BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Alginat
Alginat adalah polisakarida alam yang umumnya terdapat pada dinding sel dari semua spesies alga coklat (Pheaophyceae). Asam alginat pertama kali dan dipatenkan oleh seorang ahli kimia dari Stanford Inggris tahun 1881 dengan mengekstrak Lamanaria stenophylla (Anonim II, 2005). Asam alginat dalam alga coklat umumnya terdapat sebagai garam-garam kalsium, magnesium, natrium. Tahap pertama pembuatan alginat adalah mengubah kalsium alginat dan magnesium alginat yang tidak larut menjadi natrium alginat yang larut dalam air dengan pertukaran ion dibawah kondisi alkalin (Zhanjiang, 1990).
Dimana: M adalah kation bivalen seperti Ca2+, Mg2+ dan lain-lain Alg adalah alginat. Proses pertukaran ion dari alginat dilakukan dengan mineral asam sebelum diekstraksi dengan alkali, persamaan rekasinya sebagai berikut:
Larutan natrium alginat kasar yang diperoleh difiltrasi dan diendapkan dengan Ca2+ untuk membentuk garam kalsium yang tidak larut. Selanjutnya pemisahan dilakukan dengan proses asidifikasi untuk memisahkan asam alginat dan ion-ion kalsium.
Kemudian gel asam alginat yang terbentuk didehidrasi lalu dicampur dengan alkali (Na2CO3) untuk membuat kembali garam natrium yang larut.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya diperoleh pasta natrium alginat, lalu dikeringkan dan digiling untuk memperoleh bubuk natrium alginat ( Zhanjiang, 1990).
2.1.1. Produksi
Penyedian alginat secara komersial diperoleh dari hasil ekstraksi alga coklat, sebagaian besar dari laminaria hyperbore, Macrocystis pryfera, Laminaria digitata, Ascophyllumnodosum, Laminaria joponica, Ecklonia maxima, Lessonia nigrescens, dan Durvillaea antarctive. Komposisi alginat dari ganggang laut tidak sama variasinya tergantung pada musim dan kondisi pertumbuhannya, ketidak samaan ini tergantung pada sifat dari tumbuhan itu (Bernd, 2009). Ada beberapa Negara yang telah memproduksi alginat secara komersial diantaranya adalah Amerika Serikat. Pada Tahun 1927 Thornley membangun perusahan untuk memproduksi alginat di San Diego kemudian diorganisasi kembali tahun 1929 dengan nama Kelco Company. Produksi di United Kingdom dimulai oleh Alginate Industries Ltd. selama periode 1934-1939. Dan sekarang ada dua perusahaan terbesar di Amerika Serikat yaitu Kelco dan Alginat Industries yang memproduksi sekitar 70% alginat dari seluruh dunia (Zhanjiang, 1990). Di China produksi alginat dimulai tahun 1957 di Qingdao yang berasal dari spesies Sargassum Pollidum.
Negara – negara penghasil alginat terbesar lainya
yaitu Jepang dan Prancis.
2.1.2. Struktur Kimia dan Komposisi
Alginat merupakan polimer linear yang mengandung lebih dari 700 residu asam uronat yaitu β-D asam manuronat dan α-L asam guluronat dengan ikatan 1,4. Rantai alginat yang mengandung residu asam manuronat disebut blok M, rantai alginat yang hanya mengandung residu asam gluronat disebut blok G dan rantai alginat yang mengandung residu asam manuronat serta asam gluronat disebut blok MG ( Masakatsu dan Inukai, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya nitrogen dalam struktur polimer dari polisakarida, stanford mengusulkan dengan pasti jalan keluar dari penelitian tentang struktur algina, asam uronik merupakan penyusun utama dari struktur dasar alginat yang dipatenkan pada tahun 1926 (Bernd, 2009). Struktur dasar dari monomer alginat adalah cincin tetrahydopyran dan dapat membentuk 2 konfigurasi, yaitu C1 dan 1C. β -D-manuronat di alam terdapat dalam konfigurasi C1. Pada konfigurasi 1C α-D-manuronat, interaksi -COOH pada C-5 dan -OH pada C-3 akan kaku, sedangkan pada C1 gugus-gugus ini berada pada posisi ekuatorial sehingga lebih stabil. Sebaliknya, untuk alasan yang sama, α -L-guluronat terdapat dalam konfigurasi 1C dibandingkan C1. Polimer alginat dibentuk dari hubungan antara C-1 dan C-4 tiap monomer dan dihubungkan oleh ikatan eter oksigen. Polimer alginat terdiri dari 3 jenis, yaitu blok M (mannuronat), blok G (guluronat), dan polimer MG Polimer M dibentuk dari struktur ekuatorial gugus C-1 dan C-4 dan membentuk polimer lurus, sedangkan polimer G dibentuk dari struktur aksial. Perbedaan struktur polimer ini menyebabkan polimer G lebih banyak digunakan untuk proses pembentukan gel alginat dengan penambahan ion Ca2+. Ion tesebut akan menggantikan ion H+ pada gugus karboksilat dan membentuk jembatan ion penghubung antara polimer G yang satu dengan yang lainnya. Hubungan antara polimer G ini akan membentuk struktur egg-box. Alginat merupakan polimer linear yang mengandung β-(1,4) linked D-asam manuronat (M) dan α-(1-asam gluronat) (G). Gambar 2.1 menunjukkan dalam rantai polimer, monomer dapat tersusun sebagai blok GG, blok MM dan blok GM (Donati dan Paoletti, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Struktur Kimia Alginat, a.Konformasi 4C1 Garam Natrium dari Asam Β-D-Mannuronat (M) dan Konformasi 1C4 Garam Natrium dari Asam Α-L-Guluronat (G). b. Komposisi Blok Alginat yaitu Blok G, Blok M dan Blok MG Residu asam manuronat mempunyai ikatan C 1,4 di-equtorial sehingga bentuknya rata seperti pita. Struktur ini menjadi stabil dengan adanya ikatan H antara proton dari OH dan C3 dengan cincin O dari residu tetangganya, seperti gambar 2.2 dibawah ini:
Gambar 2.2. Ikatan 1,4 di-equatorial dari natrium manuronat.
Struktur asam guluronat berbeda dengan asam manuronat. Residu asam gluronat mempunyai ikatan C 1,4 di-axial sehingga struktur pita dari polimer ini melengkung, berlawanan dengan bentuk merata dari manuronat. Struktur ini stabil
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya ikatan H antara gugus OH pada atom C2 dari residu yang satu dengan gugus COO- dari residu tetangganya ( Anonim II, 2005)
Gambar 2.3. Ikatan 1,4 di-axial dari asam guluronat. Masing-masing spesies alga coklat mengandung tipe alginat atau ratio M/G yang berbeda tergantung dari waktu panen dan bagian anatomi tumbuhan (Robinson, 1987). Alginat yang mengandung asam guluronat yang tinggi akan cendrung mempunyai struktur rigid (kaku) serta mempunyai porositas yang besar, sedangkan alginat yang mengandung asam manuronat yang tinggi mempunyai struktur yang tidak rigid. Unit G dan M diatur dalam rantai dan keseluruhan rasio, M / G, dari dua unit dalam rantai dapat bervariasi dari satu jenis rumput laut dengan yang lain. Dengan kata lain semua "alginat" tidak selalu sama. Jadi beberapa rumput laut dapat menghasilkan alginat yang memberikan viskositas yang tinggi ketika dilarutkan dalam air, sedangkan yang lain dapat menghasilkan viskositas
rendah.
