat dilakukan dimana saja (pada berbagai tipe habitat)
3.
Meningkatkan wawasan akan lingkungan, yang selanjutnya diharapkan dapat membangun dan meningkatkan semangat konservasi.
4.
Dapat dilakukan oleh siapa saja (tua-muda laki-laki dan perempuan, segala tingkat pendidikan), dengan demikian aktivitas ini memiliki sasaran konsumen yang luas Walaupun pada awalnya wisata birdwatching belum populer dan
berkembang di Indonesia, minat generasi muda terutama pelajar dan mahasiswa cukup besar untuk mengamati burung. Selain itu, potensi pasar dari wisatawan mancanegara cukup besar karena di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Inggris, wisata birdwatching cukup banyak diminati berbagai kalangan dan menghasilkan keuntungan finansial yang besar bagi dunia usaha pariwisata. Wisata birdwatching merupakan kegiatan non konsumtif yang ramah lingkungan (Idris 2002).
12 Saat ini minat masyarakat terhadap kegiatan birdwatching semakin meningkat, bukan hanya para birdwatcher tetapi juga masyarakat umum, mahasiswa, pelajar, dan komunitas tertentu yang hanya sekedar menyalurkan hobi atau mengisi waktu luang. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya kawasan wisata atau kawasan tertentu di dalam hutan yang menyediakan jasa wisata minat khusus birdwatching, selain itu semakin maraknya kegiatan-kegiatan atau eventevent yang mengambil tema burung misalnya Bird of Parahyangan, Bird Race Surabaya, dan lain-lain. Kegiatan ini berupa perlombaan mengamati burung untuk mengidentifikasi jenis dan menduga populasinya. Adapula kegiatan yang dilakukan oleh para pencinta burung yang melakukan pengamatan di tempattempat tertentu pada saat musim migrasi, misalnya saja di puncak ataupun di pantai. Apabila dikelola dengan baik dan semua pihak dapat bekerjasama secara profesional, maka kegiatan wisata birdwatching ini dapat menjadi sesuatu yang sangat potensial untuk dikembangkan dan dapat memberikan keuntungan secara finansial. Selain itu kegiatan ini dapat membantu upaya konservasi karena dengan kegiatan birdwatching, pengelola akan berusaha melaksanakan pengelolaan habitat burung-burung tersebut sehingga kelestariannya dapat terjaga. Beberapa hal yang harus dipersiapkan sebelum melakukan kegiatan birdwatching (Cahyana 2007) adalah: 1.
menentukan lokasi yang akan dijadikan tempat pengamatan,
2.
menentukan waktu pelaksanaan pengamatan burung, dan
3.
mempersiapkan peralatan Sementara itu Darjono (2007) menambahkan bahwa dalam pengamatan
burung ada kemudahan diantaranya apabila melihat jenis-jenis yang mudah dijumpai karena suatu jenis sudah terbiasa dengan keadaan manusia ataupun karena memiliki ukuran yang besar sehingga mudah untuk diamati seperti burungburung air baik yang hidup di pantai maupun yang ada di sekitar perairan tawar seperti danau dan sungai.