BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Perencanaan menurut Abe (2001, 43) tidak lain dari susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan, proses perencanaan merupakan sebuah proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan. Sehingga setiap aktivitas yang ada di dalamnya merupakan usaha yang dilakukan memiliki titik fokus untuk mencapai satu kondisi keseimbangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation. Sistem perencanaan nasional dirancang untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan mengikat semua tingkatan pemerintahan. Namun, masing-masing rencana memiliki cakupan dana berbeda-beda.
Dilihat dari tingkatan pemerintahan, sistem perencanaan
pembangunan nasional memuat : (1) Perencanaan Pusat; dan (2) Perencanaan Daerah. Di dalam era otonomi, campur tangan pemerintah pusat semakin berkurang dan daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing, maka sistem perencanaan pembangunan daerah yang semula lebih bersifat sektoral berubah menjadi lebih bersifat regional.
Perencanaan pembangunan daerah
sekarang lebih banyak memperhatikan potensi dan karakteristik khusus daerah. Sedangkan perencanaan nasional lebih banyak bersifat makro dan hanya akan memberikan arah dan sasaran umum agar pembangunan daerah dapat dikoordinasikan dengan baik dan efisien. Disamping itu, perencanaan makro hanya ditekankan pada masalah-masalah utama pembangunan yang bersifat nasional. UU no. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional disusun pemerintah untuk memperbaiki berbagai kelemahan perencanaan pembangunan yang dirasakan dimasa lalu. Sasaran perbaikan yang diharapkan antara lain adalah mewujudkan keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran serta untuk lebih mengoptimalkan
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
pemanfaatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan melalui acara Musrenbang. Berikut adalah diagram perencanaan pembangunan.
Gambar 2.1 Alur Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Sumber: UU No. 25 tahun 2004 dan UU No. 17 tahun 2003
2.2 Sinergi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Salah satu kelemahan utama yang dirasakan selama ini dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah di Indonesia adalah kurangnya keterpaduan, baik lintas sektoral, antar provinsi dengan nasional, antar sesama provinsi yang berdekatan, serta antar kabupaten/kota. Akibatnya masing-masing program pembangunan yang ditetapkan menjadi kurang saling mendukung satu sama lain sehingga sinergi yang diharapkan akan dapat mendorong proses pembangunan secara keseluruhan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Permasalahan semakin serius dengan diterapkannya otonomi daerah dimana masing-masing daerah cenderung mementingkan daerah masing-masing sehingga melupakan kepentingan nasional. Kondisi ini selanjutnya menyebabkan kurang terarahnya
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
kegiatan pembangunan daerah untuk mencapai tujuan nasional pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Dalam era otonomi daerah, masalah ketidakterpaduan perencanaan pembanguan menjadi makin serius dan bahkan dapat dikatakan cenderung menjadi tidak terkendali secara nasional.
Pelaksanaan otonomi daerah secara tidak terduga ternyata telah mendorong
terjadinya ego daerah dan ego kesukuan.
Masing-masing daerah cenderung hanya
memperdulikan kepentingan daerahnya saja tanpa memperdulikan keterkaitan kegiatan sosial ekonomi antara wilayah. Sebenarnya masing-masing daerah saling membutuhkan satu sama lainnya dalam mendorong proses pembangunan di daerahnya masing-masing, sehingga perencanaan pembangunan terpadu sangat diperlukan untuk memaksimalkan proses pembangunan daerah secara keseluruhan. Tujuan utama UU 25 tahun 2004 adalah untuk meningkatkan kembali koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Koordinasi tersebut baik antara perencanaan nasional dan daerah, antar masing-masing daerah serta masing-masing instansi pemerintah yang terlibat. Koordinasi pembangunan jangka panjang secara nasional dilakukan melalui penyusunan RPJP Nasional periode 20 tahun. RPJP Nasional ini berisi vis, misi, dan arah pembangunan secara nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan terbentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
RPJP
Nasional ini selanjutnya dijadikan landasan utama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional untuk periode 5 tahun. RPJM Nasional ini memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementerian/lembaga, program kewilayahan serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian nasional secara menyeluruh, termasuk kebijakan fiskal dan kerangka pendanaan. RPJM Nasional tersebut selanjutnya dijadikan dasar utama untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang merupakan Rencana Tahunan (Annual Planning) yang bersifat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan. RKP tersebut berisikan prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro, program kemeterian/lembaga, program kewilayahan dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Pada tingkat daerah, baik provinsi, kabupaten/kota, UU SPPN 2004 juga mengamanatkan keterkaitan yang sama antar perencanaan guna mewujudkan keterpaduan
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
dan sinergi dalam proses pembangunan. Setelah gambaran umum tentang dokumen perencanaan pada tingkat nasional diperoleh, maka masing-masing daerah diwajibkan pula untuk menyusun beberapa dokumen perencanaan berikutnya. Dengan berpedoman pada rancangan RPJP Nasional, Pemerintah daerah di seluruh Indonesia dengan dibantu oleh masing-masing BAPPEDA diwajibkan menyusun RPJP Daerah. Dalam menyusun RPJP Daerah tersebut, potensi ekonomi dan kekhususan sosial budaya daerah harus diperhitungkan secara sempurna. Karena itu, dapat dipahami bahwa RPJP Daerah tersebut akan sangat bervariasi satu sama lain, tetapi sejalan dan tidak bertentangan dengan RPJP Nasional. Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah yang telah selesai disusun, Pemerintah Daerah diwajibkan pula menyusun RPJM Daerah yang berisikan arah dan strategi kebijakan pembangunan daerah program kerja satuan perangkat daerah, baik yang bersifat lintas sektoral maupun lintas wilayah. Termasuk dalam RPJM Daerah ini adalah rencana kerja dan kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif.
