BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Teori Keagenan Dalam mengkaitkan antara struktur kepemilikan dengan kinerja
perusahaan manufaktur terdapat satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pencapaian sasaran organisasi manufaktur serta kinerjanya, yaitu manajemen atau pengurus perusahaan. Pencapaian tujuan dan kinerja perusahaan tidak terlepas dari kinerja manajemen itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, hubungan antara manajemen suatu perusahaan dengan pemilik perusahaan akan dituangkan dalam suatu kontrak (performance contract). Hubungan kontrak antara pemilik dan manajemen tersebut sejalan dengan Agency Theory (Jensen dan Meckling, 1976) Agency relationship didefinisikan sebagai kontrak di mana satu atau lebih orang (disebut owners atau pemegang saham atau pemilik) menunjuk seorang lainnya (disebut agen atau manajemen) untuk melakukan beberapa pekerjaan atas nama pemilik. Pekerjaan tersebut termasuk pendelegasian wewenang untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini manajemen diharapkan oleh pemilik untuk mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada di perusahaan tersebut secara maksimal. Bila kedua pihak memaksimalkan
perannya (utility maximizers), cukup beralasan apabila manajemen tidak akan selalu bertindak untuk kepentingan pemilik. Hal ini sangat beralasan sekali karena pada umumnya pemilik memiliki welfare motives yang bersifat jangka panjang, sebaliknya manajemen lebih bersifat jangka pendek sehingga terkadang manajemen cenderung memaksimalkan profit untuk jangka pendek dengan mengabaikan sustainability keuntungan dalam jangka panjang. Untuk membatasi atau mengurangi kemungkinan tersebut, pemilik dapat menetapkan insentif yang sesuai bagi manajemen, yaitu dengan mengeluarkan biaya monitoring dalam bentuk gaji. Dengan adanya monitoring cost tersebut manajemen akan senantiasa memaksimalkan kesejahteraan pemilik, walaupun keputusan manajemen dalam praktek akan berbeda dengan keinginan pemilik (Jensen dan Meckling, 1976). Menurut Eisenhard (1989) teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi, yaitu: 1. Asumsi tentang sifat manusia. Menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). 2. Asumsi tentang keorganisasian. Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen.
3. Asumsi tentang informasi. Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan. Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance yang baik dapat meyakinkan para investor untuk berinvestasi dan dapat memberikan keuntungan bagi mereka dan memberikan keyakinan
bahwa
menginvestasikan
manajer dana
tidak
mereka
ke
akan
menggelapkan
proyek-proyek
yang
atau tidak
menguntungkan. Selain itu corporate governance juga berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny 1997). Dengan kata lain yakni corporate governance diharapkan akan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan. 2.1.2
Good Corporate Governace 2.1.2.1 Pengertian Good Corporate Governance Good Corporate Governance merupakan suatu aturan mengenai pengelolaan perusahaan yang perlu diterapkan pada setiap perusahaan terutama perusahaan publik (BUMN). Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (2001) pengertian corporate governance adalah: Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance ialah untuk menciptakan pertambahan nilai bagi semua pihak pemegang kepentingan (stakeholders). Komite Cadburry (dalam Che Haat, 2005) melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG : GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Donaldson
dan
David,
mendevinisikan
corporate
governance sebagai “The structure whereby managers at the organization apex are controlled through the board of directors, its associated structures, executives incentive, and other schemes of monitoring and bonding”. Center for European Policy Studies (1999) mendefinisikan GCG sebagai berikut "GCG merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan." Organization for Economic Coorperation and Development (2004) mendefinisikan “GCG adalah cara - cara manajemen perusahaan
bertanggungjawab
pengambil
keputusan
di
pada
shareholder-nya.
perusahaan
haruslah
Para dapat
dipertanggungjawabkan,
dan
keputusan
tersebut
mampu
memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya”. Finance Committee on Corporate Governance Malaysia (2008), menurut lembaga tersebut didefinisikan sebagai berikut : GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholders lainnya. 2.1.2.2 Manfaat Good Corporate Governance Dengan adanya penerapan corporate governance dalam suatu perusahaan maka menghasilkan suatu manfaat yang diperoleh, yaitu : 1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses
pengambilan
keputusan
yang
lebih
baik,
meningkatkan efisiensi operasional perusahaan dengan lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional serta lebih meningkatkan pelayanan kepada shakeholders. 2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value. 3.