Kondisi-kondisi
dari
prosedur
ekstraksi
dapat
juga
mempengaruhi viskositas. Demikian pula, kekuatan gel yang dibentuk oleh penambahan garam kalsium dapat bervariasi dari satu alginat dengan yang lain. Umumnya alginat dengan kandungan G yang lebih tinggi akan memberikan gel yang lebih kuat, dikatakan alginat memiliki rasio M / G rendah. Penentuan rasio M/G dapat dilakukan dengan menghidrolisis parsil alginat dengan asam organik encer seperti asam oksalat 1 M, dimana sebagian alginat akan larut. Residu yang tidak larut dapat dipisahkan ke dalam fraksi yang kaya akan guluronat (blok G) yang tidak larut pada pH 2,85 tersebut. Fraksi yang larut oleh hidrolisis parsil mengandung uronat M dan G (blok MG) ( Zhanjiang, 1990).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Sifat-sifat Fisika dan Kimia 2.1.3.1. Sifat Fisika Kelarutan dan kemampuan mengikat air dari alginat bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH di bawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat diabsorpsi air dan bisa digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Kaban, 2008). Asam alginat tidak larut dalam media berair, akan tetapi bila pH dinaikkan maka sebagian asam alginat diubah menjadi garam yang larut. Total netralisasi terjadi pada pH sekitar 4, dimana asam alginat secara sempurna diubah menjadi garam yang sesuai (ISP, 2001). Garam alginat yang larut dalam air adalah alginat yang mengandung logam alkali, amonia dan amina dengan berat molekul rendah serta senyawa amonium kuartener. Garam alginat dengan logam polivalen bersifat tidak larut dalan air kecuali magnesium alginat. Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian, alginat akan mengalami degradasi. Selama penyimpanan, alginat secepatnya mengalami degradasi dengan adanya oksigen terutama dengan naiknya kelembaban udara. Alginat dengan viskositas sedang atau rendah. Urutan stabilisasi alginat selama penyimpanan adalah: Natrium alginat > amonium alginat > asam alginat. Alginat komersial mudah terdegradasi oleh mikroorganisme yang terdapat di udara, kerena bahan tersebut mengandung partikel alga dan zat nitrogen. Semua larutan alginat akan mengalami depolimerisasi dengan kenaikan suhu (Zhanjiang, 1990) Larutan natrium alginat stabil pada pH sekitar 4-10. Pembentukan gel atau pengendapan alginat dapat terjadi pada pH dibawah 4, dengan berubahnya garam alginat menjadi asam alginat yang tidak larut. Penyimpanan larutan alginat yang lama diluar batasan pH diatas tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan depolimerisasi senyawa polimer akibat hidrolisis. Asam alginat tidak larut dalam air, sehingga yang bisa digunakan dalam industri adalah garam natrium alginat atau kalium alginat. Natrium alginat adalah bubuk warna kram, larut dalam air
Universitas Sumatera Utara
dengan membentuk koloid, kental, tidak larut dalam alkohol, klorofom, eter dan larutan asam jika pH dibawah 3. Propilen glikol alginat menunjukkan stabilitas yang sangat baik dalam larutan asam khusus efektif pada batasan pH 2,5-4. Kondisi ini dihindari karena efek pelindung dari gugus ester akan hilang secara cepat disebabkan terjadinya saponifikasi (ISP, 2001).
2.1.3.2. Sifat Kimia
Metil ester alginat dibuat dengan mereaksikan asam alginat dengan diazometan atau asam klorida dalam metanol atau melalui reaksi antara dimetilsulfat dengan natrium alginat yang tersuspensi dalam larutan tidak berair. Ester dapat dibentuk pada kondisi yang biasa dengan 1,2-alkilen oksida. Jika digunakan propilen oksida, dapat dihasilkan propilen glikol eter yang dapat digunakan sebagai zat tambahan dalam makanan seperti jelly dalam bentuk garam kalsium. Esterifikasi gugus hidroksil dari alginat dapat dilakukan melalui reaksi antara asetil klorida dengan adanya basa organik atau reaksi katalitik dengan anhidrida asetat. Amonium diasetil alginat bersifat larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organik dan mengembang dalam alkohol encer, membentuk gel atau mengendap dengan tembaga (II), timah (II) dan ion trivalen atau tetravalen. Tidak mengendap atau membentuk gel dengan kalsium, barium, besi (II), mangan (II), atau seng. Ester alginat sulfat diperoleh dengan asam sulfat yang digunakan dalam bidang medis sebagai zat anti beku darah (Muzzarelli, 1973) Ester alginat seperti asam karboksimetil alginat diperoleh dalam bentuk garam natrium, melalui reaksi antara natrium alginat dengan asam kloroasetat dalam natrium hidroksida. Garam basa organik dari alginat dapat mempengaruhi kelarutan asam alginat dalam pelarut organik. Sebagai contoh, tributilamin, feniltrimetilamonium dan benziltrimetilamonium alginat larut dalam etanol absolut sedangkan trietanolamin alginat larut dalam etanol 75%. Senyawa amonium kuartener dengan hidrokarbon seperti asetil trimetil amonium bromida bereaksi dengan asam alginat membentuk endapan asetil trimetil amonium alginat (Kaban, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Pembentukan Gel Alginat dapat membentuk gel dengan adanya kation-kation divalent seperti Ca2+, Mn2+, Cu2+, dan Zn2+ dimana ikatan silang terjadi karena adanya kompleks khelat antara ion-ion divalent dengan anion karboksilat dari blok G-G. Intraksi ion logam dengan gugus COO- dari alginat terjadi pada inter dan intra molekul. Disamping intraksi ion logam dengan gugus COO- dari alginat, gugus OH dari polimer juga ikut berperan (Zhanjiang, 1990). Ion Ca2+ mempunyai orbital d yang kosong sehingga alginat sebagai ligan dapat menyumbangkan elektronnya kepada Ca2+. Ion Ca2+ yang merupakan jambatan penghubung inter molekul alginat hanya dapat menerima 5 ligan oksigen, sementara alginat berpotensi menyumbangkan 10 ligan oksigen dari kedua rantai yang paralel yaitu masing-masing dari OH pada C2 dan C3. Ikatan O yang menghubungkan 1-4 dan sebuah gugus karboksil serta cincin O dari residu tetangganya (Chaplin, 2005), seperti gambar 2.4 dibawah ini:
Gambar 2.4. Alginat sebagai ligan
Seperti dijelaskan diatas , rantai asam guluronat melengkung sedangkan rantai asam manuronat merata. Hal ini menyebabkan keduanyai mempunyai perbedaan dalam berikatan dengan ion Ca2+. Penambahan Ca2+ pada asam guluronat menjadikannya bentuk gel, seperti Ca2+ masuk kedalam egg box antara unit monomer, seperti gambar dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5. Pembentukan gel kalsium alginat Ion Ca2+ dapat mengadakan ikatan dengan gugus COO- pada masing-masing blok yang paralel, seperti gambar 2.6 dibawah ini:
Gambar 2.6. Ion Ca2+ pada gugus COO- dari blok G yang paralel Rantai blok M yang seperti pita mendatar dapat berikatan dengan Ca2+ dan ini diharapkan terjadi pada konsentrasi kation yang tinggi. Akibat adanya perbedaan struktur antara blok M dan G maka gel yang dibentuk dari blok M bersifat elastis, sedangkan gel dari blok G sifat rigid. Kekuatan dari gel yang dibentuk dengan penambahan garam Ca bervariasi dari satu alginat dengan alginat lain. Alginat dengan kandungan blok G yang tinggi, seperti Macrocytis memberikan alginat dengan viskositas yang sedang. Sargassum memberikan hasil viskositas yang rendah, Laminaria digitata menghasilkan kekuatan gel yang
Universitas Sumatera Utara
lembut sampai sedang sementara Laminaria hyperborea dan Durvillaea menghasilkan gel yang kuat (McHugh, 2003).
