BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah dan Jenis Pembuatan Pulp Pembuatan kertas dengan bahan baku pulp pertama kali dilakukan di China. Teknologi yang yang diterapkan pada saat itu sangat sederhana, yaitu pemanfaatan suspensi dari serat bambu atau serat mulberry yang selanjutnya dijadikan pulp. Teknologi pembuatan pulp sebagai bahan baku kertas ini lalu dikembangkan di Timur Tengah dan Eropa setelah dibawa oleh pedagang dari China. Pada tahun 1690, di Amerika Utara tepatnya Philadelphia, pertama kali didirikan industri paper mill. Selanjutnya mulailah berkembang dan bermunculan paper mill di Canada, Amerika Serikat, dan belahan dunia lainnya. Pada abad ke-20, terjadi sebuah loncatan teknologi dengan ditemukannya metode yang hebat dan effisien, seperti Continous Cooking, Modified Continous Cooking, Bleaching Continous Multistage, Machine Paper Coating, Dry Foaming, dan proses pembuatan pulp dan kertas yang lainnya. Tabel 2.1 menyajikan perkembangan teknologi pembuatan pulp dan kertas pada masa modern, karena pada masa sebelumnya, tidak ada data historis yang menunjang.
Tahun 1798 1803 1840 1854 1867 1884
Tabel 2.1. Perkembangan Teknologi Pulp dan Kertas Teknologi Penemu Negara Mesin pembuatan kertas Nicholas – Louis Perancis kontinyu Mesin Fourdrinier Donkin Brothers Inggris Pembuatan pulp secara Ground wood-mekanis Proses soda – kimia Inggris Proses sulfit – kimia Benjamin T USA Proses sulfat – kimia Carl Dahl Jerman
Di Indonesia, perkembangan industri pulp dan kertas baik yang intergrated ataupun non-intergrated berlangsung cukup pesat. Dimulai dengan dibukanya pabrik pulp berserat panjang (softwood) di D.I Aceh dengan kapasitas produksi 165.000 ton/tahun, dan di Riau dengan kapasitas 200.000 ton/tahun, serta pada tahun 1979, 100.000 ton/tahun di tangerang. Sampai tahun 1998, mengacu pada PUSDATA Departemen Perindustrian – BPS, di Indonesia sudah berdiri 65 industri pulp dan kertas.
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Pada dasarnya, proses pembuatan pulp adalah proses pemisahan serat selulosa dari pengotor-pengotor yang terdapat pada bahan baku. Proses tersebut lalu diikuti dengan pengubahan bentuk bulk menjadi serat kecil yang terpisah. Proses pemasakan pulp merupakan proses pengubahan bahan baku menjadi bentuk serat, serta pelepasan ikatan selulosa sebagai bahan yang diinginkan dari bahan pengotor lain seperti lignin, silika, ash, dan lain-lain. Pada proses pemasakan digunakan bahan kimia tertentu yang berlangsung pada tekanan, temperatur, dan komposisi lindi tertentu dalam sebuah reaktor yang dikenal dengan nama Digester. Sedangkan untuk proses pemurnian terdiri dari proses bleaching (pemutihan) dan penambahan zat aditif sesuai dengan karakteristik pulp yang diinginkan konsumen. Secara umum proses pembuatan pulp dibagi menjadi menjadi tiga jenis yaitu mekanis, semikimia, dan kimia. Setiap proses memiliki karakteristik tersendiri dalam hal yield, tenaga yang dibutuhkan (terutama untuk proses mekanik), dan beban bagi pengolahan limbah (effluent). Tiap-tiap proses juga memiliki sifat-sifat pulp yang tersendiri, seperti disajikan pada Gambar 2.1 yang membandingkan macam-macam proses pembuatan pulp dalam hal kebutuhan energi listrik dan pengambilan kembali bahan pemasak. Pada Tabel 2.2, tersaji perbandingan teknologi Pulping berdasarkan proses pembuatannya, yang menghasilkan pulp dengan kuantitas tertinggi adalah proses mekanis, sedangkan untuk kualitas, proses kimia memberikan hasil yang terbaik. Kebutuhan energi listrik pada proses semi kimia lebih besar dibandingkan dengan proses kimia, namun yield pulp yang dihasilkan lebih besar yaitu sekitar 75% untuk semi kimia, dan 40 – 50 % untuk proses kimia.
6
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Gambar 2.1. Diagram pembanding beberapa proses pembuatan pulp. (Alshol, O. and Swan, B., 1984) Tabel 2.2. Perbandingan teknologi pulping Mekanis • Tidak memerlukan bahan kimia • *Hasilnya tinggi (90 – 95%) • Serat yang dihasilkan: Pendek Tidak stabil Tidak kuat • Sulit untuk di-Bleaching karena kadar lignin yang tinggi • Contoh: Stone Ground Wood Refiner Mechanical Pulp Thermo Mechanical Pulp
Semi-kimia • Gabungan antara mekanis dan kimia • Hasilnya menengan (5590%) • Serat yang dihasilkan tergantung pada kebutuhan produk yang diinginkan • Contoh: Neutral Sulfite SemiChemical (NSSC) High Yield Kraft
Yield = Pulp yang dihasilkan Chip yang dibutuhkan
7
Kimia • Memerlukan bahan kimia • Hasilnya rendah (4055%) • Serat yang dihasilkan: Putih Panjang, pendek sesuai bahan baku Kuat dan stabil • Mudah untuk dibleaching • Contoh: Kraft Sulfite Soda
Pemodelan Matematika Digester Pulp
2.1.1 Proses Mekanis Proses ini merupakan proses yang paling sederhana dibandingkan dengan dua proses lainnya. Pada proses ini digunakan sejumlah tenaga mekanis untuk menghancurkan bahan baku yang mengandung selulosa untuk mendapatkan serat. Beberapa jenis proses mekanis yang paling umum adalah Stone Ground Wood, Refiner Mechanical Pulp (RMP), dan Thermo Mechanical Pulp (TMP). Pada proses Stone Ground Wood, pulp dibuat dengan menggunakan gerinda. Prinsip pembuatan pulp dengan metode ini adalah menekan bahan baku pada permukaan yang kasar dan abrasif dari suatu gerinda yang terbuat dari batu. Sejumlah air digunakan dalam operasi ini. Air tersebut berfungsi untuk mendinginkan, membersihkan dan melumasi permukaan batu gerinda serta membawa pulp yang terbentuk. Permukaan gerinda yang kasar dan abrasif dilapisi oleh Al2O3 atau Silikon Karbida yang tebalnya sekitar 7 cm. Kekasaran permukaan gerinda yang digunakan mempengaruhi pulp yang dihasilkan. Pulp yang dihasilkan dari proses ini dipakai sebagai bahan baku pembuatan kertas cetak, karton dan kertas khusus. Proses RMP sejenis dengan proses gerinda, namun ada perbedaan yaitu gerinda digantikan oleh sebuah refiner, yang fungsinya sama dengan gerinda yaitu menghancurkan kayu. Proses RMP ini menggunakan uap panas untuk memanaskan bahan baku sebelum dihancurkan. Hasil yang diperoleh dari proses ini memiliki warna yang lebih suram dan kotor dibandingkan dengan proses gerinda. Proses Thermo Mechanical Pulp (TMP) merupakan modifikasi proses RMP, pada proses ini dilakukan pengontrolan temperatur yang lebih intensif selama proses pemanasan bahan baku. Pulp yang dihasilkan lebih kuat dan panjang dibandingkan proses RMP dan gerinda.