Mengembalikan
kepercayaan
menanamkan modalnya di Indonesia.
investor
untuk
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan
karena
sekaligus
akan
meningkatkan
shareholders value dan deviden khusus bagi BUMN akan membantu
penerimaan
APBN
terutama
dari
hasil
privatisasi. 2.1.2.3 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Organization for Economic Corporation and Development (OECD) telah mengembangkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dan dapat direrapkan secara luwes (fleksibel) sesuai dengan keadaan, budaya, dan tradisi di masing-masing negara. Prinsip-prinsip ini diharapkan menjadi titik rujukan bagi para regulator (pemerintah) dalam membangun framework bagi penerapan Good Corporate Governance. Bagi para pelaku usaha dan pasar modal prinsip-prinsip ini dapat menjadi guidance atau pedoman dalam mengelaborasi best practice bagi peningkatan nilai (valuation) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan. Prinsip-prinsip tersebut ialah: 1. Fairness (Keadilan) Prinsip keadilan (fairness) merupakan prinsip perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham. Keadilan disini diartikan sebagai perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dari kecurangan, dan
kesalahan
perilaku
insider.
Dalam
melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. 2. Transparency (Transparansi) Transparansi adalah adanya pengungkapan suatu informasi yang
terbuka,
tepat
waktu,
serta
jelas
dan
dapat
dibandingkan dengan keadaan yang menyangkut tentang keuangan,
pengelolaan
perusahaan
dan
kepemilikan
perusahaan. Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang materil dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemakai kepentingan. 3. Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas menekankan pada pentingnya penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi, dan pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan lainnya.
4. Responsibility (Pertanggungjawaban) Responsibilitas adalah adanya tanggung jawab pengurus dalam
manajemen,
pengawasan
pertanggung jawaban pemegang
saham.
manajemen
serta
kepada perusahaan dan para
Prinsip
ini
mewujudkan
dengan
kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggung
jawab
sosial,
menghindari
penyalahgunaan
wewenang kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung etika dan memelihara bisnis yang kuat. 5. Independency (Independensi) Untuk
melancarkan
asas
Corporate
Governance,
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Independen diperlukan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini menuntut adanya rentang kekuasaan antara komposisi komite dalam komisaris, dan pihak luar seperti auditor. Keputusan yang dibuat dan proses yang terjadi harus obyektif tidak dipengaruhi oleh kekuatan pihak-pihak tertentu.
2.1.2.4 Implementasi Prinsip Corporate Governance Para kreditor juga perlu diperhatikan selain para pemegang saham atau investor karena, hampir tidak ada perusahaan yang dapat berjalan dengan modalnya sendiri, sehingga mencari tambahan dana yang diperlukan untuk biaya operasional perusahaan ataupun ekspansi usaha. Penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dalam suatu perusahaan menjadi salah satu bahan pertimbangan utama bagi kreditor dalam mengevaluasi potensi suatu perusahaan untuk menerima pinjaman kredit. Bahkan bagi perusahaan yang berdomisili di negara-negara berkembang, implementasi prinsip corporate governance secara konkret, dapat memberikan kontribusi untuk memulihkan kepercayaan para kreditor terhadap kinerja suatu perusahaan yang telah dilanda krisis, misalnya di Indonesia. Di dunia Internasional, penerapan good corporate governance sudah merupakan suatu syarat utama dalam perjanjian pemberian kredit. Seringkali perusahaan yang telah mengimplementasikan prinsip-prinsip
good
corporate
governance,
mempunyai