2.1.5. Pertukaran Ion dalam Pembentukan Kalsium Alginat
Pertukaran ion adalah elektrolit tak larut yang mengandung gugus ion positif atau ion negatif yang dapat dipertukarkan dengan ion lain dari larutan disekitarnya, tanpa mengalami perubahan struktur dalam resin. Ada dua tipe resin penukar ion yaitu resin kation dan resin anion. Resin kation adalah ion yang bermuatan positif, mampu mempertukarkan kation yang berada dalam resin dengan kation dari larutan disekitar resin, misalnya Ca, Mg, Fe, dan H. Resin penukar anion adalah ion yang bermuatan negatif, mampu mempertukarkan anion dalam resin dengan anion dari larutan yang mengalir melewati resin, misalnya Cl, SO, dan OH (Benefield, 1982). Alginat yang tidak larut menunjukkan reaksi seperti resin pertukaran ion. Kemampuan dari ion-ion logam divalent berikatan dengan alginat tergantung pada jumlah relatif dari unit asam D-manuronat dan L-guluronat dalam alginat. Pembentukan gel alginat terjadi karena adanya pertukaran ion Na+ dengan kation divalent, sehingga dari yang bersifat larut dalam air menjadi tidak larut dalam air (Zhianjiang, 1990). Jumalah ion divalent yang dibutuhkan untuk mengendapkan alginat meningkat sesuai dengan sesuai dengan tingkatan berikut: Pb, Cu < Ca < Co, Ni, Zn < Mn. Sifat pertukaran ion dari alginat tergantung pada komposisi kimia dari alginat. Alginat yang kaya asam manuronat seperti pada Laminaria digitata mempunyai affinitas yang rendah terhadap Ca dalam reaksi pertukaran ion Na-Ca, dibandingkan dengan alginat yang kaya akan unit guluronat seperti pada Laminaria hyperborea (Muzzarelli, 1973) Kemampaun alginat untuk berikatan dengan ion-ion divalent akan berkurang sesuai dengan urutan dibawah ini a) Untuk alginat yang kaya akan blok M dari Laminaria digitata Pb > Cu > Cd > Ba > Sr > Ca > Co, Ni, Zn, Mn > Mg b) Untuk alginat Laminaria hyperborea yang kaya akan blok G
Universitas Sumatera Utara
Pb > Cu > Ba > Sr > Cd > Ca > Co, Ni, Zn, Mn > Mg Sementara konsentrasi dari ion yang dibutuhkan untuk pembentukan gel alginat dari kedua jenis ganggang coklat diatas adalah sama, yaitu semakin meningkat Ba < Pb < Cu < Sr < Cd < Ca < Zn < Ni < Co < Mn, Fe < Mg. ( Zhanjiang, 1990).
2.1.6. Kegunaan Alginat
Kegunaan alginat didasarkan pada tiga sifat utamanya yaitu kemampuan untuk: 1.
Larut dalam air serta meningkatkan viskositas larutan
2.
Membentuk gel
3.
Membentuk film dan serat ( McHugh, 2003)
Alginat dapat digunakan dalam berbagai bidang industri antara lain industri makanan, tekstil, medis/farmasi dan kosmotik (McCormick, 2001). Dalam industri tekstil, alginat digunakan sebagai pengental pesta yang megandung zat warna. Alginat tidak bereaksi dengan zat pewarna dan dengan mudah dicuci dari tekstil sehingga alginat menjadi pengental yang terbaik untuk zat warna. Dalam bidang makanan, sifat kekentalan alginat dapat digunakan dalam pembuatan saus serta sirup, sebagai penstabil dalam pembuatan es krim (McHugh, 2003). Film kalsium alginat juga digunakan sebagai pembungkus ikan, buah, daging dan makanan lain untuk pengawetan dan merupakan pengepak alternatif karena mudah terurai oleh mikroorganisme sehingga bersifat ramah lingkungan. Sebagai pembungkus yang dapat dimakan, alginat berperan sebagai komponen diet seperti serat karena hanya meningkatkan volume usus, tidak diabsorbsi dalam saluran pencernaan, berkalori rendah dan tidak berpotensi untuk merusak (Cancela, 2003). Film pelapis kalsium alginat dapat digunakan untuk membantu mengawetkan ikan beku, jika ikan dibekukan dengan jeli kalsium alginat maka ikan dilindungi dari udara sehingga proses oksidasi dihambat. Jika jelli mencair bersama ikan, dengan mudah dapat dipisahkan. Potongan daging yang dibungkus dengan flim kalsium alginat sebelum dibekukan menyebabkan juice daging akan diabsorbsi kembali kedalam daging selama proses pencairan, sehingga pembungkus dapat melindungi daging dari kontaminasi bakteri (McHugh, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Dalam bidang farmasi, alginat dapat digunakan sebagai pembalut luka yang dapat menyembuhkan luka karena dapat mengabsorpsi cairan dari luka, dimana kalsium alginat dalam serat diubah oleh cairan tubuh menjadi natrium alginat yang larut (McHugh, 2003). Alginat dalam bentuk garam dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan polimer pembentuk gel lainya untuk mengontrol pelepasan obat dari matriks tablet. Dalam cairan lambung, natrium alginat terhidrasi dan dikonversi menjadi bentuk asam alginat yang tidak dapat larut, sehingga menekan pelepasan obat dalam perut ( ISP, 2001 ; McHugh, 2003). Alginat dapat dibuat menjadi membran dengan melarutkan natrium alginat dalam air kemudian dibiarkan satu malam. Larutan tersebut kemudian dituang kedalam plat kaca dan dibiarkan selama 1 jam sampai ketebalannya homogen, lalu cetakan gelas diimersikan ke dalam larutan CaCl2 0,1 M selama satu malam. Cetakan gelas yang berisi membran alginat kemudian dicuci dengan air dan selanjutnya dibiarkan pada suhu kamar sehingga mengering, maka diperoleh lapisan tipis yaitu membran kalsium laginat (Inukai and Masakatsu, 1999). Gel alginat dalam bentuk butiran dapat digunakan sebagai biokatalis enzim untuk sel. Proses yang menggunakan immobilisasi biokatalis adalah menghasilkan etanol dari pati, membuat beer dengan immobilisasi ragi, fermentasi untuk menghasilkan butanol dan isopropanol serta produk lanjutan dari yoghurt ( McHugh, 2003)
2.2. Edible Packaging ( Kemasan yang Dapat Dimakan)
Penggunaan kemasan yang dapat dimakan dalam industri bahan makanan telah menjadi suatu topik yang menarik karena sangat potensial untuk meningkatkan masa berlaku dari banyak produk makanan. Kemasan yang dapat dimakan digabungkan dengan aditif bahan makanan dan zat lain dapat meningkatkan warna, flavor, tekstur serta mengontrol pertumbuhan mikroba. Anti mokroba ditambahkan ke kemasan yang dapat dimakan berfungsi untuk menghalangi pertumbuhan ragi, jamur dan bakteri selama penyimpanan dan distribusi.
