BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kedisiplinan pada anak usia prasekolah 1. Pengertian Disiplin merupakan cara orang tua mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar yang ada (Leman, 2009). Disiplin dapat diartikan sebagai suatu keadaan tertib dimana orangorang yang tergabung dalam suatu sistem tunduk pada peraturan-peraturan yang ada dengan senang hati. Disiplin ini merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk mengikuti dan menaati peraturanperaturan, nilai-nilai dan hukum-hukum yang berlaku dalam suatu lingkungan tertentu. Kesadaran itu antara lain, kalau dirinya disiplin baik maka akan memberi dampak yang baik bagi keberhasilan dirinya pada masa depannya (Mulyasa, 2003). Disiplin bukan hanya perkara tepat waktu namun juga pembentukan kepribadian anak. Perlu ketegasan dari orang tua untuk mengajari anak disiplin. Bagamana bisa mengajari anak disiplin jika orang tuanya juga tidak memberi contoh. Orang tua harus bisa mengontrol anaknya sendiri. Mengontrol bukan berarti membatasi kreativitas anak atau memaksanya melakukan segala sesuatu yang diinginkan orang tua, melainkan membangun perilaku anak agar tetap berada di jalur yang benar. Sehingga ketika ia dewasa nanti, pribadi mandiri dan disiplin sudah tertanam. Termasuk salah satunya membiasakan anak untuk mengucapkan “tolong” dan “terima kasih”. Kebiasaan positif seperti ini adalah awal pembentukan kedisiplinan anak. Dalam disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman
7
8
bagi pelanggaran peraturan itu, dan hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik (Leman, 2009). Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan pada anak adalah cara orang tua dalam mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral dan etika dimana anak akhirnya dapat berlaku tertib dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang ada dengan senang hati berdasarkan kesadaran diri.
2. Ciri disiplin Menurut Susilowati (2005) individu yang memiliki nilai-nilai kedisiplinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Ketaatan yaitu suatu sikap atau perilaku individu yang mengikuti apaapa yang menurut dirinya perintah atau aturan yang harus dijalaninya dengan terlebih dahulu mempertimbangkan kebenaran perintah itu. b. Kepatuhan yaitu sikap atau perilaku individu yang tunduk atas segala perintah dan aturan tanpa mengkaji terlebih dahulu benar tidaknya perintah tersebut. c. Kesetiaan yaitu sikap atau perilaku individu yang dengan kontinyu melaksanakan aturan atau perintah tanpa terpengaruh hal-hal yang menghalangi dirinya dalam melaksanakan aturan atau perintah itu. d. Keteraturan yaitu adalah sikap atau perilaku individu yang dalam melaksanakan aturan atau perintah mengikuti berulang secara tetap. e. Ketertiban yaitu sikap atau perilaku individu yang dalam menjalankan aturan atau perintah urutan dan tahapan yang benar. f. Komitmen yaitu sikap rasa tanggung jawab g. Konsiten yaitu sikap atau perilaku individu yang dalam menjalankan aturan atau perintah tidak tergoyahkan oleh gangguan atau teguh pendirian
9
3. Cara yang digunakan untuk mendisiplinkan anak a. Disiplin otoriter Disiplin otoriter adalah bentuk disiplin yang tradisional yang berdasar pada ungkapan kuno “menghemat cambukan berarti memanjakan anak”. Pada model disiplin ini, orang tua atau pengasuh memberikan anak peraturan-peraturan dan anak harus mematuhinya. Tidak ada penjelasan pada anak mengapa dirinya harus mematuhi, dan anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus mentaati peraturan itu, jika tidak mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan pun agak kejam dan keras, karena dianggap merupakan cara terbaik agar anak tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari. Seringkali anak dianggap sudah benar-benar mengerti aturannya, dan dianggap sengaja melanggarnya, sehingga anak tidak perlu diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya lagi. Jika anak melakukan sesuatu yang baik, hal ini juga dianggap tidak perlu diberi hadiah lagi, karena sudah merupakan kewajibannya. Pemberian hadiah dapat mendorong anak untuk selalu mengharapkan adanya sogokan agar melakukan sesuatu yang diwajibkan masyarakat (Leman, 2009). b. Disiplin yang lemah Disiplin model ini biasanya timbul dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin otoriter yang dialami orang dewasa saat dirinya masih anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model disiplin yang otoriter, maka ketika ia memiliki anak, mendididiknya dengan cara yang sangat berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar bagaimana berperilaku dari setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan demikian anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik. Saat ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan. Filsafat yang mendasari teknik disiplin ini adalah bahwa melalui akibat dari perbuatannya sendiri anak akan
10
belajar bagaimana berperilaku secara sosial. Dengan demikian anak tidak diajarkan peraturan peraturan, ia tidak dihukum karena sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi anak yang berperilaku sosial baik (Arisandi, 2011). c. Disiplin Demokratis Disiplin jenis ini, menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa
aturan-aturan
dibuat
dan
memperoleh
kesempatan
mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Walaupun anak masih sangat muda, tetapi daripadanya tidak diharapkan kepatuhan yang buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya aturan-aturan itu, dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas pelanggaran yang dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan, dan tidak lagi dengan cara hukuman fisik. Sedangkan perilaku sosial yang baik, dan sesuai dengan harapan, dihargai terutama
dengan pemberian
pengakuan sosial dan pujian (Leman, 2009).