kemungkinan besar untuk memperoleh bantuan kredit bagi usahanya. Filosofi dasar untuk kepentingan para kreditor, yaitu bahwa
kepentingan
utama
kreditor
adalah
mendapatkan
keuntungan maksimal dan menekan seminimal mungkin resiko
kegagalan pengembalian pinjaman. Keuntungan maksimal ini dapat diperoleh dengan berbagai jalan, salah satunya adalah dengan meningkatkan tingkat kemampuan perusahaan debitor untuk mengembalikan dana yang telah dipinjam melalui efektivitas kinerja perusahaan tersebut. Penerapan prinsip good corporate governance digunakan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang efektif dan efisien, melalui harmonisasi manajemen perusahaan. Dibutuhkan peran yang penuh komitmen dan independen dari dewan direksi dan dewan komisaris dalam menjalankan kegiatan perusahaan, sehingga menghasilkan kinerja perusahaan yang baik. Diah Kusuma Wardani dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa corporate governance mempengaruhi nilai kinerja pasar perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa semakin besar nilai pasar asset maka semakin besar pula kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut, sehingga perusahaan tersebut memiliki brand image perusahaan
yang
sangat
kuat
karena
implementasi
GCG
berhubungan dengan peningkatan citra perusahaan. Perusahaan yang mempraktikkan GCG, akan mengalami perbaikan citra, dan peningkatan nilai perusahaan. Namun, corporate governance tidak mempengaruhi secara langsung kinerja operasional perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa masih rendahnya kesadaran emiten
dalam menerapkan GCG. Manajemen Perusahaan belum tertarik manfaat jangka panjang penerapan GCG sehingga mereka merasa dapat berjalan tanpa GCG. 2.1.3
Saham 2.1.3.1 Pengertian Saham Saham
adalah
surat
berharga
yang
menunjukkan
kepemilikan perusahaan sehingga pemegang saham memiliki hak klaim atas dividen atau distribusi lain yang dilakukan peusahaan kepada pemegang sahamnya, termasuk hak klaim atas aset perusahaan, dengan prioritas setelah hak klaim pemegang surat berharga lain dipenuhi jika terjadi likuiditas. Menurut Husnan (2002), menyebutkan bahwa
sekuritas
(saham) merupakan secarik kertas yang menunjukkan hak pemodal untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan organisasi yang menerbitkan sekuritas tersebut dan berbagai kondisi yang memungkinkan pemodal tersebut menjalankan haknya. Sedangkan, menurut Tandelilin (2001) saham merupakan surat bukti bahwa kepemilikan atas aset-aset perusahaan yang menerbitkan saham. Jadi, saham adalah surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), dimana saham tersebut menyatakan bahwa pemilik saham tersebut adalah juga pemilik sebagian dari perusahaan tersebut.
2.1.3.2 Harga Saham Harga saham merupakan salah satu indikator pengelolaan perusahaan. Keberhasilan dalam menghasilkan keuntungan akan memberikan kepuasan bagi investor yang rasional. Harga saham yang cukup tinggi akan memberikan kepuasan bagi investor yang rasional. Harga saham yang cukup tinggi akan memberikan keuntungan, yaitu berupa capital gain dan citra yang jauh lebih baik bagi perusahaan sehingga memudahkan bagi manajemen untuk mendapatkan dana dari luar perusahaan. Menurut Sawidji Widoatmojo (1996) harga saham dapat dibedakan menjadi 3 (tiga): a. Harga Nominal Harga yang tercantum dalam sertifikat saham yang ditetapkan oleh emiten untuk menilai setiap lembar saham yang dikeluarkan. Besarnya harga nominal memberikan arti penting saham karena dividen minimal biasanya ditetapkan berdasarkan nilai nominal. b. Harga Perdana Harga ini merupakan harga saham yang dicatat di bursa efek. Harga saham pada pasar perdana biasanya ditetapkan oleh pinjaman emisi (underwriter) dan emiten. Dengan demikian akan diketahui berapa harga saham emiten itu akan dijual kepada masyarakat biasanya untuk menentukan harga perdana.