2.1.2 Proses Semi-kimia
Proses semi-kimia pada umumnya digunakan oleh industri yang tidak terlalu membutuhkan derajat keputihan yang tinggi pada produk seratnya. Proses ini, sesuai dengan namanya, merupakan gabungan proses mekanis dan kimia, dimana bahan kimia yang digunakan tidak terlalu banyak dan tenaga mekanis yang digunakan juga tidak
8
Pemodelan Matematika Digester Pulp
sebesar proses mekanis. Dalam prosesnya terdapat pengerjaan yang hanya dilakukan secara mekanis tanpa bantuan zat kimia. Proses yang termasuk ke dalam proses semi-kimia yang umum adalah Neutral Sulfite SemiChemical (NSSC) dan High Yield Kraft. Pada Proses Neutral Sulfite SemiChemical (NSSC), serpihan kayu dimasak dengan larutan natrium sulfit yang mengandung sedikit bahan kimia yang bersifat alkalis. Bahan kimia tersebut antara lain natrium karbonat, bikarbonat atau hidroksida. Serpihan yang sudah dimasak kemudian diolah secara mekanis dengan menggunakan disk refiner. Pada proses NSSC hampir setengah dari lignin yang terdapat pada bahan baku kayu berhasil dihilangkan, yaitu sekitar 40%. Kekurangan dari proses NSSC adalah dalam hal ekonomi, karena proses ini membutuhkan bahan kimia yang relatif banyak. Proses High Yield Kraf disebut juga sebagai proses Bisulfit, karena proses ini menggunakan bisulfit sebagai bahan kimia yang mengandung magnesium atau natrium sebagai dasar, ada juga beberapa yang menggunakan amonium. Proses ini banyak dipakai pada industri kertas koran dan karton. Pemasakan dengan bisulfit lebih cepat dari pada NSCC, namun kekuatannya rendah. Pembuatan dengan bahan kimia dasar mengandung magnesium menghasilkan kualitas pulp yang hampir menyerupai NSCC, dengan cara menaikkan perbandingan magnesium terhadap Sulfur Oksida. 2.1.3 Proses Kimia Proses kimia merupakan proses yang paling banyak digunakan oleh industri pulp dewasa ini. Sesuai dengan namanya, seluruh proses pembuatan pulp mulai dari pemutusan ikatan lignoselulosa pada chips kayu hingga pencucian, menggunakan zat kimia. Beberapa proses yang termasuk kedalam proses kimia secara umum adalah proses sulfat, sulfit, dan soda. Prinsip dari teknologi proses sulfat adalah hidrolisis, yaitu lignin yang terdapat pada bahan baku dan berikatan dengan selulosa di-hidrolisis sehingga ikatannya terputus dan membentuk alkohol, asam dan sedikit merkaptan. Reaksi umum yang terjadi:
9
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Rselulosa-OH . NaOH + Na2S + H2O
Rselulosa-OH + NaOH
NaOH + NaSH Rselulosa-Na
(2.1)
H Lignin – C
Lignin – C = O + NaSH
SNa OH
Dalam pemasakan kayu proses sulfat, dipergunakan larutan pemasak alkalis yang disebut lindi putih (white liquor). Pemasakan berlangsung pada temperatur 160-180oC selama 2-5 jam pada tekanan 660-925 kPa dimana sebagian besar lignin akan terlarut dan terlepas dari serat. Pada proses sulfat ini dihasilkan pulp dengan kandungan lignin sekitar 3% dan tingkat keputihan (Brightness) dari pulp setelah melewati unit bleaching adalah sekitar 89%. Proses Sulfit menggunakan cairan pemasak yang disiapkan dari pembakaran gas sulfur yang menghasilkan SO2. Reaksi pembakaran sulfur seperti berikut: S
+ O
SO2
(2.2)
kemudian gas SO2 yang terbentuk dilewatkan pada sebuah menara absorber. Biasanya pada industri-industri yang baru, digunakan NH4OH, Mg(OH)2 atau Na2CO3 sebagai zat absorber. Reaksi yang terjadi adalah: SO2
+
H2SO3
H 2O + Mg(OH)2
H2SO3
(2.3) Mg(HSO3)2 + 2 H2O
(2.4)
Kombinasi sulfur Chips kayu dimasak selama 6 – 12 jam, pada temperatur 125 – 160oC dan tekanan 620 – 755 kPa. Hasil dari proses sulfit ini biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas tisu, pembungkus roti, kertas buku dan lain-lain. Proses soda pada umumnya sama dengan proses sulfat, perbedaannya terjadi pada penggunaan Na2SO4. Pada proses ini, selain digunakan NaOH dan Na2CO3, juga 10
Pemodelan Matematika Digester Pulp
digunakan Na2SO4 pada larutan pemasaknya. Buangan limbah dari proses ini cenderung lebih ramah lingkungan, karena tidak mengandung belerang, hal ini disebabkan karena pada larutan pemasak terdapat banyak jenis garam.
2.2 Kayu Pada proses pulping, salah satu parameter yang dipertimbangkan dalam penentuan kondisi operasi serta hasil pulp yang diinginkan adalah komposisi bahan baku. Pada umumnya bahan baku utama pembuatan pulp adalah kayu, pada beberapa proses ada yang menggunakan bahan baku lain seperti bambu, kayu bekas gergaji, dan beberapa bahan lain. Kayu memiliki karakteristik tersendiri untuk tiap jenisnya, bahkan beberapa jenis berbeda dalam hal komposisi berdasarkan tempat tumbuhnya. Umur tanaman, faktor genetik, dan kecepatan tumbuh, juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi dan struktur kayu. Kayu sebagai bahan baku utama pembuatan pulp sangat sulit untuk didefinisikan secara kimia, karena merupakan hasil heterogen yang kompleks dari alam serta memiliki berat molekul yang amat besar. Secara umum, komponen utama dari kayu dapat diklasifikasikan sebagai selulosa, lignin, hemiselulosa dan zat ekstraktif, yang jumlahnya berturut-turut sekitar 40 – 50%, 15 – 35%, 20 – 35%, dan 3 – 10%. Komposisi kimia ini tidak mungkin untuk dipisahkan kecuali melakukan pengubahan dan pendegradasian strukturnya. Ketidakmungkinan ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu komponen kayu yang memiliki berat molekul yang besar sekali, tiap-tiap komponen memiliki kesamaan, ikatan fisika dan kimia antar komponen, dan sitem kristalin yang dimiliki oleh kayu. Secara umum pembuatan pulp melewati beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pemasakan, dan tahap akhir produksi. Proses persiapan berupa penyiapan bahan baku kayu. Pada proses ini, kayu dipotong menjadi potongan-potongan kecil (chips). Chips selanjutnya melalui bagian screening yang memilikiki beberapa tingkatan, lalu dilakukan pencucian pada chips untuk menghilangkan volatile matter. Selanjutnya chips mengalami pemasakan awal pada bejana peresapan dan pemanasan untuk menghilangkan udara pada pori-pori chips. Sebagian kecil lignin hilang pada tahap awal ini. Secara komersial kayu dibagi menjadi dua golongan, kedua golongan tersebut adalah softwood (gymnosperms) dan hardwood (angiosperms atau dicotyledonous 11
Pemodelan Matematika Digester Pulp
angiosperms). Softwood juga dikenal sebagai “kayu jarum” karena jenis ini memiliki benih yang dihasilkan pada kerucut dan tidak tertutup, sebaliknya hardwood menghasilkan benih yang tertutup oleh bunga. Pembeda yang lain antar kedua jenis kayu tersebut adalah softwood biasa dikenal sebagai “evergreen”, karena sebagian besar jenis ini menghasilkan daun baru setelah beberapa tahun, sedangkan hardwood dikenal sebagai "deciduous", karena umumnya jenis ini menggugurkan daunnya pada musim tertentu. Komposisi kimia kayu yang berbeda-beda itu mempengaruhi kondisi serta bahan kimia yang digunakan pada proses pulping. Secara umum komposisi kimia kayu yang digeneralisasikan sebagai softwood dan hardwood, ditunjukkan oleh Tabel 2.3. Table 2.3. Konsentrasi rata-rata komponen utama pembentuk kayu, dinyatakan dalam satuan kg/m3. (F. Kayihan, 1996, 2000) Komponen Softwood Hardwood 4,8 10 High Reactivity Lignin 18,6 15 Low Reactivity Lignin Selulosa 50,3 45 2,2 5 Galactuglucomman 24 25 Araboxylan Gambar 2.2 merupakan ilustrasi dari struktur dinding sel kayu, yang menunjukkan struktur kayu secara umum. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa dinding sel secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Dinding primer (P) merupakan dinding yang tipis, terdiri dari jaringan terbuka mikrofibril yang terikat pada bahan amorphous. Dinding sekunder (S) secara umum merupakan kumpulan mikrofibril, bagian sekunder terbagi menjadi tiga lapisan, lapisan S1 dan S3 umumnya lebih tipis dibandingkan lapisan S2. mikrofibril pada S2 tersusun secara spiral sepanjang axis dinding sel.
Gambar 2.2. Ilustrasi struktur dinding sel kayu (FAPET) 12
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Komposisi kimia kayu pada dinding sel bervariasi. Gambar 2.3 memperlihatkan distribusi dari komponen utama pembentuk kayu yang paling umum. Pada gambar tersebut terlihat bahwa konsentrasi lignin paling tinggi
adalah pada daerah middle
lamella dan paling rendah pada daerah S2 dan S3, dimana lapisan S2 mengandung konsentrasi selulosa yang tinggi.
Gambar 2.3. Komposisi umum pembentuk kayu pada dinding sel. (FAPET) Chips (potongan) kayu dibentuk dengan cara memotong-motong kayu. Dimensi dari chips bervariasi tergantung pada struktur kayu yang digunakan sebagai bahan baku. Umumnya dimensi chips adalah 12 – 25 mm panjang dan tebal 2 – 10 mm. Jika panjang chips meningkat, maka ketebalan rata-rata juga meningkat, biasanya panjang chips juga disesuaikan dengan panjang serat yang diinginkan pada produk akhir. Chips dapat dipastikan tidak memiliki ketebalan yang homogen. Ukuran chips, dalam hal ini ketebalannya, mempengaruhi proses pemilihan kondisi operasi. Pengaruh tersebut antara lain pada waktu dan temperatur reaksi yang dipilih. Optimasi proses juga memerlukan data ketebalan chips. Biasanya ketebalan tersebut merupakan nilai rata-rata, karena keseragaman chips sangat sukar untuk dicapai. Proses shredding (pencabikan) pada chips sangat berguna sekali untuk memperpendek waktu impregnasi dan waktu reaksi. Namun ada sisi negatifnya, yaitu 13
Pemodelan Matematika Digester Pulp
proses pencabikan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya struktur molekul, sehingga sifat kekuatan produk menjadi rendah. Pada beberapa jenis hardwood proses pencabikan masih dapat diterima. Menurut Temler dan Bryce, 1978, proses pencabikan chips pada hardwood berakibat chips packing tidak berbeda, alkali charge lebih rendah, kualitas hasil yang lebih tinggi, yield lebih tinggi (kebutuhan bahan kimia pada proses bleaching akan meningkat), dan “Strength Properties” yang sama dengan chips yang tidak dicabik. Sebelum diolah lebih lanjut, maka chips harus diayak terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya oversize. Oversize akan mengakibatkan heterogennya hasil delignifikasi. Bila ukuran terlalu kecil maka chips yang dihasilkan terlalu lembut sehingga berakibat terjadinya overcooking pada pulp. Ketebalan chips kayu pada hardwood sekitar 4 mm dan softwood 7 mm. Kayu adalah bahan berpori yang pada bentuk alaminya kayu terdiri dari bahan padat (dinding sel), gas, dan air. Densitas kayu kering didefinisikan dalam bentuk densitas kayu tidaklah begitu bervariasi, yaitu berkisar antara 1,50 – 1,55 t/m3. Gambar 2.4 menyajikan skema massa, volume, dan densitas chips.