Agar
perencanaan menjadi lebih konkrit, maka target-target yang ditetapkan perlu diusahakan secara kuantitatif, walaupun disadari hal ini tidak dapat dilakukan untuk semua sektor. Target yang bersifat kuantitatif tersebut nantinya juga akan sangat diperlukan pada waktu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan program. Rancangan RPJM Daerah yang telah selesai selanjutnya dijadikan dasar untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan rencana tahunan (Annual Planning) bersifat operasional. RKPD pada dasarnya merupakan jabaran dari RPJM Daerah yang berisikan rencana kerja pembangunan daerah, prioritas, dan program pembangunan daerah, berikut pendanaannya, baik yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah daerah untuk tahun yang bersangkutan. Peranan RKPD demikian penting karena dokumen perencanaan ini memadukan perencanaan pembangunan jangka menengah yang kurang operasional dengan perencanaan anggaran yang sangat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan.
Dengan adanya RKPD tersebut maka akan terdapat keterpaduan antara
perencanaan, program dan pendanaan sesuai dengan prinsip Ilmu Perencanaan yaitu Planning, Programming and Budgeting System.
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
Disini jelas terlihat bahwa UU 25 tahun 2004 berupaya untuk mewujudkan perencanaan pembangunanm terpadu, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah melalui keterkaitan yang erat antara RPJP, RPJM, Renstra KL, dan Renja KL dan penyusunan anggaran. Keterpaduan ini sangat penting artinya untuk mewujudkan proses pembangunan yang saling menunjuang menuju kepada suatu arah pembangunan masa depan nasional yang jelas. 2.3 Perencanaan dan Penganggaran Berpihak pada Penduduk Miskin Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak pada Masyarakat Miskin adalah proses perencanaan dan penganggaran yang menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama. Rencana dan anggaran dikatakan berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor) apabila: •
Rencana dan anggaran bertujuan untuk mengatasi penyebab kemiskinan dan membantu masyarakat miskin mengakses dan memanfaatkan semua sumber daya yang dibutuhkan untuk keluar dari kemiskinan.
•
Masyarakat miskin memperoleh perhatian khusus/lebih, misalnya, prioritas kegiatan lebih banyak dan anggaran yang lebih besar daripada kelompok masyarakat lainnya.
•
Rencana dan anggaran berbagai sektor diarahkan pada wilayah wilayahdengan jumlah penduduk miskin cukup besar atau memiliki masalah kemiskinan, baik bersifat langsung seperti misalnya penanganan kasus gizi buruk, maupun tidak langsung misalnya melalui pembangunan prasarana air minum, pasar atau pabrik untuk penjual atau pekerja informal.