c. Harga Pasar Kalau harga perdana merupakan harga jual dari perjanjian emisi kepada investor, maka harga pasar adalah harga jual dari investor yang satu dengan investor yang lain. Harga ini terjadi setelah saham tersebut dicatatkan di bursa. Transaksi di sini tidak lagi melibatkan emiten sebagai penjamin emisi harga ini yang disebut sebagai harga di pasar sekunder dan harga inilah yang benar-benar mewakili harga perusahaan penerbitnya, karena pada transaksi dipasar sekunder, kecil sekali kemungkinan terjadinya negosiasi harga investor dengan perusahaan penerbit. Harga yang setiap hari diumumkan disurat kabar atau media lain adalah harga pasar. Dalam menganalisis saham dapat dilakukan dengan dua aliran yang berbeda yaitu analisis secara fundamental dan analisis secara teknis. Secara fundamental dimulai dari kondisi makro baik global maupun domestik. Sedangkan analisis teknis adalah suatu analisa yang menggunakan kecenderungan harga dan jumlah saham pada masa lalu untuk menentukan kecenderungan yang akan datang. Adapun fokus perhatian dari analisis teknis adalah waktu menunggu saat yang tepat untuk membeli jika kecenderungan harganya akan naik, sehingga sifatnya pun jangka pendek dengan motif utama untuk memperoleh capital gain. Dalam pasar modal, harga saham mencerminkan semua informasi yang relevan dan pasar akan bereaksi apabila terdapat
informasi baru. Implikasinya adalah harga saham dan volume perdagangan saham perusahaan akan bereaksi terhadap informasi laba yang dipublikasikan melalui laporan keuangan apabila informasi itu dianggap relevan oleh pemodal dalam penentuan harga saham dan volume perdagangan (Mais,2005). 2.1.3.3 Analisis terhadap Harga Saham Mekanisme untuk merubah serangkaian variabel ekonomi atau variabel perusahaan merupakan penilaian atas saham yang digunakan untuk mengamati perkiraan tentang harga saham. Variabel-variabel ekonomi tersebut misalnya laba perusahaan, dividen yang dibagikan, aset perusahaan, variabilitas laba dan sebagainya. Secara umum ada dua analisis yang sering digunakan dalam melakukan analisis saham, yaitu analisis teknikal (technical analysis) dan analisis fundamental (fundamental analysis). 1) Analisis teknikal Analisis teknikal merupakan analisis yang memperhatikan perubahan harga saham dari waktu ke waktu. Analisis ini akan menentukan nilai saham dengan menggunakan data pasar dari saham, seperti harga dan volume transaksi saham. Harga suatu saham akan ditentukan oleh penawaran (supply) dan permintaan (demand) terhadap saham tersebut. Menurut Widoatmodjo (2005), analisis teknikal merupakan salah
satu
metode
penilaian
saham
dengan
mengamati
pembentukan harga saham dengan berbagai varian yang mungkin terjadi dibandingkan dengan perilaku harga sebelumnya. Analisis teknikal mengasumsikan bahwa harga saham mencerminkan informasi yang ditujukan oleh perubahan harga di waktu lalu sehingga perubahan harga saham mempunyai pola tertentu dan pola tersebut akan berulang. Analisis teknikal
biasanya
menggunakan
data
yang
dianalisis dengan menggunakan grafik atau program komputer. Dengan mengamati grafik tersebut dapat diketahui bagaimana kecenderungan harga, memperkirakan kemungkinan waktu dan jarak
kecenderungan,
serta
memilih
saat
yang
paling
menguntungkan untuk masuk dan keluar pasar. 2) Analisis fundamental Analisis fundamental merupakan alat analisis yang sangat berhubungan dengan kondisi keuangan perusahaan. Widoatmodjo (2007) menyatakan bahwa analisis fundamental sebenarnya merupakan metode analisis saham dengan melakukan penilaian atas laporan keuangan. Sedangkan menurut Darmadji (2006), analisis fundamental merupakan salah satu cara melakukan penilaian saham dengan mempelajari atau mengamati berbagai indikator terkait kondisi makro ekonomi dan kondisi industri suatu perusahaan. Dengan demikian analisis fundamental merupakan
analisis yang berbasis pada data riil untuk mengevaluasi atau memproyeksikan nilai suatu saham. Analisis fundamental mencoba memperhitungkan harga saham di masa yang akan datang dengan (1) mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang dan (2) menerapkan hubungan variabelvariabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. Beberapa data atau indikator yang umum digunakan dalam analisis fundamental adalah: pendapatan, laba, pertumbuhan penjualan, imbal hasil atau pengembalian ekuitas, margin laba, dan data-data keuangan lainnya sebagai sarana untuk menilai kinerja perusahaan dan potensi pertumbuhan perusahaan di masa mendatang. Analisis fundamental umumnya dilakukan dengan tahapan melakukan analisis ekonomi terlebih dahulu, diikuti dengan analisis industri dan akhirnya analisis perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Analisis fundamental didasarkan atas pemikiran bahwa kondisi perusahaan tidak hanya dipengaruhi faktor internal tetapi juga faktor-faktor eksternal, yaitu kondisi ekonomi dan industri. 2.1.4
Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan bagian dari corporate governance. Jensen (1993) dan Lipton dan Lorsch (1992) dalam Beiner dkk (2003) merupakan yang pertama menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris merupakan bagian dari mekanisme corporate governance. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Allen dan Gale (2000) dalam Beiner dkk (2003) yang menegaskan bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme governance yang penting. Dewan komisaris merupakan mekanisme penggendalian intern tertinggi yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen punjak (Fama dan Jensen, 1983). Dewan Komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG (KNKG, 2006). Ukuran dewan komisaris yang dimaksud disini adalah banyaknya jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Semakin besar jumlah
anggota
dewan
komisaris
maka
semakin
mudah
untuk
mengendalikan Chief Executives Officer (CEO) dan semakin efektif dalam memonitor aktivitas manajemen. Fungsi service menyatakan bahwa dewan komisaris dapat memberikan konsultasi atau nasehat manajemen dan direksi. Penelitian Lorsch dan MacIver (1989) dalam Young dkk (2001) yang berbasis wawancara menemukan bahwa peranan pemberian saran (advisory) mendominasi aktivitas anggota dewan. Dengan menekankan pada fungsi ini, Dalton dan Daily (1999) dalam Kusumawati dan Riyanto, (2005) menyatakan bahwa peranan keahlian atau konseling yang diberikan oleh anggota dewan tersebut merupakan suatu jasa yang berkualitas bagi manajemen dan perusahaan yang tidak dapat diberikan oleh pasar. Anggota dewan komisaris yang
mempunyai keahlian dalam bidang tertentu juga dapat memberikan nasehat yang bernilai dalam penyusunan strategi dan penyelenggaraan perusahaan (Fama dan Jensen, 1983 dalam Young et al., 2001). Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan komisaris diambil dari teori agensi. Dari persepektif teori agensi, dewan komisaris mewakili mekanisme internal utama untuk mengontrol perilaku oportunistik manajemen sehingga dapat membantu menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer (Jensen, 1993 dalamYoung et al., 2001). Dari kedua fungsi dewan tersebut, terlihat bahwa jumlah komisaris berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 2.1.5
Komite Audit
Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan, komite audit dianggap penghubung antara pemegang saham, dewan komisaris dan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Agar penyelenggaraan corporate governance berjalan dengan baik (good corporate governance), pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan antara lain Bapepam dengan Surat Edaran No. SE-03/PM/2000 mensyaratkan bahwa setiap perusahaan go public di Indonesia wajib membentuk Komite Audit. Sementara bagi perusahaan BUMN/BUMD, sesuai dengan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: 117/M-MBU/2002 menyatakan bahwa: “Komisaris Pengawas harus
membentuk komite yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris Pengawas dalam melaksanakan tugasnya, yaitu membantu Komisaris Pengawas dalam memastikan efektifitas sistem pengendalian intern, efektivitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan auditor internal”. Dalam pelaksanaan tugasnya komite audit diatur dalam Kep29/PM/2004 yang merupakan peraturan yang mewajibkan perusahaan membentuk komite audit, tugas komite audit antara lain : 1. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan lainnya. 2. Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya
yang
berhubungan
dengan
kegiatan
perusahaan. 3. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal 4. Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi 5. Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas pengaduan yang berhubungan dengan emiten. 6. Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan rahasia perusahaan. Kalbers & Fogarty (1993) juga menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan komite audit dalam menjalankan tugasnya
yaitu 1) kewenangan formal dan tertulis, 2) kerjasama manajemen dan 3) kualitas/kompetensi anggota komite audit. Selain itu, Effendi (2005) juga menambahkan masalah komunikasi dengan komisaris, direksi, auditor internal dan eksternal serta pihak lain sebagai aspek yang penting dalam keberhasilan kerja komite audit. Dengan kewenangan, independensi, kompetensi dan komunikasi melalui pertemuan yang rutin dengan pihakpihak terkait, diharapkan fungsi dan peran dari komite audit lebih bisa berjalan dengan efektif. 2.1.6
Kepemilikan Asing
Kepemilikan asing merupakan persentase kepemilikan saham milik pihak asing (Chiang dan Kuo, 2006). Menurut UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal asing. Menurut Pasal 1 angka 6 “ Penanaman modal asing adalah perseorangan warga negara asing. Badan usaha asing dan / atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia”. Undang-Undang itu mengatakan bahwa penanaman modal asing adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas berbadan hukum Indonesia yang ada pemegang saham asingnya. Tidak penting berapa persen besarnya saham asing tersebut. Penanaman Modal Dalam Negeri adalah perusahaan yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh pengusaha dalam negeri. Tapi kedua-duanya tetap merupakan suatu perusahaan Indonesia yang berbadan hukum Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia.