Gambar 2.4. Skema dari massa, volume, dan densitas komponen chips. (FAPET) Densitas spesies kayu berpori, ρdc, didefinisikan oleh persamaan berikut:
ρ dc =
mc Vc
Sedangkan densitas untuk padatan kayu, ρw, didefinisikan oleh persamaan: 14
(2.5)
Pemodelan Matematika Digester Pulp
ρw =
mw Vw
(2.6)
Densitas padatan pada chips untuk kepentingan praktis adalah konstan dan tidak tergantung pada spesies, kondisi pertumbuhan, dan substansinya. Sehingga memberikan sebuah persamaan umum: ρw = ρF = ρD
(2.7)
Pengertian dari densitas bulk seperti yang dituliskan pada persamaan di bawah ini
ρb =
mw Vc − Vv
(2.8)
Densitas bulk berbeda-beda untuk tiap jenis, ukuran, dan distribusi chips. Kekosongan pada chips kayu hanya terisi sebagian oleh larutan pada kondisi kayu segar. Sebagian lagi dari kekosongan tersebut diisi oleh udara. Derajat penetrasi (P), didefinisikan sebagai berapa besar kekosongan pada chips yang terisi oleh larutan:
P=
Vl ml ρv = Vv mv ρl
(2.9)
Sehingga chips akan mengalami penetrasi penuh pada P = 1, atau Vl = Vv. Pada proses alkaline pulping yang terlebih dahulu terlarut adalah komponen polisakarida, dalam hal ini hemiselulosa. Lignin, sebagai komponen yang ingin diturunkan konsentrasinya, hanya sebagian kecil yang larut pada larutan pemasak yang dingin. Menurut Mathews (1974), selulosa lebih tahan terhadap alkali, namun pada pemasakan akan mengalami penurunan derajat polimerisasi, sehingga sekitar 5% akan terlarut. 2.2.1 Komponen ekstraktif kayu Jika kayu dipisah-pisahkan, maka akan didapatkan bahan tepung kayu dan bahan terektraksi oleh pelarut netral. Jumlah bahan yang terekstraksi pada pelarut seperti air dingin, alkohol, benzen, eter, dan aseton berkisar 3 – 10% dari bahan kayu. Fraksi yang terlarut ini dinamakan ekstraktif. Fraksi ini adalah bahan-bahan yang umumnya terdiri dari sedikit bahan organik, seperti karbohidrat dengan berat molekul rendah, asam alifatik dan aromatik, alkohol, bahan warna, protein, lignin terlarut, dan alkaloid.
15
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Bahan ekstraktif ini memiliki fungsi yang besar pada kayu. Fungsi-fungsi tersebut antara lain dapat mencegah kebusukan, memberi ketahanan terhadap serangga, serta memberikan kayu khas-nya sendiri dalam hal wangi, rasa dan aroma. Komponen ekstraktif tidak terdistribusi secara seragam pada tanaman atau pada serat dinding sel. Beberapa ekstraktif pada kayu antara lain terlihat pada Gambar 2.5. Dari seluruh enam komponen yang disajikan pada gambar tersebut, terlihat bahwa komponen terbesar dari zat ekstraktif kayu adalah aromatic berantai medium.
Gambar 2.5. Beberapa rumus kimia ekstraktif pada kayu. (FAPET)
2.2.2 Hemiselulosa. Polisakarida pada kayu dapat mencapai 60% hingga 80% berat yang merupakan komponen karbohidrat dengan berat molekul besar. Komponen ini dapat menghasilkan gula sederhana seperti glukosa, manosa, dan xylosa melalui hidrolisis menggunakan asam encer. Komponen utama dari polisakarida adalah selulosa, sisanya berupa komponen berantai lebih pendek adalah hemiselulosa, yang keduanya bila digabungkan menjadi holoselulosa. Jika holoselulosa mengalami perlakuan pada temperatur ruangan dengan larutan alkali (misalnya, 17,5% Natrium hidroksida), sekitar 15 – 30% dari berat kayu awal akan terlarut. Bahan yang terlarut dalam alkali ini kita sebut sebagai fraksi non-selulosa dari polisakarida kayu yaitu hemiselulosa. Sedangkan bagian yang tahan terhadap alkali pada temperatur ruangan disebut sebagai selulosa kayu. 16
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Komponen pembentuk hemiselulosa tergantung pada jenis tanaman, namun untuk mempermudah digeneralisasikan sebagai softwood dan hardwood. Pada hardwood, komponen
utama
Sedangkan
pada
pembentuk
softwood,
Galactoglucomannan dan
hemiselulosa komponen
adalah
utama
yang
4-O-Methylglucuronoxylan. membentuknya
adalah
4-O-Methylglucurono-arabinoxylan (Araboxylan). Struktur
molekul dari bahan-bahan tersebut di atas, diperlihatkan pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Struktur molekul bahan utama pembentuk hemiselulosa. (FAPET) Pengaruh dari reagent untuk proses pembuatan pulp pada hemiselulosa bukan hanya terhadap yieldnya saja, namun juga pada proses lanjutan pada pembuatan kertas.
Reagent tersebut juga berpengaruh besar pada jumlah hemiselulosa yang terbawa, tipe, struktur, serta derajat polimerisasi. Hemisellosa mudah sekali menyerap dan mengembang dalam air, hal tersebut terjadi karena umumnya hemiselulosa kurang bersifat kristalin, berat molekul yang rendah dibandingkan lignin dan selulosa, ketidakteraturannya, dan molekulnya yang bercabang. Hemiselulosa mengakibatkan kontak antar serat meningkat pada proses pembuatan kertas, sehingga kekuatan ikatan akan meningkat dengan adanya hemiselulosa, walaupun bila terlalu banyak akan merusak. Hemiselulosa juga sangat berguna untuk menjadi bahan pembuat furfural, karena fraksi pentosan dapat dikonversi dan didestilasi dengan mineral kuat menghasilkan 17
Pemodelan Matematika Digester Pulp
furfural. Pada larutan sulfit yang mengandung hemiselulosa, dapat dijadikan tempat pembiakan ragi yang dikonsumsi untuk suplemen diet dan makanan ternak. Sedangkan di negara kanada dan negara-negara eropa telah dikembangkan metode yang sangat menguntungkan untuk membuat etanol dengan kemurnian 95% dari hemiselulosa yang terlarut pada larutan sulfit. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengolahan pulp untuk menghilangkan hemiselulosa tergantung pada kebutuhan pulp tersebut pada industri selanjutnya. Pada proses pembuatan pulp dengan metode sulfit terjadi tingkat keasaman yang tinggi. Karena tingkat keasamaan yang tinggi itu terjadi pemotongan rantai kelompok acetyl
dan
arabinofuranose
dari
jenis
rantai
xylan,
dan
meninggalkan
Methylglucuronoxylan sebagai residunya.
2.2.3 Selulosa Selulosa adalah komponen utama pada dinding sel, memiliki berat molekul yang tinggi dan berupa bahan kristalin. Selulosa merupakan bahan organik yang paling berlimpah di dunia karena merupakan bahan utama dari seluruh kayu dan tanaman yang lebih besar. Pertimbangan menjadikan selulosa sebagai bahan baku utama pada pembuatan kertas dan rayon adalah (1) tersedia banyak di alam sehingga mudah dibudidayakan dan ditransportasikan, (2) memiliki kekuatan yang besar karena berbentuk serat, (3) bersifat hidrofilik namun tidak larut dalam air dan pelarut netral lainnya, sehingga mudah pada saat pemanfaatannya, dan (4) tahan serta stabil terhadap bahan kimia, terutama asam dan alkali, sehingga dengan proses kimia akan menghasilkan kemurnian yang baik. Isolasi selulosa dari bahan induknya, kayu, secara industri dikenal dengan nama
pulping. Proses ini mengharapkan hasil berupa pulp yang mengandung selulosa sebanyak-banyaknya, yang paling murni adalah 99,8%. Studi tentang selulosa dimulai pada tahun 1838 oleh Payen. Studi ini menunjukkan analisa dasar bahwa jaringan-jaringan pada tanaman terdiri dari komponen utama yang memiliki 44,4% karbon, 6,2% hidrogen dan 49,3% oksigen. Rumus empiris selulosa dari studi ini adalah C6H10O5.