4. Faktor yang mempengaruhi perilaku disiplin pada anak a. Faktor keluarga Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama, tapi juga dapat menjadi penyebab kesulitan disiplin dalam belajar. Itu artinya keluarga adalah salah satu lembaga pendidikan yang pertama kali yang mendidik anak menjadi baik. Di dalam keluarga inilah anak didik mendapat pengetahuan pertama kali tentang apapun, begitu juga dengan sikap disiplin harus pertama kali ditanamkan pada anak ketika masih berada dalam lingkungan keluarga, karena keluarga adalah komunitas sosial kecil yang pertama yang di terjuni anak. Ketika disiplin sudah ditanamkan sejak kecil atau dini dalam lingkungan keluarga maka sikap disiplin pada anak akan menjadi suatu kebiasaan ketika mereka berada diluar rumah atau lingkungan keluarga. Hal ini terjadi karena “tiap pengaruh lingkungan
11
yang menentukan tingkah laku si anak yang terutama ialah dari keluarga” (Arisandi, 2011). Keluarga sebagai lingkungan terkecil dapat menerapkan perilaku disiplin pada anak diawali dengan cara bagaimana orang tua menerapkan pola asuh yang tepat kepada anak. Pola asuh orang tua yang terlalu longgar membuat anak menjadi pemalas, peraturan orang tua yang terlalu kaku dan keras dapat membuat anak menjadi penurut namun
dengan
keadaan
terpaksa,
namun
pola
asuh
yang
mengedepankan cara yang demokratis dengan mengajak anak mendiskusikan setiap peraturan yang ada diharapkan dapat membuat anak berlaku disiplin dengan kesadaran yang timbul dengan sendirinya (Azhar, 2010). b. Lingkungan sekolah Lingkungan sekolah ini menyangkut faktor guru, faktor alat sekolah, faktor kondisi gedung dan faktor waktu sekolah. Semua factor yang termasuk lingkungan sekolah tersebut dapat berpengaruh terhadap disiplin siswa ketika mereka berada di lingkungan sekolah. Di antara faktor-faktor yang mempengauhi kedisiplinan siswa adalah faktor guru, hal ini disebabkan karena kadang-kadang guru tidak menunjukkan kualitasnya, misalnya sebagi berikut: (1) Dalam pengambilan metode yang digunakan atau dalam mata pelajaran yang dipegangnya, sehingga dalam penyampaian mata pelajaran kurang pas dengan metodenya yang menyebabkan anak didik malas mengikuti pelajaran atau kurang; (2) Hubungan guru dengan murid kurang baik, yang bermula pada sikap guru yang tidak disenangi oleh muridmuridnya seperti kasar, tidak pernah senyum, menjengkelkan, suka membentak dan lain- lain; (3) Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha diagnosis kesulitan belajar, misalnya dalam bakat, minat, sifat, kebutuhan-kebutuhan anak dan sebagainya; (4) Guru menuntut standar pelajaran
di
atas
kemampuan
anak.
Artinya
ketika
guru
menyampaikan pelajaran sedangkan siswa tidak memahaminya, maka
12
guru masih terus melanjutkan pelajaran yang disampaikan pada murid karena dia menganggap bahwa pelajaran yang disampaikan pada siswa sudah sesuai dengan standar. Padahal materi yang diberikan oleh guru tidak dipahami oleh siswa, sehingga menyebabkan malasnya belajar pada diri siswa (Azhar, 2010). c. Masyarakat Masyarakat sebagai suatu lingkungan yang lebih luas daripada keluarga dan sekolah turut menentukan berhasil tidaknya pendidikan dan pembinaan disiplin. Situasi masyarakat tidak selamanya konstan atau stabil, sehingga situasi tersebut dapat menghambat atau memperlancar terbentuknya disiplin anggota masyarakat. Masyarakat yang dapat dijadikan medan pembinaan disiplin ialah masyarakat yang mempunyai karakter campuran antara masyarakat yang menekankan ketaatan dan loyalitas penuh, serta masyarakat yang permisif atau terlalu terbuka. Dalam situasi mesyarakat seperti ini, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebudayaan dan bersikap terbuka namun selektif terhadap pengaruh dari luar. Kontrol yang disertai kelonggaran yang bijaksanan akan mewujudkan pribadi yang semakin matang dan bertanggung jawab (Azhar, 2010). Menurut Brown dan Brown ada beberapa penyebab perilaku siswa yang indisiplin, dan mengelompokkannya sebagai berikut: (1) Perilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh guru; (2) Perilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh sekolah; kondisi sekolah yang kurang menyenangkan, kurang teratur, dan lain-lain dapat menyebabkan perilaku yang kurang atau tidak disiplin; (3) Perilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh siswa, siswa yang berasal dari keluarga yang broken home; (4) Perilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh kurikulum, kurikulum yang tidak terlalu kaku, tidak atau kurang fleksibel, terlalu dipaksakan dan lain-lain bisa menimbulkan perilaku yang tidak disiplin, dalam proses belajar mengajar pada khususnya dan dalam proses pendidikan pada umumnya (Azhar, 2010).