Perusahaan multinasional atau perusahaan asing terkadang lebih memiliki kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan perusahaan lokal. Penelitian dari Goethals & Ooghe (1997) menyimpulkan bahwa perusahaan yang telah diambil alih oleh perusahaan asing cenderung menunjukan perbaikan kinerja mereka, peningkatan produktivitas, maupun menunjukan sistem kinerja yang lebih efisien bila dibandingkan dengan sebelum perusahaan diambil alih. Sebenarnya ada beberapa indikator yang dapat membenarkan beberapa fakta-fakta diatas. Perusahaan yang diambil alih kepemilikannya oleh asing umumnya akan lebih kuat secara keuangan karena mendapatkan sumber modal baru yang cenderung besar. Selain itu, perusahaan dengan kepemilikan asing juga akan membawa sumber daya baru yang cenderung lebih efisien dan produktif. Meskipun banyak mendapatkan hal-hal positif dengan adanya investasi dari pemilik modal asing, namun biasanya dampak negatif yang ditimbulkan juga tidak dapat dihindari sepenuhnya. Dengan adanya kepemilikan asing di sebuah perusahaan, maka perusahaan lokal pun terancam tidak dapat bersaing dengan wajar. Hampir sebagian perusahaan asing memiliki sumber daya dan modal diatas kebanyakan perusahaan lokal, yang nantinya dapat menimbulkan persaingan tidak sehat terhadap kompetisi dinegara tersebut (Yeung, 1998). Chevalier et al (2006) menyatakan bahwa keberadaan perusahaan asing terhadap perusahaan lokal di indonesia bisa lebih kearah negatif. Dampak-dampak tersebut antara lain seperti; mematikan kreatifitas berusaha perusahaan lokal, tidak
memajukan sumber daya manusia dalam negeri, profit dalam negeri lebih banyak diserap oleh perusahaan asing, dan hancurnya merek-merek atau image dari budaya setempat atau pun dari negeri tersebut. Sebelum perusahaan memutuskan untuk melakukan investasi di sebuah negara atau sebuah perusahaan lain, faktor exchange rate fluctuation mungkin patut menjadi pertimbangan (Grosse and Trevino, 1996). Exchange rate fluctuation mempengaruhi FDI dalam dua cara. Pertama, kenaikan atau apresiasi dari sebuah mata uang akan menaikan
nilai
total
kekayaan
dari
perusahaan
yang
nilainya
didominasikan dalam mata uang asing. Hal ini akan menyebabkan kecilnya nilai investasi atau modal yang dibutuhkan oleh perusahaan asing tersebut bila ingin melakukan investasi disebuah negara yang nilai mata uangnya lebih rendah. Hal ini juga menyebabkan investor dapat melakukan investasi lebih agresif di negara asing tersebut. Kedua, dengan adanya apresiasi dalam mata uang maka terjadi perbedaan harga antara produk atau jasa dari suatu negara dibandingkan dengan negara lain. Bila terjadi perbedaan harga maka diperlukan penyesuaian harga untuk menghindari kemungkinan terjadinya less cost competitiveness. Hal yang mungkin dilakukan adalah dengan memindahkan proses produksi ke negara yang menjual jasa dan produk lebih murah untuk dapat bersaing serta menghindari keluar dari persaingan dengan perusahaan sejenis. Faktor kedua yang perlu untuk dipertimbangkan adalah seberapa besar biaya yang diperlukan untuk mendapatkan modal usaha di suatu
negara asing atau negara lain (Grosse dan Trevino, 1996). Contoh yang dapat dipakai dalam kasus ini adalah interest rate. Semakin besar interest rate di suatu negara maka capital investment yang diperlukan cenderung akan semakin besar. Dengan besarnya capital investment, maka suatu perusahaan akan berusaha untuk dapat meraih pendapatan sebesarbesarnya agar tidak mengalami kerugian di kemudian hari. Perusahaan yang meminjam modal di negara dengan interest rate yang tinggi cenderung akan kalah bersaing dengan perusahaan yang meminjam modal di negara yang memiliki interest rate yang lebih rendah. 2.1.7
Return On Equity (ROE)