18
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Berat molekul dari selulosa tidak dapat diperkirakan secara langsung, walaupun pada awalnya Payen mengatakan bahwa berat molekul selulosa adalah 162. Setelah tahun 1930, terbukti bahwa selulosa adalah polimer dengan banyak sekali pengulangan monomernya. Seperti polimer lainnya selulosa terdiri dari campuran molekul yang memiliki perbedaan mendasar dalam ukuran. Derajat polimerisasi adalah jumlah pengulangan unit yang ada pada sampel, dimana tiap unit pengulangan memiliki berat molekul yang sama. Perkalian dari derajat polimerisasi terhadap berat molekul unit, hampir dapat kita katakan, sebagai berat molekul polimer. Derajat polimerisasi dari selulosa dapat mencapai 10,000 (FAPET). Struktur umum dari selulosa seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Struktur kimia selulosa. (FAPET)
2.2.4 Lignin Lignin dapat dikatakan sebagai substansi yang paling kompleks di alam, terdapat di kayu sekitar 20 – 35% berat dan terdiri dari fraksi non-karbohidrat. Pada kayu, jaringan lignin terkonsentrasi antara lapisan serat dan di luar lapisan serat. Hal ini menyebabkan bervariasinya kadar kekuatan kayu dalam hal pengerasan dan pengikatan serat-serat. Lignin termasuk ke dalam bagian non-kristalin, dan merupakan termoplastik di alam. Lignin amat sulit untuk dipisahkan dari struktur kayu kecuali dengan melakukan degradasi strukturnya. Pada dasarnya lignin adalah polimer aromatik yang terdiri dari zat19
Pemodelan Matematika Digester Pulp
zat heterogen. Sistemnya terlihat benar-benar Amorphous dan mungkin untuk terikat secara kimia dengan hemiselulosa. Walaupun lignin hampir dapat ditemukan dalam semua tanaman hidup, namun komposisinya tidak identik sama sekali, dan secara garis besar komposisi lignin pada hardwood dan softwood berbeda dalam struktur dasarnya. Gambar 2.8 memperlihatkan struktur kompleks dari lignin. Holtzapple (2003), mengklasifikasikan lignin pada komponen pembentuknya, yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu trans-Coniferyl alkohol, trans-Sinapyl alcohol, dan trans-p-
Coumaryl alkohol. Monomer-monomer dari komponen pembentuk lignin terlihat pada Gambar 2.9. Konsentrasi masing-masing komponen pembentuk lignin, berbeda untuk tiap jenis tumbuhan, namun menurut Holtzapple (2003), perbedaan tersebut dapat diminimalisasi dengan mengelompokkan kayu menjadi dua, yaitu softwood dan
hardwood. Pada hardwood, komponen yang paling banyak adalah trans-Coniferyl alcohol dan trans-Sinapyl alcohol, sedangkan pada softwood, 90% pembentuknya adalah trans-Coniferyl alcohol.
Gambar 2.8. Struktur kimia lignin. (FAPET) Lokasi lignin pada tumbuhan biasanya terdapat diantara elemen-elemen serat, sekitar 70%-nya, dan pada dinding primer kayu. Studi tentang pembentukkan lignin pada
20
Pemodelan Matematika Digester Pulp
tanaman sangat berguna untuk menentukan kemungkinan dari struktur lignin, walaupun penelitian ini belum menghasilkan kesimpulan.
Gambar 2.9. Komponen-komponen utama pembentuk lignin. (FAPET)
Lignin tidak dapat di-isolasi dari kayu tanpa mendegradasikan strukturnya, hal tersebut dikarenakan jaringannya berupa ikatan kimia yang sangat kuat dari polimer berberat molekul tinggi. Cara paling sederhana untuk melepaskan lignin dari kayu adalah pertama dengan meng-ekstraksi kayu dengan air dingin lalu eter dan etanol yang diikuti dengan pengendapan etanol dan lignin terlarut dalam eter. Namun cara tadi hanya merepresentasikan lignin sekitar 10%-nya saja, dan dikenal sebagai Brauns’ Native
Lignin. Beberapa metode lain yang digunakan untuk mengisolasi lignin “pertama” adalah dengan cara melarutkan serta memurnikannya secara kimia. Cara melarutkan tersebut antara lain dengan shulphonation dan hidrolisis dengan larutan bisulfit atau sulfite, ekstraksi pelarut yang di-asamkan (alkohol, dioxan, dan phenol), serta ekstraksi larutan alkali, dengan atau tanpa ion sulfide. Tentu saja beberapa jenis proses pembuatan pulp secara umum digunakan untuk melarutkan lignin dalam rangka membebaskan dan membersihkan lignin dari serat selulosa, dibandingkan untuk keperluan riset. Berat molekul lignin terisolasi berkisar antara 1000 hingga 12000, tergantung pada degradasi kimia dan kondensasi selama isolasi lignin. Derajat polimerisasi monomer pembentuk lignin juga berpengaruh pada berat molekul lignin. Holtzapple (2003) mengatakan bahwa secara umum sub-unit pada softwood memiliki berat molekul sebesar 184 dengan formula diperkirakan C9H7.95O0.92 (OCH3)0.92, dengan derajat polimerisasi sekitar 50 hingga 60. Sedangkan untuk hardwood, dengan perkiraan formula C9H7.49O2.53
21
Pemodelan Matematika Digester Pulp
(OCH3)1.93, memiliki berat molekul sub-unit sebesar 200 dan derajat polimerisasi sebesar 25 hingga 30. Berdasarkan kepada penelitian dengan menggunakan sinar-x terhadap lignin, dihasilkan beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut adalah lignin bersifat non-kristalin, dalam kayu berlaku seperti gel dalam pipa kapiler dan dapat digembungkan, memiliki kemampuan untuk menyerap bahan kimia gas dan liquid, serta memiliki luas permukaan sekitar180 m2/gr. Karena berbentuk amorph, maka lignin tidak memiliki titik didih, namun lignin melembut pada temperatur 70 – 110oC. Pentingnya reaksi berwarna dari lignin biasanya diabaikan, padahal lignin berpengaruh secara signifikan pada pengotoran kertas berbahan dasar kayu, warna pulp, proses bleaching pada saat klorinasi dan ekstraksi alkalin, pengotor pada saat pembilasan
pulp dan kertas yang disebabkan oleh cuaca. Lignin di alam berwarna putih atau cokelat muda, namun biasanya menghasilkan warna karena reaksi kondensasi, warna tersebut diperkuat oleh oksidasi dan kehadiran besi. Warna kekuningan pada kertas karena penyimpanan terjadi karena oksidasi dari grup fenol pada lignin.
2.3 Pulping dan Larutan Pemasak Lignin dan beberapa karbohidrat dipisahkan dari chips kayu pada saat pemasakan berlangsung. Bahan-bahan tersebut lalu dilarutkan dalam larutan yang dapat bersifat alkali, netral, ataupun asam. Proses yang paling banyak digunakan saat ini adalah proses
Alkaline Kraft, komponen aktif yang terlibat di dalam proses tersebut adalah hiroksida (OH-) dan hidrosulfida (HS-). Untuk proses yang menggunakan larutan netral ataupun asam, biasanya digunakan ion HSO3-. Sifat-sifat serat yang dihasilkan dari proses pulping ini, tergantung pada morfologi dari kayu serta proses delignifikasinya. Proses alkalin menghasilkan fiber yang fleksibel dan relatif kuat namun berwarna kecoklatan, sementara proses yang menggunakan asam menghasilkan serat yang lebih cerah dalam hal warna namun lebih lemah, kaku, dan rapuh.
Chips kayu mempertahankan struktur kayunya selama proses pemasakan kecuali lignin yang terdapat di dalam struktur kayunya dan sekitar setengah dari berat padatan22
Pemodelan Matematika Digester Pulp
nya. Namun struktur chips tersebut melemah dan akan hancur menjadi serat-serat tersendiri. Delignifikasi secara kimia tidak dapat dengan mudah menembus secara langsung ke ikatan yang kaya akan lignin, bagian “middle lamella”, yang terikat secara kuat pada kayu. Bahan pelarut kimia biasanya bergerak dari cekungan serat yang bercahaya menembus ke dinding sel yang berpori kecil menuju middle lamella, yang selama perjalanan tersebut melarutkan lignin dan karbohidrat. Komponen yang terdapat pada middle lamella terlarutkan terakhir. Larutan yang digunakan sebagai pemasak pada proses delignifikasi tergantung pada jenis proses yang digunakan. Secara prinsip, proses delignifikasi dibagi menjadi dua, yaitu proses soda dan proses sulfat. Proses soda merupakan proses yang lebih tua, namun sekarang agak jarang digunakan. Walaupun kebijakan lingkungan saat ini cenderung untuk membuat proses yang bebas sulfur, kualitas pulp yang baik serta keuntungan lain pada proses sulfat mengakibatkan banyaknya industri yang masih menggunakannya. Pemakaian alkali pada pembuatan pulp sebagai bahan baku kertas, kemungkinan pertama kali diterapkan oleh bangsa Arab yang belajar dasar prosesnya dari tahanan berkebangsaan China sekitar tahun 750 setelah masehi. Bangsa Cina menggunakan pohon mulberi sebagai bahan baku utama, sedangkan bangsa Arab menggunakan potongan kain linen yang dipisahkan dengan cara diragikan. Proses sulfat merupakan pengembangan dari proses soda, ditemukan oleh Dahl, ahli kimia jerman, pada tahun 1879. Dahl menemukan bahwa ketika kehilangan alkali pada proses soda digantikan oleh sodium sulfat termasuk sodium karbonat, sulfat akan tereduksi menjadi sulfida selama terjadinya pemanasan/pembakaran lindi hitam. Kata sulfat pada proses sulfat mengacu pada sulfat sebagai agen pemasak yang paling aktif, sedangkan yang lain menggunakan sodium hidroksida dan sodium sulfat sebagai agen aktifnya. Kata “Kraft” pada proses Kraft diambil dari bahasa jerman dan swedia yang berarti kuat, dikarenakan pulp yang dihasilkan sangat kuat. Pada Proses Kraft, campuran natrium sulfida dan natrium hidroksida digunakan sebagai larutan pemasak. Sulfida mempercepat proses delignifikasi, sehingga chips bersentuhan dengan alkali panas dengan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan proses soda. Hal tersebut yang mengakibatkan pulp yang dihasilkan lebih kuat.