13
5. Pengaruh disiplin pada anak Adapun penerapan tipe-tipe disiplin ini memberi dampak yang cukup nyata bedanya.Pengaruh penerapan disiplin pada anak, meliputi beberapa aspek, misalnya : a. Pengaruh pada perilaku Anak yang mengalami disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan sangat patuh bila di hadapan orang – orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin yang demokratis akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain (Leman, 2009). b. Pengaruh pada sikap Baik anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah, memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang diperlakukan dengan cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah
merasa bahwa
orang tua seharusnya
memberitahu bahwa tidak semua orang dewasa mau menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis akan menyebabkan kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang berkuasa (Leman, 2009). c. Pengaruh pada kepribadian Proses-proses psikososial melibatkan perubahan-perubahan dalam aspek perasaan, emosi, dan kepribadian individu serta cara yang bersangkutan berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian perkembangan identitas diri (self identity) dan krisis-krisis yang menyertainya serta perkembangan cara dan pola hubungan dengan
14
anggota keluarga, teman sebaya, guru-guru, dan yang lainnya. Semakin banyak anak diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras kepala, dan negativistik. Ini memberi dampak penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga memberi ciri khas dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan disiplin yang demokratis,
ia akan mampu memiliki
penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang terbaik (Arisandi, 2011). Persepsi yang sering keliru adalah pengertian istilah pemberian hadiah. Kadang orang tua beranggapan bahwa memberikan hadiah selalu berupa memberi mainan, permen, coklat, atau hadiah lain yang berupa benda. Sebenarnya hadiah juga dapat berupa bukan benda, misalnya berupa pengakuan atau pujian pada anak. Para orang tua yang menggunakan cara disiplin demokratis, tidak mau banyak memberi hadiah berupa benda. Mereka khawatir hal ini akan memanjakan anak atau takut cara ini dianggap sebagai bentuk penyuapan yang merupakan teknik disiplin yang buruk (Leman, 2009). Pelanggaran berupa bentuk ringan dari ketidaktaatan pada aturan atau perbuatan yang keliru sangat sering terjadi pada masa prasekolah. Pelanggaran ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, ketidaktahuan anak bahwa perilakunya itu tidak baik atau tidak dibenarkan. Anak mungkin saja sudah diberi tahu berulang kali dan ia pun hafal kata-kata aturannya itu, tetapi ia tidak mengerti konsep yang dikandung dari aturan itu, dan kapan ia harus menerapkannya. Sebagai contoh, anak bisa mengerti bahwa mencuri adalah tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek juga termasuk mencuri. Hal kedua yang sering juga menjadi penyebab anak melanggar adalah anak belajar bahwa sengaja tidak patuh dalam hal yang kecilkecil umumnya akan mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada
perilaku yang baik. Jadi kadang anak yang merasa
15
diabaikan, demi menarik perhatian orang tuanya, sengaja berbuat salah dengan harapan akan memperoleh perhatian lebih. Dan ketiga, pelanggaran dapat disebabkan oleh kebosanan. Bila anak tidak memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luang, maka kadang kala anak ingin membuat kehebohan. Atau kadang bisa juga ia hendak menguji kekuasaan orang dewasa dengan melihat seberapa jauh ia dapat melakukan sesuatu tanpa dihukum (Leman, 2009).
6. Cara mengukur disiplin anak Pengukuran disiplin pada anak didasarkan pada kusioner yang dibuat berdasarkan teori kedisiplinan. Kuesioner kedisiplinan anak didasarkan pada kuesioner kedisiplinan berdasarkan orang tua dan kedisiplinan berdasarkan penilaian guru. Disiplin anak akan dibagi dalam bentuk disiplin yang tinggi dan disiplin yang rendah.
B. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif (Drey, 2006). Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat (Rahmadiana, 2004).
