BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sirih Merah (Piper crocatum) 2.1.1. Deksripsi tanaman sirih merah (Piper crocatum) Sirih merah (Piper crocatum) merupakan salah satu tanaman obat potensial yang diketahui secara empiris memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, di samping juga memiliki nilai spritual yang tinggi. Sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam satu elemen penting yang harus disediakan dalam setiap upacara adat, khususnya di Yogyakarta. Tanaman ini termasuk di dalam famili Piperaceae dengan penampakan daun yang berwarna merah keperakan dan mengkilap saat terkena cahaya. Pada tahun 1990-an sirih merah (Piper crocatum) difungsikan sebagai tanaman hias oleh para hobis, karena penampilannya yang menarik. Pada tahun-tahun terakhir ini ramai dibicarakan dan dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Dari beberapa pengalaman, diketahui sirih merah (Piper crocatum) memiliki khasiat obat untuk beberapa penyakit (Sudewo, 2010). Klasifikasi sirih merah menurut Backer (1963) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Piperales
Family
: Piperaceae
Genus
: Piper
Species
: Piper crocatum Gambar 2.1 Piper crocatum (Winarni, 2011)
10
11
2.1.2. Karakteristik tumbuhan sirih merah (Piper crocatum) Tanaman sirih merah tumbuh menjalar seperti halnya sirih hijau. Batangnya bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai membentuk jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata, dan permukaannya mengkilap tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai 15- 20 cm. Warna daun bagian atas hijau bercorak warna putih keabu-abuan. Bagian bawah daun berwarna merah hati cerah. Batangnya bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10 cm. Disetiap buku tumbuh bakal akar (Sudewo, 2010). Sirih merah tumbuh merambat di pagar atau pohon. Ciri khas tanaman ini adalah berbatang bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Sirih merah berbeda dengan sirih hijau. Sirih merah berwarna merah keperakan sedangkan sirih hijau berwarna hijau dan bila daunnya disobek maka akan berlendir serta aromanya lebih wangi. Tanaman sirih merah menyukai tampat teduh, berhawa sejuk dengan sinar matahari 60-75%, dapat tumbuh subur dan bagus di daerah pegunungan. Bila tumbuh pada daerah panas atau sinar matahari langsung, batangnya cepat mengering. Selain itu, warna merah daunnya akan pudar (Juliantina, et al., 2009). 2.1.3 Zat aktif ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) Ekstrak
dari
famili
Piperaceae
telah
dilaporkan
memiliki
efek
antihiperglikemia (Safithri dan Fahma, 2008). Juliantina, et al., (2009) ekstrak etanol sirih merah (Piper crocatum) telah terbukti memilliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dengan nilai kadar bunuh minimum (KBM) sebesar 25% dan Escherichia coli menunjukkan nilai kadar bunuh minimum (KBM) sebesar 6,25%. Tidak memiliki efek toksik (Salim, 2006), dapat memperbaiki sel beta pankreas terhadap tikus hiperglikemia (Permata, 2006), dan memiliki potensi sebagai hepatoprotektor (Windyagiri, 2006). Pada penelitian lain, diketahui ekstrak sirih merah memiliki kandungan kimia berupa alkaloid, senyawa polifenolat, tanin, dan minyak atsiri (Sudewo, 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Arishandy (2010) menunjukkan bahwa jenis flavonoid
12