23
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Pada awalnya, proses kraft digunakan hanya pada pulp yang tidak dibilas sebagai bahan baku kertas kuat. Saat ini, kedua bentuk proses tersebut digunakan secara bergantian. Proses kraft lebih baik dari proses soda pada bagian laju produksi pulp, yield, kualitas, dan ongkos produksi. Proses kraft juga memiliki keunggulan dibandingkan proses sulfit yaitu hampir seluruh jenis kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku, waktu pemasakan yang lebih pendek, dan pulp yang dihasilkan memiliki kekuatan yang baik. Keunggulan lain dari proses kraft adalah proses pengambilan kembali lindi pemasak yang mudah dilakukan, kulit kayu yang masih melekat pada chips masih dapat ditoleransi, dan dapat menghasilkan produk samping yang bernilai, tergantung pada jenis kayu yang digunakan Istilah yang digunakan pada praktek industri untuk bahan-bahan pemasak pada proses kraft, digunakan pada pemodelan ini. Tujuan dari penggunaan istilah tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kesimpangsiuran istilah. Istilah-istilah tersebut disajikan pada Table 2.4.
24
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Tabel 2.4. Istilah-istilah yang digunakan pada pembuatan pulp menggunakan proses kraft Istilah
Keterangan
Total Chemical.
Semua garam natrium, dinyatakan sebagai Na2O.
Total alkali.
NaOH + Na2S + Na2CO3 + 1/2Na2SO3
Active alkali.
NaOH + Na2S
Efektif alkali.
NaOH + 1/2Na2S
Activity.
Prosentase perbandingan dari aktif alkali terhadap total alkali.
Causticizing efficiency.
Prosentase perbandingan dari NaOH terhadap jumlah NaOH + Na2CO3 pada lindi putih. Prosentase perbandingan dari NaOH terhadap aktif alkali.
Causticity. Chemical recovery efficiency.
Prosentase perbandingan total bahan kimia yang diumpankan ke digester dikurangi total chemical dibagi dengan total chemical yang diumpankan ke digester.
Green liquor.
Sebutan untuk larutan yang dibuat oleh pelarutan bahan kimia yang terambil kembali dalam air, menjadi larutan yang lemah yang dipersiapkan untuk dicampur kaustik, selanjutnya disebut lindi hijau.
White liquor.
Sebutan untuk larutan yang dibuat dengan memberikan kaustik pada lindi hijau, larutan ini siap untuk digunakan pada digester, selanjutnya disebut lindi putih.
Black liquor.
Sebutan untuk larutan yang diambil kembali dari digester berisi padatan dan lignin terlarut, selanjutnya disebut lindi hitam.
Komposisi lindi putih pada proses kraft umumnya seperti diberikan pada Tabel 2.5. Komposisi tersebut merupakan lindi putih hasil pengambilan kembali. Lindi putih yang masih baru, hanya mengandung NaOH dan Na2S saja. Natrium sulfat dihasilkan dari reduksi yang tidak sempurna pada tungku, Na2CO3 didapatkan dari proses
causticizing yang tidak sempurna. Na2CO3 + Ca(OH)2
2NaOH + CaCO3
(2.10)
Na2S2O3 dihasilkan dari sulfide yang teroksidasi oleh udara. Pada lindi putih, komponen-komponen kimia selain NaOH dan Na2S disebut sebagai “dead load”. Dengan meningkatnya dead load tersebut, maka pelepasan lignin dari chips akan menurun. 25
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Tabel 2.5. Komposisi kimia lindi putih, (Kayihan, 1996) Komponen Range (g/L) % Total NaOH 81 – 120 53 Na2S 30 – 40 21 Na2CO3 11 – 44 15 Na2SO3 2.0 – 6.9 3 Na2SO4 4.4 – 18 5 Na2S2O3 4 – 8.9 3 Untuk komposisi lindi hitam secara umum diberikan pada Tabel 2.6. Dibandingkan dengan lindi putih, lindi hitam memiliki porsi sulfur yang lebih besar, hal ini disebabkan oleh dioksidasinya sulphat menjadi thiosulphat. Selain dari beberapa komponen tersebut di atas, pada lindi juga terdapat sedikit (traces) logam yang berasal dari kayu bahan baku. Table 2.6. Komposisi kimia lindi hitam pada beberapa industri, (Nolan dkk, 1978) Komponen NaOH Na2S Na2CO3 Na2SO3 Na2SO4 Na2S2O3
Range (g/L) 1.0 – 4.5 1.6 – 5.6 5 - 12 0.4 – 3.8 0.5 - 6 1.8 – 5.1
% Total 6–7 19 36 9 13 16
Lindi hitam selanjutnya menuju ke bagian pengambilan kembali, dimana larutan yang masih encer disebut sebagai weak black liquor. WBL lalu dikentalkan dengan memasuki daerah evaporasi, hasilnya berupa heavy black liquor.
HBL dengan
konsentrasi 50%, kemudian dikentalkan lagi dengan proses kristalisasi sehingga menjadi 65% berat. Lalu larutan dengan konsentrasi 65% tersebut dibakar pada tungku, sedangkan yang terpisah pada proses pengambilan kembali, diambil sebagai green liquor.
Green liquor tersebut kemudian dikonversi menjadi lindi putih melalui proses causticizing. 2.4 Bilangan Kappa Salah satu acuan dalam menilai kualitas serat pulp pada industri adalah Bilangan Kappa. Bilangan Kappa dikatakan sebagai derajat residual lignin yang terdapat pada 26
Pemodelan Matematika Digester Pulp
serat, karena lignin tidak mungkin untuk hilang seluruhnya dari ikatan lignoselulosa. Salah satu formulasi untuk mencari nilai Kappa seperti yang disarankan oleh Kayihan (1996) adalah:
Κn =
654 × massa lignin total massa solid
(2.11)
Sedangkan Christensen dkk (1982), memberikan persamaan untuk menentukan Bilangan Kappa sebagai berikut: Kn =
ρlignin
⎛ 5 ⎞ 0, 00153 ⎜ ∑ ρ si ⎟ ⎝ 1 ⎠
(2.12)
Bilangan Kappa merupakan suatu standar kualitas dari produk pulp. Pada industri Bilangan Kappa dianalisa setiap satuan waktu oleh Quality Control department, yang kemudian dilaporkan ke bagian pembuatan pulp. Bilangan Kappa yang dianalisa merupakan Bilangan Kappa chips keluaran dari zona terakhir bejana digester. Setelah seksi pembuatan pulp menerima laporan mengenai Bilangan Kappa, maka seksi pembuatan pulp akan melakukan aksi lanjutan untuk menjaga, menurunkan atau menaikkan Bilangan Kappa disesuaikan dengan spesifikasi yang ditentukan. Seksi lanjutan dari seksi pemasakan adalah pencucian dan bleaching. Pada praktek industri, Bilangan Kappa diperoleh dengan cara mencampurkan sample serat keluaran digester dengan 50 ml 0,1 N KMnO4 dan 50 ml 4 N H2SO4, lalu dilihat hasilnya dengan table acuan. Dari hasil analisa laboratorium tersebut dapat ditentukan konsentrasi lignin pada serat dengan menggunakan persamaan: % Lignin in dry pulp = Bilangan Kappa * 0,15
(2.13)
2.5 Digester
Pada industri pulp, digester yang berfungsi sebagai tempat pemasakan bahan baku merupakan jantung bagi proses produksinya. Secara tata bahasa digester adalah “sebuah alat yang digunakan untuk memisahkan selulosa dari bahan lainnya yang terdapat pada kayu, sehingga dapat lebih bermanfaat, dengan menggunakan cara-cara mekanis, kimiawi, dan atau keduanya” (Caballero, 2003).