Return On Equity (ROE) atau sering disebut rentabilitas modal sendiri dimaksudkan untuk mengukur seberapa banyak keuntungan yang menjadi hak pemilik modal sendiri (Martono dan Harjito, 2001) ROE membandingkan laba bersih setelah pajak dengan ekuitas. Dimana rasio ini menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan laba berdasarkan ekuitas pemegang saham. Return On Equity (ROE) digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam mengelola modal yang tersedia untuk memperoleh net income. Brigham dan Daves (2003) mengemukakan bahwa ultimately, the most important, or ‘bottom line’, accounting ratio is the ratio of net income to common equity, which measures the return on common equity (ROE). Stockholders invest to get a return on their money, and thus ratio tells how well they are doing in an accounting sense. Rasio keuangan yang
paling penting adalah rasio yang membandingkan laba bersih dengan ekuitas pemegang saham, yang disebut dengan tingkat pengembalian atas ekuitas. Pemegang saham berinvestasi untuk mendapatkan keuntungan atas dana yang diinvestasikannya, dan rasio tingkat pengembalian atas ekuitas atau return on equity (ROE) mengindikasikan seberapa baik perusahaan dapat memberikan keuntungan bagi para pemegang saham secara akuntansi. The return on equity (ROE) ratio measures the averages return on firm’s capital contributions from its owners (for a corporation, that means the contributions of common stockholders). It indicates how many dollars of income were produced for each dollar invested the common stockholders (Gallagher dan Andrew, 2003). Semakin tinggi ROE menggambarkan semakin baik manajemen perusahaan karena dari modal yang dikelola dapat menghasilkan pendapatan yang optimal. Rumus : 𝑅𝑂𝐸 =
Laba bersih E𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠
x 100%
2.2
Tinjauan Peneliti Terdahulu Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
Nama
Judul
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
Peneliti Arnika
Pengaruh Economic Variabel independen :
Wihardiani Value Added Dan Economic Putri, 2010 Mekanisme
Value
Added, berpengaruh
Good Komposisi Dewan Komisaris, harga
Corporate
Ukuran
Governance
Kepemilikan Asing
Terhadap
Economic Value Added
Dewan
terhadap
saham,
Direksi, berpengaruh harga
Harga Variabel dependen :
GCG terhadap
saham,
secara
parsial ukuran dewan
Saham Pada Sektor Harga Saham
direksi, dan komposisi
Keuangan
dewan
Yang
Terdaftar di BEI
komisaris
memilii pengaruh yang signifikan
terhadap
harga saham. Ariani
Analisis
Agnita,
Corporate
Penerapan GCG
menunjukkan
2011
Governance
Varibel dependen :
GCG tidak berpengaruh
Terhadap Perusahaan Terdaftar
Pengaruh Variabel independen :
Kinerja Return
on
Equity
Hasil
penelitian
(ROE), terhadap
kinerja
Yang Return On Investment (ROI), keuangan di dan Earning per Share (EPS)
secara
bahwa
perusahaan
parsial.
ROE,
Indonesia For
Institute
ROI, dan EPS tidak
Corporate
dapat dijelaskan oleh penerapan GCG.
Governance
Arnika Wihardiani Putri (2010), melakukan penelitian Pengaruh Economic Value Added dan Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Harga Saham pada Sektor Keuangan yang Terdaftar di BEI. Variabel Independen dari penelitian ini Economic Value Added, Komposisi Dewan Komisaris, Ukuran Dewan Direksi, Kepemilikan Asing. Variabel dependen dari penelitian ini ialah harga saham. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Economic Value Added berpengaruh terhadap harga saham. Secara bersama-sama penerapan Good Corporate Governance yang terdiri dari komposisi dewan komisaris, ukuran dewan direksi dan kepemilikan asing berpengaruh terhadap harga saham. Secara parsial, ukuran dewan direksi dan komposisi dewan komisaris memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga saham sedangkan kepemilikan asing tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham. Ariani Agitha (2011), meneliti
Analisis Pengaruh Corporate
Governance Terhadap Kinerja Perusahaan Yang Terdaftar di Indonesia Institute For Corporate Governance. Variabel independen dari peneliti ini Good Corporate Governance. Variabel dependen dari penelitian ini adalah Return on Equity (ROE), Return On Investment (ROI), dan Earning per Share (EPS).