yang terdapat pada daun sirih merah adalah senyawa flavonol, flavanon, isoflavon, dan auron. Konsentrasi 200000 ppm ekstrak etanol 30 % yang berpotensi sebagai aktivator enzim glukosa oksidase (Agustanti, 2008). 2.2. Aloksan Menurut Suharmiati (2003) pada uji farmakologi atau bioaktivitas pada hewan percobaan, keadaan diabetes mellitus dapat diinduksi dengan cara pankreatomi dan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) bisa digunakan aloksan, streptozotocin, diaksosida, advenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara parenteral. Diabetogen yang lazim digunakan adalah aloksan karena obat ini cepat menimbulkan hiperglikemi yang permanen dalam waktu dua sampai tiga hari. Aloksan (2,4,5,6,-tetraoxypirimidin) secara selektif merusak sel beta dari pulau langerhans dalam pankreas yang mensekresikan hormon insulin. Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan percobaan. Pemberian aloksan adalah cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi diabetik eksperimental (hiperglikemik) pada hewan percobaan. Tikus hiperglikemik dapat dihasilkan dengan menginjeksikan 120 - 150 mg/kgBB (Filipponi, et al., 2008). Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada hewan percobaan (Szkudelski, 2008). Efek diabetogennya bersifat antagonis dengan glutation yang bereaksi dengan gugus Sh-nya. Mekanisme aksi dalam menimbulkan perusakan yang selektif belum diketahui dengan jelas. Beberapa hipotesis tentang mekanisme aksi yang telah diajukan antara lain reaksi aloksan dengan Zn sehingga membentuk kelat. Kelat yang terbentuk bersifat lipofilik sehingga akan mudah menembus membrane sel dan menganggu proses sintetis protein di ribosom sehingga pembentukan insulin menjadi terhambat. Sedangkan sel alfa pankreas resisten terhadap aloksan (Dunn, et al., 1994 dalam Fitri 2000).
13
2.2.1 Pengaruh Aloksan terhadap Kerusakan Sel Beta Pankreas Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan percobaan. Pemberian aloksan adalah cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi diabetik eksperimental (hiperglikemik) pada hewan percobaan (Filipponi, et al., 2008). Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada hewan percobaan (Szkudelski, 2009). Aloksan dapat menyebabkan Diabetes Melitus tergantung insulin pada hewan tersebut (aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip dengan Diabetes Melitus tipe 1 pada manusia. Aloksan bersifat toksik selektif terhadap sel beta pankreas yang memproduksi insulin karena terakumulasinya aloksan secara khusus melalui transporter glukosa yaitu GLUT (Watkins, et al., 2008). Tingginya konsentrasi aloksan tidak mempunyai pengaruh pada jaringan percobaan lainnya. Mekanisme aksi dalam menimbulkan perusakan selektif sel beta pankreas belum diketahui dengan jelas. Efek diabetogeniknya bersifat antagonis terhadap glutathion yang bereaksi dengan gugus SH. Aloksan bereaksi dengan merusak substansi esensial di dalam sel beta pankreas sehingga menyebabkan berkurangnya granula-granula pembawa insulin di dalam sel beta pankreas (Watkins et al, 2008; Suharmiati, 2003). Aloksan meningkatkan pelepasan insulin dan protein dari sel beta pankreas tetapi tidak berpengaruh pada sekresi glukagon. Efek ini spesifik untuk sel beta pankreas sehingga aloksan dengan konsentrasi tinggi tidak berpengaruh terhadap jaringan lain. Aloksan mungkin mendesak efek diabetogenik oleh kerusakan membran sel beta dengan meningkatkan permeabilitas (Watkins, et al., 2008). Dean dan Matthew mendemonstrasikan adanya depolarisasi membran sel beta pankreas dengan pemberian aloksan (Szkudelski, 2008). Aksi sitotoksik aloksan dimediasi oleh radikal bebas. Aksi toksik aloksan pada sel beta diinisiasi oleh radikal bebas yang dibentuk oleh reaksi redoks (Watkins, et al., 2008). Aloksan dan produk reduksinya, asam dialurik, membentuk siklus redoks dengan formasi radikal
14