Universitas Sumatera Utara
Antimikroba yang umum digunakan termasuk asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat, kalium sorbat dan asam propinoat. (Kaban, 2007). Penambahan antioksidan ke kemasan yang dapat dimakan dapat meningkatkan stabilisasi dan mempertahankan nilai gizi dan warna dari produk makanan dengan cara melindungi produk tersebut terhadap ketengikan akibat oksidasi, degradasi dan diskolorasi. Tipe dari antioksidan makanan yaitu asam (juga dalam bentuk garam dan esternya) dan senyawa phenolat (Kaban, 2008). Asam yang digunakan seperti asam sitrat, asam askorbat dan esternya, bertindak sebagai zat pengkelat logam sinergis apabila digunakan tersendiri atau dikombinasikan antioksidan phenolat. Senyawa phenolat seperti butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tertiary buttylated hydroxyquinone (TBHQ), propil gallat dan tekoferol menghambat oksidasi lemak dan minyak yang terdapat pada bahan makanan. Proses secara minimal telah banyak diterapkan pada buah-buahan. Proses secara minimal mencakup operasi pencucian, sortasi, pengupasan, perajangan dan pengemasan sehingga buah siap dikomsumsi dalam keadaan segar (Krochta et al, 1994). Masalah yang sering muncul pada buah hasil proses minimal adalah meningkatnya kecepatan kerusakan akibat proses respirasi, produksi etilen yang meningkat karena jaringan rusak serta aktifnya enzim polifenolase penyebab pencoklatan. Akibat terjadi peningkatan proses biokimia sehingga terjadi perubahan flavor, tekstur dan kualitas gizi (Brecht, 1995). Untuk itu diperlukan pengetahuan dan teknik baru dalam pengemasan dan penyimpanan pasca proses minimal, sehingga kecepatan respirasi dapat ditekan dan kenampakan organoleptik mampu dipertahankan. Penanganan produk buah proses minimal dengan aplikasi pengemas dari kemasan yang dapat dimakan (edible packaging) merupakan salah satu alternatif yang aman bagi kesehatan konsumen dan ramah lingkungan (Krochta et al, 1994). Fungsi kemasan pada bahan pangan adalah untuk mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Kemasan juga berfungsi sebagai wadah untuk memberi bentuk dan memudahkan penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusiannya.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu kemasan juga berfungsi untuk menambahkan daya tarik (appearance) dari bahan pangan tersebut sebagai tujuan promosi. Terdapat lima syarat kemasan untuk bahan pangan yaitu: penampilan, perlindungan, fungsi, biaya, dan limbah kemasan tersebut bersifat ramah lingkungan. Dengan adanya persyaratan ramah lingkungan, maka penggunaan edible packaging adalah sangat menjanjikan. Edible packaging adalah kemasan yang dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan. Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu kemasan yang berfungsi sebagai penyalut (edible coating) dan kemasan yang berfungsi sebagai dalam bentuk pelapis dalam bentuk lembaran tipis (edible film). Komponen dari penyalut dan pelapis yang dapat dimakan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang sesuai termasuk protein, turunan selulosa, alginat, pektin, starch dan asam lemak. Komposit mengandung kedua komponen lipida dan hidrokoloid dan lapisan kedua adalah lipida, atau sebagai kesatuan dimana komponen lipida dan hidrokoloid berselang-seling sepanjang kemasan.
2.2.1. Edible Coating (Lapisan penyalut yang dapat dimakan)
Edibel coating telah banyak digunakan untuk penyalut bahan pangan seperti daging beku, makanan semi basah, produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan sebagai penyalut kapsul obat-obatan (Krochta et al, 1994). Beberapa jenis penyalut yang sering digunakan adalah penyalut lilin dan minyak, penyalut turunan polimer alam dan polimer sintesis. Penggunaan secara komersial dari lilin terutama pada jeruk, apel, tomat dan timun secara terbatas juga digunakan untuk alpokat, pisang, cherry, anggur, jambu biji, mangga, nanas, melon, dan lain-lain. Penyalut juga digunakan untuk sayur-sayuran seperti asparagus, biji-bijian, wortel, umbi-umbian dan lain-lain. Penyalut lilin dibuat dengan lilin alam, lilin sintesis dan asam lemak, minyak (minyak tumbuhan-tumbuhan dan minyak meneral), resin, pengemulsi, pemlastis, zat anti buih, surfaktan, dan pengawet.
Universitas Sumatera Utara
Penyalut dengan bahan polisakarida telah dikembangkan, terutama untuk produk buah dan biji yang sudah diproses. Penyalut pektin dibuat dari pektin metoksil rendah (kandungan metoksil 2-20%), kalsium klorida (sebagai pengikat silang), plastisizer dan dalam keadaan tertentu asam-asam organik (Miers et al, 1953 ; Schultz et al, 1984). Permasalahn dengan penggunaan penyalut paktin adalah sangat permeabel terhadap uap air. Penyalut pektin metoksil rendah (kandungan metoksil 3,8%, viskositas intrinsik 3,2 dan ketebalan parafin beeswax, emulsifier, tritanolamina, atau minyak kelapa dan karboksimetil selulosa, dan asam oleat atau natrium oleat. Penyalut komposit larut dalam air dengan sifat menahan uap air yang baik disebabkan kelarutan uap air yang bertambah dan penyalut, menghasilkan permeabilitas uap air yang tinggi. Penyalut ini digunakan pada peaches yang disimpan pada temperatur kamar dengan RH 57-63% menghasilkan permeabilitas O2 dan fermentasi yang rendah. Nature-seal adalah penyalut komposit menggunakan turunan sellulosa pembentuk film, tapi tidak mengandung ester asam lemak sukrosa. Pada pengujian laboratorium, nature-seal menahan pemasakan buah tomat dan mengga dan menunda pencoklatan carambolas (Nisperos-Carriedo et al, 1992 ; Sanches 1990). Penyalut yang terdiri dari kitosan dan asam laurat kurang parmeabel terhadap uap air, tetapi lebih permeabel terhadap gas dibandingkan kitosan sendiri. Penyalut bilayer adalah penyalut yang merupakan kombinasi dari penyalut lipida dan panyalut polisakarida. Penyalut lipida bersifat penahan air yang baik sedangkan penyalut polisakarida mempunyai sifat permeabilitas gas yang baik. Salah satu contoh penyalut seperti ini terdiri dari lapisan asam palmitat dan asam stearat dan lapisan hidroksipropil selulosa, banyak sekali mengurangi transfer air (Kamper dan Fennema, 1985). Penyalut yang lain terdiri dari 53% hidroksipropil metil selulosa dan 45% asam stearat mempunyai permeabilitas 0,17g air Mil/(m2/hari/mmgH) pada 85% RH dibandingkan dengan 48 g air Mil/ (m2/hari/mmgH) hanya hidroksipropil metilselulos (Kaban, 2008). Protein juga telah dikembangkan untuk digunakan sebagai penyalut untuk buah dan sayur-sayuran. Protein untuk penyalut yang dapat dimakan dapat
Universitas Sumatera Utara
diperoleh dari jagung, gandum, kacang kedelai dan collogen (gelatin) dan ini menghasikan penghalang yang terbaik terhadap O2 dan CO2 tapi tidak demikian terhadap air. Penyalut komposit jagung yang mengandung minyak nabati, gliserin, asam sitrat, dan antioksidan mencegah ketengikan dalam produk seperti biji dengan bertindak sebagai penghalang kelembaban
tapi juga barangkali transport O2
dibatasi disamping bertindak sebagai pembawa antioksidan. Zein telah digunakan dalam formulasi penyalut yang dapat dimakan untuk tablet farmasi dan produk konfeksionari termasuk nut dan buah kering, sering pengganti sebagai shelac. Penyalut zein dilaporkan menghambat kemasakan tomat. Penyalut gluten gandum baik sebagai penghambat terhadap O2 dan CO2 dan sifat mekaniknya sama dengan penyalut polimer, tetapi penyalut ini mempunyai permeabilitas air yang tinggi disebabkan sifat hidropiliknya (Kaban, 2008).