27
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Perkembangan teknologi digester dapat dikatakan mengalami kenaikan yang lambat, dimulai dengan digester sederhana yang beroperasi batch, hingga digester modern yang beroperasi kontinyu dan menghasilkan pulp yang lebih berkualitas dengan kuantitas yang besar. Pembahasan pada butir-butir berikutnya akan dititikberatkan pada digester kontinyu yang erat kaitannya dengan kajian penelitian ini. Perbedaan utama digester batch dan digester kontinyu terletak pada proses yang terjadi. Pada digester batch, seluruh bahan dimasukan ke dalam digester, lalu melalui beberapa jam pemasakan tanpa ada bahan yang masuk dan keluar sistem pemasakan tersebut. Pada digester kontinyu, bahan baku masuk dan produk keluar terjadi secara terus-menerus. Beberapa tipe bejana bertekanan yang berbeda digunakan sebagai digester pada proses batch. Ada yang berbentuk vertikal berputar, ada juga yang horizontal. Namun yang sering digunakan adalah tipe vertikal stasioner. Hampir kebanyakan industri pulp menggunakan bejana ber-kapasitas 6000 – 8000 3
ft . Unit yang lebih besar lebih efisien, namun dengan naiknya kapasitas, tebal dinding juga harus ditambah. 2.5.1 Digester Batch
Pada digester yang menggunakan sistem batch, chips yang sudah diayak masuk melalui bagian atas digester. Selanjutnya lindi putih dan hitam dimasukan ke digester hingga tercapai target persentase alkali aktif serta rasio larutan terhadap kayu. Untuk mencapai temperatur pemasakan yang diinginkan, kukus bertekanan diumpankan ke dalam digester secara langsung dan yang lain dengan cara memanaskan lindi putih dan men-sirkulasikannya melalui digester. Hingga tahun 1950-an, proses pembuatan pulp dengan proses kraft hanya menggunakan digester batch. Pada tahun 1960-an, barulah proses kontinyu diterapkan pada proses pemasakan tersebut, dan menjadi kompetitor bagi proses batch. Pada tahun 1970-an hingga awal 1980-an, sejalan dengan desakan untuk menciptakan proses yang ramah terhadap lingkungan, dan juga makin banyaknya penelitian untuk mengembangkan proses pemasakan secara batch, digunakan beberapa teknik yang mengkombinasikan beberapa proses pemasakan, serta pemakaian energi yang semakin efisien. Hasilnya, berupa metode pemasakan yang diantaranya dikenal dengan nama cold blow. 28
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Proses “displacement” atau penggantian lindi pada sistem batch merupakan hal yang sangat penting. Pada proses ini, lindi hitam yang masing mengandung larutan dan panas yang masih dapat digunakan akan ambil kembali. Proses pemisahan lindi hitam dengan larutan yang akan ambil kembali dilakukan dengan memasukkan lindi hitam ke dalam akumulator pemisah bertekanan. Prinsip yang dilakukan pada Displacement batch cooking seperti pada Gambar 2.10 diberikan pada Tabel 2.7. Pada table tersebut dijelaskan secara umum proses yang terjadi pada tiap-tiap tahapnya. Tabel 2.7. Tahap-tahap pada Displacement batch cooking. Tahap
Keterangan
Chips filling
Digester diisi dengan chips, dan secara simultan udara diekstrak melalui penyaring sirkulasi lindi.
Warm black liquor fill
Warm black liquor (WBL) dipompakan melalui bagian bawah digester. Setelah volume yang diinginkan tercapai, kerangan keluaran yang terletak di atas, ditutup. Pemompaan lindi yang terus-menerus, meningkatkan tekanan dalam digester. Sebagian lindi putih digunakan sebagai penambah ion OH- sehingga pH tetap tinggi.
Hot black liquor (HBL) fill
HBL dipompakan dari bawah ke atas.
Hot white liquor (HWL) fill
HWL yang belum dipanaskan sering dicampurkan dengan HBL pada saat pemompaannya.
Heating
Fasa pemanasan dilakukan hingga digester mencapai temperatur maksimum yang diinginkan, sering dengan menggunakan kukus secara langsung yang memanaskan lindi. Biasanya fasa ini hanya membutuhkan kenaikkan sebanyak 15-20OC, sehingga pemakaian kukus sangat minimal. Hal ini merupakan keuntungan yang sangat besar bila dibandingkan dengan pemasakan batch konvensional yang lain.
Terminal displacement
Isi dari digester didinginkan untuk menghentikan reaksi ketika tingkat delignifikasi yang diinginkan sudah tercapai. Hal ini dilakukan dengan memompakan larutan pencuci melalui bagian bawah digester, mengeluarkan lindi panas menuju akumulator.
Pulp discharge
Isi dari digester sudah ber-temperatur 100oC dikeluarkan dari digester menggunakan metoda pelarutan dan pemompaan. System terbaru pada displacement ini menggunakan udara bertekanan atau kukus untuk menekan (“blow”) bahan-bahan keluar dari digester. 29
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Gambar 2.10. Displacement batch cooking, (FAPET) Teknik displacement yang banyak digunakan dewasa ini adalah Rapid displacement Heating, SuperBatch, Enerbacth, dan Cold Blow. Pada Rapid Displacement Heating (RDH), terdapat karakteristik tersendiri yaitu pengambilan panas dari HBL pada akhir proses pemasakan dan digunakan pada batch berikutnya. Temperatur impregnasi pada proses ini umumnya 125OC-130OC. Pada SuperBatch terdapat tempat displacement pada akhir proses pemasakannya, yang dimaksudkan untuk mendapatkan kembali lindi hitam dalam sebuah akumulator dengan acuan volume lindi dalam digester. Pengambilan kembali sisa lindi hitam bila volume sudah tidak mencukupi dilanjutkan ke akumulator yang lain. Pada tahap impregnasi, lindi hitam bertemperatur 80OC – 90OC. Teknik Enerbatch mengimplementasikan tahap impregnasi dilakukan dengan lindi putih dalam jumlah yang banyak dan sejumlah lindi hitam dari pemasakan sebelumnya. Larutan impregnasi lalu digantikan oleh Hot Black Liquor dan lindi putih. Teknik yang terakhir adalah Cold Blow. Pada metode ini, pemasakan dimulai dengan mengisi digester dengan lindi putih bertemperatur 90OC dan Hot Black Liquor pada 165OC setelah proses pengumpanan chips. Temperatur awal sekitar 135°C-140°C. Isi dari digester kemudian dipanaskan hingga temperatur pemasakan dengan cara re-sirkulasi larutan dan pemanasan tidak langsung. Pada pemasakan cold-blow dua tahap, campuran dari hasil penyaringan pencuci sebelum dipanaskan dengan padatan yang sedikit terlarut serta lindi putih yang menggantikan larutan pemasak sebelum akhir proses pemasakan. 30
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Pada versi satu tahap, pemasakan berlangsung secara normal tanpa tahap kedua. Penggantian larutan pemasak dengan hasil penyaringan pencuci menghentikan reaksi pemasakan. Karakteristik utama pada cold blow adalah tidak adanya tahap impregnasi yang panas. Metode memasukkan umpan pada digester batch ada beberapa macam. Beberapa metode langsung memasukkan seluruh umpan hingga memenuhi bejana. Ada juga metode lain yang memasukkan larutan bersamaan dengan chips, namun larutan tersebut disirkulasikan lagi terus-menerus. Kukus bertekanan diumpankan dari bagian bawah agar dapat “mengocok” chips. Pengumpanan chips haruslah seragam, karena chips yang tidak seragam mengakibatkan kekacauan dalam sirkulasi, pemasukkan alkali serta perpindahan panas. Selama pengumpanan chips, udara dan kukus yang tidak terkondensasi dikeluarkan dari digester melalui penyaring dengan menggunakan fan. Sebuah cyclone di atas fan ini, mengeluarkan bahan-bahan halus. Tanpa pengeluaran udara leher dari digester akan tersumbat. Proses yang terjadi secara garis besar terlihat pada Gambar 2.11. Gambar tersebut menunjukkan sirkulasi larutan impregnansi, sebagian besar berupa lindi hitam bertemperatur sekitar 95OC, dipompakan ke dalam digester melalui bagian dasarnya hingga seluruh digester terisi olehnya. Beberapa proses menggunakan liquor berlebih dan over flow-nya menuju tangki lindi hitam. Sirkulasi yang umum dilakukan pada suatu digester batch dengan cara dilewatkannya larutan melalui sebuah penukar panas seperti pada Gambar 2.11. Larutan yang disirkulasikan tersebut didistribusikan kembali ke bejana. Pompa sirkulasi yang digunakan, dirancang sedemikian rupa sehingga larutan tersirkulasi sekali tiap sepuluh menit.
31
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Gambar 2.11. Sistem sirkulasi pada digester batch (FAPET) Penggunakan digester batch pada proses pemasakan, dapat memudahkan kita untuk mengukur total yield. Sistem Liquor Displacement Batch dapat meningkatkan yield seperti terlihat pada gambar berikut ini. Hal ini dapat terjadi karena keseragaman proses pemasakan dan pemodifikasian bahan kimia pemasak. Gambar 2.12 memberikan profil Bilangan Kappa terhadap yield pada system pemasakan konvesional dan displacement. Sejalan dengan tingkat kekuatan yang dihasilkan, proses displacement juga memberikan yield yang lebih besar.
Gambar 2.12. Yield vs Bilangan Kappa pada sistem konvensional dan displacement (FAPET) 32
Pemodelan Matematika Digester Pulp
2.5.2 Digester Kontinyu 2.5.2.1 Sejarah dan Perkembangan Digester Kontinyu
Prototype digester kontinyu pertama digunakan oleh industri pulp di Swedia pada tahun 1938, dengan kapasitas 20 ton per hari. Model digester yang pertama ini berupa chamber yang memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi, dimana chips dan bahan kimia dimasukkan. Campuran tersebut dijalankan melalui beberapa seri tube, untuk mencapai waktu reaksi pembentukan pulp. Digester dengan model seperti yang dijelaskan pada alinea sebelumnya masih digunakan oleh beberapa industri untuk melakukan pulping semi kimia, atau juga pada proses alkaline pulping yang berbahan baku bagian-bagian dari kayu, misalnya bubuk halus hasil penggergajian kayu. Peningkatan kapasitas menjadi 30 ton per hari terjadi tahun 1948 dan terpasang sebanyak 15 buah selama kurang lebih 10 tahun. Selanjutnya terjadi lonjakan teknologi pada digester kontinyu, yaitu pada tahun 1957 di Swedia. Perbedaan generasi baru ini jika dibandingkan generasi pertama adalah terjadinya proses cold blowing, yaitu pada saat keluar dari digester, serat mengalami penurunan tekanan dan temperatur yang ekstrim, proses ini menghasilkan serat yang lebih kuat. Perkembangan selanjutnya adalah digester M&D, yaitu digester yang dikembangkan oleh Messing dan Durkee, berupa tube conveyor yang menanjak (inclined). Karena pada keseluruhan chamber diberi tekanan, temperatur pada setiap titik akan meningkat sejalan dengan injeksi kukus. Pada digester ini, tahap impregnansi dapat diselesaikan sebelum temperatur maksimal tercapai. Waktu tinggal dapat dikendalikan dengan cara mengatur kecepatan putaran conveyor. Penggunaan dua buah M&D secara seri dapat lebih memaksimalkan pengontrolan tahap impregnansi. Dengan impregnansi yang sempurna, tahap pemasakan dapat berjalan lebih cepat pada temperatur tinggi dengan kukus bertekanan atmosfer. Gambar 2.13 memperlihatkan digester M&D. Walaupun M&D dapat digunakan pada kraft pulping, namun secara komersial hanya terbatas pada bahan baku berupa serbuk gergaji. Salah satu masalah yang dihadapi pada M&D adalah terbatasnya ukuran bejana, yang hanya berdiameter 8 ft, sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kuantitas yang besar dibutuhkan tiga hingga lima unit digester, baik itu secara seri ataupun paralel.