superoksida. Radikal ini mengalami dismutasi menjadi hydrogen peroksida. Radikal hidroksil dengan kereaktifan yang tinggi dibentuk oleh reaksi Fenton. Aksi radikal bebas dengan rangsangan tinggi meningkatkan konsentrasi kalsium sitosol yg menyebabkan destruksi cepat sel beta (Filiponi, et al., 2008). Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara invitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mitokondria mengakibatkan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel (Suharmiati, 2003). 2.3 Diabetes Mellitus 2.3.1. Definisi Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Efek dari diabetes dalam jangka waktu lama akan menimbulkan beberapa kerusakan, disfungsi dan kegagalan kerja organ. Diabetes mellitus menunjukkan gejala klinis seperti polyuria, pandangan yang kabur, dan penurunan berat badan. Penyakit ini memiliki beberapa bentuk, ketoasidosis atau non ketosis hiperosmosis dan menjadi stupor, koma,
jika tanpa adanya pengobatan yang efektif dan berakhir pada
kematian. Sering gejalanya tidak tampak, atau mungkin tidak ada, dan dengan konsekuensi hiperglikemia cukup sebagai penyebab keadaan patologi dan perubahan fisiologis yang tampak dalam jangka waktu lama sebelum didiagnosa diabetes mellitus. Efek jangka panjang dari diabetes mellitus akan meningkatkan terjadinya komplikasi pada retina mata (retinopathy) mungkin juga berlanjut pada gagal ginjal, dan neuropathy dengan risiko adanya ulcer pada kaki, amputasi, kekakuan sendi, disfungsi pada bagian dalam tubuh termasuk disfungsi seksual. Penderita diabetes
15
mellitus berisiko terkena koplikasi penyakit jantung, penyakit penyempitan pembuluh darah tepi dan penyakit penyempitan pembuluh darah otak. Beberapa proses terjadi perkembangan patogenetik dari diabetes. Proses tersebut adalah rusaknya sel beta pankreas yang akibatnya tidak dihasilkannya insulin atau terjadi defisiensi insulin, dan pada beberapa kasus terjadi resistensi insulin. Abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein disebabkan oleh defisiensi kerja insulin pada jaringan targetnya tidak sensitif atau rendahnya insulin (WHO, 1999). 2.3.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus 2.3.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1 Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan selsel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autotoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase) (Depkes RI, 2005). Katzung (2010) mengatakan diabetes mellitus tipe 1 ditandai oleh destruksi sel β secara selektif dan defisiensi insulin absolut atau berat. Pemberian insulin sangat penting pada pasien dengan diabetes tipe 1. Diabetes tipe 1 selanjutnya dibagi menjadi yang memiliki penyebab imun dan idiopatik. Bentuk imun merupakan bentuk tersering diabetes mellitus tipe 1. Meskipun sebagian besar pasien lebih muda dari 30 tahun pada saat diagnosis ini dibuat, onset penyakit tersebut dapat terjadi pada semua usia. Diabetes mellitus tipe 1 ditemukan pada semua grup etnik, namun insiden tertinggi terdapat pada orang eropa utara dan Sardinia. Faktor genetik multifaktorial tampaknya menimbulkan kerentanan penderita penyakit ini namun hanya 10-15% pasien yang memiliki riwayat diabetes dalam keluarganya.
16
2.3.2.2. Diabetes Mellitus tipe 2 Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 9095% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia diatas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 dikalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan (Depkes RI, 2005). Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gengen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2. Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan di sebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengerusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin (Depkes RI, 2005). Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai
17
dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes RI, 2005). Diabetes tipe kedua ini disebabkan oleh kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif, biasanya terjadi pada orang yang berusia lebih dari 40 tahun, gemuk dan tidak aktif. Gejala tipe kedua ini berjalan secara perlahan-lahan. Dengan pola hidup sehat yaitu mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan olah raga secara teratur biasanya penderita berangsur pulih. Penderita juga harus mempertahankan berat badan normal. Namun bagi penderita stadium terakhir kemungkinan akan diberikan terapi suntikan insulin (Maulana, 2009). Selain dua tipe diabetes di atas ada juga diabetes tipe 3 yang memang baru ditemukan. Para ahli Amerika Serikat percaya bahwa mereka telah menemukan tipe baru diabetes setelah menemukan bahwa insulin juga di produksi di otak dan dapat meningkatkan risiko terjadi penyakit Alzeimers. Penelitian dilakukan oleh Suzanne de la monde bersama dengan seorang rekannya yang seorang profesor di bidang patologi di Brown Medical Scholini menemukan antara hubungan antara penyakit diabetes Dan Alzheimers. Suzanne mengemukakan bahwa insulin yang diproduksi dalam otak. Bila jumlahnya kurang maka sel-sel otak pun akan mengalami degenerasi dan akhirnya memicu timbulnya penyakit. Hasil penelitian ini diperkuat dengan
18
dilakukannya penelitian. Pada jaringan otak mayat yang sebelumnya telah didiagnosa menderita penyakit Alzheimer. Hasil jumlah insulin dan IGF 1 berkurang di dareah korteks, hippocampus dan hipotalamus (Maulana, 2009). Maulana (2009) menambahkan selain itu, ada juga jenis diabetes lain yaitu disebut diabetes melitus gestational (Gestational Diabetes Melitus) juga melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, yang meniru diabetes tipe 2. Jenis diabetes ini terjadi selama kehamilan dan bisa juga meningkat atau lenyap. Meskipun kejadiannya sementara, namun diabetes tipe ini bisa jadi merusak kesehatan janin dan ibu, dan sekitar 20-50% wanita yang mengidap diabetes tipe 2 yang kemuadian menjalani kehamilan. Gestational Diabetes Melitus (GDM) terjadi di sekitar 2%-5% dari semua kehamilan. Diabetes ini sifatnya sementara dan harus ditangani dengan baik karena jika tidak akan menyebabkan masalah dalam kehamilan seperti makrosomia, cacat janin, penyakit jantung sejak lahir, gangguan pada system saraf pusat dan juga cacat otot. Bahkan ada dugaan bahwa hiperbilirubinemia juga diakibatkan oleh matinya sel darah merah akibat dari meningkatnya gula dalam darah. Bahkan pada kasus yang parah, hal ini bisa mengakibatkan kematian (Maulana, 2009). 2.4. Tikus Putih Hewan laboratorium yang banyak digunakan adalah mencit dan tikus putih. Alasan menggunakan kedua hewan coba ini karena mudah diperoleh dalam jumlah banyak, mepunyai respon yang cepat, memberikan gambaran secara ilmiah yang mungkin terjadi pada manusia dan harganya relatif murah (Sihombing dan Raflizar, 2010). Tikus putih adalah hewan laboratorium yang biasanya digunakan untuk membuat vaksin serta uji toksisitas suatu obat. Ada dua hal yang membedakan tikus dengan hewan lainnya dalam kapasitas sebagai hewan coba. Pertama adalah kenyataan bahwa tikus putih tidak dapat mengalami muntah atau regurgitasi karena bentuk anatomi tikus yang tidak biasa yaitu esophagus yang bersatu dengan perutnya.
19