2.2.2. Edible Film (Lapisan tipis yang dapat dimakan)
Lapisan tipis hidrokoloid dapat digunakan dalam aplikasi dimana mengontrol migrasi uap air bukan sebagai tujuan. Lapisan tipis ini mmiliki sifat penahan yang baik terhadap oksigen, karbon dioksida dan lipida. Kebanyakan dari lapisan tipis ini juga mempunyai sifat mekanik yang diinginkan membuatnya berguna untuk meningkatkan integritas struktur dari produk yang rapuh. Kealarutan dalam air dari lapisan tipis polisakarida menguntungkan dalam situasi dimana lapisan tipis akan dikonsumsi dengan suatu produk yang dipanaskan sebelum dikomsumsi. Selama pemanasan, lapisan tipis hidrokoloid akan terlarut dan idealnya tidak mengubah sifat sensori dari makanan. Hidrokoloid yang digunakan sebagai film pelapis dapat diklasifikasikan menurut komposisinya, muatan molekul dan kelarutannya dalam air. Dari segi komposisi, hidrokoloid dapat merupakan karbohidrat atau protein. Karbohidrat pembentuk film meliputi starch, gum tumbuh-tumbuhan (sebagai contoh alginat, pektin, dan gum arabic) dan starch yang dimodifikasi secara kimia. Protein pembentuk film meliputi glatin, casein, protein kacang kedelai, whey protein, wheat gluten, dan zein. Keadaan muatan dari hidrokoloid dapat
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk pembentukan film. Alginat dan pektin membutuhkan adisi dari ion polivalen, pada umumnya kalsium untuk memfasilitasi pembentukan film. Hidrokoloid yang bermuatan tersebut, sama seperti protein, mudah dipengaruhi perubahan pH karena adanya muatannya. Untuk beberapa aplikasi, keuntungan dapat diperoleh melalui penggabungan hidrokoloid yang mempunyai muatan yang berlawanan seperti glatin dan gum arabic. Meskipun film hidrokoloid pada umumnya mempunyai daya tahan yang rendah terhadap uap air karena sifat hidropiliknya, tapi untuk hidrokoloid yang mempunyai kelarutan yang sedang didalam air seperti etilselulosa, wheat gluten, dan zein memberikan daya tahan yang lebih besar terhadap lewatnya uap air dibandingkan hidrokoloid yang larut dalam air (Donhow, 1994). Film lipida sering digunakan sebagai penahan terhadap uap air. Penggunaannya dalam bentuk murni sebagai free-standing film dibatasi, karena integritas dan durabilitas kurang memadai. Lilin pada umunya digunakan untuk pelapis buah dan sayur-sayuran menahan respirasi dan mengurangi kelembaban. Formulasi untuk pelapis lilin sering berbeda dan komposisi sering ditentukan peruntukannya. Meskipun asam lemak dan alkohol asam lemak adalah penahan efektif terhadap uap air, sifat kerapuhannya membutuhkan penggunaan dengan suatu matriks pendukung. Banyak lipida berada dalam bentuk kristal dan kristal individunya tidak dapat ditembus (kedap) terhadap gas dan uap air. Sajak parmeate dapat lewat diantara kristal, sifat penahan kristal lipida sangat tergantung pada susunan kumpulan intrakristal. Lipida terdiri dari kristal yang dapat pada memberikan daya tahan yang besar terhadap difusi gas dibandingkan kristal yang tersusun renggang. Lipida yang terdapat dalam keadaan cair atau mempunyai perbandingan yang besar dari komponen cair memberikan daya tahan yang kurang terhadap gas dan transmisi uap dibanding dengan yang dalam keadaan padat (Kemper and Fennema, 1994; Kester and Fennema, 1989). Sifat barrier dari lipida yang mempunyai sifat kristal dapat dipengaruhi oleh kekerasan dan bentuk polimorphis (Kester and Fennema, 1989). Film komposit dapat diformulasi dengan menggabungkan keunggulan dari komponen lipida dan hidrokoloid dan mengurangi kelemahan masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Apabila penahan terhadap uap air diinginkan, komponen lipida dapat memenuhi fungsi ini sedangkan komponen hidrokoloid memberikan durabilitas yang diperlukan. Sifat-sifat film bilayer lipida-hidrokoloid telah dipelajari secara luas (Greener and Fennema, 1989). Film komposit terdiri dari gabungan casein dan monogliserida terasetilasi telah dipelajari oleh Krochta et al. (1990). Film komposit dari gum acasia dan gliserol monostearat dilaporkan mempunyai sifat penahan uap air yang baik pada gradien kelembaban relatif 43,8-23,6 % (MartinPolo and Voilley, 1990). Fungsi organoleptik nutrisi dan sifat mekanik dari suatu edible film dapat diubah dengan penambahan berbagai-bagai bahan kimia dalam jumlah yang sedikit. Plastisizer seperti gliserol, monogliserida terasetilasi, polietilena glikol dan sukrosa sering digunakan untuk modifikasi sifat mekanik dari film. Penggabungan dari aditif ini menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sifat barrier dari film. Sebagai contoh, penambahan plastisizer hidropilik pada umumnya menambahkan permeabilitas uap air pada film. Tipe lain dari aditif yang sering diujumpai dalam formulasi adalah zat antimikroba, vitamin, antioksidan, flavor dan pigmen. Banyak teknik yang ditentukan untuk pembentukan film secara langsung pada permukaan makanan atau secara terpisah self-supporting film. Beberapa tehnik pembentukan film dapat digunakan dengan beberapa tehnik aplikasi berikut yaitu pencelupan (dipping), penyemprotan (spraying) dan penuangan (casting). Metode pencelupan melekatkan film ke produk makanan yang membutuhkan beberapa aplikasi atau keseragaman pada permukaan yang tidak teratur. Setelah pencelupan, kelebihan bahan pelapis dibiarkan mengering dari produk, dan kemudian dikeringkan dan dibiarkan memadat. Metode ini telah digunakan untuk film monogliserida terasetilasi terhadap daging, ikan dan ayam serta pelapisan lilin terhadap buah dan sayuran. Film yang diaplikasi dengan penyemprotan dapat dibentuk dalam thinner, cara yang seragam dibandingkan dengan cara pencelupan. Penyemprotan, tidak seperti pencelupan, adalah lebih sesuai untuk penggunaan film kepada bahan makanan yang hanya satu permukaan ditutupi. Hal ini dikehendaki apabila perlindungan dibutuhkan pada hanya satu permukaan, misalnya apabila pizza
Universitas Sumatera Utara
crust diarahkan ke saus lembab. Penyemprotan dapat juga digunakan untuk pelapis kedua yang tipis, seperti larutan kation yang dibutuhkan membentuk ikatan silang alginat atau pelapis pektin. Teknik penuangan (casting) berguna untuk pembentukan lapisan tipis yang berdiri sendiri (free-standing film) dipinjamkan dari metode yang dikembangkan untuk film yang tidak dapat dimakan (non-edible film). Pelapisan adalah sederhana dan membiarkan ketebalan film dikontrol secara teliti pada permukaan yang halus dan rata. Penuangan dapat dilakukan melalui penyebaran dengan ketebalan terkontrol atau dengan penuangan. Penyebaran dengan ketebalan terkontrol membutuhkan pembentang (spreader) dengan suatu reservoir produk dan pintu penyesuaian, tinggi yang dapat diatur dengan teliti dan dengan pengulangan yang baik. Pembentang digerakkan diatas permukaan penerima, menghasilkan suatu lapisan dari larutan pembentuk film dengan ketebalan yang diinginkan, yang dilanjutnya dikeringkan. Alternatif lain, larutan pembentukan film dapat dituangkan kedalam area yang dibatasi dari suatu level permukaan yang menerima dan selanjutnya dikeringkan.