33
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Gambar 2.13. Digester kontinyu M&D (FAPET)
2.5.2.2 Digester Kontinyu Bejana Tunggal
Perkembangan lebih jauh pada digester kontinyu adalah sebuah digester vertikal yang mengimplementasikan chips mengalir ke bawah. Digester jenis vertikal ini dikembangkan oleh Kamyr. Instalasi komersial pertama dilakukan pada tahun 1950, dan pada tahun 1979 sudah terpasang 237 unit digester pada industri-industri pulp. Pada sistem ini, chips memasuki digester pada bagian atas, lalu didorong ke bawah dengan menggunakan ulir berputar. Ketika chips memasuki digester, proses penyerapan larutan pulping terjadi. Laju produksi pada digester ini sudah dapat mencapai lebih dari 2000 ton per hari. Metode baru pada tahun 1980-an adalah MCC dan ITC. MCC adalah modified Cooking Continuous, yaitu pemasakan pulp yang dilakukan setelah pemasakan tahap pertama dengan cara mengontakkan chips dengan lindi pemasak secara berlawanan arah. Dengan cara tersebut, serat yang dihasilkan lebih kuat dan yield lebih banyak (FAPET). Demikian juga dengan Isothermal Continuous, proses pemasakan dengan menggunakan bejana vertikal tunggal dan temperatur operasi yang dipertahankan sekitar 150 – 160oC tergantung kondisi operasi. Berbeda dengan cara pemasakan konvensional yang memasukkan seluruh bahan padat dan cair dari atas digester, dan menunggu hasilnya di “bawah”, cara MCC dan ITC memodifikasi proses sehingga hasilnya lebih baik. 34
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Kamyr digester berbejana kontinyu tunggal diilustrasikan pada Gambar 2.14. Pada digester ini, chips bergerak ke bawah secara secara seragam mendekati model reaktor aliran sumbat. Zona pertama pada digester ini adalah zona impregnansi, yaitu zona penyerapan larutan pulping ke dalam pori-pori chips, sehingga udara dalam poripori tergantikan oleh larutan tersebut. Fungsi lain dari zona impregnasi adalah melunakkan kayu, dan memudahkan reaksi deligniikasi pada tahap pemasakan. Pada tahap impregnasi ini, waktu tinggal berkisar sekitar 45 menit pada temperatur 105 hingga 130oC. Sebelum memasuki tahap reaksi, chips kayu mengalami tahap pemanasan yang bertujuan untuk menghasilkan temperatur pemasakan. Temperatur yang dihasilkan berkisar sekitar 4oC lebih dari temperatur pemasakan.
Chips and Liquor
Chips
Steam Impregnation Zone
Chips Silo Steam Screens
Liquor
White Liquor
High Pressure Feeder
Cooking Zone Liquor Washing Zone Blow Line
Gambar 2.14. Kamyr digester kontinyu sistem satu bejana Pada tahun 1983, digester model Modified kraft Continous Cooking (MCC) diujikan pada industri. Metode yang dikembangkan oleh STFI di Stockholm ini, memberikan delignifikasi yang selektif dan pulp yang lebih kuat dibandingkan dengan proses konvensional. Pada operasi MCC, sejumlah lindi putih ditambahkan ke dalam sistem melalui sirkulasi MCC di mana lindi tersebut dicampurkan dengan lindi yang sudah lemah dari dalam kolom. Sistem sirkulasi tersebut memanaskan dan
35
Pemodelan Matematika Digester Pulp
mendistribusikan lindi ini ke sepanjang kolom. Jenis aliran pada zona MCC adalah berlawanan (countercurrent) menuju atas pada daerah free liquor dalam kolom.
Gambar 2. 15. Sistem pemanasan dan sirkulasi pencuci (Fapet CD-ROM) 2.5.2.2 Digester Kamyr Dengan Dua Bejana
Beberapa perubahan dan pengembangan yang signifikan terhadap digester kontinyu dilakukan oleh beberapa institusi. Pengembangan itu terutama dalam hal peningkatan kapasitas digester dan kualitas pulp, serta teknik pengambilan kembali massa dan energi. Extended modified continuous cooking (EMCC) merupakan pengembangan dari MCC, yang memasukkan lindi putih tambahan melalui sistem pemanasan dan sirkulasi pencuci pada bagian dasar kolom seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.15. Temperatur sirkulasi pencucian meningkat sampai ke temperatur pemasakan maksimal. Pada prakteknya teknologi MCC dapat juga digunakan menjadi teknologi EMCC dengan menambahkan sejumlah lindi putih ke sistem sirkulasi cairan pencuci. Hal tersebut akan menjadikan dua kolom penambahan lindi putih secara countercurrent. Dengan menerapkan teknologi EMCC, maka bejana pada digester harus ditambah dalam tingginya, maka dimodifikasi menjadi bejana ganda. Gambar 2.16 menyajikan gambaran umum digester kontinyu type Kamyr bejana ganda. Chips kayu masuk ke conveyor dari woodyard dan memasuki proses melalui bin. Alat pengukur chips mengontrol laju keluaran bin dan laju produksi. Keluaran dari alat pengukur chips diumpankan ke Low Pressure Feeder, yang memindahkan chips ke 36
Pemodelan Matematika Digester Pulp
horizontal tank, bertekanan sekitar 100-150 kPa dengan kukus. Bejana pre-steaming merupakan sebuah screw conveyor horizontal yang keluarannya menuju ke vertikal chute. Lalu chips menuju ke pengumpan bertekanan tinggi, di saat yang sama juga terjadi pengontrolan level lindi pada chute (tempat peluncuran) ini. Chips bergerak secara grafitasi, dan kontak dengan lindi pada saat pertama. Lindi ini berputar (sirkulasi) dari chute pada pengmpan bertekanan tinggi dan kembali ke chute melewati penguras seperti pada gambar 2.15. Pada bagian dasar dari bejana vertikal, chips menuju pengumpan bertekanan tinggi secara grafitasi dan dibantu oleh aliran lindi yang tersirkulasi. Pengumpan bertekanan tinggi menjadikan chips yang bertekanan 100-150 kPa, menjadi tekanan proses sebesar 1 MPa. Chips bersama lindi di-flush menuju bagian atas bejana impregnansi atau digester sebagai slurry, dimana terdapat sebuah pemisah berulir memisahkan lindi pembawa dari chips, mengembalikannya ke bagian inlet pengumpan bertekanan tinggi, dan secara terus menerus membawa chips ke bagian atas digester, seperti terlihat pada Gambar 2.17. Lindi putih (bahan kimia pemasak) dimasukkan ke dalam proses selama proses pengumpanan.
Gambar 2.16. Sistem digester bejana ganda (FAPET) Setelah melewati tahap pengumpanan, chips menuju tahap impregnansi. Tahap ini terjadi dalam sebuah bejana khusus impregnansi, atau dapat juga dalam sebuah digester 37
Pemodelan Matematika Digester Pulp
yang terintegrasi dengan bejana tersebut. Pada tahap ini, proses-proses yang terjadi adalah (1) penetrasi lindi ke dalam struktur kapilar chips, (2) bahan kimia pemasak berdifusi dari bagian luar chips ke bagian tengahnya.
Gambar 2.17. Contoh pengumpan chips dengan steam bertekanan tinggi Efisiensi pada tahap ini dipengaruhi oleh tahap pengeluaran udara dari dalam chips. Tahap impregnansi pada proses kontinyu umumnya berlangsung pada temperatur 115-130oC selama 45-60 menit. Namun penelitian skala laboratorium memberikan hasil bahwa untuk menambah kekuatan dan yield dari pulp, dibutuhkan waktu impregnasi yang lama serta temperatur yang lebih rendah. Setelah melewati tahap impregnasi, slurry menuju tahap pemanasan untuk mencapai temperatur pemasakan maksimal. Kemudian chips diumpankan ke digester melalui bagian atasnya. Pada bagian atas digester terdapat pipa udara bertekanan yang berfungsi menjaga chips tetap begerak secara plugflow. Setelah itu secara simultan dimasukkan cairan pemasak, hingga dalam digester secara esensial hanya terdapat sebuah sistem dua fase, yaitu liquid dan padatan. Fase liquid mengisi kolom-kolom udara yang
38
Pemodelan Matematika Digester Pulp
terdapat antara masing-masing chips, larutan yang berada pada posisi ini dikenal dengan nama “free liquor”. Selama proses pemasakan, chips mempertahankan sifat-sifat fisiknya dan tidak menjadi serat hingga proses depressurisasi atau blowdown pada ujung digester. Fraksi massa padatan dalam chips akan menjadi 0,35-0,1 bergantung pada densitas chips kayu pada saat belum diolah (densitas awal). Penurunan fraksi massa terjadi selama proses pemasakan ini, padatan terlarut ke dalam larutan pemasak. Pada tiap-tiap bagian akhir dari zona pemasakan, MCC, dan EMCC, terdapat stainer yang berfungsi memisahkan padatan dan larutan. Larutan pemasak yang sudah mengandung padatan terlarut, lindi hitam, dikeluarkan melalui bagian dinding strainer, sedangkan padatan mengalir ke bawah menuju tahap pemasakan selanjutnya. Gambar 2.18 menyajikan gambaran mengenai bentuk dari strainer tersebut. Pada bagian ujung dari keseluruhan digester, terdapat alat yang berfungsi sebagai “outlet device”. Selain berfungsi sebagai pemisah padatan dan larutan, juga sebagai penurun tekanan, karena bubur pulp akan memasuki zona bleaching. Gambar dari alat tersebut diperlihatkan pada Gambar 2.19.