•
Rencana pembangunan yang disusun ditujukan untuk memberi manfaat maksimal bagi rakyat miskin
•
Masyarakat miskin secara aktif berperan serta dalam seluruh proses pembangunan dimulai dari identifikasi, penyusunan rencana, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi program/kegiatan penanggulangan kemiskinan. Rencana pembangunan yang bersifat pro-poor adalah rencana yang disusun
melalui proses partisipatif dan diprioritaskan untuk mengatasi akar permasalahan
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
kemiskinan, yang berpengaruh terhadap pencapaian MDGs dan difokuskan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin, antara lain: •
Hak-hak dasar sebagai warga negara, termasuk hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada hidup mereka;
•
Perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan kualitas penghidupan yang layak;
•
Pendidikan, kesehatan, dan keamanan;
•
Prasarana dasar seperti perumahan, air bersih, sanitasi, dan jalan lokal/penghubung;
•
Lingkungan/kondisi sumber daya alam yang mendukung; dan
•
Perlindungan terhadap perolehan hal-hal yang disebut di atas. Anggaran yang pro-poor adalah anggaran yang sebagian besar pengeluarannya
memberi manfaat lebih pada masyarakat miskin. Misalnya, bila 40% masyarakat di suatu daerah miskin, maka minimal 40% manfaat anggaran yang tersebar di berbagai sektor/urusan diarahkan pada masyarakat miskin dan hampir miskin. Program yang propoor dapat dikategorikan dalam tiga kelompok (kluster) sebagai berikut: •
Pertama adalah program-program penyediaan pelayanan dasar dan perlindungan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung ditujukan bagi masyarakat miskin. Termasuk dalam kluster ini adalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), Program Keluarga Harapan (bantuan tunai bersyarat), Program Beras untuk Masyarakat Miskin (RASKIN), Bantuan untuk fakir miskin dan anak terlantar, serta bantuan yang bersifat darurat dan sementara seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bencana alam. Contoh nyata dari daerah adalah penyediaan pelayanan KTP, akte kelahiran, dan sertifikasi tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin, program bebas biaya kesehatan bagi masyarakat miskin, termasuk biaya transportasi, pengobatan, dan penguburan bila terjadi kematian di Kabupaten Sumba Timur, dan program bebas biaya pendidikan sampai tingkat SMA di Kabupaten Purbalingga, Sumba Timur, dan Kupang.
•
Kedua
adalah
berbagai
program
pemberdayaan
masyarakat,
yang
sekarang
diharmonisasi melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sebagai acuan kebijakan dan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
berbasis pemberdayaan masyarakat untuk perdesaan, perkotaan, daerah tertinggal dan khusus, pengembangan infrastruktur wilayah dan desa, dan yang dilaksanakan oleh berbagai kementerian/lembaga. Melalui proses pemberdayaan yang difasilitasi para pendamping, masyarakat diharapkan berperan sebagai subyek pembangunan dan secara mandiri mampu menyelesaikan permasalahan kemiskinannya. Upaya nyata yang dilakukan daerah antara lain adalah dengan mengalokasikan Alokasi Dana Desa melalui APBD untuk kegiatan-kegiatan masyarakat desa. Berbagai program di daerah dari berbagai sektor bertujuan untuk memberdayakan masyarakat. •
Ketiga
adalah
berbagai
program
yang
memberikan
akses
sumberdaya
dan
penguatan/pembinaan kepada usaha kecil dan mikro secara berkesinambungan untuk melanjutkan keberdayaan masyarakat dan mewujudkan kemandiriannya. Termasuk di dalam kluster ini antara lain adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), berbagai program dana bergulir untuk kegiatan produktif skala mikro, penyediaan dana penjaminan kredit dalam APBD, program konservasi lahan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk pengentasan kemiskinan seperti yang dilaksanakan oleh Kota Semarang dan Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, serta berbagai pelatihan dan permodalan/alat bagi usaha kecil dan mikro yang dilaksanakan di berbagai daerah. Di samping program-program di atas, terdapat program pendukung lainnya seperti perbaikan
data/targeting,
monitoring
dan
evaluasi
program-program
kemiskinan,