Yang kedua adalah bahwa tikus putih tidak memiliki empedu. Tikus laboratorium umumnya memiliki berat badan yang lebih ringan dibandingkan dengan tikus liar. Biasanya saat berumur 4 minggu tikus sudah mencapai berat 35-40 gram dan saat usia dewasa akan mencapai berat rata-rata 200-250 gram. Hal ini tentunya dapat berbeda sesuai dengan strain tikus masing-masing. Tikus putih jantan dewasa dapat mencapai berat 500 gram, namun yang betina biasanya tidak akan melebihi 350 gram. Strain pada spesies tikus adalah sebuah kelompok dimana semua angggota secara genetik identik. Pada tikus didapat melalui kawin sedarah. Dengan demikin populasi jenis ini adalah mungkin melakukan percobaan yang mengecualikan dalam genetika sebagai faktor. Sebaliknya outbreak strain digunakan ketika identik genetik fenotip tidak diperlukan atau populasi acak diperlukan. Tikus strain Sprague-Dawley adalah strain dengan ukuran tubuh terbesar, bahkan hampir sebesar tikus liar. Tikus Sprague-Dawley merupakan jenis serba guna outbread albino tikus digunakan secara intensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganan. Ini adalah jenis tikus jenis pertama yang diiproduksi (Sprague-Dawley) kemudian menjadi perusahaan Animal Sprague-Dawley di Madison, Wincosin. Fasilitas pertama kali dibeli oleh Gibco dan kemudian oleh Harlan (sekarang Harlan Sprague Dawley) pada bulan januari 1980. Ukuran Litter rata-rata tikus Sprague Dawley 10,5. Rata-rata penjang hidup strain ini adalah 2,5-3,5 tahun. Tikus ini bisanya memiliki ekor dan rasio panjang tubuh yang lebih jika dibandingkan dengan tikus galur Wistar (Malole dan Pramono, 1989). 2.5. Ginjal Ginjal merupakan organ tubuh yang vital. Hal ini disebabkan karena fungsinya untuk ekskresi sisa-sisa metabolisme tubuh sehingga zat-zat tersebut tidak terakumulasi dan menyebabkan toksik bagi tubuh. Proses ekskresi sisa-sisa metabolit di ginjal dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena keracunan akibat kontak dengan bahan-bahan tersebut. Kerusakan jaringan ini bila dibiarkan dapat
20
menyebabkan gagal ginjal yang berakhir dengan kematian (Katzung, 1997; Price dan Wilson, 2006) . 2.5.1. Anatomi ginjal Ginjal adalah alat tubuh yang mempunyai kemampuan menyaring dan menyerap kembali bahan sirkulasi dalam tubuh (Ressang, 1984). Secara anatomis ginjal merupakan alat tubuh berpasangan, berwarna cokelat, terletak dorsal di dalam rongga perut di sebelah kanan dan kiri tulang punggung (Nabib, 1987). Pada umumnya ginjal bentuknya mirip kacang dengan hillus renalis (tempat masuk pembuluh darah dan keluarnya ureter) (Hartono, 1992). Ginjal terbagi menjadi beberapa unit kecil yang disebut lobus atau papil. Satu papil terdiri dari sel piramid medulla yang berbentuk kerucut dan substansi korteks (Weiss dan Greep, 1977). Ginjal tikus hanya terdiri dari satu papil seperti ginjal insekta dan rodent lainnya (Fox, et al., 1984), sedangkan pada manusia terdiri dari enam sampai delapan papil (Weiss dan Greep, 1977). 2.5.2. Histologi ginjal Kapsula membungkus seluruh ginjal kecuali hilus renalis. Di daerah tersebut kapsula menyusup ke dalam sinus renalis selanjutnya berubah menjadi adventia pelvis renalis. Ginjal terdiri dari dua bagian yaitu korteks dan medulla. Kortek renalis terdapat langsung di bawah kapsula ditandai dengan adanya korpuskulus renalis dan tubulus kontorti. Bagian kortek langsung bebas di bawah kapsula yang bebas dari korpuskulus renalis disebut kortek kortisis. Medulla renalis terbentuk oleh satu (unipiramida) aau banyak (multi piramida) dimana apeks atau papilla jatuh ke pusat ginjal (Hartono, 1992). Nefron merupakan unit fungsional utama dari ginjal, berbentuk buluh atau tubuli (Hartono, 1992). Menurut Horts dan Dellman (1971) nefron terdiri atas Korpuskulus renalis yang tersusun atas glomerulus dan kapsula bowman. Tubulus proksimal terdiri dari bagian yang berliku – liku dan bagian yang lurus. Jerat henle yang terdiri dari pars desenden dan pars ascenden.