Penelitian ini merupakan penelitian yang variabelnya
bersifat kausalitas. Sampel penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) yang dipilih dengan metode purposive sampling. Data yang digunakan bersifat pooling (data series dan cross sectional) dan diambil dari laporan CGPI dan laporan keuangan tahunan dari tahun 2007-2009. Pengujian hipotesis dilakukan dengan metode statistik melalui analisis regresi sederhana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa GCG tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan secara parsial. ROE, ROI, dan EPS tidak dapat dijelaskan oleh penerapan GCG. Hal ini menunjukkan bahwa good corporate governance bukan indikator yang berpengaruh besar terhadap peningkatan kinerja perusahaan. 2.3
Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan ekstrapolasi dari tinjauan teori
dan penelitian terdahulu yang mencerminkan keterkaitan antara variabel yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis. Penelitian ini menggunakan satu variabel independen yaitu Good Corporate Governance (GCG) yang diproksikan dalam Proporsi Dewan Komisaris, Komite Audit, dan kepemilikan Asing, satu variabel dependen yaitu Harga Saham dan sebagai variabel moderating Return on Equity (ROE). Berdasarkan landasan teoritis dan tinjauan penelitian terdahulu di atas maka kerangka konseptual penelitian adalah sebagai berikut.
Variabel Moderating ROE (Return On Equity)
Good Corporate Governance -
Proporsi Dewan Komisaris Komite Audit Kepemilikan Asing
Harga Saham
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Sesuai dengan kajian teori keagenan (agency Theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Berdasarkan kerangka konseptual diatas, ditentukan bahwa variabel good corporate governance yang diproksikan kedalam dewan komisaris, komite audit dan kepemilikan asing sebagai variabel independen. Harga saham sebagai variabel dependen dan Return on Equity (ROE) sebagai variabel moderating. Dengan adanya prinsip-prinsip GCG, maka laporan keuangan yang dihasilkan dapat diungkapkan secara transparan dan akurat, sehingga dapat membantu investor dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam suatu perusahaan untuk mengambil keputusan sehingga dapat meningkatkan
kinerja keuangan perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa dengan diterapkannya prinsip-prinsip GCG dalam perusahaan, maka pihak-pihak yang terkait di perusahaan memiliki tanggung jawab yang jelas sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga dapat mendorong pengelolaan organisasi yang demokratis, lebih accountable, lebih transparan, serta akan meningkatkan keyakinan bahwa perusahaan dan organisasi lainnya dapat menyumbangkan manfaat tersebut dalam jangka panjang. Upaya pengembangan good corporate governance juga ditujukan untuk mendorong optimalisasi alokasi atau penggunaan sumber daya perusahaan agar pertumbuhan dan kesejahteraan pemilik perusahaan terjaga. Wicaksono (2000) menjelaskan bahwa keberhasilan penerapan corporate governance tidak terlepas dari struktur kepemilikan perusahaan, karena struktur kepemilikan tersebut menjelaskan komitmen dari pemiliknya untuk menyelamatkan perusahaan. Menurut Jensen (1993) hipotesis pemusatan kemungkinan (convergence of interest hypothesis) menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka manajemen akan cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Dengan meningkatkan kepemilikan saham manajerial akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai
konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Hal tersebut menjelaskan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai arti penting dalam struktur kepemilikan perusahaan. Dewan direksi dalam suatu perusahaan yang akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan secara jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu proporsi dewan (baik dewan direksi maupun dewan komisaris) berperan dalam kinerja perusahaan
dan
dapat
meminimalisasi
kemungkinan
terjadinya
permasalahan agensi dalam perusahaan. Pfeffer dam Salancik menjelaskan bahwa semakin besar kebutuhan akan hubungan eksternal yang semakin efektif, maka kebutuhan akan dewan dalam jumlah yang besar akan semakin tinggi. J.Fred.Weston dan Thomas E.Copeland (2002) mengatakan bahwa rentabilitas usaha adalah hasil pengembalian atas ekuitas mengukur pengembalian nilai buku kepada pemilik perusahaan, rasio Return On Equity merupakan suatu rasio tujuan akhir. Tingkat pengembalian ekuitas pemilik (ROE) merupakan suatu alat analisis untuk mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham atas modal yang telah mereka investasikan. Tuguh Pujo Mulyano (1995) menjelaskan bahwa kenaikan Return On Equity biasanya diikuti oleh kenaikan harga saham perusahaan tersebut. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat
oleh auditor mengenai laporan keuangan suatu perusahaan (Meutia, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa auditor berperan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu, dengan penggunaan auditor yang berkualitas diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas laporan keuangan sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. 2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual, maka hipotesis penelitian ini adalah good corporate governance yang diproksikan dalam proporsi dewan komisaris, komite audit dan kepemilikan asing terkonsentrasi berpengaruh terhadap Harga saham dengan ROE (Return On Equity) sebagai variabel moderating.