2.2.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Edible film
Dalam pembuatan edible film, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah: suhu, konsentrasi polimer, dan plasticizer. 1.
Suhu Perlakuan suhu diperlukan untuk membentuk edible film yang utuh, tanpa
adanya perlakuan panas kemungkinan terjadinya interaksi molekuler sangatlah kecil. Sehingga pada saat film dikeringkan akan menjadi retak dan berubah menjadi potongan-potongan kecil. Perlakuan panas diperlukan untuk membuat pati tergelatinisasi, sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal 0
0
dari edible film. Kisaran suhu gelatinisasi pati rata-rata 64,5 C - 70 C (McHugh 2003 dan Krochta, 1994) 2.
Konsentrasi Polimer Konsentrasi pati ini sangat berpengaruh, terutama pada sifat fisik edible
film yang dihasilkan dan juga menentukan sifat pasta yang dihasilkan. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Krochta dan Johnson (1997), semakin besar konsentrasi pati maka jumlah polimer penyusun matrik film semakin banyak sehingga dihasilkan film yang tebal. 3.
Plasticizer Plasticizer ini merupakan bahan nonvolatile, yang ditambahkan ke dalam
formula film akan berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik film yang terbentuk karena akan mengurangi sifat intermolekuler dan menurunkan ikatan hidrogen internal. Plasticizer ini mempunyai titik didih tinggi dan penambahan plasticizer dalam film sangat penting karena diperlukan untuk mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. Menurut Krochta dan Jonhson (1997), plasticizer polyol yang sering digunakan yakni seperti gliserol dan sorbitol. Konsentrasi gliserol 1 - 2 % dapat memperbaiki karakteristik film.
2.3. Edible Film Anti Mikroba
Salah satu cara tradisional untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba dalam produk makanan untuk meningkatkan keselamatan dan menunda kerusakan adalah dengan memasukkan bahan antimikroba atau menyemprot pada permukaan. Dalam aplikasi ini, efisiensi dari unsur antimikroba terbatas disebabkan migrasi tidak dikendalikan dalam makanan dan aktivasi parsial dari senyawa aktif karena interaksi dengan komponen makanan. Pada pengemas antimikroba, bahan antimikroba diinkorporasi ke dalam bahan pengemas, melapisi permukaan film pengemas atau satu sachet campuran antimikroba dapat ditambahkan ke dalam kemasan (Emiroglu et al, 2010). Ketika sistem pengemas makanan diberi aktifitas antimikroba, bahan pengemas akan membatasai atau menghalangi mikroba untuk tumbuh pada permukaan makanan, dengan demikian akan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan keamanan terhadap mikroba tersebut. Antimikroba yang terdapat dalam bahan pangan dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan beberapa cara, yaitu (i) merusak struktur dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk;
Universitas Sumatera Utara
(ii) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel; (iii) mendenaturasi protein; (iv) menghambat kerja enzim didalam sel yang mengakibatkan terganggunya metabolisme atau dinding sel. Edible film dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif seperti antioksidan, antimikroba, pewarna, flavors. Metode yang berbeda dari aplikasi langsung seperti inkorporasi bahan antimikroba kedalam edible film atau edible coating memberikan efek yang fungsional pada permukaan makanan. Film antimikroba adalah pengemas yang dapat mengurangi, mencegah atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogenik didalam pembungkusan makanan dan bahan pengemas. Penelitian mengenai film antimikroba sedang dikembangkan pada saat ini untuk mengkontrol aktivitas mikribiologi pembusuk dari makanan yang tidak tahan lama. Beberapa bahan organik maupun anorganik aktif dapat dimasukkan dalam struktur polimer untuk mencegah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan selama masa penyimpanan. Bahan antimikroba yang digunakan dalam aplikasi pada makanan antara lain dapat berupa minyak atsiri, asam organik, bacteriocin, enzim, alkohol dan asam lemak. Kemampuan minyak atsiri untuk melindungi makanan-makanan melawan mikroorganisme patogen dan perusak telah dilaporkan oleh beberapa para peneliti. Untuk memperoleh efektivitas aktivitas antimikroba dalam aplikasi pada makanan langsung, dibutuhkan konsentrasi minyak atsiri yang tinggi, yang mungkin berdampak pada flavor dan bau-bau yang tidak sesuai di produk. Oleh karena itu, riset terbaru perlu berfokus pada inkorporasi minyak atsiri kedalam edible film sebagai aplikasi pengganti di dalam pengemasan makanan. Pembuatan edible film antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain yaitu dengan : 1.
Penambahan sachetspads (kantong kecil) berisi bahan antimikroba volatil ke dalam kemasan.
2.
Inkorporasi secara langsung bahan antimikroba volatil dan yang tidak volatil ke dalam polimer.
3.
Coating atau adsorpsi antimikroba pada permukaan polimer.
4.
Immobilisasi antimikroba pada polimer dengan ikatan ion atau kovalen.
5.