Gambar 2.18. Strainer jenis stave pada digester kontinyu (PT. Indah Kiat Pulp and Paper)
39
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Gambar 2.19. Outlet Device pada ujung digester kontinyu (PT. Indah Kiat Pulp and Paper) Pemakaian digester kontinyu pada industri mengantikan batch proses, memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih efisien dalam hal ukuran, kebutuhan kukus yang konstan, komponen tambahan yang tidak terlalu banyak (belt conveyor, sistem recover panas), tahap pencucian termasuk ke dalam digester (Kamyr), dapat digunakan untuk semua jenis kayu, dan memiliki efisiensi energi yang lebih baik. Faktor-faktor lain yang dapat menjadi acuan bagi pemilihan tipe digester yang akan digunakan adalah dalam hal capital cost serta tenaga manusia yang digunakan untuk pengoperasian. 2.6 Pengendalian Operasi
Digester pulp merupakan alat yang sangat menentukan pada industri pulp, sehingga pengendalian yang baik sangat diperlukan. Pada pengontrolan digester pulp terdapat tiga hal yang menyulitkan, yaitu (1) kualitas chips yang bervariasi, karena sifat chips sangat heterogen akibat umur dan ukuran pohon, (2) masalah pengukuran dimana Bilangan Kappa tidak dapat diukur pada saat pemasakan, dan (3) proses yang lama (antara 90 hingga 200 menit).
40
Pemodelan Matematika Digester Pulp
Pengendalian dasar pada digester kontinyu mengacu pada urutan proses. Urutan tersebut diuraikan menjadi pengendalian pengumpanan, pengendalian laju produksi, dan pengendalian laju perubahan. Pengukuran umpan masuk menggunakan chips meter speed yang dioperasikan oleh seorang operator, disesuaikan dengan laju produksi yang diharapkan. Penyesuaian juga dilakukan berdasarkan volume, bulk density dan yield. Pengendalian dosis diuraikan menjadi pengendalian dosis alkali, pengendalian profil alkali, dan pengendalian larutan terhadap kayu. Agar didapatkan pulp dengan kualitas yang konstan, perbandingan dosis alkali harus sesuai dengan jumlah kayu bebas air. Dalam beberapa kasus, alkali dimasukkan pada tempat yang berbeda-beda, contohnya pada proses modified cooking. Pengendalian lain yang merupakan pengendalian dasar adalah pengendalian pada bejana penyerapan yang meliputi pengendalian level chips dan pengendalian pencairan pada bagian bawah bejana. Pengendalian pada digester dilakukan agar tidak terjadi rejection of pulp pada akhir digester. Hal-hal yang harus dikendalikan pada digester adalah pengendalian level chips, pengendalian level larutan, pengendalian profil temperatur, serta pengendalian H-factor. 2.7 Kinetika Reaksi
Mekanisme reaksi pada proses pulping kimiawi sangat komplek yang meliputi pelarutan bahan organik, lignin, karbohidrat, dan bahan ekstraktif lainnya selama proses berlangsung pada fase yang berbeda. Pelarutan bahan-bahan tersebut berbeda pada tiap tahap pemasakannya, dan membutuhkan perlakuan khusus untuk masing-masing bahan. Sistem reaksi merupakan sitem yang heterogen antara fase larutan dan padatan dimana terjadi mekanisme perpindahan massa yang sangat kompleks secara simultan. Larutan pemasak yang aktif berpindah ke dalam pori-pori chips dan dinding sel, serta hasil reaksi berpindah dari sistem. Sistem reaksi pulping dapat dikatakan sebagai sistem yang homogen jika beberapa faktor dari perpindahan massa dan energi memungkinkan untuk diabaikan. Kebanyakan
literatur
yang
membahas
kinetika
reaksi
dalam
digester
menggunakan asumsi bahwa kinetikanya diperlakukan sebagai sistem reaksi homogen. Hampir semua model digester kontinyu pada literatur dapat di-klasifikasi-kan menjadi dua kategori tergantung pada penekanan yang dilakukan, yaitu (1) Pulping Chemistry dan 41
Pemodelan Matematika Digester Pulp
(2) Deskripsi hidraulis dari aliran chips dan larutan. Smith dan Williams (1974) mengembangkan model kinetika dasar yang mendeskripsikan delignifikasi chips dengan bentuk berikut: a b c ⎤⎦ ( Cs ,i − Cs∞,i ) Rs ,i = − ⎡⎣ k A,i (T )COH CHS + k B ,i (T )COH
(2.14)
dengan subscript s,i menunjukan substansi padatan yang terkandung dalam chips, konstanta model (a, b, c) dihitung dengan cara trial and error oleh para peneliti sebelumnya pada data kimia pulping. Sedangkan untuk model Arrhenius menggunakan persamaan: k Ai (T ) = k Aoi exp(− E Ai / RT ) k Bi (T ) = k Boi exp(− EBi / RT )
(2.15) (2.16)
Variabel reaksi utama pada delignifikasi adalah spesies kayu (komponen utama pembentuknya), ukuran chips, temperatur, waktu reaksi, dan konsentrasi larutan pemasak (ion-ion OH- dan HS-). Sifat kimia dan morfologi dari kayu merupakan faktor yang paling dominan pada sifat-sifat pulp yang dihasilkan. Kondisi proses memainkan peranan penting, namun hanya bisa digunakan pada bahan baku yang sesuai. Jenis kayu dan ukuran chips dapat digunakan untuk menentukan kondisi optimal yang akan digunakan. Vroom dkk (1957) membuat sebuah cara untuk mengantarkan sebuah model yang universal untuk laju reaksi pulping, dengan menggunakan persamaan Arrhenius sebagai dasar dan mengasumsikan bahwa tidak ada perbedaan laju antar fase selama reaksi berlangsung dan tidak mempertimbangkan konsentrasi reaktan. H-factor didefinisikan sebagai 1 untuk efek pulping, dengan nilai “1 h” pada o
100 C; nilai tersebut meningkat sejalan dengan kenaikan temperatur yang dikenal sebagai energi aktifasi untuk delignifikasi. Sebagai rule of thumb, Vroom dkk mengasumsikan bahwa laju reaksi pada proses kraft adalah dua kali lipat dengan kenaikkan temperatur 10oC. Vroom dkk mendefinisikan H-factor dengan persamaan berikut: H = ∫ kr .dt
(2.17)
Secara prakteknya, H-factor adalah luas daerah dibawah kurva hubungan temperatur dan waktu reaksi. Laju pelepasan lignin lambat pada awal pemasakan. Fase ini disebut sebagai insial delignifikasi, yang akan terus meningkat bersamaan dengan temperatur hal ini dikenal 42
Pemodelan Matematika Digester Pulp
dengan istilah fase bulk delignifikasi. Laju tersebut kemudian akan melambat kembali pada tahap terakhir pemasakan, yang juga dikenal dengan fase residual delignifikasi. Walaupun adanya ion hidrosulfit pada larutan pemasak, reaksi delignifikasi melambat pada suatu titik tertentu, sehingga tidak semua akan hilang. Laju reaksi delignifikasi juga dipengaruhi oleh suatu faktor yang disebut dengan Reaction Rate Effectiveness Factor, θ, disebut juga faktor keefektifan, yang menggambarkan pengaruh difusi dan reaksi secara relatif terhadap laju reaksi secara keseluruhan keseluruhan. Faktor keefektifan juga dikenal sebagai perbandingan laju reaksi global terhadap reaksi intrinsik. Nilai dari faktor keefektifan berkisar dari 0 sampai dengan 1. Beberapa model kinetika dapat menggambarkan efek ini dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, ada yang menggambarkan hanya pada fase pemasakannya saja, namun ada juga yang menggambarkan lebih lengkap pada hampir setiap tahap. Namun, asumsi dasar yang harus diambil adalah chips mengalami penetrasi yang baik sebelum memasuki tahap pemasakan serta konsentrasi larutan pada volume bebas dan terisi pada awalnya adalah sama. Semakin menurun konsentrasi lignin, H-factor akan meningkat. Temperatur juga mempengaruhi nilai dari H-factor, dengan makin meningkatnya nilai H-factor, berarti juga temperatur dan/atau waktu reaksi meningkat, maka konsentrasi lignin pada pulp yang dihasilkan akan menurun. Namun hal tersebut juga menurunkan yield dari pulp yang dihasilkan.
43