BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Efektivitas
1. Pengertian Efektivitas Hidayat (1986) menjelaskan bahwa: “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana semakin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya”. Sedangkan Definisi efektivitas menurut Mardiasmo (2004:134) “Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif”. Efektivitas adalah mengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan potensi atau target penerimaan pajak itu sendiri. Efektivitas penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah mengukur hubungan antara hasil pungutan Pajak Bumi dan Bangunan dengan potensi atau target penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan itu sendiri.
20
21
Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat efektivitas penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah:
Efektivitas =
Realisasi Penerimaan PBB Target PBB
× 100%
Tabel 2.1 Nilai Interpretasi Efektivitas Presentase (%)
Kriteria
>100
Sangat Efektif
90-100
Efektif
80-90
Cukup Efektif
60-80
Kurang Efektif
<60
Tidak Efektif
Sumber: Munir, dkk, 2004:151
B. Pengertian Pajak
Definisi menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H dalam Suandy (2011:8) Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut disempurnakan menjadi “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk
22
membiyai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya diguakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.
C. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
1. Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Desentralisasi Fiskal Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Sedangkan Desentralisasi Fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan Keuangan Negara. Untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivits perekonomian masyarakat. Kebijakan
desentralisasi
fiskal
diharapkan
akan
menciptakan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan. Besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah
23
otonom akan menciptakan iklim pemerintahan daerah yang merata di masyarakat (Farida, 2011:348-349). D. Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim (2004:94) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerahnya
sendiri.
Daerah
dituntut
untuk
berperan
aktf
dalam
mengoptimalkan penerimaan pendapatan daerahnya. Hal tersebut sebagai upaya untuk menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah (otoda) sebagai perwujudan dari desentralisasi.
E. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah pungutan wajib atas orang pribadi atau badan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiaai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah (Prakosa, 2005:2).
24
Sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengelompokan pajak daerah dibagi menjadi: 1. Jenis Pajak Provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. 2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
25
F. Pajak Bumi dan Bangunan
1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Sedangkan menurut Diana Setiawati (2009:749) pengertian PBB adalah iuran yang dikenakan terhadap pemilik, pemegang keuasaan, penyewa dan yang memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan. Pengertian bumi adlah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bumi menunjuk pada permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalama serta laut wilayang Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan perairan dengan digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat berusaha. 2. Objek PBB Objek PBB adalah Bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Sedangkan
26
bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara bertahap pada tanah atau perairan (Mardiasmo, 2009:311). 3. Subjek PBB Menurut Waluyo (2009:473) Subjek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu ha katas bumi, dan/atau; memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau; memiliki, menguasai atas bangunan, dan/atau; memperoleh manfaat atas banguan. 4. Dasar Pengenaan PBB Dasar pengenaan PBB adalah NJOP. Berdaarkan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 5 Tahun 2012, berikut definisi mengenai Nilai Jual Objek Pajak: a. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh atas transaksi jual beli yang teradi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau NJOP pengganti. b. Besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2 dtetapkan setiap tiga tahun, kecuali untuk objek pajak tertntu data ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
27
c. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disebut NJOPTKP adalah besaran nilai ang merupakan batas tertinggi nilai/harga objek pajak yang tidak dikenai objek pajak. d. Besarnya NJOPTKP ditetapkan Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) 5. Tarif PBB a. Untuk NJOP sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun; b. Untuk tambahan NJOP diatas Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun; c. Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan untuk perusahaan yang memiliki tenaga kerja lebih dari 1000 (seribu) tenaga kerja, maka dapat diberikan pengurangan 15% (lima belas persen) dari tarif pajak bumi dan bangunan; d. Dalam hal pemanfaatan bumi da.atau bangunan untuk usaha pertanian tanaman pangan, maka dapat diberikan pengurangan sebesar 15% (lima belas persen) dari tarif pajak bumi dan bangunan. 6. Penetapan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Tahun 2015 Kabupaten Boyolali Penetapan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Tahun 2015 Kabupaten Boyolali merupakan Surat Keputusan
28
Bupati Boyolali Nomor 971.11.583 Tahun 2004 yang berlaku pada tanggal 01 Januari 2015. Surat Keputusan ini berisi tentang peraturan serta faktor-faktor penyebab adanya kenaikan kelas NJOP di Kabupaten Boyolali. a. Faktor-faktor Penyebab adanya Kenaikan Kelas NJOP 1) Masih rendahnya potensi Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) di Kabupaten Boyolali bahkan cenderung menurun dari tahun ke tahun sedangkan kenaikan pendapatan dari sektor PBB P2 setiap tahun berbanding terbalik dengan potensi yang ada.