Penggunaan polimer yang memiliki sifat sebagai antimikroba. (Zuhra., 2012)
Universitas Sumatera Utara
2.4. Plasticizer pada Edible Film
Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan lain-lain. Pemlastis dalam konsep sederhana adalah merupakan pelarut organik dengan titik didih tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah yang ditambahkan kedalam resin seperti PVC yang keras dan kaku, sehingga akumulasi gaya intermolekuler pada rantai panjang akan menurun. Hal ini menyebabkan bagian rantai lebih mudah bergerak akibatnya kelenturan, kelunakan dan pemanjangannya akan bertambah (Yadav and Satoskar, 1997). dan bahan yang tadinya keras dan kaku akan menjadi lembut pada suhu kamar (Cowd, 1991). Plasticizer dapat menurunkan viskositas lelehan, suhu transisi gelas (Tg) dan modulus elastisitas produk tanpa mengubah sifat-sifat kimiawi bahan plastik tersebut (Meier, 1990). Proses plasticizer, pada prinsipnya adalah terjadinya dispersi molekul plasticizer ke dalam fase polimer. Bilamana plasticizer mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer plasticizer sehingga keadaan ini disebut kompatibel. Interaksi antara plasticizer–polimer ini sangat dipengaruhi oleh sifat afinitas kedua komponen. Kalau afinitas polimer – plasticizer tinggi, maka molekul plasticizer akan terdifusi ke dalam ruang yang berada diantara rantai polimer dan mempengaruhi mobilitas rantai (Efendi,2000). Persyaratan yang harus dipenuhi harus kompatibel dan parmanen. Pemlastis harus larut dengan polimer dan menghasilkan gaya intramolekul yang sama diantara dua komponen tersebut, sehingga akan tercapai kompatibilitas yang baik. Permanence dari pemlastis ditentukan oleh titik didih, berat molekul pemlastis dan laju defusi pemlastis dalam polimer. Efesiensi pemlastis juga ditentukan oleh kadar pemlastis yang harus ditambahkan kedalam resin polimer (Bilmeyer, 1984 and Rudin, 1982). Sifat fisik dan mekanis yang terplastisasi merupakan fungsi distribusi dari sifat dan komposisi masing – masing komponen dalam sistem, karenanya ramalan karakterisasi polimer yang terplastisasi mudah
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan variasi komposisi pemlastis. Secara umum variasi jumlah plasticizer akan efektif (mempunyai efek plastisasi) sampai bahan kompatibel. Hasil analisis mekanik yang dilakukan menunjukkan bahwa membran – membran yang lebih kuat dan lebih liat (kenyal) dihasilkan ketika sedikit plasticizer yang digunakan dalam membran. Hasil uji plasticizer ini menunjukkan bahwa plasticizer yang mempunyai berat molekul yang relatif rendah akan memperbaiki kekuatan dan keliatan membran. Ketika sejumlah kecil plasticizer ditambahkan pada suatu polimer, plasticizer ini akan menyebabkan molekul polimer bergerak ke dalam konfigurasi energi yang lebih rendah. Dalam konfigurasi ini molekul – molekul menjadi kurang bergerak, dengan demikian akan meningkatkan kekuatan dan keliatan yang baik dari polimer. Sebaliknya jika plasticizer yang ditambahkan terlalu banyak molekul – molekul polimer banyak bergerak,
akibatnya
terjadi
penurunan
kekuatan
dan
keliatan
polimer
(Efendi, 2000)
2.4.1. Gliserol
Gliserol adalah salah satu plasticizer yang paling sering digunakan pada pembuatan film, disebabkan stabilitas dan kecocokan dengan rantai hidrofilik bio polimer. Fungsi utama gliserol adalah sebagai suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembaban. Gliserol dapat digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet dalam makanan serta sebagai zat emollient dalam kosmetik. Berdasarkan sifatnya gliserol banyak digunakan sebagai plasticizer dan didalam industri resin untuk menjaga kelenturan. Gliserol memiliki rumus kimia C3H5(OH)3. Gliserol merupakan trihidrat alkohol, dimana mempunyai dua gugus hidroksil primer dan satu gugus hidroksil sekunder. Gliserol alami merupakan hasil samping konversi lemak dan minyak dari splitting lemah yang dapat diperoleh 15-20% larutan gliserol dalam air. Proses transesterifikasi menghasilkan 75-90% larutan gliserol dalam alkohol. Proses ini bergantung pada perbandingan jumlah alkohol dan lemak atau pun minyak dan konsentrasi katalis (Nouredini and Medikondura, 1997)
Universitas Sumatera Utara
Fungsi utama gliserol adalah sebagai humuctant (suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembaban). Gliserol juga dapat juga digunakan sebagai pelarut. Berdasarkan sifatnya, gliserol banyak digunakan sebagai zat pemlastis dan minyak pelumas dalam mesin pengolahan makanan dan minuman. Hal ini disebabkan karena gliserol tidak beracun. Gliserol juga dapat digunakan dalam industri resin untuk menjaga sifat kelenturan (Bommardeaux, 2006).
2.5. Karakteristik Edibel Film
Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik utama yang diinginkan dari film adalah sifat laju transmisi uap air yang rendah dan kekuatan mekanis tinggi. Sifat Mekanik dari edible film (kekuatan tarik, uap air dan dapat menyerap air atau gas oksigen) berhubungan dengan peningkatan integritas mekanik dari makanan, pencegahan kehilangan kelembaban dan penampilan produk akhir. Suatu analisa yang lengkap sifat mekanik, permeabilitas dan biodegradasi adalah penting untuk meramalkan bagaimana film nantinya berfungsi di dalam sistim makanan.
2.5.1. Sifat Mekanik
Sifat mekanik dari suatu edible film sangat mempengaruhi hasil edible film yang dihasilkan Untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dari suatu bahan harus dilakukan beberapa pengujian. Masing-masing pengujian memiliki cara yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembebanan secara statik dan pembebanan secara dinamik. Kuat tarik dan persen pemanjangan merupakan suatu sifat mekanis yang penting dari film. Kuat tarik merupakan kemampuan suatu bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimal. Peregangan maksimal menggambarkan tekanan maksimal yang dapat diterima oleh sampel. Persen pemanjangan adalah satu indikasi fleksibilitas film-film dan kemampuan meregang (sifat dapat-regang), yang ditentukan pada titik di mana film putus pada saat diregangkan dan dinyatakan sebagai persentase dari perubahan panjang spesimen akibat gaya yang diberikan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengujiannya, bahan uji ditarik sampai putus. Secara sederhana, kekuatan tarik diartikan sebagai beban maksiumum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka defenisi kekuatan tarik dinyatakan sebagai besarnya beban maksimum yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang semula (Ao). 𝜎𝑡 =
𝐹𝑚𝑎𝑘𝑠 𝐴𝑜
Jiks didefinisikan besaran kemuluran (ɛ) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap panjang spesimen semula adalah: 𝐾𝑒𝑚𝑢𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 (𝜀) =
𝑙 − 𝑙𝑜 𝑥100% 𝑙𝑜
Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan, yakni nisbah beban dengan luas penampang (F/A) terhadap panjang bahan (regangan) yang disebut dengan kurva tegangan-regangan (Wirjosentono, 1995). Bentuk kurva tegangan-regangan ini merupakan karakteristik yang menunjukkan indikasi sifat mekanis bahan yang lunak, keras, kuat, lemah, rapuh dan liat.
Kekuatan tarik akhir
Tegangan
Tegangan pada yield
Kemuluran pada yield Kemuluran Gambar 2.7 Kurva Tegangan – Regangan Bahan Polimer
Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Biodegradable
Plastik sintetik (non-biodegradable) sangat berpotensi menjadi material yang mengancam kelangsungan hidup di bumi ini. Untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya plastik, saat ini telah dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik ini dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme secara alami menjadi senyawa yang ramah lingkungan. Biasanya plastik konvensioanl berbahan dasar petroleum, gas alam atau batu bara. Sementara plastik biodegradable terbuat dari material yang dapat diperbaharui, yaitu dari senyawa senyawa yang terdapat dalam tanaman, misalnya pati, selulosa, kolagen, kasein, protein atau lipid yang terdapat
dalam
hewan.