peningkatan kapasitas pemda untuk pro-poor. Program-program pro-poor lainnya adalah program yang didisain untuk mencegah terjadinya kemiskinan kronis seperti programprogram yang mendorong komunikasi yang baik antar suku, agama, ras dan antar golongan agar konflik tidak terjadi. Program kehati-hatian dini dalam menghadapi bencana seperti misalnyadi Kabupaten Manggarai ada program penyuluhan mengenai bahaya akan lokasi pemukiman yang rawan erosi, ataupun program penanaman bakau di sepanjang pantai untuk mengurangi dampak badai. Menelaah Kualitas Dokumen Anggaran Menyambung definisi APBD yang berpihak pada Masyarakat Miskin yang telah disebutkan pada bagian di atas dan hubungannya dengan APBD berbasis kinerja, maka
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
dapat didefinisikan bahwa : APBD yang Berpihak pada Masyarakat Miskin adalah : “Anggaran berbasis kinerja yang secara jelas dan transparan memberi perhatian lebih bagi target lokasi dan penerima manfaat yang miskin, melebihi proporsi jumlah penduduk miskin dalam masyarakat luas, sehingga diharapkan dapat mengatasi akar masalah kemiskinan dan berdampak terhadap pengurangan kemiskinan dengan melibatkan masyarakat miskin dalam proses penyusunannya. Idealnya, proporsi anggaran yang diperuntukkan bagi pengentasan kemiskinan sama atau melampaui persentase masyarakat miskin dalam masyarakat luas. 2.4 Kemiskinan Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan tidak mudah mengukurnya, kemiskinan sebagai gejala sosial telah banyak ditelaah oleh para ilmuwan dari berbagai latar belakang disiplin ilmu dengan menggunakan berbagasi konsep dan ukuran untuk menandai berbagai aspek dari permasalahan tersebut. Di kalangan sosiolog dan ekonom, untuk mengidentifikasi fenomena kemiskinan seringkali menggunakan istilah standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan dan stratifikasi sosial. Bagi yang memperhatikan konsep tingkat hidup yaitu tidak hanya menekankan tingkat pendapatan saja tetapi juga masalah pendidikan, perumahan, kesehatan dan kondisi-kondisi sosial lainnya dari masyarakat. Dillon dan Hermanto (Prisma No. 3 tahun 1993, 11-13) mengemukakan bahwa secara garis besar ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat bahwa kemiskinan sebagai suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat. “Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat”. Dengan demikian kemiskinan dapat dipandang sebagai salah satu akibat dari kegagalan kelembagaan pasar dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Konsep ini sering disebut sebagai kemiskinan structural. Untuk lebih tegasnya Alfian (1984:5) merumuskan tentang kemiskinan struktural sebagai berikut:
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
“Kemiskinan structural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan ini meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya bahkan termasuk kekurangan perlindungan dari hukum dan pemerintah”. Jadi tingkat pendapatan seseorang sangat mungkin telah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum (di atas garis kemiskinan absolute), tetapi bila dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat (pendidikan, kesehatan) pada saat itu masih rendah atau di bawah kebutuhan fisik minimum, maka orang atau keluarga itu tergolong miskin. Kemiskinan menurut konsep ini ditentukan oleh perkembangan kebutuhan masyarakat karena kebutuhan masyarakat tidak hanya kebutuhan fisik (makan) tetapi ada kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan. Jadi menurut konsep ini kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kebutuhan dasar manusia sesuai dengan kebutuhan saat itu. Konsep ini dikenal sebagai kemiskinan relatif. Pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolute. Sejalan dengan konsep ini maka Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Apabila konsep tersebut dikaji lebih jauh, dapat dikemukakan bahwa kemiskinan dapat digolongkan dalam dua bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan cultural dan structural. Dimensi kultural adalah suasana dan sikap pasrah dari sekelompok masyarakat karena terjerat dalam berbagai macam kekurangan sehingga mereka tampak tidak mempunyai inisiatif, tidak mempunyai gairah dan tidak dinamis untuk mengubah nasib mereka yang dianggap buruk (Alfian, 1984: 180-181). Kemiskinan berdimensi sosial budaya, ukuran kuantitatif kurang dapat dipergunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukuran sagat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomi miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistic dan ketidakberdayaan.