Tabel 2.2 Target dan Potensi PBB P2 Kabupaten Boyolali Tahun
Potensi
Target
Realisasi
2012 2013
17,3 M 16,2 M
12 M 16,2 M
14,2 M 13,8 M
15,9 M 12,5 M 2014 Sumber: DPPKAD Kabupaten Boyolali
14 M
2) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Boyolali melalui Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) relatif rendah terhadap beban Anggaran Pembangunan sebesar Rp. 13 Milyar disbanding dengan Kabupaten/Kota sekitarnya, Kota Surakarta sebesar Rp. 45 Milyar, Kabupaten Sukoharjo sebesar Rp. 34 Milyar dan
29
Kabupaten Klaten sebesar Rp. 28 Milyar serta Kabupaten Karanganyar sebesar Rp. 28 Milyar. 3) Terjadi kesenjangan yang sangat tajam antara NJOP yang tercantum pada SPPT PBB denga nilai pasar yakni sekitar 5-35 kali lipat dengan NJOP pada SPPT PBB sehingga seringkali menyulitkan verifikator dalam melaksanakan tugas verifikasi sehingga terjadi perolehan hak atas bumi dan bangunan dalam menetakan BPHTB-nya. 4) Kurangnya SDM yang sesuai dalam Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Kabupaten Boyolali. b. Fakta dan Data 1) NJOP Bumi dan Bangunan di Kabupaten Boyolali dinilai sudah tidak sesuai bahkan sangat jauh perbedaannya dengan NJOP (Nilai Pasar) di lapangan. 2) Sejak tahun 2009 (dikelola pratama) sampai dialihkan ke Pemkab Boyolali tahun 2013, menurut peraturan perundangundangan
yang
berlaku
sebenarnya
sudah
saatnya
ditinjau/disesuaikan, namun sesuai wewenang Bupati Boyolali agar database dari KPP Pratama diteruskan dahulu sambil belajar administrasinya dengan benar selama 1-2 tahun selanjutnya baru dievaluasi dan disesuaikan. 3) Menurut hasil pantauan.peneliian sederhana kami di lapangan, nilai transaksi pada proses BPHTB Tahun 2011 sampai tahun
30
2014 bahwa harga pasar di Kabupaten sudah tidak sesuai bahkan sangat jauh perbedaannya dengan NJOP (Nilai Pasar) realita di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari contoh transaksi di beberapa wilayah Boyolali, yaitu Desa Ngadirejo Kecamatan Ampel NJOP Rp. 5.000,00/m2 nilai transaksi Rp. 100.000,00/m2; Kelurahan
Banaran
Kecamatan
Boyolali
NJOP
Rp.
916.000,00/m2 nilai transaksi Rp. 3.210.000,00/m2; Desa Winong Kecamatan Boyolali NJOP Rp. 64.000,00/m2 nilai transaksi Rp. 500.000,00/m2; dan masih banyak lagi desa yang NJOP dalam SPPT dengan nilai pasarnya sudah tidak sesuai, bahkan asih ada NJOP pada SPPT PBB nilai terenah bumi sebesar Rp. 1.200,00/m2 jelas sudah tidak logis lagi. 4) Kurangnya SDM yang sesuai dalam rangka Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. 7. Kontribusi PBB Pajak Bumi dan Bangunan berkontribusi secara langsung terhadap penerimaan Pajak Daerah dan PAD. Kontribusi PBB terhadap Pajak Daerah dan PAD dapat dihitung dengan rumus:
Kontribusi PBB:
Realisasi Penerimaan PBB × 100% Realisasi Penerimaan Pajak Daerah/PAD
31
Tabel 2.2 Nilai Interpretasi Kontribusi Presentase (%) Kriteria 0.00 – 10
Sangat Kurang
10.10 – 20
Kurang
20.10 – 30
Sedang
30.10 – 40
Cukup Baik
40.10 – 50
Baik
>50
Sangat Baik
Sumber: Munir, dkk, 2004:149