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
tingkat
biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan Plastik biodegradable berbahan dasar pati/amilum dapat didegradasi bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Senyawa-senyawa
hasil
degradasi
polimer
selain
menghasilkan
karbondioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Plastik berbahan dasar pati/amilum aman bagi lingkungan. Sebagai pembanding, plastik tradisional membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plasik biodgradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat. Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Platsik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah (Zuhra, 2012.) Prosedur analitik untuk mengamati biodegradasi antara lain: pengamatan visual, perubahan sifat mekanik dan massa molar, pengukuran pengurangan berat (penentuan polimer residu), konsumsi O2 dan perubahan CO2, penentuan biogas,
Universitas Sumatera Utara
pelebelan radio aktif, penurunan ukuran partikel, dan penentuan asam bebas. Standarisasi uji biodegradable terbagi berdasarkan lingkungan uji yakni: pengujian kompas, pengujian biodegradasi anerobik, pengujian biodegradasi di tanah (Muller, 2005)
2.5.3. Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM adalah adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara mikroskopik. struktur permukaan suatu benda diuji dapat dipelajari dengan menggunakan scanning electron mikroskop karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan ini secara langsung. Dengan berkas sinar elektron difokuskan kesuatu titik dengan diameter sekitar 100 Å dan digunakan untuk melihat permukaan dalam suatu layar. Elektron-elektron dari benda diuji difokuskan dengan suatu elektroda elektrostatik pada suatu alat pemantul yang dimiringkan. Sinar yang dihasilkan diteruskan melalui suatu pipa sinar pantulan kesuatu alat pembesar foto dan sinyal yang dapat digunakan untuk memodulasikan terangnya suatu titik osikoskop yang melalui suatu layar dengan adanya persesuaian dengan berkas sinar elektron pada permukaan benda uji. Sebagai pengertian awal, mikroskop elektron payaran menggunakan hamburan elektron-elektron (dengan E = 30 kV) yang merupakan energi datang dan elektron-elektron sekunder (dengan E = 100 eV) yang dipantulkan dari benda uji. Karena elektro-elektron sekunder mempunyai energi yang rendah, maka elektron-elektron tersebut dapat dibelokkan membentuk sudut dan menimbulkan banyangan topografi. Intensitas dari hamburan balik elektron yang cendrung tertimbun karena energi yang lebih tinggi maka tidak mudah dikumpulkan oleh sistem kolektor normal seperti yang digunakan pada elektron payaran. Jika elektron-elektron sekunder akan terkumpul, maka kisi didepan detektor akan mengalami kemiringn sekitar 200 V (Smallman, 1991). Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai konduktivitas rendah maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis.
Universitas Sumatera Utara
Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atau campuran emas dan palladium (Rusdi, 2008).
2.5.4. Differential Thermal Analysis (DTA)
Analisa thermal dalam pengertian luas adalah pengukuran sifat kimia fisika bahan sebagai fungsi suhu. Penetapan dengan metode ini dapat memberikan informasi pada kesempurnaan kristal, polimorfisma, titik lebur, sublimasi, transisi kaca, dehidrasi, penguapan, pirolisis, intraksi padat-padat dan kemurnian. Data semacam ini berguna untuk karakterisasi senyawa yang memandang kesesuaian, stabilitas, kemasan, dan pengawasan kualitas. Differential Thermal Analysis merupakan teknik yang paling tua, dimulai oleh LeChatelier pada abad 19, tetapi pada sampai tahun 1960-an tidak diterapkan dalam bahan-bahan polimer. DTA merupakan suatu teknik/metode dimana suatu sampel polimer dan referensi inert dipanaskan, biasanya dalam atmosfer nitrogen, dan kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. Pemengang sampel yang paling umum dipakai adalah cangkir alluminium sangat kecil (emas atau grafit dipakai untuk analisis-analisis diatas 800oC), referensi berupa cangkir kosong atau cangkir yang mengandung bahan inert dalam daerah temperatur yang diingikan, misalnya alluminium bebas air. Dengan DTA, sampel dan referensi keduanya dipanaskan oleh sumber pemanasan yang sama, dan dicatat beda temperaturnya (ΔT) antara keduanya (Stevens, 2007). 2.5.5. Infra Merah (IR)
Atom molekul bergetar dengan berbagai cara, tetapi pada tingkat energi yang berbeda. Jika kita perlakukan atom-atom sebuah molekul beratom banyak sebagai bola yang terangkai oleh pegas yang fleksibel, hukum gerak menyatakan bahwa akan ada 3n-6 cara (ragam) geratan. Energi getaran rentang untuk molekul organik bersesuaian dengan radiasi infrahmerah dengan bilangan gelombang antara 1200 dan 4000 cm-1. Bagaian tersebut dari spektrum inframerah khususnya
Universitas Sumatera Utara
berguna untuk mendeteksi adanya gugus fungsi dalam senyawa organik. Daerah ini sering dinyatakan sebagai gugus fungsi karena kebanyakan gugus fungsi yang dianggap penting oleh para kimiawan organik mempunyai serapan khas dan nisbi tetap pada panjang gelombang tersebut (Pine, 1980). Spektroskopi inframerah dapat digunakan untuk mengkarakterisasi gugus fungsi suatu polimer. Indentifikasi dari sampel polimer dapat dibuat dengan menggunakan daerah sidik jari, dimana identifikasi sampel pada akhirnya mungkin satu polimer untuk mempertunjukkan spektrum yang sama persis seperti yang lain. Daerah ini terletak dalam jangka 6,67 sampai 12,50 µm (Cowie, 1973) Kelebihan FT-IR mencangkup persyaratan ukuran sampel yang sedikit, perkembangan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini memiliki sistem komputerisasi terdeteksi, kemampuan untuk menyimpan dan menipulasi spektrum. FTIR sangat berguna dalam penelitian struktur polimer. Karena spektrum-spektrum bias di-scan, disimpan, dan transformasikan dalam hitungan detik. Teknik ini memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi dan ikatan silang (Stevens, 2007)
2.5.6. Swelling
Fenomena ini merupakan mekanisme dimana gel dapat menyerap cairan dari system sehingga volume pada gel dapat bertambah dan airnya akan terperangkap dalam matriks yang terbentuk pada gel. Swelling merupakan kebalikan dari fenomena syneresis dimana terjadi penyerapan cairan oleh suatu gel dengan diikuti oleh peningkatan volume. Gel juga dapat menyerap sejumlah cairan tanpa peningkatan volume yang dapat diukur, ini disebut inibisi. Cairan-cairan yang dapat mengakibatkan penggembungan adalah cairan-cairan yang dapat mensolvasi suatu gel (Martin, 1993). Daya larut merupakan salah satu sifat fisik edible film yang menunjukkan persentase berat kering terlarut setelah dicelupkan dalam air selama 24 jam (Gontard et al, 1993). Daya larut film sangat ditentukan oleh sumber bahan dasar pembuatan film. Edible film berbahan dasar pati tingkat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan gugus hidroksi pati. Makin lemah ikatan gugus hidroksil pati, makin tinggi kelarutan film. Edible film dengan daya larut yang tinggi menunjukkan film tersebut mudah
Universitas Sumatera Utara
dikonsumsi. Kadang-kadang pati mengalami masalah terhadap kelarutannya, dalam hal ini setelah mengalami gelatinisasi. Kelarutan edible film juga dipengaruhi oleh gliserol, selain sebagai plasticizer. Sedangkan Flores et al (2007) menyatakan bahwa kelarutan film adalah sama pada semua cara (metode) pembuatan film, tetapi kelarutan meningkat secara signifikan jika menggunakan kalium sorbat dalam film berbahan dasar pati tapioka.
Universitas Sumatera Utara