21
Pada tubulus distalis Secara histologis ginjal terdiri dari tiga unsur utama (Nabib, 1987) yaitu Glomerulus yaitu suatu gelung pembuluh darah yang masuk melalui arteriol afferent dan keluar malalui arteriol efferent. Tubuli yaitu sebagai parenkim bersama glomerulus membentuk nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal. Intertisium beserta pembuluh-pembuluh limfe dan saraf. 2.5.3. Fungsi ginjal Fungi ginjal secara umum (Hartono, 1992) adalah Membuang sisa metabolisme dengan menyaring plasma darah kemudian mengolahnya menjadi urin, menjaga kadar air, elektrolit tertentu (Na, K, Ca), serta bahan penting lain dalam darah (glukosa), membuang bahan – bahan yang berlebih atau yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh setelah terlebih dahulu dirombak seperti hormon dan obat-obatan, unsur kelenjar endokrin aparatus juxtaglomerulus yang mengatur tekanan darah serta hemodinamika ginjal. Menurut Ressang (1984) fungsi utama ginjal adalah untuk mempertahankan susunan darah adalah dengan cara mengeluarkan air yang berlebih dari darah, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme seperti ureum, asam kemih, alantoin dan ammonia, mengeluarkan bahan-bahan asing yang tidak terlarut dalam darah misalnya pigmen darah atau pigmen yang terbentuk dalam darah, mengeluarkan garam-garam anorganik yang biasa kebanyakan berasal dari makanan. Ginjal dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut karena ginjal memiliki fungsi filtrasi yang dilakukan oleh glomerulus dan fungsi reabsorbsi oleh tubuli (Ressang 1984). Ginjal juga berperan sebagai organ endokrin karena menghasilkan kinin, mensekresikan renin dan eritropoetin (Ganong, 1995). 2.5.4. Intoksikasi ginjal Urin adalah jalur utama eksresi sebagian besar bahan toksik. Akibatnya ginjal memiliki volume darah yang tinggi, mengkonsentrasikan bahan toksik pada filtrat, membawa bahan toksik memalui sel tubulus dan mengaktifkan bahan toksik tertentu. Karenanya organ ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik. Kelompok
22
utama nefrotoksik adalah logam berat, antibiotik, analgesik dan hidrokarbon berhalogen tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh bahan toksik (Lu, 1995). Perubahan-perubahan dalam ginjal dapat berlangsung di dalam glomerulus, pada tubuli, intertisium, dan pembuluh darah (Ressang, 1984). Akibat terjadi absorbsi dan sekresi aktif tubulus proksimal kadar bahan toksik dalam tubulus proksimal sering lebih tinggi. Selain itu sitokrom P-450 pada tubulus proksimal sering lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan bahan toksik (Lu, 1995). Perubahan yang terlihat secara mikroskopik adalah degenerasi epitel sederhana hingga nekrosa. Infiltrasi sedikit sel-sel radang glomerulus atau intertisium dapat mempersulit diagnosis. Perubahan-perubahan makroskopik tidak banyak sedikit membesar, pucat dan tidak mungkin memperlihatkan perdarahan subkapsuler (Ressang, 1984). 2.6. Glibenklamid Glibenklamid adalah hipoglikemik oral derivat sulfonilurea yang bekerja aktif menurunkan kadar gula dalam darah. Glibenklamid bekerja dengan merangsang sekresi insulin dari pankreas. Oleh karena itu glibenklamid hanya bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi insulin. Pada penggunaan per oral glibenklamid diabsorbsi sebagian secara cepat dan tersebar ke seluruh cairan ekstrasel yang sebagian terikat dengan protein plasma. Pemberian glibenklamid dosis tunggal akan menurunkan glukosa dalam 3 jam dan kadar ini dapat bertahan selama 15 jam. Glibenklamid dieksresikan bersama feses sebagai metabolit bersama urin ( Tjay dan Rahardja, 2002). Glibenklamid menstimuli sel-sel beta dari pulau langerhans pankreas sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Disamping itu kepekaan sel–sel beta bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa. Ada indikasi bahwa obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati ( Tjay dan Rahardja, 2002).
23
Glibenklamid dimetabolisme di hati menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis awal yang biasa diberikan adalah 2,5 mg/ hari atau lebih kecil, dan dosis pemeliharaan rerata adalah 5-10 mg/hari yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari, dosis pemeliharaan yang lebih tinggi dari 20 mg/hari tidak dianjurkan. Glibenklamid mempunyai sedikit efek samping selain
potensinya
dalam
menimbulkan
hipoglikemia.
Glibenklamid
dikontraindikasikan pada gangguan hati dan pada penderita insufisiensi ginjal (Katzung, 2010).