16
Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara– cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola pengasuhan. Dalam interaksinya dengan orang tua anak cenderung menggunakan cara–cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh. Disuatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh apa yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak menjadi seseorang yang dicita citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya (Rahmadiana, 2004). Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak meliputi (Drey, 2006): a. Perilaku yang patut dicontoh Artinya setiap perilakunya tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak anaknya. b. Kesadaran diri Ini juga harus ditularkan pada anak anak dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai–nilai moral. Oleh sebab itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku. c. Komunikasi Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak–anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahnya.
17
2. Bentuk Pola Asuh Menurut Drey (2006), terdapat 4 macam pola asuh orang tua : 1. Pola asuh otoriter Para orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman–ancaman. Misalnya kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anaknya. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah dan orang tua tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah dan menarik diri (Drey, 2006). 2. Pola asuh demokratis Pola asuh yang mempentingkan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu–ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran pemikiran dan orang tua bersikap realitis terhadap kemampuan anak, memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya pada anak bersifat hangat. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karekteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan temannya dan mempunyai minat terhadap hal–hal baru (Drey, 2006). 3. Pola asuh permisif Orang tua memberikan pengawasan yang sangat longgar, memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau
18
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua. Namun orang tua tipe ini biasanya hangat sehingga sering disukai anak. Pola asuh permisif akan menghasilkan karekteristik anak yang impulsiv, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial (Drey, 2006). 4. Pola asuh campuran Pola asuh campuran adalah orangtua yang tidak konsisten dalam mengasuh anak. Orangtua terombang-ambing antara tipe demokratis, otoriter atau permisif. Orangtua mungkin menghadapi sifat anak dari waktu ke waktu dengan cara berbeda, contohnya orangtua bisa memukul anaknya ketika anak menolak perintah orang tua, pada kesempatan lain orangtua mengabaikan anak bila anak melanggar perintah orang tua.
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Anwar, 2000): a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola–pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara–cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan–kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Pola–pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam
19
mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2000). d. Ekonomi Tingkat ekonomi disesuaikan berdasarkan nilai pendapatan. Mulyanto dan Dieter (1984 dalam Syamsul, 2004), pendapatan adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang di sumbangkan
untuk
memenuhi
kebutuhan
bersama
maupun
perseorangan dalam rumah tangga, dalam kehidupan sehari-hari pendapatan erat kaitannya dengan gaji, upah, serta pendapatan lainnya yang di terima seseorang setelah orang itu melakukan pekerjaan dalam kurun waktu tertentu. Tingkat pendapatan keluarga dipengaruhi oleh pekerjaan. Semakin rendah pendapatan keluarga semakin tidak mampu lagi ibu dalam membelanjakan bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitasnya, sebagai
ketersediaan
pangan di tingkat keluarga tidak mencukupi.
4. Cara mengukur pola asuh Pola asuh yang dibedakan atas bentuk otoriter, demokratis dan permisif maka cara pengukuran pola asuh didasarkan pada hasil kuesioner yang
berisikan
tentang
penerapan
pola
asuh
orangtua.
Pengklasifikasiannya didasarkan pada kecenderungan hasil jawaban yang mengarah pada bentuk pola asuh otoriter, demokratis atau permisif (Drey, 2006). Pengukuran pola asuh ini berdasarkan Baumrind adalah berupa penilaian terhadap kontrol orang tua yang berlebihan atau tidak, tuntutan tekanan kedewasaan serta bentuk komunikasi dan kasih sayang yang diberikan.
20
C. Kerangka teori
Faktor-faktor : 1. 2. 3. 4.
Tingkat pendidikan Lingkungan Budaya Ekonomi
Pola asuh 1. 2. 3. 4.
Pola asuh otoriter Pola asuh demokratis Pola asuh permisif Pola asuh campuran
Cara mendisiplinkan anak 1. Disiplin otoriter 2. Disiplin lemah 3. Disiplin demokratis
Faktor disiplin anak 1. Orang tua 2. Sekolah 3. Masyarakat
Disiplin anak
Gambar 2.1 Kerangka teori Sumber : Leman (2009), Anwar (2000), Syamsul (2004) dan Ashar (2010)
D. Kerangka konsep Variabel bebas
Variabel terikat
Pola asuh orang tua
Kedisiplinan anak
Gambar 2.2 Kerangka konsep
21
E. Variabel penelitian 1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua 2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kedisiplinan anak
F. Hipotesis penelitian a) Ada hubungan pola asuh orang tua dengan kedisiplinan anak usia prasekolah (3-5 tahun) di PAUD Annida Kersan Pegandon Kendal. b) Tidak ada hubungan pendidikan orang tua dengan pola asuh orang tua terhadap anak di sekolah PAUD Annida Kersan Pegandon Kendal