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
Sementara itu dimensi struktural dari kemiskinan diartikan sebagai suasana kemiskinan yang terutama bersumber pada struktur sosial yang berlaku di masyarakat. Salah satu cirri utama dari kemiskinan structural ialah tidak terjadinya mobilitas sosial, kalaupun terjadi sifatnya lamban sekali. Secara sederhana kemiskinan structural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dapat dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu struktur sosial yang berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya sehingga menyebabkan mereka yang termasuk kedalam golongan miskin tanpak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya, tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka dalam suasana kemiskinan secara turun temurun selama bertahun-tahun itu, mereka hanya mungkin keluar dari kemiskinan melalui suatu proses perubahan struktur sosial yang mendasar. Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang akan dilaksanakan hendaknya dapat mencapai sasaran yang dituju. Mengenai keterjangkauan masyarakat miskin terhadap berbagai program penanggulangan kemiskinan diungkapkan oleh Laksmono (1999:2) sebagai berikut: “Pada dasarnya setiap program harus mencapai kelompok atau segmen masyarakat yang menjadi sasaranya, terlebih untuk program bantuan publik untuk pengentasan kemiskinan yang mempunyai misi khusus. Tidak lain harus dipastikan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus menyentuh tidak lain dari masyarakat itu sendiri. Mengingat demikian beragamnya stratifikasi golongan miskin maka lebih khusus lagi harus dipastikan, program yang ada harus menyentuh kelompok masyarakat termiskin dari yang miskin. Karena bila yang menikmati adalah kelompok masyarakat kaya maka efektifitas program anti kemiskinan dapat dikatakan minimal dalam hal pencapaian tujuan” Dalam rangka peningkatan ketepatan sasaran program penanggulangan kemiskinan, maka dalam RKP 2009 digunakan kriteria penerima
program berdasarkan 3 kluster
program kemiskinan. Untuk kluster 1, acuan data rumah tangga sasaran (RTS), yang terdiri
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
dari rumah tangga sangat miskin, miskin dan dekat miskin menggunakan pendataan Program Perlindungan Sosial, untuk kluster 2, ditujukan bagi kelompok masyarakat miskin melalui program PNPM Mandiri sedangkan kluster 3 adalah program yang terkait dengan Kredit Usaha Rakyat agar dapat dimanfaatkan bagi kelompok masyarakat dekat dan di atas garis kemiskinan yang terkena dampak krisis. 2.5 Pengertian Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Urusan Bersama (DUB) 2.5.1 Pengertian Dekonsentrasi Pengertian dekonsentrasi pada peraturan perundang-undangan terdapat pada beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 8 dan PP No. 7 tahun 2008 pasal 1 ayat 10, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan pada UU No. 33 tahun 2004, pasal 1 ayat 913 dan PP No. 56 tahun 2005, pasal 1 ayat 6, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Dalam undang-undang dan peraturan pemerintah ini tidak menyebutkan kepada instansi vertikal di daerah/wilayah tertentu. Sedangkan pengertian dana dekonsentrasi mengecualikan dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal di daerah. Menurut UU No. 33 tahun 2004, pasal 1 ayat 26, PP No. 39 tahun 2006 pasal 1 ayat 18 dan PP No. 56 tahun 2005, pasal 1 ayat 10, dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Sedangkan, menurut PP No. 8 tahun 2006, pasal 1 ayat 25, dana dekonsentrasi adalah anggaran yang disediakan sehubungan dengan pelimpahan wewenang pelaksanaan kegiatan pemerintah pusat di daerah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat disertai kewajiban melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan
pelaksanaannya
menteri/pimpinan lembaga terkait.
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
kepada
2.5.2 Pengertian Tugas Pembantuan Pengertian tugas pembantuan pada peraturan perundang-undangan terdapat pada beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 9, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Menurut UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 10, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Gabungan dua pengertian tugas pembantuan berdasarkan undang-undang di atas terdapat pada PP No. 7 tahun 2008 pasal 1 ayat 11. Menurut PP tersebut, tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Sedangkan UU No. 33 tahun 2004, pasal 1 ayat 27/28., dana tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan Pengertian dana tugas pembantuan pada beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah memiliki kesamaan. Pada UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 27, PP No. 56 tahun 2005 pasal 1 ayat 11, PP No. 39 tahun 2006 pasal 1 ayat 19 dan PP No. 7 tahun 2008, dana tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Redaksi pengertian dana tugas pembantuan yang berbeda terdapat pada PP No. 08 tahun 2006 pasal 1 ayat 26. Pada PP tersebut dana tugas pembantuan adalah anggaran yang disediakan sehubungan dengan penugasan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa disertai
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.
kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada menteri/pimpinan lembaga terkait. 2.5.3 Pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) Merujuk pada UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 39 menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada Pemerintah Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Secara komprehensif, pengertian DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. 2.5.4 Pengertian Dana Urusan Bersama (DUB) Urusan Bersama Pusat dan Daerah dapat didefinisikan sebagai urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota. Urusan bersama pusat dan daerah difokuskan untuk penanggulangan kemiskinan yang merupakan kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat. Lebih spesifik pada aspek pendanaan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendanaan Urusan Bersama adalah pendanaan yang bersumber dari APBN dan APBD yang digabungkan untuk mendanai program/kegiatan bersama pusat dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan sumber pendanaannya, dibedakan menjadi Dana Urusan Bersama yang selanjutnya disebut DUB, yaitu dana yang bersumber dari APBN, serta dana daerah untuk urusan bersama yang selanjutnya disebut DDUB yaitu dana yang bersumber dari APBD.
Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.